Sungguh di luar dugaan, reaksi paman Danny membuat Danny bertanya-tanya, lelaki parauh baya tersebut seakan tidak rela bila perusahaannya jatuh ke tangannya ataupun ayahnya. Mungkinkah … ah, tidak mungkin. Mana ada saudara membunuh saudaranya sendiri demi harta?
“Cucuku, jangan hiraukan pamanmu. Kakek percaya, kamu adalah pewaris yang tepat,” kata sang kakek setelah Paman Ibra pergi dari rumah lantaran kesal dengan keputusan sang kakek.“Aku jadi merasa tidak enak, Kek.”“Tidak, Dan. Sudah lama Kakek memikirkan hal ini. Kakek mencari ayahmu karena Kakek yakin bahwa dialah pewaris yang terbaik bagi keturunan Kakek, tetapi takdir berkata lain. Ayahmu sudah tiada dan Kakek sangat berharap kamu adalah orang yang tepat memegang semua kekayaan kakek,” tutur Kakek Willam.Danny hanya bisa terdiam, ia pun dibawa ke kamarnya yang sangat luas dan megah. Sebenarnya, itu bukan kamarnya, melainkan kamar mendiang almarhum ayahnya yang kini sudah tiada. Sungguh, Danny tidak menyangka ayahnya bisa hidup sederhana bersama sang ibu, padahal beliau sebenarnya orang yang sangat berada.Danny membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur yang 5kali lebih empuk dari kasur di rumahnya. Pandangannya menerawang jauh ke awang-awang. Membayangkan kebahagiaan saat bersama kedua orangtuanya, juga kondisi di rumah ini yang terasa misterius.Keajaiban demi keajaiban datang menghampirinya, padahal baru kemarin-kemarin ia ditimpa sial oleh sebuah takdir.Pertama, ia diselingkuhi oleh kekasih yang sangat ia cintai, dan di hari yang sama ia melihat jasad kedua orangtuanya di depan mata dengan kondisi mengerikan. Ya Tuhan, apa maksud takdir hidupnya ini? mungkinkah dengan keajaiban ini ia bisa melakukan dendam kepada mereka yang sering menghina dan melempar luka di hatinya?Keesokan harinya …Ia benar-benar diajak ke perusahaan oleh sang kakek tanpa pamannya yang entah pergi kemana, semenjak kejadian kemarin, lelaki paruh baya tersebut tidak menampakan batang hidungnya, atau mungkin beliau sudah ada di sana.“Apa semalam Ibra pulang, Gard?” tanya sang kakek kepada asisten sekaligus supir mobil yang mereka tumpangi.“Tidak, Tuan besar!” jawab Egard tegas.“Apa dia ke tempat biasa?”“Iya.”Danny tidak tahu tempat biasa apa yang dimaksud sang kakek dan asistennya itu, mau bertanya pun ia segan karena masih merasa menjadi orang asing.“Dasar tidak berguna, kerjaannya mabuk-mabukan dan main perempuan, tapi minta menjadi pewaris!” umpat sang kakek sedikit membuka rasa penasaran yang sejak tadi menggema dalam pikirannya.Mungkin itu alasannya kenapa sang kakek tidak mewariskan kekayaannya kepada sang paman, meski begitu Danny tetap diam, biar waktu yang akan menjawabnya.Sesampainya di sana, ia dan sang kakek turun setelah pintu mobil dibuka oleh Egard. Lelaki berbadan tegap itu dengan sigap mengawal sang kakek dan dirinya menuju aula kantor di mana sudah banyak orang di sana.Danny menghirup udara bebas dengan rakus, jantungnya mendadak berdegup kencang. Ia tidak menyangka sama sekali takdir baik menghampirinya.“Mohon perhatiannya!” seru sang kakek setelah berada di tengah-tengah para karyawan kantor. Sang kakek berdiri di sebuah panggung bulat kecil, hanya cukup untuk satu orang.“Saya akan memperkenalkan director baru perusahaan ini kepada kalian, saya harap kalian bisa menghormatinya seperti kalian menghormati saya. Karena orang yang akan saya tunjuk ini kelak akan menjadi pemimpin seluruh perusahaan saya,” tutur sang kakek membuat hati Danny bergetar. Apa dirinya ini sedang bermimpi?“Dia adalah cucuku yang sudah lama tidak bertemu,” sambung sang kakek dengan suara sedikit serak, sepertinya beliau ingin menangis.Sang kakek menatap kearahnya lalu menganggukan kepala kepadanya, mengisyaratkan dirinya agar segera naik ke podium, sedangkan beliau segera turun mempersilahkan dirinya naik.Jujur, ia sangat gugup dan gemetar, sebab ini seperti mimpi baginya, meski begitu ia tetap berusaha setenang mungkin dan menyampaikan tutur kata yang baik kepada karyawan sang kakek.Pertama-tama Danny memperkenalkan diri dan perasaannya bisa ditunjuk sebagai kuasa di perusahaan sang kakek.“Mohon kerjasamanya!” Danny menunduk memberikan hormat kepada mereka semua setelah selesai berbicara.Suara riuh tepuk tangan pun menggema di aula tersebut, bibir sang kakek juga sejak tadi tersenyum tipis mendengar setiap penuturannya.“Dia persis sekali seperti Fandy,” bisiknya kepada asisten pribadinya.“Iya, Tuan besar.” Elgard mengiyakan pernyataan sang kakek.Setelah selesai diperkenalkan di depan umum, Danny diantar ke ruangannya yang berada di lantai paling atas oleh sang kakek dan sang asisten.“Sekarang, ini ruanganmu, cucuku,” ujarnya.“Terima kasih, Kek.”Sang kakek menepuk pundaknya berkali-kali, menerima rasa terima kasihnya dengan senyum lebar.“Sekarang, Kakek sudah siap pensiun, Kakek sudah tenang karena sudah ada kamu sebagai penerus Kakek,” katanya sembari duduk di sofa hitam mewah.“Tapi, Kek. Bagaimana dengan Paman Ibra?” Ragu-ragu ia bertanya.Sang kakek menghela nafas panjang, wajahnya mendadak berubah pias, seakan ada beban tersendiri jika membahasa Paman Ibra.“Kakek tidak percaya dengannya atau anaknya, Dan. Sebab mereka tidak bisa menjadi pemimpin yang Kakek harapkan. Kerjaan mereka hanya mabuk-mabukan dan main perempuan. Kakek tidak suka itu!” keluhnya penuh penyesalan.Danny mengangguk, ternyata benar dugaannya kalau itu alasan sang kakek tidak mau mewariskan kekayaannya kepada mereka berdua. Memang benar, kalau tidak semua anak akan menjadi penenang hati orangtuanya, pasti akan ada anak yang pembangkang.“Kek,” panggil Danny teringat sesuatu.“Ada apa, cucuku?”“Apa aku boleh menyelesaikan pekerjaanku terlebih dahulu?”“Apa maksudmu?”“Aku belum risign dari pekerjaanku kemarin, Kek. Aku ingin ke sana dan memberikan surat pengunduran diri.”“Oh, tentu saja. Biar diantar Egar ya.”“Tidak perlu, Kek. Aku bisa ke sana sendiri.”“Janganlah, mulai sekarang kamu kemana-mana harus sama Egard. Kakek tidak mau terjadi sesuatu denganmu, apalagi kasus pembunuhan orangtuamu belum terungkap, Kakek takut kamu juga menjadi incaran pembunuhan tersebut,” terang sang kakek.Danny diam lalu mengangguk, mau tidak mau ia menuruti permintaan sang kakek. Ia pergi bersama Egard yang mulai detik ini akan menjadi asisten pribadinya.Di dalam mobil, ia melepas jas hitamnya, menyisakan kemeja putih. Ia tidak betah berlama-lama memakai jas tebal itu.Tidak lama kemudian, mobil yang Danny dan Egard tumpangi sampai di sebuah café.“Tuan bekerja di sini?” tanya Egard sebelum turun.“Hem, kenapa?”“Tidak apa-apa, Tuan.”Saat Danny akan bertanya kembali, tiba-tiba pandangannya tertuju ke sebuah arah dimana seorang perempuan sedang marah-marah kepada seorang lelaki dan perempuan. Sepertinya terjadi sebuah pertikaian akibat perselingkuhan. Tunggu, ia seperti mengenal wajah wanita yang sedang menjadi sasaran amarah.“Shit!” Danny segera turun lalu menghampiri pertikaian tersebut.“Dasar wanita murahan, apa kamu tidak bisa mencari lelaki lain selain lelaki orang, ha!” pekik seorang perempuan cantic beramput hitam panjang yang dikuncir kuda.“Hello, ngaca dong jadi orang! Kamu itu wanita yang dicampakan! Dia sama sekali tidak mencintaimu, paham?”“Ha?” Wanita tersebut menganga.“Kalau gak percaya tanya aja sama kekasihmu, dia pilih aku atau wanita udik sepertimu?” tantang wanita yang menjadi pelakor.Sang wanita yang marah-marah tadi langsung mengarahkan kedua netranya kearah lelaki yang masih santai dengan penggrebekan itu.“Maaf, Meysa. Aku sudah bosan denganmu,” ucap lelaki itu dengan sangat enteng tanpa memikirkan perasaan wanita yang bernama Meysa.“Dasar brengsek!” geram Meysa seraya mengangkat satu tangannya, ingin menampar lelaki yang sudah melukainya, namun sayang tangan Meysa ditahan oleh wanita yang berada di samping lelaki tersebut.“Mulai sekarang, kamu tidak bisa lagi menyentuhnya!” Tangan Mesya pun dihempas seraya didorong dengan sangat kuat hingga tubuhnya terhuyung ke belakang.Greppppp!Tubuh Meysa ditangkap oleh tangan kekar milik Danny yang saat itu sengaja menghampiri pertikaian tersebut, karena ia merasa kenal dengan wanita pelakor itu, dan ternyata benar bahwa wanita itu adalah mantan kekasihnya yang kemarin baru saja meminta putus darinya lantaran sudah memiliki kekasih yang lebih mapan darinya.“Mas Danny?” sapa wanita pelakor yang merebut kekasih Meysa.Danny segera memperbaiki posisi tubuh Mesya agar berdiri tegap kembali.“Siapa dia, Sayang?” tanya lelaki yang belum diketahui identitasnya oleh Danny.“Itu, Sayang. Pacarku yang kemarin aku putusin.”“Oh, jadi ini mantan pacarmu yang pelayan café itu?” Tatapan lelaki tersebut mengejek Danny.“Loh, Egard? Kamu ngapain di sini?” Tiba-tiba lelaki bernama Eric melihat Egard dan bertanya kepadanya.Danny pun akhirnya tahu kalau lelaki di depannya ini anak dari Paman Ibra. Memang tidak salah penilaian sang kakek. Eric suka bermain perempuan.“Saya tengah mengantar cucu Tuan besar.”“Apa maksudmu? Bukannya cucunya hanya aku saja?”“Tidak, Tuan. Masih ada satu cucu Tuan besar yang akan menjadi pewaris utama kekayaan beliau.”“Apa! Kamu jangan bercanda, Egard!”****“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Danny kepada Meysa untuk mengalih pertanyaan Eric terhadap Egard. “Hem, terima kasih.” Meysa pun memperbaiki posisi tubuhnya. “Hay, Cintya. Apa kabar?” sapa Danny sambil tersenyum paksa. “Baik, sangat baik. Kamu lihat, apalagi aku sekarang sudah memiliki kekasih yang bisa bahagiain aku. Tidak seperti kamu, gak bisa bahagiain aku!” sindir Cintya. Danny menghela nafas panjang, ingin sekali memberitahu kepada wanita itu bahwa dirinya cucu orang terkaya di negeri ini. “Kalau begitu selamat. Semoga kalian terus bahagia sampai akhir,” pesan Danny tanpa beban sama sekali. Entah hatinya sudah tertutup atau memang dirinya yang saat ini tidak peduli akan cinta, yang ia pedulikan mencari tahu pembunuh kedua orangtuanya. Itu tujuan Danny sekarang. “Tentu saja.” Cintya pun melengos, berganti menatap Eric dengan senyuman manis. Tangannya pun tidak lupa merangkul mesra lengan kekasihnya. “Dasar pelakor!” umpat Meysa melihat kemesraan Cintya dan Eric. Cintya
Danny Laksana keluar dari mobil lalu masuk ke rumah sang kakek. Ia tidak peduli dengan tatapan kebencian Eric kepadanya. Toh, bukan dia yang mau berada di posisi ini, siapa suruh tidak bisa mengambil hati sang kakek, malah asyik bermain perempuan. “Dasar belagu, awas kamu!” umpat Eric sembari mengepalkan tangan kirinya dan mengarahkannya ke Danny yang sedang melangkah. “Tuan,” tegur Elgard. “Sekarang, kamu juga berada di posisinya?” “Bukan seperti itu, Tuan. Tetapi, sekarang dia juga cucu Tuan Besar. Saya harus menghormatinya.” “Cih!” kesal Eric lalu masuk ke mobil. Ia harus menemui papanya untuk membicarakan hal ini. Kenapa beliau tidak memberitahunya tentang Danny? “Papa!” teriak Eric saat sampai rumah. “Apa teriak-teriak begitu? Papa ini gak tuli, Ric!” “Kenapa Papa gak bilang soal Danny sama Eric? Dan kenapa pula Papa biarkan dia mendapatkan posisi kepemimpinan di perusahaan kakek?” terang Eric panjang lebar kepada sang papa. Lelaki berumur 67tahun itu duduk dengan wajah
Danny menemukan sebuah surat di bawah tumpukan baju almarhum ayahnya. Ia penasaran surat apa itu. Ia duduk di tepi ranjang milik kedua orang tuanya. Kasur yang tidak empuk, namun mampu menciptakan moment romantis keduanya. Sehingga pernikahan kedua orangtua Danny mampu bertahan sampai maut memisahkan mereka. Danny anakku.... Ada rahasia besar yang harus ayah dan ibu katakan kepadamu, namun kami tidak tahu waktu yang pas memberitahumu. Ayah dan Ibu sengaja menulis surat ini untuk memberitahumu bahwa kamu adalah cucu Tuan Willam, beliau ada orangtua kandung ayah. Kelak, jika ayah sudah tiada, temuilah beliau dan sampaikan permintaan maaf ayah pada beliau sebab ayah sudah tidak diperbolehkan lagi menginjakkan kakinya di sana. Ada alasan kenapa hal ini terjadi, nak. Sejak dulu hubungan Ayah dan Ibu tidak direstui oleh kedua orang Ayah, itu sebabnya ayah pergi menjauh dan memilih menikahi Ibumu. Nak, Ayah dan Ibu memberitahumu karena kami hanya ingin kamu tahu bahwa sebenarnya kamu
Karena ponsel sang ayah mati, Danny mengecesnya di rumah sang kakek saat pulang ke sana. Meninggalkan Cintya dan tidak memperdulikan keinginan wanita itu untuk kembali. Danny bukan tempat singgah dan pergi begitu saja. Apalagi alasan Cintya kembali kepadanya bukan atas dasar cinta, melainkan karena dirinya sekarang orang kaya. Hari berikutnya, Danny dan Egard mulai masuk kantor secara rutin. Tugasnya dari pelayan berubah menjadi pemimpin perusahaan. Sebuah takdir yang tidak pernah ia sangka-sangka. Sedangkan Eric, menjadi wakil director di perusahaan tersebut. Lelaki itu sekarang juga mulai berangkat rutin. Bersaing dengan Danny karena memang itulah niat Eric. Saat mereka berdua berpapasan, pandangan mereka bertemu, Eric memancarkan pandangan kebencian, sedangkan Danny menatap Eric dengan tatapan malas. “Dengar, aku tidak akan pernah terima takdir ini,” kata Eric penuh penekanan. “Aku tahu,” balas Danny. “Perusahaan ini hanya milikku dan papa.” “Yang memutuskan adalah kakek, bu
Setelah pertemuannya dengan Meysa, Danny kembali ke rumah. Ia sudah membuat kesepakatan dengan wanita tersebut – mantan kekasih Eric. Lelaki yang menjadi selingkuhan Cintya. Kemalangan yang menimpa hidupnya membuat hati Danny menjadi keras, ia tidak mau jatuh ke dalam penderitaan yang sama pula. Tujuan hidupnya sekarang membuat Cintya menyesal, juga mencari tahu pembunuh kedua orangtuanya. Danny teringat dengan Paman Ibra. Apakah beliau sudah mencari tahu tentang pembunuhan kedua orang tuanya? Kenapa sampai sekarang beliau tidak memberinya kabar? Mengingat hal itu, Danny segera mengajak Paman Ibra untuk bertemu. Membahas pencarian pembunuhan tersebut. Keesokan harinya, Danny berangkat ke kantor. Sebelum berangkat ke kantor, lelaki itu menuju sebuah kontrakan dimana Meysa berada. Sesampainya di sana, ia berniat menghubungi Meysa, namun tidak lama kemudian wanita yang ia tunggu keluar dari kontrakan dengan pakaian rapi. “Tepat waktu juga kamu,” puji Danny, segera menggeser tub
Danny memberikan bukti tersebut, tatapannya focus ke depan, memperhatikan raut wajah sang paman yang nampak antusias dengan bukti yang ia berikan. Danny ingin melihat reaksi beliau. Wajah Tuan Ibra nampak begitu pucat saat rekaman penganiayaan orangtua Danny diputar, obrolan antara preman dan orangtua Danny membuat tubuh Tuan Ibra gemetar. Beliau melirik Danny yang saat ini memandang dengan tatapan nyalang. “Kenapa kamu menatapku seperti itu?” Tuan Ibra bertanya heran. “Apa ini semua perbuatan Paman?” Danny masih berusaha sopan dan bertutur baik. “Apa maksudmu? Jangan sembarangan menuduh ya.” “Bukankah saudara ayah dan ibu hanya Paman?” Danny memojokkan. “Iya, tapi bukan berarti itu aku, bodoh! Mana mungkin aku melakukan hal sekeji ini kepada saudara kandungku sendiri?” “Benarkah?” Danny mengangkat satu alisnya seraya menyender ke kursi, kedua tangannya dilipat di depan dada. “Bagaimana kalau kita tunjukan rekaman ini kepada kakek?” tantang Danny, sengaja mengetes sang paman.
Di sebuah ruangan tertutup, seorang wanita dengana rambut acak-acakan diikat di sebuah kursi, mulutnya dibekap menggunakan kain cokelat, wajahnya tengah dipenuhi air mata. Tidak menyangka mantan kekasih dan Tuan Ibra tega menculiknya, entah alasan apa mereka menculiknya, Meysa tidak mengerti, yang ia tahu mereka menyuruh Danny untuk datang menyelamatkannya.“Emmmm,” Meysa terus bergumam, memohon kepada Eric dan Tuan Ibra untuk melepaskannya.“Tenanglah, Mey. Kamu akan segera kami lepaskan kalau lelaki itu sudah membuat kesepakatan dengan kita.”‘Brengsek! Kesepakatan apa yang akan mereka lakukan?’ tanya Meysa dalam hati.Bagaimana Meysa bisa pernah mencintai lelaki seperti Eric yang ternyata sekejam ini kepadanya? Meysa menyesal pernah memberikan hatinya untuk lelaki itu. Sekarang, ia tengah menunggu nasibnya di tangan Danny, mungkinkah lelaki itu mau datang menyelamatkannya?Jika bukan Danny, tidak ada orang yang mampu menolongnya. Ia tidak memiliki siapa-siapa di dunia ini. dia
Meysa sangat ketakutan, ia terus bergumam, menatap Danny dengan wajah memelas. Danny yang melihat keadaan Meysa pun kasihan. Bisa-bisanya Eric ingkar janji. Mereka pikir, hanya mereka saja yang bisa berbuat seenaknya. Danny beringsut ke depan, meraih kerah meja Eric, menatap lelaki itu dengan tajam. “Brengsek! Berani sekali kalian ingkar janji!” umpat Danny. “Jangan macam-macam, atau aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri!” ancam Danny. Eric tersenyum miring, tidak takut sama sekali dengan ancaman Danny. Beberapa detik kemudian, pasukan Tuan Ibra dan Eric masuk, menodongkan senjata api di kepala Danny dan juga Egard membuat mereka terkejut. Bibir Eric mengembang penuh kemenangan. “Coba saja kalau berani? Yang ada kepalamu lebih dulu hancur,” cicitnya. Danny memandang Eric dengan tatapan tenang. Ia juga tidak takut sama sekali dengan ancaman Eric. Dalam hitungan detik, banyak lelaki berjas hitam masuk menyerbu pasukan Tuan Ibra dan Eric. Kedua bola mata mereka semua ter