Evi tertegun lama, merasa takut untuk membuka pintu. Dia kembali ke kamar untuk melihat cermin. Meneliti kembali setiap inci leher nya. Takut sekali jika tanda merah itu masih terlihat. Namun suara bel yang dibunyikan dengan tidak sabar, membuat perempuan semampai dengan tinggi 155 cm harus tergesa membuka pintu.
“Ibu sudah pulang?” sambut Evi sedikit gugup, Di hadapannya berdiri wanita setengah baya berjilbab yang masih terlihat cantik. Dia mengernyit melihat seperti ada yang berbeda dengan penampilan Evi. Rambutnya tampak terurai tidak diikat, membuatnya terkesan tidak rapi. Evi mengabaikan itu, segera mengambil alih koper di tangan majikannya.
“Lama banget buka pintunya ?” sungut Vida sambil masuk melewati Evi.
“Maaf, Bu saya masih di kamar mandi tadi,” jawab Evi mencari alasan. Vida mengangguk melihat sekeliling ruangan yang belum selesai di pel oleh Evi. Melihat lagi penampilan Evi dengan risih. Biasanya perempuan muda yang telah memiliki anak itu tampak rapih. Rambut itu selalu diikat satu.
“Nggak risih kamu bekerja dengan rambut tidak diikat begitu?” protes nya.
“Iya, Bu tadi buru-buru jadi tidak ingat meletakkan karet rambut di mana, Bu,” kilah Evi mencari alasan, Vida mendengkus sambil melanjutkan langkah menuju ruang makan. Merasa alasan Evi cukup masuk akal. Terserahlah, pikirnya yang penting rumah beres.
“Bapak sudah berangkat ya?” tanyanya lagi sambil menandaskan segelas air putih. Evi meletakkan koper majikannya di dekat pintu kamar.
“Sudah Bu dari tadi,” jawab Evi
“Taruh saja di situ, Vi, nanti saya bawa masuk sekalian mau tidur dulu,” kata Vida. Dada Evi berdentum mendengarnya. Seketika dia ingat, dirinya belum sempat membereskan kamar itu. Seperti apakah rupanya? Evi memang terbiasa membereskan kamar itu hanya bila Vida di rumah. Dia tidak ingin dituduh macam-macam. Bagaimana kalau Vida mencurigai sesuatu.
Dada Evi makin berdebar saat Vida membuka pintu kamar dan masuk. Dia menunggu Vida murka karena kamar itu berantakan. Namun lima menit berlalu tanpa ada keributan, Vida bahkan seperti menghilang di dalam kamar.
Evi menghembuskan napas lega sambil melanjutkan kembali mengepel lantai. Namun baru saja Evi membilas lap pel dalam air, suara pintu kamar yang terbuka mengejutkan nya.
“Kamu membereskan kamar ini,Vi? Mengganti spreinya, kemaren spreinya bukan ini, lagi pula baru saya ganti?” tanyanya dengan bingung membuat Evi tergagap.
“Sa..saya nggak ganti, Bu. Saya belum masuk kamar Ibu,” jawab Evi. Vida makin mengernyit. Merasa ada yang janggal.
“Aneh, apa Bapak yang ganti? biasanya Bapak nggak pernah peduli sama sprei,” decaknya bingung. Menutup kembali pintu kamar. Evi tidak tahu harus lega atau malah makin was-was. Selama ini majikan lelakinya itu hanya tahu bekerja, tidak pernah tahu soal beberes rumah. Hanya saja Evi sedikit lega jejak kejadian semalam tidak terlihat dengan digantinya sprei itu.
Mengingat itu, Evi mengepalkan tangannya kembali dengan dada bergemuruh.
***
“Masih belum diikat rambutmu, Vi?” tanya Vida. Evi nyaris terlonjak mendengarnya. Hampir saja wadah berisi ikan yang akan digoreng jatuh, untung perempuan cantik itu sigap menahan.
“Ibu ngagetin,” keluhnya sambil meletakkan tangan di dada, merasakan jantung yang seakan ingin lepas.
“Berarti kamu melamun kalau sampe segitu kagetnya,” tanggap Vida tidak acuh.
“Rambutmu itu nanti jatuh ke makanan, masih belum ketemu karetnya?” lanjut Vida masih mempersoalkan rambut Evi. Evi tidak biasa seperti itu, dia selalu rapih saat mengerjakan pekerjaan dan memasak.
“Eh, iya Bu, sebentar, saya cari dulu,” pamit Evi meninggalkan ikan yang masih berada dalam penggorengan. Secara otomatis dia meminta bantuan Vida untuk menjaganya. Vida menghela napas. Sudah biasa memang, Evi kadang meminta bantuannya sebentar untuk menunggu masakan. Vida tidak pernah mempersoalkan.
Zaman sekarang sudah sulit mencari pembantu, hampir rata-rata memilih bekerja di luar kota atau di luar negeri. Evi bisa betah bekerja padanya selama tiga tahun sudah cukup membuatnya bersyukur. Apalagi Evi cekatan dan tidak neko-neko.
Sementara di kamarnya Evi merasa jantungnya berdetak tidak karuan saat mengikat rambutnya. Dia sungguh tidak percaya diri, takut kalau masih ada tanda merah yang tidak berhasil disamarkan. Tangan Evi mengepal mengingat itu. Dadanya seperti akan meledak, gara-gara itu segalanya sudah tidak sama lagi.
Evi keluar kamar dengan ragu. Rambut telah rapi diikat satu, dia juga sudah bolak-balik memeriksa leher sudah tidak ada lagi tandanya. Namun rasa takut masih memenuhi hati nya.
Evi menghembuskan napas panjang, memantapkan hati melangkah ke dapur, dirinya tidak mungkin meninggalkan penggorengan itu lama-lama dan mengandalkan majikannya. Bisa semakin marah nanti.
“Lama banget,Vi, besok beli karetnya selusin sekalian biar nggak repot,” gerutu Vida menyambut langkah Evi.
“Iya, Bu,” sahut Evi tidak enak hati,“ maaf.”
Alis Vida tampak bertaut melihat beberapa bagian di leher Evi seperti menggunakan krim. Warnanya berbeda, apa Evi sedang menutupi sesuatu? Karena tidak pernah menggunakan krim, Evi sepertinya fokus menggunakan pada daerah yang ingin ditutupi. Tidak meratakan nya.
“Kamu nggak aneh-aneh kan, Vi pas saya tinggal semalam?” selidiknya curiga, Evi tersentak.
“A … aneh-aneh gimana maksudnya, Bu?” Evi balik bertanya sekedar meredakan detak kencang di jantungnya, apa tanda merah itu ada yang terlihat.
“Siapa tahu kamu diam-diam membawa lelaki masuk ke rumah ini,” jawab Vida santai mencoba membaca reaksi Evi. Evi mengeleng kuat.
“Saya nggak mungkin berani, Bu,” sahut Evi dengan menunduk berusaha menghindari tatapan Vida ke arah lehernya. Vida menghembuskan napas. Dia sangat percaya perempuan muda di hadapannya tidak akan macam-macam.
Tiga tahun bersamanya selalu aman saja, dia tidak pernah macam-macam. Namun mengapa warna krim di lehernya membuat firasatnya tidak enak. Pikirannya jadi berasumsi macam-macam.
“Ya sudah, awas aja kalau kamu sampai berani dan bikin malu di sini!” ancam Vida sambil meninggalkan Evi, melihat jam yang hampir menunjukkan waktu zhuhur. Lama juga dirinya tertidur tadi. Perjalanan memang melelahkan sekali.
Mereka mengikuti pengajian yang mengundang kyai kondang pada salah satu masjid di kota.Ramai sekali yang datang dari berbagai penjuru. Untungnya di dekat masjid itu ada lapangan sehingga dapat menampung pengunjung sebanyak itu.
Pulang dari pengajian dia menginap di tempat anak-anaknya, di sebuah perumahan. Anak-anak memang tinggal di sana sejak sekolahnya memasuki jenjang menengah atas. Agar mudah untuk memilih universitas dibandingkan tempat mereka tinggal yang merupakan ibukota kabupaten.
Vida sudah biasa melakukan itu, walaupun kadang suaminya merasa keberatan. Toh dia pergi tidak macam-macam. Benar-benar pergi pengajian. Kadang kegiatan kumpul-kumpul bersama ibu-ibu komplek rumahnya. Sejak anak-anak mulai besar dan tidak lagi tinggal bersama mereka, Vida mencari banyak kegiatan agar dirinya tidak kesepian.
Evi melanjutkan kembali pekerjaannya sepeninggal Vida, hatinya dipenuhi rasa khawatir akan kecurigaan majikannya itu.
Besok aja, ya Pah, Mamah cape,” tolak Vida sambil menyingkirkan tangan Bima dari pinggangnya. Bima mencelos, dia berbalik dengan hela napas berat. Entah sudah berapa kali Vida menolaknya dengan berbagai alasan. Padahal dirinya masih butuh, walaupun usia sudah tidak muda lagi. Dua tahun lagi dirinya memang berusia 50 tahun sedang istrinya tiga tahun di bawahnya. Anak mereka sudah besar. Yang sulung sudah selesai sekolahnya, baru tiga bulan lalu di ambil sumpah profesi sebagai dokter dan sekarang bekerja di rumah sakit swasta. Yang kedua masih kuliah semester 4 dan si bungsu SMA.Apakah memang dengan usia dan kondisi seperti ini tidak memungkinkan lagi untuk mereka melakukan itu? Apa yang salah? Mengapa istrinya selalu menolak?“Kita sudah tua, lo, Pah. Anak-anak udah gede,” tolaknya, atau pada lain waktu,“Mamah besok mau berangkat pagi, Pah takut kesiangan.” Lagi dan lagi, Bima harus menelan kecewa karena penolakan itu. Dirinya juga sudah lupa kapan terakhir mereka bersama. Lelaki y
“Kenapa Vi?” desak Vida lagi. Evi menghapus pelan air mata yang jatuh ke pipi. “Ibu mengabari kalau Ardan sakit, Bu. Saya khawatir,” jawabnya sambil menunduk, takut kebohongannya akan terbaca oleh Vida. Dalam hati dia berdoa semoga Ardan baik-baik saja. Bima diam-diam menghembuskan napas lega mendengarnya.“Kapan mengabarinya?” tanya Vida lagi tidak puas, rencana keberangkatan nya terancam batal kalau begini. Kenapa sih anak Evi harus sakit sekarang.“Tadi pagi abis subuh, Bu,” jawab Evi singkat berharap Vida mau membatalkan kepergiannya dan mengizinkannya pulang.“Ya sudah berkemas lah, nanti kalau Ardan sudah sembuh, cepat balik lagi kesini ya.” Putus Vida akhirnya. Dirinya tidak tega kalau alasannya karena anak Evi sakit, apalagi Evi sampai menangis seperti itu.“Ya sudah kamu bareng saya aja, saya antar, mumpung masih pagi, ayo,” ajak Bima sambil menegakkan diri. Dia sudah selesai memakai kaos kaki. Evi menggeleng seketika tanpa mengalihkan pandang. Bencinya pada Bima telah teras
Evi menahan air mata yang mendesak ingin keluar setelah Bima pergi. Dia tidak boleh menangis. Jangan sampai orang-orang nanti berprasangka macam-macam karena melihatnya menangis. Tidak dia tidak boleh menangis.Sungguh Evi takut sekali kalau dirinya sampai hamil. Ardan sudah tidak memiliki ayah karena ayahnya selingkuh. Lalu bila dia sampai hamil mungkinkah dirinya bisa menuntut Bima untuk bertanggung jawab. Dia dulu butuh waktu setahun untuk hamil, mudah-mudahan sekarang juga dia tidak secepat itu hamil.Evi mendongak menahan air mata. memaksa dirinya melanjutkan langkah menuju pangkalan ojek. Mengabaikan dadanya yang terasa sesak dan air mata yang terus mendesak.“Loh, Vi pulang,” tegur seorang tukang ojek saat dirinya dekat, dia memberikan helm pada Evi. “Kamu dari nangis?” tanyanya sebelum Evi sempat memakai helm. Evi segera menutupinya dengan helm“Nggak Paklik tadi kelilipan debu,” kilahnya, dia mengenal tukang ojek itu sebagai tetangganya, hampir semua tukang oejk di sini mema
Tati menutup teleponnya yang sambungannya telah terputus. Matanya menatap tajam pada langkah Evi yang memasuki rumah. Berbagai tanya memenuhi benaknya.“Kenapa, Bu?” tanya Evi tidak mengerti dengan tatapan Tati. Perasaan tidak nyaman memenuhi hatinya. Apalagi melihat Tati sedang memegang hand pone miliknya.“Majikanmu barusan telepon, menanyakan kapan kembali ke sana, dan kamu beralasan Ardan sakit untuk pulang?” jelas Tati dengan nada kesal pada akhir kalimat. Dia sangat tidak menyukai alasan Evi yang mengatakan Ardan sakit.“Maafkan, Evi, Bu,”sesal Evi sambil menunduk. Dirinya juga menyesali alasan itu, tetapi hanya itu yang terpikir olehnya. Dia hanya ingin pulang menjauh dari Bima.“Ibu sudah mengtakan kamu akan kembali sore nanti.”Evi mengangkat wajah, menggeleng seketika mendengar keputusan itu, matanya berkaca.“Evi nggak mau kembali ke sana, Bu,” cicitnya menahan isak.“Iya tapi kenapa?” desak Tati kesal. Dadanya terasa bergemuruh, air mata Evi, jatuh mengalir di pipi. Dia m
Evi menunduk, tidak tahu harus memberi alasan apa. Bima pun tampak diam tanpa kata. Haruskah Evi mengatakan alasan itu, Bima telah menodainya, apakah Vida akan percaya? Andai dia bisa dengan mudah mengungkap kebenaran itu.“Saya sudah bilang kan, Vi saya tidak akan memberikan gaji mu bulan ini jika memutuskan pergi, apalagi tidak ada pengganti,” lanjut Vida, ini hanya gertakan meskipun tegas Vida tidak akan setega itu menahan hak orang lain. Dirinya hanya ingin Evi memikirkan nya lagi setidaknya sebelum dirinya mendapat pengganti Evi.Dirinya sungguh penasaran, ada apa sebenarnya di balik niat Evi untuk berhenti. Tadi melihat Evi kembali hatinya sudah lega berpikir prasangkanya terpatahkan. Namun Evi justru datang untuk meminta berhenti.Dia tahu Evi butuh pekerjaan ini untuk Ibu dan anaknya, mengapa berhenti? Terlalu mendesakkah alasan itu hingga membuatnya berhenti tiba-tiba.Lama waktu berlalu, Evi terlihat masih diam, dia bergerak gelisah. Vida menghela napas, alasan yang tunggu t
“Ma, Papa enggak ada hubungan apa-apa dengan Evi. Mama kenapa sih kok jadi menuduh Papa begitu?” elak Bima, hatinya gusar atas tuduhan itu. Dia tidak ada hubungan apa-apa, malam itu dia hanya … khilaf.“Oke mungkin pertanyaan Mama perlu diralat,” tanggap Vida mencoba tenang,” Apa yang terjadi pada Papa dan Evi saat Mama pergi? Apa yang Papa lakukan padanya? Sehingga Evi harus tutup mulut dan Papa bermaksud bertanggung jawab padanya?”Bima terpana, lidahnya kelu seketika. Benaknya sibuk mencari alasan yang bisa untuk membela diri tatapan tajam Vida membuatnya terintimidasi.“Mama mendengar semuanya, Pa, apa yang Papa ucapkan pada Evi tadi. Jadi tidak perlu mengelak lagi,” jelas Vida, dadanya terasa sesak seketika. Dia sudah bisa menebak apa yang terjadi hanya saja ada sebagian kecil hatinya yang menolak itu. Dirinya sangat mempercayai suaminya. Dia ingin Bima menyangkal itu, mengatakan itu semua hanya dugaan nya. Ingin sekali kejadian sesungguhnya bukan seperti yang tertera di benakny
Evi menyediakan minuman es teh dan sedikit kudapan. Ada dua orang pekerja di depan rumahnya sedang memasang terpal. Evi berencana menggunakan gaji dari majikannya untuk modal berdagang gorengan soto dan pecel. Setidaknya dengan cara itu Evi tidak perlu menggunakan tabungan yang selama ini dia kumpulkan.Evi melanjutkan dengan memeriksa belanjaan nya. Menyusun perkakas yang akan dibutuhkan. Tati membantunya sambil menggerutu, menyesali keputusannya berhenti. Kemarin Tati pikir Evi pergi ke sana untuk kembali bekerja ternyata justru hanya mengambil semua bajunya.“Ya sudahlah terserah kamu saja,” putus Tati akhirnya. Dirinya bukan ingin memaksa Evi terus bekerja, hanya dirinya cemas, bagaimana mereka bila Evi turut menganggur. Apalagi Ardan tahun depan masuk sekolah.Tati meninggalkan Evi, melangkah keluar rumah. Mengawasi Ardan khawatir mengganggu pekerja. Namun Ardan hanya duduk di bawah pohon jambu memandang mereka. Evi menghela napas, memahami kekecewaan Ibu padanya. Kemarin juga
[Vi, setelah Mama sehat aku akan mengatakan tentang hubungan kita] pesan w******p dari Arif masuk ke ponsel Evi.[Hubungan apa, Mas? Kita tidak ada hubungan apa-apa] balas Evi. [Vi, kamu apa-apan, sih] Arif tidak terima dengan jawaban Evi. Gusar dan kesal, Evi tidak pernah menganggap serius perasaannya.[Sudah, Mas jangan buat Ibu kembali sakit dengan rencanamu. Sudah ya Mas, saya enggak mau ada masalah lagi][Masalah apa yang kamu maksud?] Evi memijat tombol non aktif pada ponsel nya, tidak ingin membalas lagi Tidak ingin membaca pesan apa pun lagi dari Arif. Sejak kepulangan nya waktu itu dia gencar sekali menyerangnya dengan pesan WA. Tidak pernah menelpon karena Evi yakin, Arif tidak ingin hubungan mereka diketahui teman-temannya.Pengalaman ditinggal suami telah mengajarkan Evi untuk selalu berhati-hati menerima pernyataan cinta. Tidak terbuai karenanya hingga mematikan logika. Sejak awal perempuan berhidung mancung itu selalu meragukan cinta Arif padanya.Jika belum menikah saja
Reina tidak pernah tahu cerita yang sebenarnya. Dia sangat membenci Anjas karena meninggalkannya pada saat dirinya bertarung di antara hidup dan mati. Anjas juga membiarkannya terpuruk sendiri. Pernah sekali saat dia diam-diam menemui Anjas karena ingin bertanya mengapa Anjas berubah, kenapa dia meninggalkannya. Anjas mengatakan.“Antara kita sudah selesai Reina, Aku memang hanya ingin bertanggung jawab karena kamu hamil,, selanjutnya kita cukup sampai di sini," jawab Anjas sambil memalingkan wajah. Tidak ingin melihat kekecewaan dan rasa sakit di mata Reina.“Nggak mungkin, Mas, kamu bohong kan?” tolak Reina, Anjas diam.“Lihat aku, Mas katakan kalau sebenarnya kamu bohong, katakan kalau kau nggak mungkin nyakitin aku seperti ini,” desak Reina dengan intonasi yang mulai naik. Air mata mulai mengalir di pipinya.“Sayangnya itu memang kenyataannya Rei, aku sudah tidak mencintaimu lagi, Rasa itu berubah.” Anjas menegarkan diri mengucapkan itu. Membekukan hati agar tidak terpengaruh oleh
Flsh back sebelum Reina melahirkan.“Kami butuh persetujuan untuk operasi, istri Bapak mengalami preeklamsi berat, keadaaan ini bisa mengancam nyawa ibu dan bayinya. Saat ini kami sedang melakukan perawatan untuk membuat kondisinya stabil.”“Tidak ada jalan lain selain operasi, Dokter?” tanya Anjas dengan hati nyeri. Dia sungguh bukan tidak ingin memberi yang terbaik untuk Reina untuk anaknya tetapi uang yang dirinya kumpulkan hanya cukup untuk persalinan normal di puskesmas. Jika harus operasi dari mana biayanya. Apalagi di rumah sakit besar seperti ini. Reina dirujuk ke rumah sakit karena tensi darah yang tinggi.Dokter menggeleng mematahkan harapan Anjas. Anjas menghembuskan napas panjang, tangannya bergerak menandatangani persetujuan operasi dengan pikiran kalut. Tidak tahu harus kemana mencari tambahan dana untuk biaya Reina. Namun nyawa Reina tetap harus diselamatkan, Anjas tidak ingin terjadi apa-apa dengannya. Usai menandatangani persetujuan, seorang perawat menggiringnya menu
“Kita pulang saja nanti kamu bisa menenangkan diri,” ajak Evi, Anjas mengangguk dan beranjak mengajak Evi mengikutinya ke mobil. Sampai di mobil Anjas mengingat jika Evi belum pernah tahu kehadiran ibunya. Anjas belum memberi tahunya.“Vi, dalam dua hari ini kamu sudah telpon Ibu?” tanya Anjas sambil mulai melajukan mobilnya.Evi menoleh dan menggeleng“Berapa kali Ibu ku telpon nggak ngangkat terakhir telpon, Ibu menolak video call hanya telpon biasa, Ibu bilang sedang di pasar,” jawabnya.“Kalau gitu kita ke rumah dulu ya, ada kejutan di rumah,” senyum Anjas, Evi menatapnya penuh tanya tetapi Anjas sudah kembali fokus ke jalan. Evi pun diam tidak jadi bertanya, percuma pikirnya jika Anjas sudah bilang kejutan dia tidak akan menjawab.Mobil melaju tenang membelah keramaian kota, hingga saat mobil berbelok di halaman rumah Anjas, pandangan Evi terpaku ke teras rumah. Tertegun tidak percaya.Evi masih diam saat Anjas telah menghentikan mobilnya dan mengajak turun. Di teras rumah itu Ev
“Evi ....” tegur seseorang dari belakang dengan suara yang tidak yakin. Evi berbalik menemukan Aila yang mendekatinya.“Ya ampun Evi, jadi beneran kamu mau nikah sama Pak Anjas?” tanyanya antusias setelah dekat. Evi tersenyum menyambutnya tanpa mengangguk atau menggeleng, Evi yakin Ibu satu anak di hadapannnya sudah tahu jawabannya.“Aku emang dah nyangka kalau kalian ada apa-apa. Pak Anjas hampir tidak pernah merekomendasikan orang, apalagi sampai menahan saat ingin resign ternyata memang ya,…” sambungnya sambil tertawa. Mantan atasannya itu mengelengkan kepala dengan sisa tawa yang belum hilang. Evi jadi mengerti berarti beberapa keringanan yang di terimanya selama bekerja memang atas campur tangan Anjas.Evi mengajak Aila untuk duduk tetapi dia menolak, katanya masih banyak pekerjaan yang harus dia lakukan, restoran memang tutup tetapi karyawan tetap diberdayakan untuk persiapan pesta. Selain tetap menerima gaji mereka juga dibayar .Hari ini Anjas memang mengajak Evi untuk melihat
Anjas menyambut kehadiran calon mertuanya dengan suka cita, mengambil alih anak yang berada dalam gendongan calon mertuanya. Anak lelaki itu nyaris seumur dengan Chesa tetapi badannya terlihat lebih kecil, mungkin karena ekonomi yang sulit dan dalam asuhan neneknya yang tidak seharusnya mengasuh anak kecil lagi. Chesa di sisinya ikut bertanya siapa dia tampak antusias sekali ingin menyentuh pipi anak yang tertidur pulas situ. Mereka datang bersama adiknya Faris yang memang dia minta untuk menjemput. Selain bersama ibunya Tati, faris juga datang bersama istri dan kedua anaknya yang masih berusia 3 tahun dan 1 tahun. Juga Fahri adik bungsunya yang masih kuliah. “Nak Anjas sungguh-sungguh berniat meminang Evi? Saya sungguh terkejut sekali saat tiba-tiba di jemput saya pikir saya akan diculik, ingin menelpon Evi tapi dilarang mereka bilang ini kejutan buat Evi, saya sudah banyak menduga-duga, tapi setelah saya pikir lagi tidak mungkin juga penculik membawa dua balita yang memanggilnya
Anjas menyambut Arinda turun dari mobil.“beres senua, Ma?” tanya Anjas sambil melirik barang belanjaan yang tampak memenuhi mobil bagian belakang. Anjas memanggil semua pekerjanya untuk menurunkan barang-barang itu. “Cape banget Uma, tugasmu malam ini buat pijit kaki Uma.”“Tugas Abak, itu Uma kan Abak yang minta pernikahan buru-buru,” elak Anjas. Mendengar namanya disebut Yasir menoleh lalu mencibir.“Ya kalau kamu nggak mau gampang kok tinggal dibatalkan saja.”“Eh, nggak ya Abak, semua udah bergerak kok mau dibatalkan,” gerutu Anjas, Arinda dan Yasir menahan senyum sambil menggelengkan kepalanya.*** “Kamu selama di sini nggak pernah ketemu Reina, Njas?” tanya Arinda saat mereka selesai makan malam. Anjas sudah tidak mengunyah ataupun minum. Sepeti kedua orang tuanya, Anjas pun sudah selesai makan beberapa menit lalu. Namun pertanyaan itu membautnya nayris tersedak.Dua kali sudah Anjas mendengar nama itu dihubungka padanya. Ada apa sebenarnya.“Kok Uma nanyain lagi, dia Cuma mas
“Sumringah banget, cepet banget ya perubahan cuaca,” goda Aldi saat Anjas memasuki kafe. Wajahnya memang terlihat cerah, senyum lebar tersungging di bibirnya, padahal kemarin masih tampak kusut.“Kabar baik nih kayaknya, “ sambung Dimas.Anjas mengambil tempat di antara mereka dengan senum yang hampir menyerupai tawa. Kafe belum begitu ramai. Pengunjung kafe ini memang banyak pada sore dan malam hari. Beda dengan restoran Anjas yang justru ramai pada pagi dan siang hari.“Gimana nih? Udah baikan sama Evi, Evi dah nerima kamu?”“Lebih dari itu, Bro.” Anjas menjawab tanya Reno, yang lain seketika mendekat, ingin tahu lebih banyak.“lo … udah ena-ena?” tanya Reno hati-hati.“Gila lo!” Anjas melempar Reno dengan gumpalan tisu. Marah sekali dia walaupun bercanda, mereka pikir Evi serendah itu.“Apa dong?” Dimas tampak tidak sabar.“Kalian harus bantu gue, gue mau nikah 2 minggu lagi,”“Hah gila lo,” umpat mereka serempak“Kayak udah kebelet banget lo mau nikah semendadak itu,” sungut Aldi.
Arinda tertegun mendengar pernyataan Evi. Janda anak satu yang sudah berusia 4 tahun. Dia seperti masih muda sekali, wajahnya tidak menunjukkan itu. Evi meremas tangannya dengan resah, dadanya berdebar kencang menunggu keputusan.Pertemuan ini sungguh tidak terduga, andai tahu dirinya sudah memaksimalkan diri. Namun percaya diri sekali dirinya akan di terima. Walaupun ragu sebenarnya Evi sangat mengharap di terima.“Kamu mencintai Anjas?” Bukannya menjawab, Arinda justru balik bertanya. Lidah Evi terasa kelu seketika. Pertanyaan itu terasa sulit untuk dijawab. Walaupun hatinya mengakui mencintai Anjas tetapi mengucapkannya Evi ragu. Evie takut perasaan Anjas padanya tidak lagi sama.Anjas menatap Evi menunggu jawaban, hatinya pun berdebar kencang, was-was Evi menjawab tidak sesuai harapan.“Nak, … kamu mencintai, Anjas?” Setelah lama tidak ada jawaban, Arinda mengulang pertanyaannya kembali.“Bu ….” Evi menghentikan kalimatnya, hatinya resah. Arinda masih bergeming menunggu.“Sa … say
Anjas menghela napas, merasa salah tingkah dengan pernyataan itu. Belum sempat dia menjawab, pesanan mereka datang. Anjas meminta Evi untuk menikmati dulu. Evi sebenarnya ingin cepat pergi tetapi pembicaraan mereka sama sekali belum mulai.“Maaf, Vi. Saat itu saya tidak tahu persoalan yang sebenarnya saya tidak mungkin gegabah,” jelas Anjas tentang mengapa dia tidak membela Evi.“Kita baru mengenal, Vi. Saya belum tahu banyak tentang kamu,” lanjutnya.“Kalau begitu biarkan saya pergi, Pak. Jangan cegah lagi, saya perlu memperbaiki hidup saya.”“Apa di sini kamu tidak bisa lebih baik?”Evi menggeleng.“Di sini Pak Bima telah tahu keberadaan saya, dia bisa datang sewaktu-waktu. Hubungan saya dengan Naina juga telah tidak baik, belum lagi Rehan dan istrinya. Saya ingin tenang Pak. Saya ingin pergi,” papar Evi. Dia sengaja tidak menyebutkan ingin melupakan lelaki di hadapannya menjadi alasan utama. Tidak ingin Anjas tahu.“Saya akan melindungi kamu kalau itu yang kamu khawatirkan Vi. Saya