Danny Laksana keluar dari mobil lalu masuk ke rumah sang kakek. Ia tidak peduli dengan tatapan kebencian Eric kepadanya. Toh, bukan dia yang mau berada di posisi ini, siapa suruh tidak bisa mengambil hati sang kakek, malah asyik bermain perempuan.
“Dasar belagu, awas kamu!” umpat Eric sembari mengepalkan tangan kirinya dan mengarahkannya ke Danny yang sedang melangkah.“Tuan,” tegur Elgard.“Sekarang, kamu juga berada di posisinya?”“Bukan seperti itu, Tuan. Tetapi, sekarang dia juga cucu Tuan Besar. Saya harus menghormatinya.”“Cih!” kesal Eric lalu masuk ke mobil.Ia harus menemui papanya untuk membicarakan hal ini. Kenapa beliau tidak memberitahunya tentang Danny?“Papa!” teriak Eric saat sampai rumah.“Apa teriak-teriak begitu? Papa ini gak tuli, Ric!”“Kenapa Papa gak bilang soal Danny sama Eric? Dan kenapa pula Papa biarkan dia mendapatkan posisi kepemimpinan di perusahaan kakek?” terang Eric panjang lebar kepada sang papa.Lelaki berumur 67tahun itu duduk dengan wajah masam. Bukan beliau tidak ingin memberitahunya, tetapi sejak kemarin Eric sendiri tidak berada di rumah. Mungkin asyik bercinta dengan wanita di luar sana. Beliau tahu betul kebiasaan anaknya yang menuruninya.“Memangnya sejak kemarin kamu di rumah?”“Enggak sih.”“Terus, kenapa nyalahin Papa? Kamu sendiri keluyuran dan baru pulang.”“Ya maaf, Pa. Tapi, bagaimana bisa kakek menemukan lelaki itu? Dan bisa-bisanya kakek memberikan kekuasaan kepadanya? Seharusnya kan kita yang mendapatkan posisi itu. Papa akan anak sulung kakek,” protes Eric panjang lebar seraya menempatkan dirinya di sofa depan sang papa.Tuan Ibra menghela nafas panjang, “Kamu pasti tahu alasannya kan?”“Ah, sial!” umpat Eric, memang dia sudah tahu alasan sang kakek, tapi tetap ia tidak bisa menerimanya.“Apa bakal diam saja posisi kita direbut olehnya? Lakukan sesuatu, Pa!” perintah Eric kepada papanya.“Tidak perlu kamu suruh, Papa juga akan melakukan sesuatu, Ric.”“Apa? Eric siap membantunya.”Mereka berdua pun merencanakan rencana demi rencana agar bisa merebut posisi yang sekarang dimiliki oleh Danny. Mereka berdua tidak bisa terima begitu saja tiba-tiba Danny berada di posisi paling atas dari keluarga Laksana.****“Saya merasa tidak enak, Kek. Sama Paman Ibra dan Eric. Apa posisi saya sekarang tidak berlebihan? Saya tidak apa-apa jika harus bekerja menjadi karyawan bawah, Kek.” Danny berujar sambil memijit kaki sang kakek yang saat itu ingin istirahat.Tuan Willam tersenyum menanggapi ucapan Danny. Ia bangga sekaligus terharu sebab sikap rendah hati Danny persis seperti Fandy. Fandy tidak pernah menggunakan kekayaan sebagai temeng dan pamer kepada yang lain.“Tidak, Dan. Kakek sangat yakin kalau kamu adalah orang yang pas untuk menjaga perusahaan Kakek.”Danny terdiam. Menurut saja apa kata sang kakek. Lagian ia bisa gunakan hal ini untuk memperlihatkan kepada Eric dan Cintya yang sudah berselingkuh di didepannya. Ia yakin, Cintya pasti menyesal karena sudah mengakhiri hidupnya.“Kek, besok saya ke rumah papa sebentar ya. Ada yang ingin aku ambil di sana.”“Iya, pergilah.”“Apa sampai sekarang pamanmu belum menemukan petunjuk tentang Pembunuhan mereka, Dan?” tanya Tuan Willam dengan raut wajah sedih.“Belum, Kek. Mungkin beliau sedang berusaha mencarinya.”Tuan Willam menghela nafas panjang, “Heran, biasanya Ibra cepat menemukan pelaku. Tetapi, kenapa ini tidak ada kabar sama sekali?” gumam Tuan Willam.Danny mengemati ucapan sang kakek. Rasa curiga muncul di dalam hatinya, namun ia berusaha keras untuk percaya. Danny berniat ingin mencari bukti kematian kedua orang tuanya sendiri.Keesokan harinya, Danny mengunjungi rumah kedua orangtuanya. Hawa dingin masuk ke relung hati dan tulangnya saat melihat ruangan demi ruangan yang sekarang sepi tak berpenghuni.Danny melangkah ke ruang tamu di mana tempat terakhir kali Danny menemukan mereka dalam kondisi mengenaskan.“Egard,” panggil Danny karena dia datang bersamanya. Lelaki itu sekarang akan menjadi buntut dirinya. kemanapun ia pergi, Egard akan selalu ada.“Iya, Tuan.”“Apa hubungan paman dan papa selama ini baik-baik saja? Apa selama ini paman tahu tempat tinggal kita?” tanya Danny ingin tahu.Egard menggeleng, “Setahu saya tidak, Tuan. Beliau tidak tahu tempat tinggal Tuan Fandy dan Anda,” jawab Egard sesuai dengan apa yang ia ketahui.Danny mengangguk, seharusnya jawaban Egard cukup membuatnya mengusir rasa curiga terhadap lelaki paruh baya tersebut. Tetapi, entah kenapa Danny masih merasa janggal.“Kamu tunggu saja di sini. Aku ingin mengambil sesuatu di kamar papa,” ujar Danny.“Baik, Tuan.”Danny masuk ke kamar papanya dengan hati yang bedenyut pilu. Sungguh ia tidak menduga akan kehilangan mereka seperti ini. Takdir memang tidak ada yang tahu.Danny membuka lemari kedua orangtuanya yang sudah usang, namun masih kokoh untuk menyimpan pakaian mereka.“Apa ini?” Danny menemukan sesuatu di bawah tumpukan baju kedua orangtuanya.****Danny menemukan sebuah surat di bawah tumpukan baju almarhum ayahnya. Ia penasaran surat apa itu. Ia duduk di tepi ranjang milik kedua orang tuanya. Kasur yang tidak empuk, namun mampu menciptakan moment romantis keduanya. Sehingga pernikahan kedua orangtua Danny mampu bertahan sampai maut memisahkan mereka. Danny anakku.... Ada rahasia besar yang harus ayah dan ibu katakan kepadamu, namun kami tidak tahu waktu yang pas memberitahumu. Ayah dan Ibu sengaja menulis surat ini untuk memberitahumu bahwa kamu adalah cucu Tuan Willam, beliau ada orangtua kandung ayah. Kelak, jika ayah sudah tiada, temuilah beliau dan sampaikan permintaan maaf ayah pada beliau sebab ayah sudah tidak diperbolehkan lagi menginjakkan kakinya di sana. Ada alasan kenapa hal ini terjadi, nak. Sejak dulu hubungan Ayah dan Ibu tidak direstui oleh kedua orang Ayah, itu sebabnya ayah pergi menjauh dan memilih menikahi Ibumu. Nak, Ayah dan Ibu memberitahumu karena kami hanya ingin kamu tahu bahwa sebenarnya kamu
Karena ponsel sang ayah mati, Danny mengecesnya di rumah sang kakek saat pulang ke sana. Meninggalkan Cintya dan tidak memperdulikan keinginan wanita itu untuk kembali. Danny bukan tempat singgah dan pergi begitu saja. Apalagi alasan Cintya kembali kepadanya bukan atas dasar cinta, melainkan karena dirinya sekarang orang kaya. Hari berikutnya, Danny dan Egard mulai masuk kantor secara rutin. Tugasnya dari pelayan berubah menjadi pemimpin perusahaan. Sebuah takdir yang tidak pernah ia sangka-sangka. Sedangkan Eric, menjadi wakil director di perusahaan tersebut. Lelaki itu sekarang juga mulai berangkat rutin. Bersaing dengan Danny karena memang itulah niat Eric. Saat mereka berdua berpapasan, pandangan mereka bertemu, Eric memancarkan pandangan kebencian, sedangkan Danny menatap Eric dengan tatapan malas. “Dengar, aku tidak akan pernah terima takdir ini,” kata Eric penuh penekanan. “Aku tahu,” balas Danny. “Perusahaan ini hanya milikku dan papa.” “Yang memutuskan adalah kakek, bu
Setelah pertemuannya dengan Meysa, Danny kembali ke rumah. Ia sudah membuat kesepakatan dengan wanita tersebut – mantan kekasih Eric. Lelaki yang menjadi selingkuhan Cintya. Kemalangan yang menimpa hidupnya membuat hati Danny menjadi keras, ia tidak mau jatuh ke dalam penderitaan yang sama pula. Tujuan hidupnya sekarang membuat Cintya menyesal, juga mencari tahu pembunuh kedua orangtuanya. Danny teringat dengan Paman Ibra. Apakah beliau sudah mencari tahu tentang pembunuhan kedua orang tuanya? Kenapa sampai sekarang beliau tidak memberinya kabar? Mengingat hal itu, Danny segera mengajak Paman Ibra untuk bertemu. Membahas pencarian pembunuhan tersebut. Keesokan harinya, Danny berangkat ke kantor. Sebelum berangkat ke kantor, lelaki itu menuju sebuah kontrakan dimana Meysa berada. Sesampainya di sana, ia berniat menghubungi Meysa, namun tidak lama kemudian wanita yang ia tunggu keluar dari kontrakan dengan pakaian rapi. “Tepat waktu juga kamu,” puji Danny, segera menggeser tub
Danny memberikan bukti tersebut, tatapannya focus ke depan, memperhatikan raut wajah sang paman yang nampak antusias dengan bukti yang ia berikan. Danny ingin melihat reaksi beliau. Wajah Tuan Ibra nampak begitu pucat saat rekaman penganiayaan orangtua Danny diputar, obrolan antara preman dan orangtua Danny membuat tubuh Tuan Ibra gemetar. Beliau melirik Danny yang saat ini memandang dengan tatapan nyalang. “Kenapa kamu menatapku seperti itu?” Tuan Ibra bertanya heran. “Apa ini semua perbuatan Paman?” Danny masih berusaha sopan dan bertutur baik. “Apa maksudmu? Jangan sembarangan menuduh ya.” “Bukankah saudara ayah dan ibu hanya Paman?” Danny memojokkan. “Iya, tapi bukan berarti itu aku, bodoh! Mana mungkin aku melakukan hal sekeji ini kepada saudara kandungku sendiri?” “Benarkah?” Danny mengangkat satu alisnya seraya menyender ke kursi, kedua tangannya dilipat di depan dada. “Bagaimana kalau kita tunjukan rekaman ini kepada kakek?” tantang Danny, sengaja mengetes sang paman.
Di sebuah ruangan tertutup, seorang wanita dengana rambut acak-acakan diikat di sebuah kursi, mulutnya dibekap menggunakan kain cokelat, wajahnya tengah dipenuhi air mata. Tidak menyangka mantan kekasih dan Tuan Ibra tega menculiknya, entah alasan apa mereka menculiknya, Meysa tidak mengerti, yang ia tahu mereka menyuruh Danny untuk datang menyelamatkannya.“Emmmm,” Meysa terus bergumam, memohon kepada Eric dan Tuan Ibra untuk melepaskannya.“Tenanglah, Mey. Kamu akan segera kami lepaskan kalau lelaki itu sudah membuat kesepakatan dengan kita.”‘Brengsek! Kesepakatan apa yang akan mereka lakukan?’ tanya Meysa dalam hati.Bagaimana Meysa bisa pernah mencintai lelaki seperti Eric yang ternyata sekejam ini kepadanya? Meysa menyesal pernah memberikan hatinya untuk lelaki itu. Sekarang, ia tengah menunggu nasibnya di tangan Danny, mungkinkah lelaki itu mau datang menyelamatkannya?Jika bukan Danny, tidak ada orang yang mampu menolongnya. Ia tidak memiliki siapa-siapa di dunia ini. dia
Meysa sangat ketakutan, ia terus bergumam, menatap Danny dengan wajah memelas. Danny yang melihat keadaan Meysa pun kasihan. Bisa-bisanya Eric ingkar janji. Mereka pikir, hanya mereka saja yang bisa berbuat seenaknya. Danny beringsut ke depan, meraih kerah meja Eric, menatap lelaki itu dengan tajam. “Brengsek! Berani sekali kalian ingkar janji!” umpat Danny. “Jangan macam-macam, atau aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri!” ancam Danny. Eric tersenyum miring, tidak takut sama sekali dengan ancaman Danny. Beberapa detik kemudian, pasukan Tuan Ibra dan Eric masuk, menodongkan senjata api di kepala Danny dan juga Egard membuat mereka terkejut. Bibir Eric mengembang penuh kemenangan. “Coba saja kalau berani? Yang ada kepalamu lebih dulu hancur,” cicitnya. Danny memandang Eric dengan tatapan tenang. Ia juga tidak takut sama sekali dengan ancaman Eric. Dalam hitungan detik, banyak lelaki berjas hitam masuk menyerbu pasukan Tuan Ibra dan Eric. Kedua bola mata mereka semua ter
Aaaa! Teriak Meysa ketika bangun dari tidurnya dan mendapati seorang lelaki tampan di sampingnya. Ia segera melindungi barang berharganya. Menyilangkan kedua tangan di depan dada. Meysa sangat syok, sebab ini pertama kali ia tidur dengan lelaki. Tetapi, tunggu! Ia masih berpakaian utuh. “Astaga,” keluh lelaki sembari mengucek kedua matanya. “Ada apa?” tanya Danny serius. Takut terjadi hal buruk dengan Meysa. “Ka – mu ngapain di sini? Tidur di sini?” tanyanya dengan suara gemetar. Satu alis Danny terangkat, heran sekaligus kesal, pasalnya ia masih mengantuk. Danny kira ada apa, ternyata wanita itu hanya sedang kaget. Sungguh mengejutkan. Danny beringsut duduk sembari menghela nafas pendek. “Hey, kamu lupa siapa yang membuatku tidur di sini!” ujar Danny seraya menyentil kening Meysa agar wanita itu segera sadar. Mulut Meysa mengerucut ke depan sembari berpikir tentang kejadian semalam. Dalam hitungan detik, ia menelan salivanya, teringat dengan kejadian semalam, dimana ia meren
“Oh, jadi begitu kelakuanmu di belakangku.” Eric melipat kedua tangannya di depan dada. Eric geram mendengar aduan Danny bahwa Cintya mengajak balikan. “Kamu jangan nyalahin aku, kamu sendiri macam-macam sama Meysa, kan?” Cintya tidak mau kalah. Mereka berdua berdebat di mobil. Hatinya sama-sama panas mendengar aduan Danny dan Meysa. Sepertinya mereka berdua memang sengaja mengadu domba Eric dan Cintya. Hubungan mereka pun berada di ujung tanduk. “Terus, sekarang kamunya gimana? Sepertinya aku sudah malas berhubungan denganmu.”“Kok, kamu ngomongnya begitu?” Cintya terhenyak. “Sudahlah, lebih baik kamu turun dari mobilku. Aku nyesel milih kamu.”Mulut dan kedua bola mata Cintya membulat, sungguh menyakitkan ucapan Eric. Mudah sekali lelaki itu mengakhiri hubungan ini.“Kamu bercanda kan, Mas?” Cintya gemetar tubuhnya, takut bila Eric benar-benar meninggalkannya. “Serius!” tegasnya. Cintya syok, tubuhnya seketika lemas, kedua bola matanya berair. “Jangan begini, Mas.
Kakek Willam berhasil Danny tenangkan, beliau dibawa pulang dan istirahat di rumah. Danny terus mendampingi sang kakek agar tidak kembali nekat seperti tadi.“Istirahat, Kek. Semoga impi ayah,” pesan Danny lalu menarik selimut menutupi tubuh kakeknya.“Maafin Kakek, Dan.”“Kakek tidak salah apa-apa,” jawab Danny, hatinya ikut sesak melihat beliau sesedih ini.Siapa yang tidak syok mendapati anaknya membunuh anaknya yang lain. Tuan Willam tidak pernah menduga Ibra akan melakukan hal kejam tersebut. Ternyata, harta membuat buta memang buukan isapan belaka. Bukan hanya cinta yang membuat buta, harta juga.“Jangan lakukan hal nekat seperti tadi, Kek. Ayah tidak suka dengan orang yang mudah putus asa,” kata Danny.Tuan Willam kembali bersedih, rasa rindu terhadap anak bungsunya membuncah. Seandainya saja dulu beliau tidak mengusir dan menerima istri Fandy, pasti kejadian ini tidak akan terjadi. Sekarang beliau menyadari, bahwa tidak semua orangtua benar dan anak selalu salah, terkad
[Tidak, Tuan. Memangnya kenapa?][Beliau tidak ada di rumah, Gard!][Apa!]Danny menjauhkan ponselnya dari telinga saat mendengar suara Egard yang melengking kuat, reaksi Egard sungguh luar biasa. Sambungan telepon langsung dimatikan, tidak lama kemudian Egard datang ke rumah untuk memastikan perkataan Danny. Danny sampai terkejut melihat kedatangan Egard yang cepat sampainya. “Naik apa kamu? Pesawat? Cepet banget datangnya!” Danny malah melawak. “Saya khawatir dengan keadaan Tuan Besar, Tuan. Bisa saja beliau berada dalam masalah besar,” ujarnya membuat kening Danny berkerut. “Masalah besar apa maksudmu?”Egard menelan Salivanya, saking khawatirnya dengan sang majikan, ia sampai keceplosan bicara. Egard bingung harus jawab apa, pasalnya sang majikan melarangnya untuk berbicara apa-apa kepada Danny. Tidak mau membuat cucunya itu semakin terlihat masalah. “Egard, masalah apa yang sedang kakek hadapi, katakan padaku!” desak Danny. “Maaf, Tuan.” Egard menggeleng. Beru
“Kejam sekali mereka.” Meysa geram mengetahui pelaku pembunuhan orangtua Danny.“Terkadang, musuh terbesar adalah saudara sendiri, kadang juga mereka adalah orang yang paling berjasa,” kata Danny penuh makna.Memang, terkadang musuh terbesar seseorang adalah orang terdekat, namun terkadang mereka adalah orang yang paling berjasa. Bergantung dari saudara itu sendiri.Entah apa yang ada di dalam pikiran Tuan Ibra dan anaknya, sehingga mereka tega menghabisi nyawa saudaranya sendiri. Hanya karena sebuah harta, mereka tega berbuat keji. Seharusnya, mereka berusaha menyayangi, bukannya menyakiti.Mungkin, kalau sang kakek tidak berniat memberikan warisan kepada orangtua Danny, mungkin Tuan Ibra tidak membunuh mereka. Padahal, selama ini sang ayah sudah pergi menjauh dan tidak pernah merepotkan mereka. Beliau mampu membuktikan bahwa bisa hidup dengan tenang dan damai tanpa embel-embel keluarga besar yang kaya raya. “Sekarang, apa yang akan kamu lakukan sama mereka?” tanya Meysa ingin
“Hay, Kek. Perkenalkan, saya Cintya. Kekasih Danny.” Cintya mengulurkan tangannya kearah Tuan Willam. Begitu pd-nya memperkenalkan dirinya sebagai kekasih Danny. Memang wanita tidak tahu malu. “Kekasih Danny?” Tuan Willam memandang Cintya tidak percaya. Beliau lalu beralih memandang Danny. Meminta kepastian lelaki tersebut. Tuan Willam tidak yakin kalau Danny lelaki buaya. “Bukan, Kek. Tapi, mantan.” Danny menatap tajam mata Cintya. Kesal karena berani mengaku-ngaku sebagai kekasihnya. “Oh, cuman mantan....” Tuan Willam pun merasa lega atas jawaban cucunya. Cintya tersenyum kaku, menahan malu, namun ia sudah bertekad bahwa akan merebut Danny kembali. “Mas, apa boleh kita bicara sebentar. Ada sesuatu yang ingin aku katakan sama kamu, Mas.”“Tidak ada yang perlu kita bicarakan. Lebih baik kamu pergi. Kamu tidak lihat aku sedang makan bersama keluarga?” Danny menolak mentah-mentah ajakan Cintya. Danny yakin, Cintya hanya akan membicarakan soal keinginannya kembali kepadanya la
Eric menenggak minuman, suasana siang itu sedang panas, sama seperti suasana hatinya yang tengah terbakar api cemburu melihat kemesraan Danny dan Meysa tadi. Drrrrttt! Ponselnya berdering, dengan malas ia melihat layar ponselnya, memastikan siapa yang menghubunginya. Apa dia tidak tahu kalau saat ini hatinya sedang patah? “Wanita ini lagi!” keluh Eric memandang nama Cintya. Eric hampir meletakkan kembali ponselnya, namun tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu. [Iya?] Akhirnya, Eric menjawab panggilan dari Cintya. [Hallo, Sayang. Bagaimana kabarmu? Kita ketemuan ya.][Oke!]Dibalik telepon, Cintya sangat senang sekali mendengar jawaban Eric.Segera Eric mematikan ponselnya, lalu bergegas bertemu dengan Cintya. Ada sesuatu yang harus ia bicarakan dengan wanita itu. Eric berharap, Cintya bisa melakukan apa yang ia inginkan. Mereka berdua di sebuah restoran sederhana, tidak mewah seperti dulu sebab saat ini Eric tengah menerima hukuman dari sang kakek, hukuman yang membuat diri
Kedatangan Tuan Willam ke kantor membuat seluruh karyawan yang bertemu dengan beliau segera membungkuk, memberikan hormat kepada pemilik perusahaan. Keadaan kantor pun mendadak sunyi, biasanya mereka akan bising dengan pekerjaan mereka, namun kali ini hanya tangan dan mata mereka yang bekerja, mulut mereka kunci rapat-rapat sebab Tuan Willam tidak suka dengan orang yang banyak mulut. “Papa?”“Kakek?”Tuan Ibra dan Eric sama-sama memanggil nama beliau lalu membungkukan setengah badan mereka, begitu juga dengan Meysa. Wanita tersebut mengikuti apa yang dilakukan oleh banyak karyawan. Sejenak, pandangan Meysa bertemu dengan Danny. Bertanya lewat tatapan kenapa sang kakek tiba-tiba datang ke kantor. Danny yang kini berdiri di belakang sang kakek mengedikan bahunya. Ia juga tidak tahu kenapa sang kakek ingin ikut ke kantor. “Kalian semua ikut ke ruangan saya!” perintahnya lalu melangkah ke ruangan Danny yang dulu menjadi ruangan beliau. Tuan Ibra dan Eric memicingkan kedua bola
Keringat dingin tiba-tiba saja mengalir dari dahi mereka berdua. Mereka seakan mendengar ucapan tajam dari mulut sang tuan rumah. Apa mungkin Tuan Willam tahu kalau mereka berdua pelaku pembunuhan kedua orangtua Danny?“Ma – na mungkin aku berniat jahat, Pa?” Tuan Ibra tertawa kecut, menyembunyikan rasa geroginya. Tuan Willam mengangguk pelan, “Bagus kalau kamu tidak ada niat jahat. Danny pun begitu.” Jawaban Tuan Willam tidak membuat mereka berdua lega sama sekali. “Ya terus kenapa kita dihukum begini, Kek? Memang apa salah kita?” heran Eric. Tuan Willam menghela nafas sejenak. Menunduk entah kenapa. Seakan-akan beliau memiliki beban yang sedang mengganggunya. Ketika beliau tengah menghadapi masalah, beliau sering menunduk untuk berpikir. Tuan Ibra tahu betul sifat sang ayah. “Papa punya masalah?” Tuan Ibra bertanya penuh kehati-hatian. “Tidak ada. Masalahku hanya pada kalian berdua yang tidak pernah berubah sejak dulu,” jawabnya penuh makna. Eric mendengus kesal, ia me
Hal serupa juga dialami oleh Tuan Ibra, beliau harus menanggung malu lantaran tidak mampu membayar wanita yang sudah beliau unboxing. Makian dan cacian harus beliau dengar dari wanita yang baru saja selesai meleyaninya.“Dasar tua bangka, sudah tahu tidak bisa bayar, kenapa harus memesan wanita panggilan sepertiku?”“Hey, apa kamu tidak tahu siapa saya. Jangankan membayarmu untuk malam ini, membeli untuk mati pun aku bisa!” Tuan Ibra tidak terima dihina oleh sang wanita panggilan yang sekarang tengah memakai gaun seksinya kembali.“Buktinya apa? Anda tidak bisa membayarnya bukan? Saya akan melaporkan Anda. Anda harus diberi pelajaran oleh anak buah madam!” ancamnya. Siapapun yang tidak mampu membayar akan dipukuli oleh anak buah madam.“Shit!” geram Tuan Ibra.Sebelumnya, Tuan Ibra memesan seorang wanita seperti biasanya ke orang biasa. Beliau terbiasa membayarnya belakangan sesuai dengan pelayanan yang akan diberikan wanita panggilan, kalau memuaskan beliau akan membayarnya lebi
“Tidak maksud apa-apa, Kek. Sepertinya beliau sedang sibuk sehingga tidak sempat mencarinya,” kata Danny menutupi. Kakek Willam merasa ada yang aneh dengan jawaban Danny, beliau juga melihat sebuah kebencian dari mimik wajah sang cucu. Drrrttt! Ponsel sang kakek berdering, lelaki yang sudah senja itu segera bangkit setelah melihat sebuah nama di layar benda pipihnya. “Kakek angkat telepon dulu ya.” “Iya, Kek. Danny sama Meysa ke atas dulu ya.” “He'em.” Kakek Willam mengangguk. Danny membawa Meysa ke balkon kamarnya. Masuk ke kamar Danny membuat Meysa takjub karena kamar tersebut begitu luas dan mewah. Semua perabotan di kamar tersebut nampak mewah dan elegan. Seumur-umur Meysa baru memasuki kamar semewah itu. Dulu, saat bersama Eric, ia hanya melihat dalamnya apartemen, itupun hanya sekali, sebab ia tidak pernah lagi mau diajak ke apartemen karena Eric selalu meminta dirinya bercinta dengannya. Danny duduk di balkon kamarnya, menatap pemandangan di bawah sana dengan pandangan