“Ibra!” teriak sang kakek kepada anak sulungnya.
Seorang lelaki paruh baya pun sedikit berlari menghadap sang kakek.“Ada apa, Pa?” Lelaki bernama Tuan Ibra itu pun bertanya, namun sejenak melirik kearah Danny yang berada di belakang Tuan Willam sembari menggendong tas dengan satu tangannya.“Dia siapa, Pa?” tanya Tuan Ibra, sorot matanya sedikit tajam, mungkin karena penasaran.“Dia Danny. Anak Fandy.”“Maksud Papa?” Tuan Ibra sedikit syok.“Itu artinya dia cucuku, bodoh!” sentak Tuan Willam kepada anak sulungnya.Tuan Ibra terlihat menelan salivanya, entah kenapa wajahnya mendadak pucat pasi mendengar jawaban sang kakek.“La – lu Fandynya mana, Pa?” Tuan Ibra gugup.Sang kakek menarik nafas panjang, kesedihan yang sempat hilang mendadak kembali hadir mendengar pertanyaan Tuan Ibra. Danny menyentuh pundak sang kakek guna menenangkannya, padahal ialah yang seharusnya mendapatkan hiburan sebab ia yang selama ini hidup bersama mereka. Akan tetapi, Danny sadar apa yang dirasakan oleh kakeknya melebihi apa yang ia rasakan, meski mereka tidak pernah berjumpa semenjak sang ayah memilih wanita pilihannya sendiri.“Ayah sudah meninggal, Tuan.” Danny yang menjawab, mewakili jawaban sang kakek.“Panggil dia paman, Dan. Dia pamanmu,” ujar sang kakek dengan suara lunak.“Baik, Kek.” Danny mengangguk mengerti.“Apa!” Tuan Ibra nampak terkejut mendengar jawaban Danny.“Itu sebabnya Papa panggil kamu, Ibra. Papa ingin bicara denganmu.” Sang kakek berkata seraya memimpin Danny dan Tuan Ibra ke tempat duduk.Mereka bertiga lalu duduk di sebuah ruangan yang sangat sepi, hanya mereka bertiga di sana. Rumah sang kakek memang nampak besar bahkan elegan, namun suasana di rumah tersebut sangat sepi, tidak seperti di rumah Danny yang kecil, namun terasa ramai jika mereka berkumpul. Kehangatan selalu terasa di rumahnya, namun entah apa yang Danny rasakan, rasanya rumah ini tidak membawa kedamaian sama sekali.“A – pa yang ingin Papa bicarakan?” Entah kenapa Tuan Ibra nampak gugup.“Papa ingin kamu mencari tahu penyebab kematian Fandy dan istrinya, kata Danny mereka dibunuh oleh seseorang,” pinta sang kakek serius.“Apa? Dibunuh? Bagaimana mungkin?” Tuan Ibra tidak percaya.Sang kakek menatap Danny, mengisyaratkan lelaki itu untuk menceritakan kronologi dari kejadian pembunuhan tersebut.Danny pun memberitahu apa yang ia lihat kepada Tuan Ibra, suasana semakin tegang ketika Danny membeberkan kondisi ayah dan ibunya yang cukup mengenaskan. Sampai-sampai, Tuan Willam mengepalkan kedua tangannya, wajahnya memerah menahan amarah dan dendam.Apalagi saat Tuan Willam mendengar keadaan ibu Danny yang keadaannya sangat memprihatinkan, sudahlah diperkosa, dibunuh pula. Sungguh kejam orang yang melakukan hal keji tersebut, bagi Danny dan Tuan Willam, orang tersebut tidak memiliki hati nurani, sehingga tega membunuh orang tanpa sebab.“Ya Tuhan, bagaimana bisa kedua orangtuamu meninggal mengenaskan seperti itu, Dan? Apa orangtuamu mempunyai musuh?” Tuan Ibra menyimpulkan.“Tidak, Paman. Kedua orangtuaku sangat baik dan selama ini mereka tidak memiliki musuh sama sekali,” jawab Danny sangat yakin.“Apa jangan-jangan itu perampokan?” tebak Tuan Ibra.“Tidak, Paman. Itu pembunuhan, di rumahku tidak ada barang berharga apapun yang bisa diambil oleh perampok.” Danny menolak dugaan tersebut.“Kamu yakin? Bisa saja perampok itu ingin merampok sertifikat rumah kedua orangtuamu kan?” kekeh Tuan Ibra.Danny menggeleng, ia sudah mengecek semua barang-barang berharga di rumahnya dan memang tidak ada yang hilang sama sekali, sehingga Danny menyimpulkan bahwa mereka dibuhuh oleh seseorang.“Ibra, Papa juga sangat yakin kalau mereka dibunuh. Papa ingin segera menemukan pembunuh itu dan menghabisinya!” tegas Tuan Willam penuh dendam.“Kita gak bisa gegabah begitu dong, Pa. Memangnya ada buktinya kalau mereka dibunuh seseorang?” Tuan Ibra memiliki pikiran lain.Tuan Willam menoleh kearah Danny, apa yang dikatakan anak sulungnya ada benarnya juga, akan tetapi ia juga tidak bisa mengesampingkan cerita Danny.“Apa ceritaku tidak cukup dijadikan saksi, Paman?” Danny menatap pamannya dengan tatapan tajam. Ia tidak suka dengan dugaan beliau.“Bukan begitu, Dan. Kita tidak bisa menuduh seseorang tanpa bukti bukan?”“Saya tidak sedang menuduh seseorang, Paman. Tetapi, saya sedang berusaha mencari pelaku penganiayaan orangtuaku sampai mereka berdua meninggal. Ini sudah keterlaluan, Paman!” tegas Danny dengan sorot mata yang tajam.Tuan Ibra menelan salivanya, mendadak lidahnya terasa kelu melihat raut wajah Danny yang nampak menjengkelkan di matanya.“Ibra, Papa memanggilmu bukan untuk berdebat, tetapi untuk mencari tahu pelaku pembunuhan Fandy, Papa tidak rela Fandy meninggal dengan tragis seperti itu!” tekan Tuan Willam.“Kalau kamu tidak mau, biar Egard aja yang melakukannya!” sambung Tuan Willam, emosinya sudah sampai di ubun-ubun.“Jang – an, Pa. biar saya saja yang melakukannya!” Tuan Ibra langsung menolak.“Lakukan itu sekarang kalau begitu!” tegas sang kakek.“Baik, Pa.” Tuan Ibra pun kini pasrah, beliau menunduk hormat kepada ayahnya.“Ya sudah, kamu boleh pergi sekarang. Papa ingin mengajak Danny berkeliling rumah ini, mulai sekarang dia akan tinggal di sini,” ujar sang kakek diangguki oleh Tuan Ibra.“Apa perlu asisten membersihkan kamar tamu, Pa?” tanya Tuan Ibra.“Tidak perlu, dia akan menempati kamar Fandy,” jawabnya.“Oh … baiklah.”Danny mendengar nada kecewa dari jawaban Tuan Ibra, entah perasaannya atau tidak, yang jelas nada tersebut mengganggu relung hati Danny.Tuan Ibra beranjak berdiri, ingin pergi dari sana, namun sang kakek menghentikan langkahnya kembali.“Tunggu, Ibra.”“Ada apa, Pa?” Tuan Ibra menoleh dan bertanya.“Nanti malam, kumpulkan semua pegawai, Papa ingin mereka mengenal Danny dan berlaku hormat kepadanya,” pinta sang kakek membuat Danny cukup terkejut. Ia tidak menyangka akan diperlakukan seperti raja di rumah ini.“Ba – ik, Pa. Nanti Ibra akan memberitahu mereka semua.”Baru saja Tuan Ibra akan beranjak, lagi-lagi sang kakek menghentikan langkahnya dan kali ini membuat lelaki paruh baya tersebut tercengang.“Pegawai kantor juga harus tahu, besok kumpulkan mereka di aula kantor. Sisanya biar Papa yang urus,” kata sang kakek tanpa ragu.“Maksud Papa apa? Papa mau mengajak Danny bekerja di perusahaan kita?” Raut wajah Tuan Ibra mendadak kecewa.“Hem, Papa akan tunjuk dia sebagai pemimpin di sana!”“Ha!” Tuan Ibra nampak terkejut.Bukan hanya Tuan Ibra, Danny juga merasakan hal yang sama, menurutnya sang kakek sudah berlebihan, apalagi mereka baru saja bertemu setelah 30 tahun tidak berjumpa.“Kenapa?” Tuan Willam menatap Tuan Ibra dengan heran.“Papa jangan berlebihan, Pa. Lalu selama ini Papa anggap aku dan Eric apa? Kenapa Papa memberikan kekuasaan sama dia begitu saja?”“Hak Papa memberikan kekuasaan kepada siapa saja, Ibra!” Tuan Willam pun berdiri. Menatap Tuan Ibra dengan tajam.“Lalu Papa anggap aku dan Eric apa, Pa? Seharusnya aku yang mendapatkan posisi itu karena aku anak sulung dan Fandy juga sudah meninggal, tapi kenapa dia!” Tuan Ibra pun menunjuk Danny dengan sorot mata tajam.***Sungguh di luar dugaan, reaksi paman Danny membuat Danny bertanya-tanya, lelaki parauh baya tersebut seakan tidak rela bila perusahaannya jatuh ke tangannya ataupun ayahnya. Mungkinkah … ah, tidak mungkin. Mana ada saudara membunuh saudaranya sendiri demi harta?“Cucuku, jangan hiraukan pamanmu. Kakek percaya, kamu adalah pewaris yang tepat,” kata sang kakek setelah Paman Ibra pergi dari rumah lantaran kesal dengan keputusan sang kakek.“Aku jadi merasa tidak enak, Kek.”“Tidak, Dan. Sudah lama Kakek memikirkan hal ini. Kakek mencari ayahmu karena Kakek yakin bahwa dialah pewaris yang terbaik bagi keturunan Kakek, tetapi takdir berkata lain. Ayahmu sudah tiada dan Kakek sangat berharap kamu adalah orang yang tepat memegang semua kekayaan kakek,” tutur Kakek Willam.Danny hanya bisa terdiam, ia pun dibawa ke kamarnya yang sangat luas dan megah. Sebenarnya, itu bukan kamarnya, melainkan kamar mendiang almarhum ayahnya yang kini sudah tiada. Sungguh, Danny tidak menyangka ayahnya bis
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Danny kepada Meysa untuk mengalih pertanyaan Eric terhadap Egard. “Hem, terima kasih.” Meysa pun memperbaiki posisi tubuhnya. “Hay, Cintya. Apa kabar?” sapa Danny sambil tersenyum paksa. “Baik, sangat baik. Kamu lihat, apalagi aku sekarang sudah memiliki kekasih yang bisa bahagiain aku. Tidak seperti kamu, gak bisa bahagiain aku!” sindir Cintya. Danny menghela nafas panjang, ingin sekali memberitahu kepada wanita itu bahwa dirinya cucu orang terkaya di negeri ini. “Kalau begitu selamat. Semoga kalian terus bahagia sampai akhir,” pesan Danny tanpa beban sama sekali. Entah hatinya sudah tertutup atau memang dirinya yang saat ini tidak peduli akan cinta, yang ia pedulikan mencari tahu pembunuh kedua orangtuanya. Itu tujuan Danny sekarang. “Tentu saja.” Cintya pun melengos, berganti menatap Eric dengan senyuman manis. Tangannya pun tidak lupa merangkul mesra lengan kekasihnya. “Dasar pelakor!” umpat Meysa melihat kemesraan Cintya dan Eric. Cintya
Danny Laksana keluar dari mobil lalu masuk ke rumah sang kakek. Ia tidak peduli dengan tatapan kebencian Eric kepadanya. Toh, bukan dia yang mau berada di posisi ini, siapa suruh tidak bisa mengambil hati sang kakek, malah asyik bermain perempuan. “Dasar belagu, awas kamu!” umpat Eric sembari mengepalkan tangan kirinya dan mengarahkannya ke Danny yang sedang melangkah. “Tuan,” tegur Elgard. “Sekarang, kamu juga berada di posisinya?” “Bukan seperti itu, Tuan. Tetapi, sekarang dia juga cucu Tuan Besar. Saya harus menghormatinya.” “Cih!” kesal Eric lalu masuk ke mobil. Ia harus menemui papanya untuk membicarakan hal ini. Kenapa beliau tidak memberitahunya tentang Danny? “Papa!” teriak Eric saat sampai rumah. “Apa teriak-teriak begitu? Papa ini gak tuli, Ric!” “Kenapa Papa gak bilang soal Danny sama Eric? Dan kenapa pula Papa biarkan dia mendapatkan posisi kepemimpinan di perusahaan kakek?” terang Eric panjang lebar kepada sang papa. Lelaki berumur 67tahun itu duduk dengan wajah
Danny menemukan sebuah surat di bawah tumpukan baju almarhum ayahnya. Ia penasaran surat apa itu. Ia duduk di tepi ranjang milik kedua orang tuanya. Kasur yang tidak empuk, namun mampu menciptakan moment romantis keduanya. Sehingga pernikahan kedua orangtua Danny mampu bertahan sampai maut memisahkan mereka. Danny anakku.... Ada rahasia besar yang harus ayah dan ibu katakan kepadamu, namun kami tidak tahu waktu yang pas memberitahumu. Ayah dan Ibu sengaja menulis surat ini untuk memberitahumu bahwa kamu adalah cucu Tuan Willam, beliau ada orangtua kandung ayah. Kelak, jika ayah sudah tiada, temuilah beliau dan sampaikan permintaan maaf ayah pada beliau sebab ayah sudah tidak diperbolehkan lagi menginjakkan kakinya di sana. Ada alasan kenapa hal ini terjadi, nak. Sejak dulu hubungan Ayah dan Ibu tidak direstui oleh kedua orang Ayah, itu sebabnya ayah pergi menjauh dan memilih menikahi Ibumu. Nak, Ayah dan Ibu memberitahumu karena kami hanya ingin kamu tahu bahwa sebenarnya kamu
Karena ponsel sang ayah mati, Danny mengecesnya di rumah sang kakek saat pulang ke sana. Meninggalkan Cintya dan tidak memperdulikan keinginan wanita itu untuk kembali. Danny bukan tempat singgah dan pergi begitu saja. Apalagi alasan Cintya kembali kepadanya bukan atas dasar cinta, melainkan karena dirinya sekarang orang kaya. Hari berikutnya, Danny dan Egard mulai masuk kantor secara rutin. Tugasnya dari pelayan berubah menjadi pemimpin perusahaan. Sebuah takdir yang tidak pernah ia sangka-sangka. Sedangkan Eric, menjadi wakil director di perusahaan tersebut. Lelaki itu sekarang juga mulai berangkat rutin. Bersaing dengan Danny karena memang itulah niat Eric. Saat mereka berdua berpapasan, pandangan mereka bertemu, Eric memancarkan pandangan kebencian, sedangkan Danny menatap Eric dengan tatapan malas. “Dengar, aku tidak akan pernah terima takdir ini,” kata Eric penuh penekanan. “Aku tahu,” balas Danny. “Perusahaan ini hanya milikku dan papa.” “Yang memutuskan adalah kakek, bu
Setelah pertemuannya dengan Meysa, Danny kembali ke rumah. Ia sudah membuat kesepakatan dengan wanita tersebut – mantan kekasih Eric. Lelaki yang menjadi selingkuhan Cintya. Kemalangan yang menimpa hidupnya membuat hati Danny menjadi keras, ia tidak mau jatuh ke dalam penderitaan yang sama pula. Tujuan hidupnya sekarang membuat Cintya menyesal, juga mencari tahu pembunuh kedua orangtuanya. Danny teringat dengan Paman Ibra. Apakah beliau sudah mencari tahu tentang pembunuhan kedua orang tuanya? Kenapa sampai sekarang beliau tidak memberinya kabar? Mengingat hal itu, Danny segera mengajak Paman Ibra untuk bertemu. Membahas pencarian pembunuhan tersebut. Keesokan harinya, Danny berangkat ke kantor. Sebelum berangkat ke kantor, lelaki itu menuju sebuah kontrakan dimana Meysa berada. Sesampainya di sana, ia berniat menghubungi Meysa, namun tidak lama kemudian wanita yang ia tunggu keluar dari kontrakan dengan pakaian rapi. “Tepat waktu juga kamu,” puji Danny, segera menggeser tub
Danny memberikan bukti tersebut, tatapannya focus ke depan, memperhatikan raut wajah sang paman yang nampak antusias dengan bukti yang ia berikan. Danny ingin melihat reaksi beliau. Wajah Tuan Ibra nampak begitu pucat saat rekaman penganiayaan orangtua Danny diputar, obrolan antara preman dan orangtua Danny membuat tubuh Tuan Ibra gemetar. Beliau melirik Danny yang saat ini memandang dengan tatapan nyalang. “Kenapa kamu menatapku seperti itu?” Tuan Ibra bertanya heran. “Apa ini semua perbuatan Paman?” Danny masih berusaha sopan dan bertutur baik. “Apa maksudmu? Jangan sembarangan menuduh ya.” “Bukankah saudara ayah dan ibu hanya Paman?” Danny memojokkan. “Iya, tapi bukan berarti itu aku, bodoh! Mana mungkin aku melakukan hal sekeji ini kepada saudara kandungku sendiri?” “Benarkah?” Danny mengangkat satu alisnya seraya menyender ke kursi, kedua tangannya dilipat di depan dada. “Bagaimana kalau kita tunjukan rekaman ini kepada kakek?” tantang Danny, sengaja mengetes sang paman.
Di sebuah ruangan tertutup, seorang wanita dengana rambut acak-acakan diikat di sebuah kursi, mulutnya dibekap menggunakan kain cokelat, wajahnya tengah dipenuhi air mata. Tidak menyangka mantan kekasih dan Tuan Ibra tega menculiknya, entah alasan apa mereka menculiknya, Meysa tidak mengerti, yang ia tahu mereka menyuruh Danny untuk datang menyelamatkannya.“Emmmm,” Meysa terus bergumam, memohon kepada Eric dan Tuan Ibra untuk melepaskannya.“Tenanglah, Mey. Kamu akan segera kami lepaskan kalau lelaki itu sudah membuat kesepakatan dengan kita.”‘Brengsek! Kesepakatan apa yang akan mereka lakukan?’ tanya Meysa dalam hati.Bagaimana Meysa bisa pernah mencintai lelaki seperti Eric yang ternyata sekejam ini kepadanya? Meysa menyesal pernah memberikan hatinya untuk lelaki itu. Sekarang, ia tengah menunggu nasibnya di tangan Danny, mungkinkah lelaki itu mau datang menyelamatkannya?Jika bukan Danny, tidak ada orang yang mampu menolongnya. Ia tidak memiliki siapa-siapa di dunia ini. dia