Huff gimana menurut kalian, minta Bima bertanggung jawab atau rawat sendiri? Komen yang banyak ya
Masih pagi sekali, Evi masih menyiapkan dagangan saat mobil itu berhenti di depan rumahnya. Perempuan muda itu tertegun melihat Vida dan Arif turun dari sana. Tidak ada senyum ramah, wajah mereka terlihat tegang. Tampak beberapa kali Arif mencoba menahan langkah ibunya tetapi tidak dipedulikan.Langkah itu sampai ke hadapan Evi, Evi buru-buru meletakkan bawaannya dan mengajak mereka masuk ke rumah. Perasaannya sungguh tidak nyaman melihat wajah majikannya yang keruh. Tati yang sedang menyuapi Ardan terhenti melihat mereka.Jika mereka datang sebelum dirinya tahu kehamilan Evi, Tati akan senang mengira mereka akan mengajak Evi bekerja lagi. Namun ini sepertinya berhubungan dengan masalah Evi. Wajah kelam majikan Evi, menunjukkan itu.“Kamu sembunyikan suami saya di mana?” tanya Vida sambil menolak duduk. Matanya berputar melihat sekeliling ruangan. Rumah yang hanya terdiri dari dua kamar, dinding semi permanen dan ruang tengah menyatu dengan ruang tamu. Jika suaminya ada dia akan mudah
Keributan di luar menyadarkan Evi dari tangis nya. Suara teriakan ibunya dan keriuhan lain memecah pagi. Jantung Evi seakan ingin berhenti mendengarnya. Evi menghapus kasar air matanya, beranjak keluar dengan langkah tergesa. Namun keadaan di luar membuatnya terpaku. Tidak ada badai tetapi semua yang terjadi lebih dari sekedar badai. “Dasar pelakor, perempuan nggak bener …” Berbagai umpatan terlontar dari mulut mereka sambil mengacak dagangannya. “Hentikan Ibu-ibu tolong hentikan!” teriak Tati sambil berusaha menyelamatkan beberapa dagangan.Evi terpaku melihat itu, hatinya teremas sakit. Dia sudah bangun subuh merebus sayuran. Menggiling bumbu pecel. Menyiapkan isian gorengan kini hancur. Setega itu mereka. Tatapan mereka tampak beringas menatapnya.Beberapa warga mulai berdatangan ingin melihat apa yang terjadi. Saling bertanya, ikut mengacau. Ada juga yang melerai. Bagaimanapun mereka mengenal baik Evi dan Tati selama ini.“Tolong jangan lakukan itu,” tangis Tati putus asa, dia t
Keributan di kantor desa terhenti saat ada yang memasuki ruangan. Pak lurah yang bernama Rahman itu berhenti melakukan introgasi pada Evi. Dia segera menyambut kehadiran orang itu. Evi sama sekali tidak memalingkan wajahnya. Dia tahu siapa yang datang, dirinya sempat mendengar Rahman menelepon tadi.Menyadari siapa yang datang, Tati bangkit, ikut melangkah di belakang Rahman, hatinya geram. Dipukul nya Bima dengan kemarahan luar biasa, tetapi pukulan itu tidak berarti bagi Bima. Pukulan dengan kekuatan penuh itu berhasil ditahan oleh tangannya.“Lihat akibat ulah Bapak, Lihat anak saya hancur Pak, semua akibat ulah Bapak! Semua orang menyalahkan nya, semua orang menghakiminya,," tangis Tati. Dua orang aparat menahannya agar tidak mendekati Bima.Mereka yang sebelumnya terus menghujat Evi tertegun mendengar pernyataan itu. Berbagai prasangka kembali berdengung. Menduga Evi memang memiliki hubungan spesial dengan Bima. Bima telah berselingkuh dengan Evi.Warga semakin geram, Rahman men
“Baiklah kamu tidak perlu menjawabnya sekarang, kamu bisa mempertimbangkannya dulu, aku akan menunggu,” putus Bima setelah lama tidak ada jawaban dari Evi. Dia pun mengajak Rahman pergi dari rumah Evi.“Gue beneran enggak nyangka lo sanggup berbuat itu. Dua puluh lima tahun lo sanggup setia, kenapa sekarang bisa.” Rahman menggelengkan kepalanya.“lo harus cerita sama gue, Bim sambil ngopi,” ajaknya, tetapi Bima menggeleng.“Istri gue dah nunggu di rumah sudah siang banget, gue pamit dulu,” tolak Bima sambil menepuk bahu Rahman. Dia segera masuk ke mobilnya dan melaju. Rahman hanya memandang kepergian nya dalam diam lalu mengajak Faisol berlalu dari rumah Evi.****Bima pulang dengan membawa serta kepenatan, rasa lelah dan pikiran yang kacau. Walaupun telah memutuskan untuk menikahi Evi, Bima harus benar-benar mengatur strategi agar istri dan anak-anaknya tidak tahu pernikahan itu. Lelaki gagah itu tidak ingin istrinya menuntut berpisah jika dirinya menikah lagi. Bima tidak ingin kehil
“Aku pergi, Bu. Aku buktikan aku bukan pelakor, aku tidak akan merusak rumah tangga Ibu,” lirih Evi dengan pandangan menerawang pada lautan luas di hadapannya. Pulau yang dia tinggalkan semakin mengecil seiring dengan laju kapal.Evi duduk bersandar, sengaja tidak masuk ruangan untuk memandang lautan. Masih dia ingat tangisan ibunya yang berkeras melarang pergi. Juga Ardan, hati Evi kembali teriris mengingatnya. Waktu kebersamaan dengan Ardan hanya terjadi saat usia nya masih di bawah satu tahun. Selanjut Evi harus bekerja meninggalkannya. Dia lancar bicara, bisa bercerita, melompat dan bermain hanya dilaluinya bersama nenek nya.Tadi malam Bima memborbardir nya dengan pesan WA karena beberapa kali panggilannya tidak Evi angkat. Dia terus meminta kesempatan untuk bertanggung jawab.Dia mengatakan akan menikahi Evi secara siri, Untuk sementara hubungan mereka akan dirahasiakan demi menjaga penyakit jantung Vida. Evi tersenyum getir membacanya. Menjadi istri resmi saja dia tidak ingin a
“Apa yang terjadi, Vi?” tanya Naina setelah dokter dan perawatnya pergi. Evi diam, ada air mata mengalir di pipinya. Naina masih menunggu Evi bicara. Ruangan seketika sunyi tanpa suara.“Kamu sudah menikah lagi? Sekarang kamu hamil lalu kamu kabur dari suamimu? Atau orang yang menghamilimu meninggalkan kamu?”Evi masih bergeming membiarkan Naina dengan asumsinya. Naina menatapnya gusar.“Vi, kamu bisa cerita padaku, aku nggak mau ya, kamu tinggal sama aku tiba-tiba nanti ada yang nuntut aku karena nyembunyiin kamu,” desaknya.“Apa kamu akan percaya padaku?” tanya Evi dengan tatapan nanar ke langit-langit. Naina ganti terdiam. Dia sudah lama tidak bertemu Evi. Evi yang dulu tentu beda dengan Evi yang sekarang. Evi yang dulu, polos lugu tetapi cerdas. Evi yang sekarang dia tidak tahu apa-apa. “Semua tidak ada yang percaya padaku, Nai. Aku dianggap penggoda, pelakor. Warungku dihancurkan dan aku diserang sampai babak belur. Semua mencaciku, Nai,” ungkap Evi, pilu. Air matanya mengalir
Arif menghela napas saat ibunya terlihat melamun di dekat pot-pot bunga. Ibunya bilang akan menyibukkan diri dengan bunga-bunga itu. Menggemburkan tanahnya, membuang daun-daun yang menguning layu dan memberi pupuk. Namun kenyataannya malah melamun.“Ma, Papa sakit, badannya panas. Tadi Nenek telepon Arif mengabarkan kedaan Papa,” kata Arif setelah berada di dekat ibunya. Arif tahu walaupun pikirannya entah kemana. Mama mendengarkannya bicara.“Arif tidak apa-apa jika Mama mau memaafkan Papa. Mungkin Mama dan Papa bisa memulai semuanya dari awal lagi.”“Tapi Rif, bagaimana dengan pelakor itu? Sepertinya Papamu tidak menginginkan Mama lagi.”“Siapa bilang begitu, Papa tidak akan pernah datang meminta Mama pulang kalau Papa tidak menginginkan Mama lagi,” sanggah Arif. Ibunya memang selalu menghindar saat ayahnya datang, tidak ingin menemui.Sebelumnya Arif pun tidak ingin memaafkan ayahnya. Dirinya sangat marah sekali, tetapi melihat beberapa kali ayahnya datang dalam kondisi lusuh tidak
Sore itu Anjas mengantarkan Evi sampai tempat kost Naina. Berulang kali mereka menolak, bermaksud naik taksi online saja tetapi Anjas tetap mengantar.“Jadi mulai besok kamu akan langsung bekerja?” tanya Anjas setelah meletakkan barang-barang mereka. Tidak banyak hanya tas yang berisi pakaian Evi dan sedikit makanan yang Anjas berikan untuk mereka. Evi menggangguk.“Apa pekerjaanmu?” Tanya Anjas, Evi memandangnya keberatan, untuk apa dia tahu. Bukankah sudah cukup di sini saja, dia tidak perlu ikut campur urusannya.“Maaf karena kondisimu belum memungkinkan untuk bekerja, kamu masih butuh istirahat setidaknya satu sampai dua hari, rahimmu masih lemah dan pendarahan yang kamu alami cukup banyak. Wajahmu juga masih pucat,” papar Anjas menelisik keberatan di wajah Evi.“Anjas benar, Vi kamu besok istirahat dulu, aku akan bilang dengan kepala dapur, kebetulan dia temanku,” sambung Naina menenangkan Evi.“Aku nggak mungkin izin pada hari pertama kerja, Nai,” tolak Evi“Kepala dapur? Apa pe
Reina tidak pernah tahu cerita yang sebenarnya. Dia sangat membenci Anjas karena meninggalkannya pada saat dirinya bertarung di antara hidup dan mati. Anjas juga membiarkannya terpuruk sendiri. Pernah sekali saat dia diam-diam menemui Anjas karena ingin bertanya mengapa Anjas berubah, kenapa dia meninggalkannya. Anjas mengatakan.“Antara kita sudah selesai Reina, Aku memang hanya ingin bertanggung jawab karena kamu hamil,, selanjutnya kita cukup sampai di sini," jawab Anjas sambil memalingkan wajah. Tidak ingin melihat kekecewaan dan rasa sakit di mata Reina.“Nggak mungkin, Mas, kamu bohong kan?” tolak Reina, Anjas diam.“Lihat aku, Mas katakan kalau sebenarnya kamu bohong, katakan kalau kau nggak mungkin nyakitin aku seperti ini,” desak Reina dengan intonasi yang mulai naik. Air mata mulai mengalir di pipinya.“Sayangnya itu memang kenyataannya Rei, aku sudah tidak mencintaimu lagi, Rasa itu berubah.” Anjas menegarkan diri mengucapkan itu. Membekukan hati agar tidak terpengaruh oleh
Flsh back sebelum Reina melahirkan.“Kami butuh persetujuan untuk operasi, istri Bapak mengalami preeklamsi berat, keadaaan ini bisa mengancam nyawa ibu dan bayinya. Saat ini kami sedang melakukan perawatan untuk membuat kondisinya stabil.”“Tidak ada jalan lain selain operasi, Dokter?” tanya Anjas dengan hati nyeri. Dia sungguh bukan tidak ingin memberi yang terbaik untuk Reina untuk anaknya tetapi uang yang dirinya kumpulkan hanya cukup untuk persalinan normal di puskesmas. Jika harus operasi dari mana biayanya. Apalagi di rumah sakit besar seperti ini. Reina dirujuk ke rumah sakit karena tensi darah yang tinggi.Dokter menggeleng mematahkan harapan Anjas. Anjas menghembuskan napas panjang, tangannya bergerak menandatangani persetujuan operasi dengan pikiran kalut. Tidak tahu harus kemana mencari tambahan dana untuk biaya Reina. Namun nyawa Reina tetap harus diselamatkan, Anjas tidak ingin terjadi apa-apa dengannya. Usai menandatangani persetujuan, seorang perawat menggiringnya menu
“Kita pulang saja nanti kamu bisa menenangkan diri,” ajak Evi, Anjas mengangguk dan beranjak mengajak Evi mengikutinya ke mobil. Sampai di mobil Anjas mengingat jika Evi belum pernah tahu kehadiran ibunya. Anjas belum memberi tahunya.“Vi, dalam dua hari ini kamu sudah telpon Ibu?” tanya Anjas sambil mulai melajukan mobilnya.Evi menoleh dan menggeleng“Berapa kali Ibu ku telpon nggak ngangkat terakhir telpon, Ibu menolak video call hanya telpon biasa, Ibu bilang sedang di pasar,” jawabnya.“Kalau gitu kita ke rumah dulu ya, ada kejutan di rumah,” senyum Anjas, Evi menatapnya penuh tanya tetapi Anjas sudah kembali fokus ke jalan. Evi pun diam tidak jadi bertanya, percuma pikirnya jika Anjas sudah bilang kejutan dia tidak akan menjawab.Mobil melaju tenang membelah keramaian kota, hingga saat mobil berbelok di halaman rumah Anjas, pandangan Evi terpaku ke teras rumah. Tertegun tidak percaya.Evi masih diam saat Anjas telah menghentikan mobilnya dan mengajak turun. Di teras rumah itu Ev
“Evi ....” tegur seseorang dari belakang dengan suara yang tidak yakin. Evi berbalik menemukan Aila yang mendekatinya.“Ya ampun Evi, jadi beneran kamu mau nikah sama Pak Anjas?” tanyanya antusias setelah dekat. Evi tersenyum menyambutnya tanpa mengangguk atau menggeleng, Evi yakin Ibu satu anak di hadapannnya sudah tahu jawabannya.“Aku emang dah nyangka kalau kalian ada apa-apa. Pak Anjas hampir tidak pernah merekomendasikan orang, apalagi sampai menahan saat ingin resign ternyata memang ya,…” sambungnya sambil tertawa. Mantan atasannya itu mengelengkan kepala dengan sisa tawa yang belum hilang. Evi jadi mengerti berarti beberapa keringanan yang di terimanya selama bekerja memang atas campur tangan Anjas.Evi mengajak Aila untuk duduk tetapi dia menolak, katanya masih banyak pekerjaan yang harus dia lakukan, restoran memang tutup tetapi karyawan tetap diberdayakan untuk persiapan pesta. Selain tetap menerima gaji mereka juga dibayar .Hari ini Anjas memang mengajak Evi untuk melihat
Anjas menyambut kehadiran calon mertuanya dengan suka cita, mengambil alih anak yang berada dalam gendongan calon mertuanya. Anak lelaki itu nyaris seumur dengan Chesa tetapi badannya terlihat lebih kecil, mungkin karena ekonomi yang sulit dan dalam asuhan neneknya yang tidak seharusnya mengasuh anak kecil lagi. Chesa di sisinya ikut bertanya siapa dia tampak antusias sekali ingin menyentuh pipi anak yang tertidur pulas situ. Mereka datang bersama adiknya Faris yang memang dia minta untuk menjemput. Selain bersama ibunya Tati, faris juga datang bersama istri dan kedua anaknya yang masih berusia 3 tahun dan 1 tahun. Juga Fahri adik bungsunya yang masih kuliah. “Nak Anjas sungguh-sungguh berniat meminang Evi? Saya sungguh terkejut sekali saat tiba-tiba di jemput saya pikir saya akan diculik, ingin menelpon Evi tapi dilarang mereka bilang ini kejutan buat Evi, saya sudah banyak menduga-duga, tapi setelah saya pikir lagi tidak mungkin juga penculik membawa dua balita yang memanggilnya
Anjas menyambut Arinda turun dari mobil.“beres senua, Ma?” tanya Anjas sambil melirik barang belanjaan yang tampak memenuhi mobil bagian belakang. Anjas memanggil semua pekerjanya untuk menurunkan barang-barang itu. “Cape banget Uma, tugasmu malam ini buat pijit kaki Uma.”“Tugas Abak, itu Uma kan Abak yang minta pernikahan buru-buru,” elak Anjas. Mendengar namanya disebut Yasir menoleh lalu mencibir.“Ya kalau kamu nggak mau gampang kok tinggal dibatalkan saja.”“Eh, nggak ya Abak, semua udah bergerak kok mau dibatalkan,” gerutu Anjas, Arinda dan Yasir menahan senyum sambil menggelengkan kepalanya.*** “Kamu selama di sini nggak pernah ketemu Reina, Njas?” tanya Arinda saat mereka selesai makan malam. Anjas sudah tidak mengunyah ataupun minum. Sepeti kedua orang tuanya, Anjas pun sudah selesai makan beberapa menit lalu. Namun pertanyaan itu membautnya nayris tersedak.Dua kali sudah Anjas mendengar nama itu dihubungka padanya. Ada apa sebenarnya.“Kok Uma nanyain lagi, dia Cuma mas
“Sumringah banget, cepet banget ya perubahan cuaca,” goda Aldi saat Anjas memasuki kafe. Wajahnya memang terlihat cerah, senyum lebar tersungging di bibirnya, padahal kemarin masih tampak kusut.“Kabar baik nih kayaknya, “ sambung Dimas.Anjas mengambil tempat di antara mereka dengan senum yang hampir menyerupai tawa. Kafe belum begitu ramai. Pengunjung kafe ini memang banyak pada sore dan malam hari. Beda dengan restoran Anjas yang justru ramai pada pagi dan siang hari.“Gimana nih? Udah baikan sama Evi, Evi dah nerima kamu?”“Lebih dari itu, Bro.” Anjas menjawab tanya Reno, yang lain seketika mendekat, ingin tahu lebih banyak.“lo … udah ena-ena?” tanya Reno hati-hati.“Gila lo!” Anjas melempar Reno dengan gumpalan tisu. Marah sekali dia walaupun bercanda, mereka pikir Evi serendah itu.“Apa dong?” Dimas tampak tidak sabar.“Kalian harus bantu gue, gue mau nikah 2 minggu lagi,”“Hah gila lo,” umpat mereka serempak“Kayak udah kebelet banget lo mau nikah semendadak itu,” sungut Aldi.
Arinda tertegun mendengar pernyataan Evi. Janda anak satu yang sudah berusia 4 tahun. Dia seperti masih muda sekali, wajahnya tidak menunjukkan itu. Evi meremas tangannya dengan resah, dadanya berdebar kencang menunggu keputusan.Pertemuan ini sungguh tidak terduga, andai tahu dirinya sudah memaksimalkan diri. Namun percaya diri sekali dirinya akan di terima. Walaupun ragu sebenarnya Evi sangat mengharap di terima.“Kamu mencintai Anjas?” Bukannya menjawab, Arinda justru balik bertanya. Lidah Evi terasa kelu seketika. Pertanyaan itu terasa sulit untuk dijawab. Walaupun hatinya mengakui mencintai Anjas tetapi mengucapkannya Evi ragu. Evie takut perasaan Anjas padanya tidak lagi sama.Anjas menatap Evi menunggu jawaban, hatinya pun berdebar kencang, was-was Evi menjawab tidak sesuai harapan.“Nak, … kamu mencintai, Anjas?” Setelah lama tidak ada jawaban, Arinda mengulang pertanyaannya kembali.“Bu ….” Evi menghentikan kalimatnya, hatinya resah. Arinda masih bergeming menunggu.“Sa … say
Anjas menghela napas, merasa salah tingkah dengan pernyataan itu. Belum sempat dia menjawab, pesanan mereka datang. Anjas meminta Evi untuk menikmati dulu. Evi sebenarnya ingin cepat pergi tetapi pembicaraan mereka sama sekali belum mulai.“Maaf, Vi. Saat itu saya tidak tahu persoalan yang sebenarnya saya tidak mungkin gegabah,” jelas Anjas tentang mengapa dia tidak membela Evi.“Kita baru mengenal, Vi. Saya belum tahu banyak tentang kamu,” lanjutnya.“Kalau begitu biarkan saya pergi, Pak. Jangan cegah lagi, saya perlu memperbaiki hidup saya.”“Apa di sini kamu tidak bisa lebih baik?”Evi menggeleng.“Di sini Pak Bima telah tahu keberadaan saya, dia bisa datang sewaktu-waktu. Hubungan saya dengan Naina juga telah tidak baik, belum lagi Rehan dan istrinya. Saya ingin tenang Pak. Saya ingin pergi,” papar Evi. Dia sengaja tidak menyebutkan ingin melupakan lelaki di hadapannya menjadi alasan utama. Tidak ingin Anjas tahu.“Saya akan melindungi kamu kalau itu yang kamu khawatirkan Vi. Saya