Hmm Enak banget Bima mau cuci tangan.
“Sebentar, Bu. Evi sakit perut,”kata Evi setelah pintu kamarnya terbuka, dia sedikit membungkuk dan meringis memegang perutnya. Sebelum Tati sempat bertanya, Evi telah tergesa berlari menuju kamar mandi. Tati hanya menghela napas.Evi sengaja melakukan itu agar ibunya tidak melihat sisa tangis di wajahnya, juga tidak bertanya dirinya kenapa.“Kamu nggak macam-macam kan sama Pak Bima tadi? Ngapain dia datang?” tanya Tati saat Evi keluar dari kamar mandi. Evi tertegun mendengar pertanyaan itu dan tatap tajam ibunya.“Bu kami hanya bicara tadi? Pak Bima Cuma nanya kenapa Evi berhenti,” kilah Evi perlahan.“Lalu kenapa kamu nangis? Kamu jangan bohong, Nak, Ibu tahu sekali bagaimana kamu,” desak Tati hampir menangis, dia sangat yakin ada sesuatu yang membuat Evi memutuskan berhenti. Tati juga khawatir bisa sesuatu itu adalah hal yang fatal untuk mereka. Entah itu apa, wanita paruh baya itu tidak berani untuk menebak.Mendengar itu air mata Evi kembali jatuh tidak tertahankan, dia menghambur
Masih pagi sekali, Evi masih menyiapkan dagangan saat mobil itu berhenti di depan rumahnya. Perempuan muda itu tertegun melihat Vida dan Arif turun dari sana. Tidak ada senyum ramah, wajah mereka terlihat tegang. Tampak beberapa kali Arif mencoba menahan langkah ibunya tetapi tidak dipedulikan.Langkah itu sampai ke hadapan Evi, Evi buru-buru meletakkan bawaannya dan mengajak mereka masuk ke rumah. Perasaannya sungguh tidak nyaman melihat wajah majikannya yang keruh. Tati yang sedang menyuapi Ardan terhenti melihat mereka.Jika mereka datang sebelum dirinya tahu kehamilan Evi, Tati akan senang mengira mereka akan mengajak Evi bekerja lagi. Namun ini sepertinya berhubungan dengan masalah Evi. Wajah kelam majikan Evi, menunjukkan itu.“Kamu sembunyikan suami saya di mana?” tanya Vida sambil menolak duduk. Matanya berputar melihat sekeliling ruangan. Rumah yang hanya terdiri dari dua kamar, dinding semi permanen dan ruang tengah menyatu dengan ruang tamu. Jika suaminya ada dia akan mudah
Keributan di luar menyadarkan Evi dari tangis nya. Suara teriakan ibunya dan keriuhan lain memecah pagi. Jantung Evi seakan ingin berhenti mendengarnya. Evi menghapus kasar air matanya, beranjak keluar dengan langkah tergesa. Namun keadaan di luar membuatnya terpaku. Tidak ada badai tetapi semua yang terjadi lebih dari sekedar badai. “Dasar pelakor, perempuan nggak bener …” Berbagai umpatan terlontar dari mulut mereka sambil mengacak dagangannya. “Hentikan Ibu-ibu tolong hentikan!” teriak Tati sambil berusaha menyelamatkan beberapa dagangan.Evi terpaku melihat itu, hatinya teremas sakit. Dia sudah bangun subuh merebus sayuran. Menggiling bumbu pecel. Menyiapkan isian gorengan kini hancur. Setega itu mereka. Tatapan mereka tampak beringas menatapnya.Beberapa warga mulai berdatangan ingin melihat apa yang terjadi. Saling bertanya, ikut mengacau. Ada juga yang melerai. Bagaimanapun mereka mengenal baik Evi dan Tati selama ini.“Tolong jangan lakukan itu,” tangis Tati putus asa, dia t
Keributan di kantor desa terhenti saat ada yang memasuki ruangan. Pak lurah yang bernama Rahman itu berhenti melakukan introgasi pada Evi. Dia segera menyambut kehadiran orang itu. Evi sama sekali tidak memalingkan wajahnya. Dia tahu siapa yang datang, dirinya sempat mendengar Rahman menelepon tadi.Menyadari siapa yang datang, Tati bangkit, ikut melangkah di belakang Rahman, hatinya geram. Dipukul nya Bima dengan kemarahan luar biasa, tetapi pukulan itu tidak berarti bagi Bima. Pukulan dengan kekuatan penuh itu berhasil ditahan oleh tangannya.“Lihat akibat ulah Bapak, Lihat anak saya hancur Pak, semua akibat ulah Bapak! Semua orang menyalahkan nya, semua orang menghakiminya,," tangis Tati. Dua orang aparat menahannya agar tidak mendekati Bima.Mereka yang sebelumnya terus menghujat Evi tertegun mendengar pernyataan itu. Berbagai prasangka kembali berdengung. Menduga Evi memang memiliki hubungan spesial dengan Bima. Bima telah berselingkuh dengan Evi.Warga semakin geram, Rahman men
“Baiklah kamu tidak perlu menjawabnya sekarang, kamu bisa mempertimbangkannya dulu, aku akan menunggu,” putus Bima setelah lama tidak ada jawaban dari Evi. Dia pun mengajak Rahman pergi dari rumah Evi.“Gue beneran enggak nyangka lo sanggup berbuat itu. Dua puluh lima tahun lo sanggup setia, kenapa sekarang bisa.” Rahman menggelengkan kepalanya.“lo harus cerita sama gue, Bim sambil ngopi,” ajaknya, tetapi Bima menggeleng.“Istri gue dah nunggu di rumah sudah siang banget, gue pamit dulu,” tolak Bima sambil menepuk bahu Rahman. Dia segera masuk ke mobilnya dan melaju. Rahman hanya memandang kepergian nya dalam diam lalu mengajak Faisol berlalu dari rumah Evi.****Bima pulang dengan membawa serta kepenatan, rasa lelah dan pikiran yang kacau. Walaupun telah memutuskan untuk menikahi Evi, Bima harus benar-benar mengatur strategi agar istri dan anak-anaknya tidak tahu pernikahan itu. Lelaki gagah itu tidak ingin istrinya menuntut berpisah jika dirinya menikah lagi. Bima tidak ingin kehil
“Aku pergi, Bu. Aku buktikan aku bukan pelakor, aku tidak akan merusak rumah tangga Ibu,” lirih Evi dengan pandangan menerawang pada lautan luas di hadapannya. Pulau yang dia tinggalkan semakin mengecil seiring dengan laju kapal.Evi duduk bersandar, sengaja tidak masuk ruangan untuk memandang lautan. Masih dia ingat tangisan ibunya yang berkeras melarang pergi. Juga Ardan, hati Evi kembali teriris mengingatnya. Waktu kebersamaan dengan Ardan hanya terjadi saat usia nya masih di bawah satu tahun. Selanjut Evi harus bekerja meninggalkannya. Dia lancar bicara, bisa bercerita, melompat dan bermain hanya dilaluinya bersama nenek nya.Tadi malam Bima memborbardir nya dengan pesan WA karena beberapa kali panggilannya tidak Evi angkat. Dia terus meminta kesempatan untuk bertanggung jawab.Dia mengatakan akan menikahi Evi secara siri, Untuk sementara hubungan mereka akan dirahasiakan demi menjaga penyakit jantung Vida. Evi tersenyum getir membacanya. Menjadi istri resmi saja dia tidak ingin a
“Apa yang terjadi, Vi?” tanya Naina setelah dokter dan perawatnya pergi. Evi diam, ada air mata mengalir di pipinya. Naina masih menunggu Evi bicara. Ruangan seketika sunyi tanpa suara.“Kamu sudah menikah lagi? Sekarang kamu hamil lalu kamu kabur dari suamimu? Atau orang yang menghamilimu meninggalkan kamu?”Evi masih bergeming membiarkan Naina dengan asumsinya. Naina menatapnya gusar.“Vi, kamu bisa cerita padaku, aku nggak mau ya, kamu tinggal sama aku tiba-tiba nanti ada yang nuntut aku karena nyembunyiin kamu,” desaknya.“Apa kamu akan percaya padaku?” tanya Evi dengan tatapan nanar ke langit-langit. Naina ganti terdiam. Dia sudah lama tidak bertemu Evi. Evi yang dulu tentu beda dengan Evi yang sekarang. Evi yang dulu, polos lugu tetapi cerdas. Evi yang sekarang dia tidak tahu apa-apa. “Semua tidak ada yang percaya padaku, Nai. Aku dianggap penggoda, pelakor. Warungku dihancurkan dan aku diserang sampai babak belur. Semua mencaciku, Nai,” ungkap Evi, pilu. Air matanya mengalir
Arif menghela napas saat ibunya terlihat melamun di dekat pot-pot bunga. Ibunya bilang akan menyibukkan diri dengan bunga-bunga itu. Menggemburkan tanahnya, membuang daun-daun yang menguning layu dan memberi pupuk. Namun kenyataannya malah melamun.“Ma, Papa sakit, badannya panas. Tadi Nenek telepon Arif mengabarkan kedaan Papa,” kata Arif setelah berada di dekat ibunya. Arif tahu walaupun pikirannya entah kemana. Mama mendengarkannya bicara.“Arif tidak apa-apa jika Mama mau memaafkan Papa. Mungkin Mama dan Papa bisa memulai semuanya dari awal lagi.”“Tapi Rif, bagaimana dengan pelakor itu? Sepertinya Papamu tidak menginginkan Mama lagi.”“Siapa bilang begitu, Papa tidak akan pernah datang meminta Mama pulang kalau Papa tidak menginginkan Mama lagi,” sanggah Arif. Ibunya memang selalu menghindar saat ayahnya datang, tidak ingin menemui.Sebelumnya Arif pun tidak ingin memaafkan ayahnya. Dirinya sangat marah sekali, tetapi melihat beberapa kali ayahnya datang dalam kondisi lusuh tidak