Evi menahan air mata yang mendesak ingin keluar setelah Bima pergi. Dia tidak boleh menangis. Jangan sampai orang-orang nanti berprasangka macam-macam karena melihatnya menangis. Tidak dia tidak boleh menangis.
Sungguh Evi takut sekali kalau dirinya sampai hamil. Ardan sudah tidak memiliki ayah karena ayahnya selingkuh. Lalu bila dia sampai hamil mungkinkah dirinya bisa menuntut Bima untuk bertanggung jawab. Dia dulu butuh waktu setahun untuk hamil, mudah-mudahan sekarang juga dia tidak secepat itu hamil.
Evi mendongak menahan air mata. memaksa dirinya melanjutkan langkah menuju pangkalan ojek. Mengabaikan dadanya yang terasa sesak dan air mata yang terus mendesak.
“Loh, Vi pulang,” tegur seorang tukang ojek saat dirinya dekat, dia memberikan helm pada Evi.
“Kamu dari nangis?” tanyanya sebelum Evi sempat memakai helm. Evi segera menutupinya dengan helm
“Nggak Paklik tadi kelilipan debu,” kilahnya, dia mengenal tukang ojek itu sebagai tetangganya, hampir semua tukang oejk di sini memang tetangganya. Untunglah tukang ojek itu juga tidak memperpanjang pertanyaannya. Dia cukup menyadari masalah Evi bukan ranahnya.
“Oh, yo buruan naik,” perintahnya, Evi menurut. Motor itu melaju menelusuri jalan desa yang tidak mulus. Beberapa kali Evi harus menoleh dan tersenyum pada yang berpapasan, semoga saja mereka tidak menyadari wajahnya yang habis menangis.
“Evi,” seru Tati, ibunya Evi saat Evi turun dari ojek. Dia tertegun dengan kepulangan Evi Ini belum waktunya Evi pulang, saat ini juga bukan hari minggu. Wanita setengah baya belum terlalu tua sebenarnya. Masih menjelang 60 tahun. Hidup yang keras membuatnya terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. Dia menyambut Evi dengan benak dipenuhi tanda tanya.
Belum sempat Tati bertanya, langkah kecil dari dalam rumah melewatinya, menghambur pada Evi.
“Mbu,” serunya, Evi menyambutnya membawa dalam gendongan, menciumi wajahnya. Bocah empat tahun itu tertawa senang. Dia tampan dan ceria, wajah itu sama sekali tidak mirip Evi. Sangat jelas sekali mencetak wajah lelaki itu. Lelaki yang telah mengkhianatinya.
Tati membantu membawa tas Evi masuk kerumah sementara Evi menggendong Ardan yang tidak mau lepas darinya. Dia seringkali merengek bila ditinggal Evi, tetapi Evi memang harus bekerja.
“Ada apa, Vi kenapa kamu pulang mendadak?” tanya Tati setelah Evi menidurkan Ardan malamnya. Setiap kali Evi pulang, Ardan jadi manja sekali. Semuanya harus dengan Evi. Mungkin itu karena dia kangen. Kasihan memang anak sekecil itu tidak mengenal ayahnya dan harus selalu ditinggal Evi bekerja.
“ Evi cape, Bu. Evi ingin berhenti,” jawab Evi pelan tanpa berani memandang ibunya. Dia takut ibunya dapat membaca apa yang terjadi. Evi tidak sanggup untuk menceritakannya. Tati memandang Evi mencoba mencari jawab di wajah itu. Evi selama ini tidak pernah mengeluhkan apapun. Semua baik-baik saja. Mengapa sekarang ingin berhenti?
“Ada apa? Bukankah mereka selama ini baik? Atau dirimu membuat kesalahan?” selidik Tati, Evi menggeleng cepat.
“Evi Cuma ingin berhenti, Bu, Evi pengen cari kerjaan lain yang nggak harus nginep ninggalin Ardan,” tanggap Evi masih bertahan dengan alasannya. Tati masih menatap Evi menuntut jawaban, merasa jawaban itu bukan yang sebenarnya. Evi sudah terlihat habis menangis saat turun dari ojek. Jadi tidak mungkin masalah itu tentang Ardan.
“Kalau gitu biar Ibu aja yang kerja,” putus Tati, Evi menggeleng seketika.
“Enggak Bu, Evi nggak mau Ibu kerja. Evi akan tetap cari kerja tetapi nggak di situ lagi, ” tanggap Evi menolak usulnya.
“Kalau begitu katakan ada apa, Vi? Ibu yakin ini bukan hanya tentang Ardan,” desak perempuan paruh baya dengan rambut yang telah memutih.
“Nggak, Bu, nggak ada apa-apa,” jawab Evi. Perempuan berkulit putih itu menunduk, tidak berani menentang mata Tati. Tati jadi semakin yakin ada yang putrinya sembunyikan dibalik niatnya untuk berhenti. Tati menghela napas. Dia tidak mendesak lagi, percuma putri bungsunya itu tetap tidak akan bicara. Nanti juga bila sudah siap dia akan bercerita.
“Ya sudah, tidurlah sudah malam,” ajak Tati menghentikan pandangan Evi yang menerawang jauh. Tati sungguh cemas sebenarnya. Tanda tanya besar bersemayam di hatinya.
Mengapa Evi ingin berhenti? Tadi siang saat baru sampai, masih sangat diingatnya. Matanya sembab seperti habis menangis. Wajahnya murung seperti ada beban berat yang ditanggung. Ada apa sebenarnya? Tati hanya berharap Evi memang benar tidak ada apa-apa.
Mereka hanya tinggal bertiga. Dua anaknya yang lain tinggal jauh berbeda pulau. Ekonomi mereka juga tidak begitu baik sehingga jarang pulang. Suaminya telah lama meninggal saat Evi baru duduk di sekolah menengah pertama. Cukup terseok Evi menyelesaikan sekolah hingga tidak melanjutkan lagi.
Evi memilih bekerja bersamanya waktu itu. Dirinya baru berhenti setelah Evi berpisah dari suaminya. Dia memutuskan menyebrang ke lampung mengikuti tetangga yang telah sukses di sana. Berbekal tabungannya selama bekerja mereka membeli tanah dan rumah tidak permanen yang saat itu cukup murah. Dia lalu bekerja sebagai buruh sambil membantu Evi melalui kehamilan seorang diri dan merawat Ardan.
Dirinya berpikir akan kembali bekerja setelah Evi bisa mandiri mengurus bayi. Namun Evi justru melarang dirinya bekerja. Dia bilang dia saja, dirinya di rumah saja bersama Ardan Dari hasil evi rumah mereka yang awalnya tidak permanen dapat diperbaiki sedikit demi sedikit.
Nasib Evi memang tidak beruntung, suaminya selingkuh meninggalkannya justru saat Evi hamil. Setahun mereka menunggu hadirnya buah hati, saat hadir ternyata suaminya telah menghamili wanita lain. Evi memilih berpisah saat itu.
Saat ini Tati seperti melihat Evi yang baru ditinggal suaminya. Murung, sering kaget bila ditegur. Pikirannya seperti menerawang jauh. Tati sungguh cemas sekali. Menebak-nebak masalah apa yang terjadi dengan majikannya hingga Evi seperti ini.
Dirinya memang mengurus Ardan dengan baik, Evi akan tersenyum saat Ardan berceloteh atau menunjukkan mainannya. Namun tawanya tidak lepas, mata itu menyimpan kesedihan yang dalam. Tati sangat mengenal Evi, dia tidak akan seperti ini bila tidak ada apa-apa.
Pagi itu hari kedua, Evi menginap di rumah. Evi sedang menjemur baju di luar saat dering telpon mengagetkan Tati. Nama majikan Evi tertera di layar. Tati segera mengangkatnya. Semenjak Evi sering bekerja jauh Tati memang sudah biasa mengangkat telepon.
“Ini Evi?” tanya suara di seberang setelah menjawab salam Tati.
“Bukan, Bu, saya ibunya, Evi sedang menjemur baju,” jawab Tati
“Oh, saya Vida Bu, mau tanya Evi jadi ke rumah hari ini kan? Ardannya sudah sembuh?” Tati membeku mendengar pertanyaan itu. Merasa ada yang tidak beres. Mengapa Evi masih berniat kembali jika kemarin dia bilang mau berhenti. Lalu Ardan sudah sembuh? Evi beralasan Ardan sakit untuk pulang?
Tati menutup teleponnya yang sambungannya telah terputus. Matanya menatap tajam pada langkah Evi yang memasuki rumah. Berbagai tanya memenuhi benaknya.“Kenapa, Bu?” tanya Evi tidak mengerti dengan tatapan Tati. Perasaan tidak nyaman memenuhi hatinya. Apalagi melihat Tati sedang memegang hand pone miliknya.“Majikanmu barusan telepon, menanyakan kapan kembali ke sana, dan kamu beralasan Ardan sakit untuk pulang?” jelas Tati dengan nada kesal pada akhir kalimat. Dia sangat tidak menyukai alasan Evi yang mengatakan Ardan sakit.“Maafkan, Evi, Bu,”sesal Evi sambil menunduk. Dirinya juga menyesali alasan itu, tetapi hanya itu yang terpikir olehnya. Dia hanya ingin pulang menjauh dari Bima.“Ibu sudah mengtakan kamu akan kembali sore nanti.”Evi mengangkat wajah, menggeleng seketika mendengar keputusan itu, matanya berkaca.“Evi nggak mau kembali ke sana, Bu,” cicitnya menahan isak.“Iya tapi kenapa?” desak Tati kesal. Dadanya terasa bergemuruh, air mata Evi, jatuh mengalir di pipi. Dia m
Evi menunduk, tidak tahu harus memberi alasan apa. Bima pun tampak diam tanpa kata. Haruskah Evi mengatakan alasan itu, Bima telah menodainya, apakah Vida akan percaya? Andai dia bisa dengan mudah mengungkap kebenaran itu.“Saya sudah bilang kan, Vi saya tidak akan memberikan gaji mu bulan ini jika memutuskan pergi, apalagi tidak ada pengganti,” lanjut Vida, ini hanya gertakan meskipun tegas Vida tidak akan setega itu menahan hak orang lain. Dirinya hanya ingin Evi memikirkan nya lagi setidaknya sebelum dirinya mendapat pengganti Evi.Dirinya sungguh penasaran, ada apa sebenarnya di balik niat Evi untuk berhenti. Tadi melihat Evi kembali hatinya sudah lega berpikir prasangkanya terpatahkan. Namun Evi justru datang untuk meminta berhenti.Dia tahu Evi butuh pekerjaan ini untuk Ibu dan anaknya, mengapa berhenti? Terlalu mendesakkah alasan itu hingga membuatnya berhenti tiba-tiba.Lama waktu berlalu, Evi terlihat masih diam, dia bergerak gelisah. Vida menghela napas, alasan yang tunggu t
“Ma, Papa enggak ada hubungan apa-apa dengan Evi. Mama kenapa sih kok jadi menuduh Papa begitu?” elak Bima, hatinya gusar atas tuduhan itu. Dia tidak ada hubungan apa-apa, malam itu dia hanya … khilaf.“Oke mungkin pertanyaan Mama perlu diralat,” tanggap Vida mencoba tenang,” Apa yang terjadi pada Papa dan Evi saat Mama pergi? Apa yang Papa lakukan padanya? Sehingga Evi harus tutup mulut dan Papa bermaksud bertanggung jawab padanya?”Bima terpana, lidahnya kelu seketika. Benaknya sibuk mencari alasan yang bisa untuk membela diri tatapan tajam Vida membuatnya terintimidasi.“Mama mendengar semuanya, Pa, apa yang Papa ucapkan pada Evi tadi. Jadi tidak perlu mengelak lagi,” jelas Vida, dadanya terasa sesak seketika. Dia sudah bisa menebak apa yang terjadi hanya saja ada sebagian kecil hatinya yang menolak itu. Dirinya sangat mempercayai suaminya. Dia ingin Bima menyangkal itu, mengatakan itu semua hanya dugaan nya. Ingin sekali kejadian sesungguhnya bukan seperti yang tertera di benakny
Evi menyediakan minuman es teh dan sedikit kudapan. Ada dua orang pekerja di depan rumahnya sedang memasang terpal. Evi berencana menggunakan gaji dari majikannya untuk modal berdagang gorengan soto dan pecel. Setidaknya dengan cara itu Evi tidak perlu menggunakan tabungan yang selama ini dia kumpulkan.Evi melanjutkan dengan memeriksa belanjaan nya. Menyusun perkakas yang akan dibutuhkan. Tati membantunya sambil menggerutu, menyesali keputusannya berhenti. Kemarin Tati pikir Evi pergi ke sana untuk kembali bekerja ternyata justru hanya mengambil semua bajunya.“Ya sudahlah terserah kamu saja,” putus Tati akhirnya. Dirinya bukan ingin memaksa Evi terus bekerja, hanya dirinya cemas, bagaimana mereka bila Evi turut menganggur. Apalagi Ardan tahun depan masuk sekolah.Tati meninggalkan Evi, melangkah keluar rumah. Mengawasi Ardan khawatir mengganggu pekerja. Namun Ardan hanya duduk di bawah pohon jambu memandang mereka. Evi menghela napas, memahami kekecewaan Ibu padanya. Kemarin juga
[Vi, setelah Mama sehat aku akan mengatakan tentang hubungan kita] pesan w******p dari Arif masuk ke ponsel Evi.[Hubungan apa, Mas? Kita tidak ada hubungan apa-apa] balas Evi. [Vi, kamu apa-apan, sih] Arif tidak terima dengan jawaban Evi. Gusar dan kesal, Evi tidak pernah menganggap serius perasaannya.[Sudah, Mas jangan buat Ibu kembali sakit dengan rencanamu. Sudah ya Mas, saya enggak mau ada masalah lagi][Masalah apa yang kamu maksud?] Evi memijat tombol non aktif pada ponsel nya, tidak ingin membalas lagi Tidak ingin membaca pesan apa pun lagi dari Arif. Sejak kepulangan nya waktu itu dia gencar sekali menyerangnya dengan pesan WA. Tidak pernah menelpon karena Evi yakin, Arif tidak ingin hubungan mereka diketahui teman-temannya.Pengalaman ditinggal suami telah mengajarkan Evi untuk selalu berhati-hati menerima pernyataan cinta. Tidak terbuai karenanya hingga mematikan logika. Sejak awal perempuan berhidung mancung itu selalu meragukan cinta Arif padanya.Jika belum menikah saja
“Sebentar, Bu. Evi sakit perut,”kata Evi setelah pintu kamarnya terbuka, dia sedikit membungkuk dan meringis memegang perutnya. Sebelum Tati sempat bertanya, Evi telah tergesa berlari menuju kamar mandi. Tati hanya menghela napas.Evi sengaja melakukan itu agar ibunya tidak melihat sisa tangis di wajahnya, juga tidak bertanya dirinya kenapa.“Kamu nggak macam-macam kan sama Pak Bima tadi? Ngapain dia datang?” tanya Tati saat Evi keluar dari kamar mandi. Evi tertegun mendengar pertanyaan itu dan tatap tajam ibunya.“Bu kami hanya bicara tadi? Pak Bima Cuma nanya kenapa Evi berhenti,” kilah Evi perlahan.“Lalu kenapa kamu nangis? Kamu jangan bohong, Nak, Ibu tahu sekali bagaimana kamu,” desak Tati hampir menangis, dia sangat yakin ada sesuatu yang membuat Evi memutuskan berhenti. Tati juga khawatir bisa sesuatu itu adalah hal yang fatal untuk mereka. Entah itu apa, wanita paruh baya itu tidak berani untuk menebak.Mendengar itu air mata Evi kembali jatuh tidak tertahankan, dia menghambur
Masih pagi sekali, Evi masih menyiapkan dagangan saat mobil itu berhenti di depan rumahnya. Perempuan muda itu tertegun melihat Vida dan Arif turun dari sana. Tidak ada senyum ramah, wajah mereka terlihat tegang. Tampak beberapa kali Arif mencoba menahan langkah ibunya tetapi tidak dipedulikan.Langkah itu sampai ke hadapan Evi, Evi buru-buru meletakkan bawaannya dan mengajak mereka masuk ke rumah. Perasaannya sungguh tidak nyaman melihat wajah majikannya yang keruh. Tati yang sedang menyuapi Ardan terhenti melihat mereka.Jika mereka datang sebelum dirinya tahu kehamilan Evi, Tati akan senang mengira mereka akan mengajak Evi bekerja lagi. Namun ini sepertinya berhubungan dengan masalah Evi. Wajah kelam majikan Evi, menunjukkan itu.“Kamu sembunyikan suami saya di mana?” tanya Vida sambil menolak duduk. Matanya berputar melihat sekeliling ruangan. Rumah yang hanya terdiri dari dua kamar, dinding semi permanen dan ruang tengah menyatu dengan ruang tamu. Jika suaminya ada dia akan mudah
Keributan di luar menyadarkan Evi dari tangis nya. Suara teriakan ibunya dan keriuhan lain memecah pagi. Jantung Evi seakan ingin berhenti mendengarnya. Evi menghapus kasar air matanya, beranjak keluar dengan langkah tergesa. Namun keadaan di luar membuatnya terpaku. Tidak ada badai tetapi semua yang terjadi lebih dari sekedar badai. “Dasar pelakor, perempuan nggak bener …” Berbagai umpatan terlontar dari mulut mereka sambil mengacak dagangannya. “Hentikan Ibu-ibu tolong hentikan!” teriak Tati sambil berusaha menyelamatkan beberapa dagangan.Evi terpaku melihat itu, hatinya teremas sakit. Dia sudah bangun subuh merebus sayuran. Menggiling bumbu pecel. Menyiapkan isian gorengan kini hancur. Setega itu mereka. Tatapan mereka tampak beringas menatapnya.Beberapa warga mulai berdatangan ingin melihat apa yang terjadi. Saling bertanya, ikut mengacau. Ada juga yang melerai. Bagaimanapun mereka mengenal baik Evi dan Tati selama ini.“Tolong jangan lakukan itu,” tangis Tati putus asa, dia t
Reina tidak pernah tahu cerita yang sebenarnya. Dia sangat membenci Anjas karena meninggalkannya pada saat dirinya bertarung di antara hidup dan mati. Anjas juga membiarkannya terpuruk sendiri. Pernah sekali saat dia diam-diam menemui Anjas karena ingin bertanya mengapa Anjas berubah, kenapa dia meninggalkannya. Anjas mengatakan.“Antara kita sudah selesai Reina, Aku memang hanya ingin bertanggung jawab karena kamu hamil,, selanjutnya kita cukup sampai di sini," jawab Anjas sambil memalingkan wajah. Tidak ingin melihat kekecewaan dan rasa sakit di mata Reina.“Nggak mungkin, Mas, kamu bohong kan?” tolak Reina, Anjas diam.“Lihat aku, Mas katakan kalau sebenarnya kamu bohong, katakan kalau kau nggak mungkin nyakitin aku seperti ini,” desak Reina dengan intonasi yang mulai naik. Air mata mulai mengalir di pipinya.“Sayangnya itu memang kenyataannya Rei, aku sudah tidak mencintaimu lagi, Rasa itu berubah.” Anjas menegarkan diri mengucapkan itu. Membekukan hati agar tidak terpengaruh oleh
Flsh back sebelum Reina melahirkan.“Kami butuh persetujuan untuk operasi, istri Bapak mengalami preeklamsi berat, keadaaan ini bisa mengancam nyawa ibu dan bayinya. Saat ini kami sedang melakukan perawatan untuk membuat kondisinya stabil.”“Tidak ada jalan lain selain operasi, Dokter?” tanya Anjas dengan hati nyeri. Dia sungguh bukan tidak ingin memberi yang terbaik untuk Reina untuk anaknya tetapi uang yang dirinya kumpulkan hanya cukup untuk persalinan normal di puskesmas. Jika harus operasi dari mana biayanya. Apalagi di rumah sakit besar seperti ini. Reina dirujuk ke rumah sakit karena tensi darah yang tinggi.Dokter menggeleng mematahkan harapan Anjas. Anjas menghembuskan napas panjang, tangannya bergerak menandatangani persetujuan operasi dengan pikiran kalut. Tidak tahu harus kemana mencari tambahan dana untuk biaya Reina. Namun nyawa Reina tetap harus diselamatkan, Anjas tidak ingin terjadi apa-apa dengannya. Usai menandatangani persetujuan, seorang perawat menggiringnya menu
“Kita pulang saja nanti kamu bisa menenangkan diri,” ajak Evi, Anjas mengangguk dan beranjak mengajak Evi mengikutinya ke mobil. Sampai di mobil Anjas mengingat jika Evi belum pernah tahu kehadiran ibunya. Anjas belum memberi tahunya.“Vi, dalam dua hari ini kamu sudah telpon Ibu?” tanya Anjas sambil mulai melajukan mobilnya.Evi menoleh dan menggeleng“Berapa kali Ibu ku telpon nggak ngangkat terakhir telpon, Ibu menolak video call hanya telpon biasa, Ibu bilang sedang di pasar,” jawabnya.“Kalau gitu kita ke rumah dulu ya, ada kejutan di rumah,” senyum Anjas, Evi menatapnya penuh tanya tetapi Anjas sudah kembali fokus ke jalan. Evi pun diam tidak jadi bertanya, percuma pikirnya jika Anjas sudah bilang kejutan dia tidak akan menjawab.Mobil melaju tenang membelah keramaian kota, hingga saat mobil berbelok di halaman rumah Anjas, pandangan Evi terpaku ke teras rumah. Tertegun tidak percaya.Evi masih diam saat Anjas telah menghentikan mobilnya dan mengajak turun. Di teras rumah itu Ev
“Evi ....” tegur seseorang dari belakang dengan suara yang tidak yakin. Evi berbalik menemukan Aila yang mendekatinya.“Ya ampun Evi, jadi beneran kamu mau nikah sama Pak Anjas?” tanyanya antusias setelah dekat. Evi tersenyum menyambutnya tanpa mengangguk atau menggeleng, Evi yakin Ibu satu anak di hadapannnya sudah tahu jawabannya.“Aku emang dah nyangka kalau kalian ada apa-apa. Pak Anjas hampir tidak pernah merekomendasikan orang, apalagi sampai menahan saat ingin resign ternyata memang ya,…” sambungnya sambil tertawa. Mantan atasannya itu mengelengkan kepala dengan sisa tawa yang belum hilang. Evi jadi mengerti berarti beberapa keringanan yang di terimanya selama bekerja memang atas campur tangan Anjas.Evi mengajak Aila untuk duduk tetapi dia menolak, katanya masih banyak pekerjaan yang harus dia lakukan, restoran memang tutup tetapi karyawan tetap diberdayakan untuk persiapan pesta. Selain tetap menerima gaji mereka juga dibayar .Hari ini Anjas memang mengajak Evi untuk melihat
Anjas menyambut kehadiran calon mertuanya dengan suka cita, mengambil alih anak yang berada dalam gendongan calon mertuanya. Anak lelaki itu nyaris seumur dengan Chesa tetapi badannya terlihat lebih kecil, mungkin karena ekonomi yang sulit dan dalam asuhan neneknya yang tidak seharusnya mengasuh anak kecil lagi. Chesa di sisinya ikut bertanya siapa dia tampak antusias sekali ingin menyentuh pipi anak yang tertidur pulas situ. Mereka datang bersama adiknya Faris yang memang dia minta untuk menjemput. Selain bersama ibunya Tati, faris juga datang bersama istri dan kedua anaknya yang masih berusia 3 tahun dan 1 tahun. Juga Fahri adik bungsunya yang masih kuliah. “Nak Anjas sungguh-sungguh berniat meminang Evi? Saya sungguh terkejut sekali saat tiba-tiba di jemput saya pikir saya akan diculik, ingin menelpon Evi tapi dilarang mereka bilang ini kejutan buat Evi, saya sudah banyak menduga-duga, tapi setelah saya pikir lagi tidak mungkin juga penculik membawa dua balita yang memanggilnya
Anjas menyambut Arinda turun dari mobil.“beres senua, Ma?” tanya Anjas sambil melirik barang belanjaan yang tampak memenuhi mobil bagian belakang. Anjas memanggil semua pekerjanya untuk menurunkan barang-barang itu. “Cape banget Uma, tugasmu malam ini buat pijit kaki Uma.”“Tugas Abak, itu Uma kan Abak yang minta pernikahan buru-buru,” elak Anjas. Mendengar namanya disebut Yasir menoleh lalu mencibir.“Ya kalau kamu nggak mau gampang kok tinggal dibatalkan saja.”“Eh, nggak ya Abak, semua udah bergerak kok mau dibatalkan,” gerutu Anjas, Arinda dan Yasir menahan senyum sambil menggelengkan kepalanya.*** “Kamu selama di sini nggak pernah ketemu Reina, Njas?” tanya Arinda saat mereka selesai makan malam. Anjas sudah tidak mengunyah ataupun minum. Sepeti kedua orang tuanya, Anjas pun sudah selesai makan beberapa menit lalu. Namun pertanyaan itu membautnya nayris tersedak.Dua kali sudah Anjas mendengar nama itu dihubungka padanya. Ada apa sebenarnya.“Kok Uma nanyain lagi, dia Cuma mas
“Sumringah banget, cepet banget ya perubahan cuaca,” goda Aldi saat Anjas memasuki kafe. Wajahnya memang terlihat cerah, senyum lebar tersungging di bibirnya, padahal kemarin masih tampak kusut.“Kabar baik nih kayaknya, “ sambung Dimas.Anjas mengambil tempat di antara mereka dengan senum yang hampir menyerupai tawa. Kafe belum begitu ramai. Pengunjung kafe ini memang banyak pada sore dan malam hari. Beda dengan restoran Anjas yang justru ramai pada pagi dan siang hari.“Gimana nih? Udah baikan sama Evi, Evi dah nerima kamu?”“Lebih dari itu, Bro.” Anjas menjawab tanya Reno, yang lain seketika mendekat, ingin tahu lebih banyak.“lo … udah ena-ena?” tanya Reno hati-hati.“Gila lo!” Anjas melempar Reno dengan gumpalan tisu. Marah sekali dia walaupun bercanda, mereka pikir Evi serendah itu.“Apa dong?” Dimas tampak tidak sabar.“Kalian harus bantu gue, gue mau nikah 2 minggu lagi,”“Hah gila lo,” umpat mereka serempak“Kayak udah kebelet banget lo mau nikah semendadak itu,” sungut Aldi.
Arinda tertegun mendengar pernyataan Evi. Janda anak satu yang sudah berusia 4 tahun. Dia seperti masih muda sekali, wajahnya tidak menunjukkan itu. Evi meremas tangannya dengan resah, dadanya berdebar kencang menunggu keputusan.Pertemuan ini sungguh tidak terduga, andai tahu dirinya sudah memaksimalkan diri. Namun percaya diri sekali dirinya akan di terima. Walaupun ragu sebenarnya Evi sangat mengharap di terima.“Kamu mencintai Anjas?” Bukannya menjawab, Arinda justru balik bertanya. Lidah Evi terasa kelu seketika. Pertanyaan itu terasa sulit untuk dijawab. Walaupun hatinya mengakui mencintai Anjas tetapi mengucapkannya Evi ragu. Evie takut perasaan Anjas padanya tidak lagi sama.Anjas menatap Evi menunggu jawaban, hatinya pun berdebar kencang, was-was Evi menjawab tidak sesuai harapan.“Nak, … kamu mencintai, Anjas?” Setelah lama tidak ada jawaban, Arinda mengulang pertanyaannya kembali.“Bu ….” Evi menghentikan kalimatnya, hatinya resah. Arinda masih bergeming menunggu.“Sa … say
Anjas menghela napas, merasa salah tingkah dengan pernyataan itu. Belum sempat dia menjawab, pesanan mereka datang. Anjas meminta Evi untuk menikmati dulu. Evi sebenarnya ingin cepat pergi tetapi pembicaraan mereka sama sekali belum mulai.“Maaf, Vi. Saat itu saya tidak tahu persoalan yang sebenarnya saya tidak mungkin gegabah,” jelas Anjas tentang mengapa dia tidak membela Evi.“Kita baru mengenal, Vi. Saya belum tahu banyak tentang kamu,” lanjutnya.“Kalau begitu biarkan saya pergi, Pak. Jangan cegah lagi, saya perlu memperbaiki hidup saya.”“Apa di sini kamu tidak bisa lebih baik?”Evi menggeleng.“Di sini Pak Bima telah tahu keberadaan saya, dia bisa datang sewaktu-waktu. Hubungan saya dengan Naina juga telah tidak baik, belum lagi Rehan dan istrinya. Saya ingin tenang Pak. Saya ingin pergi,” papar Evi. Dia sengaja tidak menyebutkan ingin melupakan lelaki di hadapannya menjadi alasan utama. Tidak ingin Anjas tahu.“Saya akan melindungi kamu kalau itu yang kamu khawatirkan Vi. Saya