Reina tidak pernah tahu cerita yang sebenarnya. Dia sangat membenci Anjas karena meninggalkannya pada saat dirinya bertarung di antara hidup dan mati. Anjas juga membiarkannya terpuruk sendiri. Pernah sekali saat dia diam-diam menemui Anjas karena ingin bertanya mengapa Anjas berubah, kenapa dia meninggalkannya. Anjas mengatakan.“Antara kita sudah selesai Reina, Aku memang hanya ingin bertanggung jawab karena kamu hamil,, selanjutnya kita cukup sampai di sini," jawab Anjas sambil memalingkan wajah. Tidak ingin melihat kekecewaan dan rasa sakit di mata Reina.“Nggak mungkin, Mas, kamu bohong kan?” tolak Reina, Anjas diam.“Lihat aku, Mas katakan kalau sebenarnya kamu bohong, katakan kalau kau nggak mungkin nyakitin aku seperti ini,” desak Reina dengan intonasi yang mulai naik. Air mata mulai mengalir di pipinya.“Sayangnya itu memang kenyataannya Rei, aku sudah tidak mencintaimu lagi, Rasa itu berubah.” Anjas menegarkan diri mengucapkan itu. Membekukan hati agar tidak terpengaruh oleh
Evi memberontak hebat dari kungkungan Bima, berusaha sekuat tenaga melepaskan diri. Namun percuma, tenaga itu terlalu kuat untuk dilawan, apalagi rumah sepi hanya mereka berdua. Tidak ada yang mendengar meski dirinya berteriak. Hujan di luar membuat keadaan di luar rumah pun sepi. Dia hanya bermaksud mengantarkan kopi yang diminta Bima. Majikan berusia hampir 50 tahun tampak sedang lembur dengan berkas berserakan. Evi meletakkan kopi itu di meja dekat Bima tetapi saat akan keluar Bima menariknya, memeluk tubuh rampingnya dan menjatuhkannya ke tempat tidur sambil meracau. “Sebentar saja Ma, Papah ingin sekali." “Please, Ma, Papah ingin sekali,” bisik Bima di telinga. Evi terperangah mendengar itu. Dia yakin sekali Bima saat ini sadar, tidak sedang mabuk. Namun mengapa dia menganggap dirinya, istri? “Pak saya Evi bukan Ibu,” bantah Evi mencoba menyadarkan Bima, Bima sempat tertegun tetapi saat merasakan Evi hampir terlepas dia segera memerangkapnya kembali. “Tolong jangan lakukan,
Evi tertegun lama, merasa takut untuk membuka pintu. Dia kembali ke kamar untuk melihat cermin. Meneliti kembali setiap inci leher nya. Takut sekali jika tanda merah itu masih terlihat. Namun suara bel yang dibunyikan dengan tidak sabar, membuat perempuan semampai dengan tinggi 155 cm harus tergesa membuka pintu.“Ibu sudah pulang?” sambut Evi sedikit gugup, Di hadapannya berdiri wanita setengah baya berjilbab yang masih terlihat cantik. Dia mengernyit melihat seperti ada yang berbeda dengan penampilan Evi. Rambutnya tampak terurai tidak diikat, membuatnya terkesan tidak rapi. Evi mengabaikan itu, segera mengambil alih koper di tangan majikannya.“Lama banget buka pintunya ?” sungut Vida sambil masuk melewati Evi.“Maaf, Bu saya masih di kamar mandi tadi,” jawab Evi mencari alasan. Vida mengangguk melihat sekeliling ruangan yang belum selesai di pel oleh Evi. Melihat lagi penampilan Evi dengan risih. Biasanya perempuan muda yang telah memiliki anak itu tampak rapih. Rambut itu selal
Besok aja, ya Pah, Mamah cape,” tolak Vida sambil menyingkirkan tangan Bima dari pinggangnya. Bima mencelos, dia berbalik dengan hela napas berat. Entah sudah berapa kali Vida menolaknya dengan berbagai alasan. Padahal dirinya masih butuh, walaupun usia sudah tidak muda lagi. Dua tahun lagi dirinya memang berusia 50 tahun sedang istrinya tiga tahun di bawahnya. Anak mereka sudah besar. Yang sulung sudah selesai sekolahnya, baru tiga bulan lalu di ambil sumpah profesi sebagai dokter dan sekarang bekerja di rumah sakit swasta. Yang kedua masih kuliah semester 4 dan si bungsu SMA.Apakah memang dengan usia dan kondisi seperti ini tidak memungkinkan lagi untuk mereka melakukan itu? Apa yang salah? Mengapa istrinya selalu menolak?“Kita sudah tua, lo, Pah. Anak-anak udah gede,” tolaknya, atau pada lain waktu,“Mamah besok mau berangkat pagi, Pah takut kesiangan.” Lagi dan lagi, Bima harus menelan kecewa karena penolakan itu. Dirinya juga sudah lupa kapan terakhir mereka bersama. Lelaki y
“Kenapa Vi?” desak Vida lagi. Evi menghapus pelan air mata yang jatuh ke pipi. “Ibu mengabari kalau Ardan sakit, Bu. Saya khawatir,” jawabnya sambil menunduk, takut kebohongannya akan terbaca oleh Vida. Dalam hati dia berdoa semoga Ardan baik-baik saja. Bima diam-diam menghembuskan napas lega mendengarnya.“Kapan mengabarinya?” tanya Vida lagi tidak puas, rencana keberangkatan nya terancam batal kalau begini. Kenapa sih anak Evi harus sakit sekarang.“Tadi pagi abis subuh, Bu,” jawab Evi singkat berharap Vida mau membatalkan kepergiannya dan mengizinkannya pulang.“Ya sudah berkemas lah, nanti kalau Ardan sudah sembuh, cepat balik lagi kesini ya.” Putus Vida akhirnya. Dirinya tidak tega kalau alasannya karena anak Evi sakit, apalagi Evi sampai menangis seperti itu.“Ya sudah kamu bareng saya aja, saya antar, mumpung masih pagi, ayo,” ajak Bima sambil menegakkan diri. Dia sudah selesai memakai kaos kaki. Evi menggeleng seketika tanpa mengalihkan pandang. Bencinya pada Bima telah teras
Evi menahan air mata yang mendesak ingin keluar setelah Bima pergi. Dia tidak boleh menangis. Jangan sampai orang-orang nanti berprasangka macam-macam karena melihatnya menangis. Tidak dia tidak boleh menangis.Sungguh Evi takut sekali kalau dirinya sampai hamil. Ardan sudah tidak memiliki ayah karena ayahnya selingkuh. Lalu bila dia sampai hamil mungkinkah dirinya bisa menuntut Bima untuk bertanggung jawab. Dia dulu butuh waktu setahun untuk hamil, mudah-mudahan sekarang juga dia tidak secepat itu hamil.Evi mendongak menahan air mata. memaksa dirinya melanjutkan langkah menuju pangkalan ojek. Mengabaikan dadanya yang terasa sesak dan air mata yang terus mendesak.“Loh, Vi pulang,” tegur seorang tukang ojek saat dirinya dekat, dia memberikan helm pada Evi. “Kamu dari nangis?” tanyanya sebelum Evi sempat memakai helm. Evi segera menutupinya dengan helm“Nggak Paklik tadi kelilipan debu,” kilahnya, dia mengenal tukang ojek itu sebagai tetangganya, hampir semua tukang oejk di sini mema
Tati menutup teleponnya yang sambungannya telah terputus. Matanya menatap tajam pada langkah Evi yang memasuki rumah. Berbagai tanya memenuhi benaknya.“Kenapa, Bu?” tanya Evi tidak mengerti dengan tatapan Tati. Perasaan tidak nyaman memenuhi hatinya. Apalagi melihat Tati sedang memegang hand pone miliknya.“Majikanmu barusan telepon, menanyakan kapan kembali ke sana, dan kamu beralasan Ardan sakit untuk pulang?” jelas Tati dengan nada kesal pada akhir kalimat. Dia sangat tidak menyukai alasan Evi yang mengatakan Ardan sakit.“Maafkan, Evi, Bu,”sesal Evi sambil menunduk. Dirinya juga menyesali alasan itu, tetapi hanya itu yang terpikir olehnya. Dia hanya ingin pulang menjauh dari Bima.“Ibu sudah mengtakan kamu akan kembali sore nanti.”Evi mengangkat wajah, menggeleng seketika mendengar keputusan itu, matanya berkaca.“Evi nggak mau kembali ke sana, Bu,” cicitnya menahan isak.“Iya tapi kenapa?” desak Tati kesal. Dadanya terasa bergemuruh, air mata Evi, jatuh mengalir di pipi. Dia m
Evi menunduk, tidak tahu harus memberi alasan apa. Bima pun tampak diam tanpa kata. Haruskah Evi mengatakan alasan itu, Bima telah menodainya, apakah Vida akan percaya? Andai dia bisa dengan mudah mengungkap kebenaran itu.“Saya sudah bilang kan, Vi saya tidak akan memberikan gaji mu bulan ini jika memutuskan pergi, apalagi tidak ada pengganti,” lanjut Vida, ini hanya gertakan meskipun tegas Vida tidak akan setega itu menahan hak orang lain. Dirinya hanya ingin Evi memikirkan nya lagi setidaknya sebelum dirinya mendapat pengganti Evi.Dirinya sungguh penasaran, ada apa sebenarnya di balik niat Evi untuk berhenti. Tadi melihat Evi kembali hatinya sudah lega berpikir prasangkanya terpatahkan. Namun Evi justru datang untuk meminta berhenti.Dia tahu Evi butuh pekerjaan ini untuk Ibu dan anaknya, mengapa berhenti? Terlalu mendesakkah alasan itu hingga membuatnya berhenti tiba-tiba.Lama waktu berlalu, Evi terlihat masih diam, dia bergerak gelisah. Vida menghela napas, alasan yang tunggu t