Anjas menyambut kehadiran calon mertuanya dengan suka cita, mengambil alih anak yang berada dalam gendongan calon mertuanya. Anak lelaki itu nyaris seumur dengan Chesa tetapi badannya terlihat lebih kecil, mungkin karena ekonomi yang sulit dan dalam asuhan neneknya yang tidak seharusnya mengasuh anak kecil lagi. Chesa di sisinya ikut bertanya siapa dia tampak antusias sekali ingin menyentuh pipi anak yang tertidur pulas situ. Mereka datang bersama adiknya Faris yang memang dia minta untuk menjemput. Selain bersama ibunya Tati, faris juga datang bersama istri dan kedua anaknya yang masih berusia 3 tahun dan 1 tahun. Juga Fahri adik bungsunya yang masih kuliah. “Nak Anjas sungguh-sungguh berniat meminang Evi? Saya sungguh terkejut sekali saat tiba-tiba di jemput saya pikir saya akan diculik, ingin menelpon Evi tapi dilarang mereka bilang ini kejutan buat Evi, saya sudah banyak menduga-duga, tapi setelah saya pikir lagi tidak mungkin juga penculik membawa dua balita yang memanggilnya
“Evi ....” tegur seseorang dari belakang dengan suara yang tidak yakin. Evi berbalik menemukan Aila yang mendekatinya.“Ya ampun Evi, jadi beneran kamu mau nikah sama Pak Anjas?” tanyanya antusias setelah dekat. Evi tersenyum menyambutnya tanpa mengangguk atau menggeleng, Evi yakin Ibu satu anak di hadapannnya sudah tahu jawabannya.“Aku emang dah nyangka kalau kalian ada apa-apa. Pak Anjas hampir tidak pernah merekomendasikan orang, apalagi sampai menahan saat ingin resign ternyata memang ya,…” sambungnya sambil tertawa. Mantan atasannya itu mengelengkan kepala dengan sisa tawa yang belum hilang. Evi jadi mengerti berarti beberapa keringanan yang di terimanya selama bekerja memang atas campur tangan Anjas.Evi mengajak Aila untuk duduk tetapi dia menolak, katanya masih banyak pekerjaan yang harus dia lakukan, restoran memang tutup tetapi karyawan tetap diberdayakan untuk persiapan pesta. Selain tetap menerima gaji mereka juga dibayar .Hari ini Anjas memang mengajak Evi untuk melihat
“Kita pulang saja nanti kamu bisa menenangkan diri,” ajak Evi, Anjas mengangguk dan beranjak mengajak Evi mengikutinya ke mobil. Sampai di mobil Anjas mengingat jika Evi belum pernah tahu kehadiran ibunya. Anjas belum memberi tahunya.“Vi, dalam dua hari ini kamu sudah telpon Ibu?” tanya Anjas sambil mulai melajukan mobilnya.Evi menoleh dan menggeleng“Berapa kali Ibu ku telpon nggak ngangkat terakhir telpon, Ibu menolak video call hanya telpon biasa, Ibu bilang sedang di pasar,” jawabnya.“Kalau gitu kita ke rumah dulu ya, ada kejutan di rumah,” senyum Anjas, Evi menatapnya penuh tanya tetapi Anjas sudah kembali fokus ke jalan. Evi pun diam tidak jadi bertanya, percuma pikirnya jika Anjas sudah bilang kejutan dia tidak akan menjawab.Mobil melaju tenang membelah keramaian kota, hingga saat mobil berbelok di halaman rumah Anjas, pandangan Evi terpaku ke teras rumah. Tertegun tidak percaya.Evi masih diam saat Anjas telah menghentikan mobilnya dan mengajak turun. Di teras rumah itu Ev
Flsh back sebelum Reina melahirkan.“Kami butuh persetujuan untuk operasi, istri Bapak mengalami preeklamsi berat, keadaaan ini bisa mengancam nyawa ibu dan bayinya. Saat ini kami sedang melakukan perawatan untuk membuat kondisinya stabil.”“Tidak ada jalan lain selain operasi, Dokter?” tanya Anjas dengan hati nyeri. Dia sungguh bukan tidak ingin memberi yang terbaik untuk Reina untuk anaknya tetapi uang yang dirinya kumpulkan hanya cukup untuk persalinan normal di puskesmas. Jika harus operasi dari mana biayanya. Apalagi di rumah sakit besar seperti ini. Reina dirujuk ke rumah sakit karena tensi darah yang tinggi.Dokter menggeleng mematahkan harapan Anjas. Anjas menghembuskan napas panjang, tangannya bergerak menandatangani persetujuan operasi dengan pikiran kalut. Tidak tahu harus kemana mencari tambahan dana untuk biaya Reina. Namun nyawa Reina tetap harus diselamatkan, Anjas tidak ingin terjadi apa-apa dengannya. Usai menandatangani persetujuan, seorang perawat menggiringnya menu
Reina tidak pernah tahu cerita yang sebenarnya. Dia sangat membenci Anjas karena meninggalkannya pada saat dirinya bertarung di antara hidup dan mati. Anjas juga membiarkannya terpuruk sendiri. Pernah sekali saat dia diam-diam menemui Anjas karena ingin bertanya mengapa Anjas berubah, kenapa dia meninggalkannya. Anjas mengatakan.“Antara kita sudah selesai Reina, Aku memang hanya ingin bertanggung jawab karena kamu hamil,, selanjutnya kita cukup sampai di sini," jawab Anjas sambil memalingkan wajah. Tidak ingin melihat kekecewaan dan rasa sakit di mata Reina.“Nggak mungkin, Mas, kamu bohong kan?” tolak Reina, Anjas diam.“Lihat aku, Mas katakan kalau sebenarnya kamu bohong, katakan kalau kau nggak mungkin nyakitin aku seperti ini,” desak Reina dengan intonasi yang mulai naik. Air mata mulai mengalir di pipinya.“Sayangnya itu memang kenyataannya Rei, aku sudah tidak mencintaimu lagi, Rasa itu berubah.” Anjas menegarkan diri mengucapkan itu. Membekukan hati agar tidak terpengaruh oleh
Evi memberontak hebat dari kungkungan Bima, berusaha sekuat tenaga melepaskan diri. Namun percuma, tenaga itu terlalu kuat untuk dilawan, apalagi rumah sepi hanya mereka berdua. Tidak ada yang mendengar meski dirinya berteriak. Hujan di luar membuat keadaan di luar rumah pun sepi. Dia hanya bermaksud mengantarkan kopi yang diminta Bima. Majikan berusia hampir 50 tahun tampak sedang lembur dengan berkas berserakan. Evi meletakkan kopi itu di meja dekat Bima tetapi saat akan keluar Bima menariknya, memeluk tubuh rampingnya dan menjatuhkannya ke tempat tidur sambil meracau. “Sebentar saja Ma, Papah ingin sekali." “Please, Ma, Papah ingin sekali,” bisik Bima di telinga. Evi terperangah mendengar itu. Dia yakin sekali Bima saat ini sadar, tidak sedang mabuk. Namun mengapa dia menganggap dirinya, istri? “Pak saya Evi bukan Ibu,” bantah Evi mencoba menyadarkan Bima, Bima sempat tertegun tetapi saat merasakan Evi hampir terlepas dia segera memerangkapnya kembali. “Tolong jangan lakukan,
Evi tertegun lama, merasa takut untuk membuka pintu. Dia kembali ke kamar untuk melihat cermin. Meneliti kembali setiap inci leher nya. Takut sekali jika tanda merah itu masih terlihat. Namun suara bel yang dibunyikan dengan tidak sabar, membuat perempuan semampai dengan tinggi 155 cm harus tergesa membuka pintu.“Ibu sudah pulang?” sambut Evi sedikit gugup, Di hadapannya berdiri wanita setengah baya berjilbab yang masih terlihat cantik. Dia mengernyit melihat seperti ada yang berbeda dengan penampilan Evi. Rambutnya tampak terurai tidak diikat, membuatnya terkesan tidak rapi. Evi mengabaikan itu, segera mengambil alih koper di tangan majikannya.“Lama banget buka pintunya ?” sungut Vida sambil masuk melewati Evi.“Maaf, Bu saya masih di kamar mandi tadi,” jawab Evi mencari alasan. Vida mengangguk melihat sekeliling ruangan yang belum selesai di pel oleh Evi. Melihat lagi penampilan Evi dengan risih. Biasanya perempuan muda yang telah memiliki anak itu tampak rapih. Rambut itu selal
Besok aja, ya Pah, Mamah cape,” tolak Vida sambil menyingkirkan tangan Bima dari pinggangnya. Bima mencelos, dia berbalik dengan hela napas berat. Entah sudah berapa kali Vida menolaknya dengan berbagai alasan. Padahal dirinya masih butuh, walaupun usia sudah tidak muda lagi. Dua tahun lagi dirinya memang berusia 50 tahun sedang istrinya tiga tahun di bawahnya. Anak mereka sudah besar. Yang sulung sudah selesai sekolahnya, baru tiga bulan lalu di ambil sumpah profesi sebagai dokter dan sekarang bekerja di rumah sakit swasta. Yang kedua masih kuliah semester 4 dan si bungsu SMA.Apakah memang dengan usia dan kondisi seperti ini tidak memungkinkan lagi untuk mereka melakukan itu? Apa yang salah? Mengapa istrinya selalu menolak?“Kita sudah tua, lo, Pah. Anak-anak udah gede,” tolaknya, atau pada lain waktu,“Mamah besok mau berangkat pagi, Pah takut kesiangan.” Lagi dan lagi, Bima harus menelan kecewa karena penolakan itu. Dirinya juga sudah lupa kapan terakhir mereka bersama. Lelaki y