“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Danny kepada Meysa untuk mengalih pertanyaan Eric terhadap Egard.
“Hem, terima kasih.” Meysa pun memperbaiki posisi tubuhnya.“Hay, Cintya. Apa kabar?” sapa Danny sambil tersenyum paksa.“Baik, sangat baik. Kamu lihat, apalagi aku sekarang sudah memiliki kekasih yang bisa bahagiain aku. Tidak seperti kamu, gak bisa bahagiain aku!” sindir Cintya.Danny menghela nafas panjang, ingin sekali memberitahu kepada wanita itu bahwa dirinya cucu orang terkaya di negeri ini.“Kalau begitu selamat. Semoga kalian terus bahagia sampai akhir,” pesan Danny tanpa beban sama sekali.Entah hatinya sudah tertutup atau memang dirinya yang saat ini tidak peduli akan cinta, yang ia pedulikan mencari tahu pembunuh kedua orangtuanya. Itu tujuan Danny sekarang.“Tentu saja.” Cintya pun melengos, berganti menatap Eric dengan senyuman manis. Tangannya pun tidak lupa merangkul mesra lengan kekasihnya.“Dasar pelakor!” umpat Meysa melihat kemesraan Cintya dan Eric.Cintya hanya melengos, tidak peduli dengan hinaan Meysa, yang terpenting bagi Cintya sekarang adalah ia bisa memiliki kekasih yang mapan, yang bisa memberikan apapun yang ia mau.Meysa pun berlalu pergi dari hadapan mereka semua. Sakit hati dengan perbuatan Eric dan Cintya. Lebih baik ia akhiri hubungannya dengan Eric ketimbang menanggung lara karena perselingkuhan mereka berdua.“Pergi sana yang jauh! Jangan pernah kembali lagi!” seru Cintya lalu tertawa mengejek atas kekalahan Meysa.Danny yang melihat sikap Cintya barusan merasa muak. Terbuat dari apa hati Cintya? Kenapa ia bisa pernah jatuh cinta terhadap wanita itu? Danny bersyukur diperlihatkan sikap asli Cintya sekarang. Ia pun tidak menyesal telah mengakhiri hubungannya dengan wanita itu.“Egard, ayo kita pergi. Aku rasa, sudah tidak ada urusan lagi di sini!” perintah Danny kepada asistennya.“Baik, Tuan.” Egard mengangguk dan sedikit membungkuk, lalu mempersilahkan Danny untuk melangkah lebih dulu.Melihat sikap Egard terhadap Danny, jelas membuat Eric dan Cintya mengangkat satu alisnya.“Tunggu!” seru Eric.Egard dan Danny berhenti melangkah, asisten Danny pun menoleh ke belakang.“Ada apa, Tuan Eric?” tanya Egard.“Kenapa kamu memanggilnya tuan? Memang dia siapa? Dia hanya lelaki miskin, Egard.” Eric bingung.“Maaf, Tuan. Sekarang dia bukan lagi orang miskin seperti apa yang Anda bayangkan, tetapi dia adalah cucu Tuan Besar yang saya maksud,” terang Egard membuat Eric dan Cintya terkejut, sampai-sampai rangkulannya terlepas begitu saja.“Apa kamu bilang?” Eric menatap Egard tidak percaya.“Jangan hiraukan mereka, Gard. Lebih baik, kita pergi sekarang. Masih banyak urusan yang harus aku selesaikan,” cicit Danny, malas menjawab rasa penasaran Eric dan Cintya.“Baik, Tuan.” Egard mengiyakan.“Maaf, Tuan Eric. Kami harus seger pergi.” Egard pun berpamitan.“Hey, tunggu! Jelaskan dulu kepadaku!” teriak Eric emosi.Egard dan Danny tidak peduli dengan teriakan Eric.Danny yakin, setelah ini Eric akan bertanya langsung kepada kakeknya. Biar beliau saja yang menjelaskan.***Benar dugaan Danny, demi menjawab rasa penasarannya, Eric mendatangi rumah kakeknya untuk bertanya langsung.Saat itu, sang kakek tengah duduk di ruang tengah sembari memangku tablet yang selalu menemani beliau mengisi waktu luang. Memantau pekerjaannya dari tablet tersebut.“Kakek!” teriak Eric saat kaki melangkah masuk ke rumah sang kakek.“Astaga, anak ini selalu berteriak ketika memanggilku,” keluh Tuan Willam. Jengah dengan sikap cucunya bernama Eric.“Ada apa?” tanya Tuan Willam tanpa merubah posisinya.Eric segera menghampiri sang kakek lalu duduk di depan beliau.“Apa benar Kakek punya cucu lagi selain aku? Bagaimana bisa?” Eric bertanya sedikit emosi.“Kamu sudah bertemu dengannya? Apa papamu yang memberitahumu?” Tuan Willam bertanya balik.Alis Eric terangkat satu mendengar pertanyaan sang kakek, apa itu artinya papanya sudah tahu kebeneran ini? Kenapa beliau tidak memberitahunya? Begitulah cicit hatinya.“Papa sudah tahu?”“Hem, dia bahkan sudah tahu kalau Danny menjadi pimpinan di perusahaan.”“Apa? Kenapa Kakek melakukan ini?”“Memangnya salah?” Tuan Willam menutup tabletnya, kedua netra fokus menatap sang cucu.“Jelas salah, Kek. Kakek mengambil keputusan tanpa kesepakatanku dan papa!” geram Eric menilai tindakan kakeknya itu salah.“Maaf, Ric. Kakek mengambil keputusan ini atas dasar sikap kamu dan papamu selama ini. Kalian berdua tidak bisa menjadi pimpinan perusahaan, yang ada perusahaan hancur bila di tangan kalian berdua. Kakek tetap adil membagi harta kekayaan Kakek, tetapi untuk menjadi pemimpin yang paling pantas adalah anak kakek -- Fandy atau cucu Kakek --- Danny.”Nafas Eric naik turun, ia tidak tahu bila selama ini sang kakek memikirkan hal ini. Ia tidak terima bila harus tersisih. Ia ingin menjadi pimpinan sekaligus pewaris sang kakek.“Aku tidak terima ini, Kek. Yang pantas menjadi pimpinan itu aku, Kek!”“Tidak, Ric. Kamu dan papamu masih labil, kalian berdua tidak pantas memimpin perusahaan. Kalian tenang saja, kalian masih bisa mendapatkan hak yang lain.” Sang Kakek mencoba menenangkan Eric.Eric menggeleng, ia tetap tidak terima dengan keputusan sang kakek. Ia pun beranjak berdiri dengan wajah merah padam, dikarenakan amarah yang menyelimuti hatinya.Eric berlalu pergi dari hadapan sang kakek, membuat Tuan Willam mengelus dada. Itulah yang tidak Tuan Willam sukai dari Eric.Bertepatan dengan Eric yang akan pergi dari rumah sang kakek. Danny pulang, ia keluar dari mobil, sedangkan Eric akan masuk mobil, namun niatnya ia urungkan sebab melihat kehadiran Danny.Mata Eric menatap nyalang kearah Danny, ia menunjukan sikap tidak sukanya kepada Danny.“Aku harus melakukan sesuatu untuk menghabisimu!”****Danny Laksana keluar dari mobil lalu masuk ke rumah sang kakek. Ia tidak peduli dengan tatapan kebencian Eric kepadanya. Toh, bukan dia yang mau berada di posisi ini, siapa suruh tidak bisa mengambil hati sang kakek, malah asyik bermain perempuan. “Dasar belagu, awas kamu!” umpat Eric sembari mengepalkan tangan kirinya dan mengarahkannya ke Danny yang sedang melangkah. “Tuan,” tegur Elgard. “Sekarang, kamu juga berada di posisinya?” “Bukan seperti itu, Tuan. Tetapi, sekarang dia juga cucu Tuan Besar. Saya harus menghormatinya.” “Cih!” kesal Eric lalu masuk ke mobil. Ia harus menemui papanya untuk membicarakan hal ini. Kenapa beliau tidak memberitahunya tentang Danny? “Papa!” teriak Eric saat sampai rumah. “Apa teriak-teriak begitu? Papa ini gak tuli, Ric!” “Kenapa Papa gak bilang soal Danny sama Eric? Dan kenapa pula Papa biarkan dia mendapatkan posisi kepemimpinan di perusahaan kakek?” terang Eric panjang lebar kepada sang papa. Lelaki berumur 67tahun itu duduk dengan wajah
Danny menemukan sebuah surat di bawah tumpukan baju almarhum ayahnya. Ia penasaran surat apa itu. Ia duduk di tepi ranjang milik kedua orang tuanya. Kasur yang tidak empuk, namun mampu menciptakan moment romantis keduanya. Sehingga pernikahan kedua orangtua Danny mampu bertahan sampai maut memisahkan mereka. Danny anakku.... Ada rahasia besar yang harus ayah dan ibu katakan kepadamu, namun kami tidak tahu waktu yang pas memberitahumu. Ayah dan Ibu sengaja menulis surat ini untuk memberitahumu bahwa kamu adalah cucu Tuan Willam, beliau ada orangtua kandung ayah. Kelak, jika ayah sudah tiada, temuilah beliau dan sampaikan permintaan maaf ayah pada beliau sebab ayah sudah tidak diperbolehkan lagi menginjakkan kakinya di sana. Ada alasan kenapa hal ini terjadi, nak. Sejak dulu hubungan Ayah dan Ibu tidak direstui oleh kedua orang Ayah, itu sebabnya ayah pergi menjauh dan memilih menikahi Ibumu. Nak, Ayah dan Ibu memberitahumu karena kami hanya ingin kamu tahu bahwa sebenarnya kamu
Karena ponsel sang ayah mati, Danny mengecesnya di rumah sang kakek saat pulang ke sana. Meninggalkan Cintya dan tidak memperdulikan keinginan wanita itu untuk kembali. Danny bukan tempat singgah dan pergi begitu saja. Apalagi alasan Cintya kembali kepadanya bukan atas dasar cinta, melainkan karena dirinya sekarang orang kaya. Hari berikutnya, Danny dan Egard mulai masuk kantor secara rutin. Tugasnya dari pelayan berubah menjadi pemimpin perusahaan. Sebuah takdir yang tidak pernah ia sangka-sangka. Sedangkan Eric, menjadi wakil director di perusahaan tersebut. Lelaki itu sekarang juga mulai berangkat rutin. Bersaing dengan Danny karena memang itulah niat Eric. Saat mereka berdua berpapasan, pandangan mereka bertemu, Eric memancarkan pandangan kebencian, sedangkan Danny menatap Eric dengan tatapan malas. “Dengar, aku tidak akan pernah terima takdir ini,” kata Eric penuh penekanan. “Aku tahu,” balas Danny. “Perusahaan ini hanya milikku dan papa.” “Yang memutuskan adalah kakek, bu
Setelah pertemuannya dengan Meysa, Danny kembali ke rumah. Ia sudah membuat kesepakatan dengan wanita tersebut – mantan kekasih Eric. Lelaki yang menjadi selingkuhan Cintya. Kemalangan yang menimpa hidupnya membuat hati Danny menjadi keras, ia tidak mau jatuh ke dalam penderitaan yang sama pula. Tujuan hidupnya sekarang membuat Cintya menyesal, juga mencari tahu pembunuh kedua orangtuanya. Danny teringat dengan Paman Ibra. Apakah beliau sudah mencari tahu tentang pembunuhan kedua orang tuanya? Kenapa sampai sekarang beliau tidak memberinya kabar? Mengingat hal itu, Danny segera mengajak Paman Ibra untuk bertemu. Membahas pencarian pembunuhan tersebut. Keesokan harinya, Danny berangkat ke kantor. Sebelum berangkat ke kantor, lelaki itu menuju sebuah kontrakan dimana Meysa berada. Sesampainya di sana, ia berniat menghubungi Meysa, namun tidak lama kemudian wanita yang ia tunggu keluar dari kontrakan dengan pakaian rapi. “Tepat waktu juga kamu,” puji Danny, segera menggeser tub
Danny memberikan bukti tersebut, tatapannya focus ke depan, memperhatikan raut wajah sang paman yang nampak antusias dengan bukti yang ia berikan. Danny ingin melihat reaksi beliau. Wajah Tuan Ibra nampak begitu pucat saat rekaman penganiayaan orangtua Danny diputar, obrolan antara preman dan orangtua Danny membuat tubuh Tuan Ibra gemetar. Beliau melirik Danny yang saat ini memandang dengan tatapan nyalang. “Kenapa kamu menatapku seperti itu?” Tuan Ibra bertanya heran. “Apa ini semua perbuatan Paman?” Danny masih berusaha sopan dan bertutur baik. “Apa maksudmu? Jangan sembarangan menuduh ya.” “Bukankah saudara ayah dan ibu hanya Paman?” Danny memojokkan. “Iya, tapi bukan berarti itu aku, bodoh! Mana mungkin aku melakukan hal sekeji ini kepada saudara kandungku sendiri?” “Benarkah?” Danny mengangkat satu alisnya seraya menyender ke kursi, kedua tangannya dilipat di depan dada. “Bagaimana kalau kita tunjukan rekaman ini kepada kakek?” tantang Danny, sengaja mengetes sang paman.
Di sebuah ruangan tertutup, seorang wanita dengana rambut acak-acakan diikat di sebuah kursi, mulutnya dibekap menggunakan kain cokelat, wajahnya tengah dipenuhi air mata. Tidak menyangka mantan kekasih dan Tuan Ibra tega menculiknya, entah alasan apa mereka menculiknya, Meysa tidak mengerti, yang ia tahu mereka menyuruh Danny untuk datang menyelamatkannya.“Emmmm,” Meysa terus bergumam, memohon kepada Eric dan Tuan Ibra untuk melepaskannya.“Tenanglah, Mey. Kamu akan segera kami lepaskan kalau lelaki itu sudah membuat kesepakatan dengan kita.”‘Brengsek! Kesepakatan apa yang akan mereka lakukan?’ tanya Meysa dalam hati.Bagaimana Meysa bisa pernah mencintai lelaki seperti Eric yang ternyata sekejam ini kepadanya? Meysa menyesal pernah memberikan hatinya untuk lelaki itu. Sekarang, ia tengah menunggu nasibnya di tangan Danny, mungkinkah lelaki itu mau datang menyelamatkannya?Jika bukan Danny, tidak ada orang yang mampu menolongnya. Ia tidak memiliki siapa-siapa di dunia ini. dia
Meysa sangat ketakutan, ia terus bergumam, menatap Danny dengan wajah memelas. Danny yang melihat keadaan Meysa pun kasihan. Bisa-bisanya Eric ingkar janji. Mereka pikir, hanya mereka saja yang bisa berbuat seenaknya. Danny beringsut ke depan, meraih kerah meja Eric, menatap lelaki itu dengan tajam. “Brengsek! Berani sekali kalian ingkar janji!” umpat Danny. “Jangan macam-macam, atau aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri!” ancam Danny. Eric tersenyum miring, tidak takut sama sekali dengan ancaman Danny. Beberapa detik kemudian, pasukan Tuan Ibra dan Eric masuk, menodongkan senjata api di kepala Danny dan juga Egard membuat mereka terkejut. Bibir Eric mengembang penuh kemenangan. “Coba saja kalau berani? Yang ada kepalamu lebih dulu hancur,” cicitnya. Danny memandang Eric dengan tatapan tenang. Ia juga tidak takut sama sekali dengan ancaman Eric. Dalam hitungan detik, banyak lelaki berjas hitam masuk menyerbu pasukan Tuan Ibra dan Eric. Kedua bola mata mereka semua ter
Aaaa! Teriak Meysa ketika bangun dari tidurnya dan mendapati seorang lelaki tampan di sampingnya. Ia segera melindungi barang berharganya. Menyilangkan kedua tangan di depan dada. Meysa sangat syok, sebab ini pertama kali ia tidur dengan lelaki. Tetapi, tunggu! Ia masih berpakaian utuh. “Astaga,” keluh lelaki sembari mengucek kedua matanya. “Ada apa?” tanya Danny serius. Takut terjadi hal buruk dengan Meysa. “Ka – mu ngapain di sini? Tidur di sini?” tanyanya dengan suara gemetar. Satu alis Danny terangkat, heran sekaligus kesal, pasalnya ia masih mengantuk. Danny kira ada apa, ternyata wanita itu hanya sedang kaget. Sungguh mengejutkan. Danny beringsut duduk sembari menghela nafas pendek. “Hey, kamu lupa siapa yang membuatku tidur di sini!” ujar Danny seraya menyentil kening Meysa agar wanita itu segera sadar. Mulut Meysa mengerucut ke depan sembari berpikir tentang kejadian semalam. Dalam hitungan detik, ia menelan salivanya, teringat dengan kejadian semalam, dimana ia meren