“Evi ....” tegur seseorang dari belakang dengan suara yang tidak yakin. Evi berbalik menemukan Aila yang mendekatinya.“Ya ampun Evi, jadi beneran kamu mau nikah sama Pak Anjas?” tanyanya antusias setelah dekat. Evi tersenyum menyambutnya tanpa mengangguk atau menggeleng, Evi yakin Ibu satu anak di hadapannnya sudah tahu jawabannya.“Aku emang dah nyangka kalau kalian ada apa-apa. Pak Anjas hampir tidak pernah merekomendasikan orang, apalagi sampai menahan saat ingin resign ternyata memang ya,…” sambungnya sambil tertawa. Mantan atasannya itu mengelengkan kepala dengan sisa tawa yang belum hilang. Evi jadi mengerti berarti beberapa keringanan yang di terimanya selama bekerja memang atas campur tangan Anjas.Evi mengajak Aila untuk duduk tetapi dia menolak, katanya masih banyak pekerjaan yang harus dia lakukan, restoran memang tutup tetapi karyawan tetap diberdayakan untuk persiapan pesta. Selain tetap menerima gaji mereka juga dibayar .Hari ini Anjas memang mengajak Evi untuk melihat
“Kita pulang saja nanti kamu bisa menenangkan diri,” ajak Evi, Anjas mengangguk dan beranjak mengajak Evi mengikutinya ke mobil. Sampai di mobil Anjas mengingat jika Evi belum pernah tahu kehadiran ibunya. Anjas belum memberi tahunya.“Vi, dalam dua hari ini kamu sudah telpon Ibu?” tanya Anjas sambil mulai melajukan mobilnya.Evi menoleh dan menggeleng“Berapa kali Ibu ku telpon nggak ngangkat terakhir telpon, Ibu menolak video call hanya telpon biasa, Ibu bilang sedang di pasar,” jawabnya.“Kalau gitu kita ke rumah dulu ya, ada kejutan di rumah,” senyum Anjas, Evi menatapnya penuh tanya tetapi Anjas sudah kembali fokus ke jalan. Evi pun diam tidak jadi bertanya, percuma pikirnya jika Anjas sudah bilang kejutan dia tidak akan menjawab.Mobil melaju tenang membelah keramaian kota, hingga saat mobil berbelok di halaman rumah Anjas, pandangan Evi terpaku ke teras rumah. Tertegun tidak percaya.Evi masih diam saat Anjas telah menghentikan mobilnya dan mengajak turun. Di teras rumah itu Ev
Flsh back sebelum Reina melahirkan.“Kami butuh persetujuan untuk operasi, istri Bapak mengalami preeklamsi berat, keadaaan ini bisa mengancam nyawa ibu dan bayinya. Saat ini kami sedang melakukan perawatan untuk membuat kondisinya stabil.”“Tidak ada jalan lain selain operasi, Dokter?” tanya Anjas dengan hati nyeri. Dia sungguh bukan tidak ingin memberi yang terbaik untuk Reina untuk anaknya tetapi uang yang dirinya kumpulkan hanya cukup untuk persalinan normal di puskesmas. Jika harus operasi dari mana biayanya. Apalagi di rumah sakit besar seperti ini. Reina dirujuk ke rumah sakit karena tensi darah yang tinggi.Dokter menggeleng mematahkan harapan Anjas. Anjas menghembuskan napas panjang, tangannya bergerak menandatangani persetujuan operasi dengan pikiran kalut. Tidak tahu harus kemana mencari tambahan dana untuk biaya Reina. Namun nyawa Reina tetap harus diselamatkan, Anjas tidak ingin terjadi apa-apa dengannya. Usai menandatangani persetujuan, seorang perawat menggiringnya menu
Reina tidak pernah tahu cerita yang sebenarnya. Dia sangat membenci Anjas karena meninggalkannya pada saat dirinya bertarung di antara hidup dan mati. Anjas juga membiarkannya terpuruk sendiri. Pernah sekali saat dia diam-diam menemui Anjas karena ingin bertanya mengapa Anjas berubah, kenapa dia meninggalkannya. Anjas mengatakan.“Antara kita sudah selesai Reina, Aku memang hanya ingin bertanggung jawab karena kamu hamil,, selanjutnya kita cukup sampai di sini," jawab Anjas sambil memalingkan wajah. Tidak ingin melihat kekecewaan dan rasa sakit di mata Reina.“Nggak mungkin, Mas, kamu bohong kan?” tolak Reina, Anjas diam.“Lihat aku, Mas katakan kalau sebenarnya kamu bohong, katakan kalau kau nggak mungkin nyakitin aku seperti ini,” desak Reina dengan intonasi yang mulai naik. Air mata mulai mengalir di pipinya.“Sayangnya itu memang kenyataannya Rei, aku sudah tidak mencintaimu lagi, Rasa itu berubah.” Anjas menegarkan diri mengucapkan itu. Membekukan hati agar tidak terpengaruh oleh
Evi memberontak hebat dari kungkungan Bima, berusaha sekuat tenaga melepaskan diri. Namun percuma, tenaga itu terlalu kuat untuk dilawan, apalagi rumah sepi hanya mereka berdua. Tidak ada yang mendengar meski dirinya berteriak. Hujan di luar membuat keadaan di luar rumah pun sepi. Dia hanya bermaksud mengantarkan kopi yang diminta Bima. Majikan berusia hampir 50 tahun tampak sedang lembur dengan berkas berserakan. Evi meletakkan kopi itu di meja dekat Bima tetapi saat akan keluar Bima menariknya, memeluk tubuh rampingnya dan menjatuhkannya ke tempat tidur sambil meracau. “Sebentar saja Ma, Papah ingin sekali." “Please, Ma, Papah ingin sekali,” bisik Bima di telinga. Evi terperangah mendengar itu. Dia yakin sekali Bima saat ini sadar, tidak sedang mabuk. Namun mengapa dia menganggap dirinya, istri? “Pak saya Evi bukan Ibu,” bantah Evi mencoba menyadarkan Bima, Bima sempat tertegun tetapi saat merasakan Evi hampir terlepas dia segera memerangkapnya kembali. “Tolong jangan lakukan,
Evi tertegun lama, merasa takut untuk membuka pintu. Dia kembali ke kamar untuk melihat cermin. Meneliti kembali setiap inci leher nya. Takut sekali jika tanda merah itu masih terlihat. Namun suara bel yang dibunyikan dengan tidak sabar, membuat perempuan semampai dengan tinggi 155 cm harus tergesa membuka pintu.“Ibu sudah pulang?” sambut Evi sedikit gugup, Di hadapannya berdiri wanita setengah baya berjilbab yang masih terlihat cantik. Dia mengernyit melihat seperti ada yang berbeda dengan penampilan Evi. Rambutnya tampak terurai tidak diikat, membuatnya terkesan tidak rapi. Evi mengabaikan itu, segera mengambil alih koper di tangan majikannya.“Lama banget buka pintunya ?” sungut Vida sambil masuk melewati Evi.“Maaf, Bu saya masih di kamar mandi tadi,” jawab Evi mencari alasan. Vida mengangguk melihat sekeliling ruangan yang belum selesai di pel oleh Evi. Melihat lagi penampilan Evi dengan risih. Biasanya perempuan muda yang telah memiliki anak itu tampak rapih. Rambut itu selal
Besok aja, ya Pah, Mamah cape,” tolak Vida sambil menyingkirkan tangan Bima dari pinggangnya. Bima mencelos, dia berbalik dengan hela napas berat. Entah sudah berapa kali Vida menolaknya dengan berbagai alasan. Padahal dirinya masih butuh, walaupun usia sudah tidak muda lagi. Dua tahun lagi dirinya memang berusia 50 tahun sedang istrinya tiga tahun di bawahnya. Anak mereka sudah besar. Yang sulung sudah selesai sekolahnya, baru tiga bulan lalu di ambil sumpah profesi sebagai dokter dan sekarang bekerja di rumah sakit swasta. Yang kedua masih kuliah semester 4 dan si bungsu SMA.Apakah memang dengan usia dan kondisi seperti ini tidak memungkinkan lagi untuk mereka melakukan itu? Apa yang salah? Mengapa istrinya selalu menolak?“Kita sudah tua, lo, Pah. Anak-anak udah gede,” tolaknya, atau pada lain waktu,“Mamah besok mau berangkat pagi, Pah takut kesiangan.” Lagi dan lagi, Bima harus menelan kecewa karena penolakan itu. Dirinya juga sudah lupa kapan terakhir mereka bersama. Lelaki y
“Kenapa Vi?” desak Vida lagi. Evi menghapus pelan air mata yang jatuh ke pipi. “Ibu mengabari kalau Ardan sakit, Bu. Saya khawatir,” jawabnya sambil menunduk, takut kebohongannya akan terbaca oleh Vida. Dalam hati dia berdoa semoga Ardan baik-baik saja. Bima diam-diam menghembuskan napas lega mendengarnya.“Kapan mengabarinya?” tanya Vida lagi tidak puas, rencana keberangkatan nya terancam batal kalau begini. Kenapa sih anak Evi harus sakit sekarang.“Tadi pagi abis subuh, Bu,” jawab Evi singkat berharap Vida mau membatalkan kepergiannya dan mengizinkannya pulang.“Ya sudah berkemas lah, nanti kalau Ardan sudah sembuh, cepat balik lagi kesini ya.” Putus Vida akhirnya. Dirinya tidak tega kalau alasannya karena anak Evi sakit, apalagi Evi sampai menangis seperti itu.“Ya sudah kamu bareng saya aja, saya antar, mumpung masih pagi, ayo,” ajak Bima sambil menegakkan diri. Dia sudah selesai memakai kaos kaki. Evi menggeleng seketika tanpa mengalihkan pandang. Bencinya pada Bima telah teras
Reina tidak pernah tahu cerita yang sebenarnya. Dia sangat membenci Anjas karena meninggalkannya pada saat dirinya bertarung di antara hidup dan mati. Anjas juga membiarkannya terpuruk sendiri. Pernah sekali saat dia diam-diam menemui Anjas karena ingin bertanya mengapa Anjas berubah, kenapa dia meninggalkannya. Anjas mengatakan.“Antara kita sudah selesai Reina, Aku memang hanya ingin bertanggung jawab karena kamu hamil,, selanjutnya kita cukup sampai di sini," jawab Anjas sambil memalingkan wajah. Tidak ingin melihat kekecewaan dan rasa sakit di mata Reina.“Nggak mungkin, Mas, kamu bohong kan?” tolak Reina, Anjas diam.“Lihat aku, Mas katakan kalau sebenarnya kamu bohong, katakan kalau kau nggak mungkin nyakitin aku seperti ini,” desak Reina dengan intonasi yang mulai naik. Air mata mulai mengalir di pipinya.“Sayangnya itu memang kenyataannya Rei, aku sudah tidak mencintaimu lagi, Rasa itu berubah.” Anjas menegarkan diri mengucapkan itu. Membekukan hati agar tidak terpengaruh oleh
Flsh back sebelum Reina melahirkan.“Kami butuh persetujuan untuk operasi, istri Bapak mengalami preeklamsi berat, keadaaan ini bisa mengancam nyawa ibu dan bayinya. Saat ini kami sedang melakukan perawatan untuk membuat kondisinya stabil.”“Tidak ada jalan lain selain operasi, Dokter?” tanya Anjas dengan hati nyeri. Dia sungguh bukan tidak ingin memberi yang terbaik untuk Reina untuk anaknya tetapi uang yang dirinya kumpulkan hanya cukup untuk persalinan normal di puskesmas. Jika harus operasi dari mana biayanya. Apalagi di rumah sakit besar seperti ini. Reina dirujuk ke rumah sakit karena tensi darah yang tinggi.Dokter menggeleng mematahkan harapan Anjas. Anjas menghembuskan napas panjang, tangannya bergerak menandatangani persetujuan operasi dengan pikiran kalut. Tidak tahu harus kemana mencari tambahan dana untuk biaya Reina. Namun nyawa Reina tetap harus diselamatkan, Anjas tidak ingin terjadi apa-apa dengannya. Usai menandatangani persetujuan, seorang perawat menggiringnya menu
“Kita pulang saja nanti kamu bisa menenangkan diri,” ajak Evi, Anjas mengangguk dan beranjak mengajak Evi mengikutinya ke mobil. Sampai di mobil Anjas mengingat jika Evi belum pernah tahu kehadiran ibunya. Anjas belum memberi tahunya.“Vi, dalam dua hari ini kamu sudah telpon Ibu?” tanya Anjas sambil mulai melajukan mobilnya.Evi menoleh dan menggeleng“Berapa kali Ibu ku telpon nggak ngangkat terakhir telpon, Ibu menolak video call hanya telpon biasa, Ibu bilang sedang di pasar,” jawabnya.“Kalau gitu kita ke rumah dulu ya, ada kejutan di rumah,” senyum Anjas, Evi menatapnya penuh tanya tetapi Anjas sudah kembali fokus ke jalan. Evi pun diam tidak jadi bertanya, percuma pikirnya jika Anjas sudah bilang kejutan dia tidak akan menjawab.Mobil melaju tenang membelah keramaian kota, hingga saat mobil berbelok di halaman rumah Anjas, pandangan Evi terpaku ke teras rumah. Tertegun tidak percaya.Evi masih diam saat Anjas telah menghentikan mobilnya dan mengajak turun. Di teras rumah itu Ev
“Evi ....” tegur seseorang dari belakang dengan suara yang tidak yakin. Evi berbalik menemukan Aila yang mendekatinya.“Ya ampun Evi, jadi beneran kamu mau nikah sama Pak Anjas?” tanyanya antusias setelah dekat. Evi tersenyum menyambutnya tanpa mengangguk atau menggeleng, Evi yakin Ibu satu anak di hadapannnya sudah tahu jawabannya.“Aku emang dah nyangka kalau kalian ada apa-apa. Pak Anjas hampir tidak pernah merekomendasikan orang, apalagi sampai menahan saat ingin resign ternyata memang ya,…” sambungnya sambil tertawa. Mantan atasannya itu mengelengkan kepala dengan sisa tawa yang belum hilang. Evi jadi mengerti berarti beberapa keringanan yang di terimanya selama bekerja memang atas campur tangan Anjas.Evi mengajak Aila untuk duduk tetapi dia menolak, katanya masih banyak pekerjaan yang harus dia lakukan, restoran memang tutup tetapi karyawan tetap diberdayakan untuk persiapan pesta. Selain tetap menerima gaji mereka juga dibayar .Hari ini Anjas memang mengajak Evi untuk melihat
Anjas menyambut kehadiran calon mertuanya dengan suka cita, mengambil alih anak yang berada dalam gendongan calon mertuanya. Anak lelaki itu nyaris seumur dengan Chesa tetapi badannya terlihat lebih kecil, mungkin karena ekonomi yang sulit dan dalam asuhan neneknya yang tidak seharusnya mengasuh anak kecil lagi. Chesa di sisinya ikut bertanya siapa dia tampak antusias sekali ingin menyentuh pipi anak yang tertidur pulas situ. Mereka datang bersama adiknya Faris yang memang dia minta untuk menjemput. Selain bersama ibunya Tati, faris juga datang bersama istri dan kedua anaknya yang masih berusia 3 tahun dan 1 tahun. Juga Fahri adik bungsunya yang masih kuliah. “Nak Anjas sungguh-sungguh berniat meminang Evi? Saya sungguh terkejut sekali saat tiba-tiba di jemput saya pikir saya akan diculik, ingin menelpon Evi tapi dilarang mereka bilang ini kejutan buat Evi, saya sudah banyak menduga-duga, tapi setelah saya pikir lagi tidak mungkin juga penculik membawa dua balita yang memanggilnya
Anjas menyambut Arinda turun dari mobil.“beres senua, Ma?” tanya Anjas sambil melirik barang belanjaan yang tampak memenuhi mobil bagian belakang. Anjas memanggil semua pekerjanya untuk menurunkan barang-barang itu. “Cape banget Uma, tugasmu malam ini buat pijit kaki Uma.”“Tugas Abak, itu Uma kan Abak yang minta pernikahan buru-buru,” elak Anjas. Mendengar namanya disebut Yasir menoleh lalu mencibir.“Ya kalau kamu nggak mau gampang kok tinggal dibatalkan saja.”“Eh, nggak ya Abak, semua udah bergerak kok mau dibatalkan,” gerutu Anjas, Arinda dan Yasir menahan senyum sambil menggelengkan kepalanya.*** “Kamu selama di sini nggak pernah ketemu Reina, Njas?” tanya Arinda saat mereka selesai makan malam. Anjas sudah tidak mengunyah ataupun minum. Sepeti kedua orang tuanya, Anjas pun sudah selesai makan beberapa menit lalu. Namun pertanyaan itu membautnya nayris tersedak.Dua kali sudah Anjas mendengar nama itu dihubungka padanya. Ada apa sebenarnya.“Kok Uma nanyain lagi, dia Cuma mas
“Sumringah banget, cepet banget ya perubahan cuaca,” goda Aldi saat Anjas memasuki kafe. Wajahnya memang terlihat cerah, senyum lebar tersungging di bibirnya, padahal kemarin masih tampak kusut.“Kabar baik nih kayaknya, “ sambung Dimas.Anjas mengambil tempat di antara mereka dengan senum yang hampir menyerupai tawa. Kafe belum begitu ramai. Pengunjung kafe ini memang banyak pada sore dan malam hari. Beda dengan restoran Anjas yang justru ramai pada pagi dan siang hari.“Gimana nih? Udah baikan sama Evi, Evi dah nerima kamu?”“Lebih dari itu, Bro.” Anjas menjawab tanya Reno, yang lain seketika mendekat, ingin tahu lebih banyak.“lo … udah ena-ena?” tanya Reno hati-hati.“Gila lo!” Anjas melempar Reno dengan gumpalan tisu. Marah sekali dia walaupun bercanda, mereka pikir Evi serendah itu.“Apa dong?” Dimas tampak tidak sabar.“Kalian harus bantu gue, gue mau nikah 2 minggu lagi,”“Hah gila lo,” umpat mereka serempak“Kayak udah kebelet banget lo mau nikah semendadak itu,” sungut Aldi.
Arinda tertegun mendengar pernyataan Evi. Janda anak satu yang sudah berusia 4 tahun. Dia seperti masih muda sekali, wajahnya tidak menunjukkan itu. Evi meremas tangannya dengan resah, dadanya berdebar kencang menunggu keputusan.Pertemuan ini sungguh tidak terduga, andai tahu dirinya sudah memaksimalkan diri. Namun percaya diri sekali dirinya akan di terima. Walaupun ragu sebenarnya Evi sangat mengharap di terima.“Kamu mencintai Anjas?” Bukannya menjawab, Arinda justru balik bertanya. Lidah Evi terasa kelu seketika. Pertanyaan itu terasa sulit untuk dijawab. Walaupun hatinya mengakui mencintai Anjas tetapi mengucapkannya Evi ragu. Evie takut perasaan Anjas padanya tidak lagi sama.Anjas menatap Evi menunggu jawaban, hatinya pun berdebar kencang, was-was Evi menjawab tidak sesuai harapan.“Nak, … kamu mencintai, Anjas?” Setelah lama tidak ada jawaban, Arinda mengulang pertanyaannya kembali.“Bu ….” Evi menghentikan kalimatnya, hatinya resah. Arinda masih bergeming menunggu.“Sa … say
Anjas menghela napas, merasa salah tingkah dengan pernyataan itu. Belum sempat dia menjawab, pesanan mereka datang. Anjas meminta Evi untuk menikmati dulu. Evi sebenarnya ingin cepat pergi tetapi pembicaraan mereka sama sekali belum mulai.“Maaf, Vi. Saat itu saya tidak tahu persoalan yang sebenarnya saya tidak mungkin gegabah,” jelas Anjas tentang mengapa dia tidak membela Evi.“Kita baru mengenal, Vi. Saya belum tahu banyak tentang kamu,” lanjutnya.“Kalau begitu biarkan saya pergi, Pak. Jangan cegah lagi, saya perlu memperbaiki hidup saya.”“Apa di sini kamu tidak bisa lebih baik?”Evi menggeleng.“Di sini Pak Bima telah tahu keberadaan saya, dia bisa datang sewaktu-waktu. Hubungan saya dengan Naina juga telah tidak baik, belum lagi Rehan dan istrinya. Saya ingin tenang Pak. Saya ingin pergi,” papar Evi. Dia sengaja tidak menyebutkan ingin melupakan lelaki di hadapannya menjadi alasan utama. Tidak ingin Anjas tahu.“Saya akan melindungi kamu kalau itu yang kamu khawatirkan Vi. Saya