Share

Dikira Pelakor, Ternyata Dinodai Majikan
Dikira Pelakor, Ternyata Dinodai Majikan
Penulis: Suhaida

Malam Ternoda

Evi memberontak hebat dari kungkungan Bima, berusaha sekuat tenaga melepaskan diri. Namun percuma, tenaga itu terlalu kuat untuk dilawan, apalagi rumah sepi hanya mereka berdua. Tidak ada yang mendengar meski dirinya berteriak. Hujan di luar membuat keadaan di luar rumah pun sepi.

Dia hanya bermaksud mengantarkan kopi yang diminta Bima. Majikan berusia hampir 50 tahun tampak sedang lembur dengan berkas berserakan. Evi meletakkan kopi itu di meja dekat Bima tetapi saat akan keluar Bima menariknya, memeluk tubuh rampingnya dan menjatuhkannya ke tempat tidur sambil meracau.

“Sebentar saja Ma, Papah ingin sekali."

“Please, Ma, Papah ingin sekali,” bisik Bima di telinga.

Evi terperangah mendengar itu. Dia yakin sekali Bima saat ini sadar, tidak sedang mabuk. Namun mengapa dia menganggap dirinya, istri?

“Pak saya Evi bukan Ibu,” bantah Evi mencoba menyadarkan Bima, Bima sempat tertegun tetapi saat merasakan Evi hampir terlepas dia segera memerangkapnya kembali.

“Tolong jangan lakukan, Pak,” pinta Evi  putus asa, Air matanya mengalir membasahi pipi. Namun Bima yang telah dikuasai napsu tidak peduli, dia terus melakukan apapun yang dia inginkan. Evi terus menangis sambil berusaha memberontak dengan tenaga yang tersisa.

Tega sekali lelaki itu melakukan ini padanya. Merampas kehormatannya, saat istrinya tidak di rumah. Lelaki yang selama ini dihormati dan disegani nya. Lelaki yang selalu memperlakukan istrinya dengan romantis dan menyayangi anak-anaknya. Lelaki panutan nya dan idolanya. Pernah dia meminta bila nanti jodoh nya datang, lelaki itu seperti dia.

Kini semuanya hancur sudah, semua kesempurnaan lelaki itu musnah tidak bersisa. Semua rasa hormat dan kekaguman nya lebur jadi debu.  Evi membenci nya dengan segenap rasa sakit yang dia rasakan.

Evi masih menangis saat Bima menggeliat, melihat sekeliling dengan bingung dan tersentak saat melihatnya.

“Evi … kenapa kamu ada di sini? Kamu … kita,” ucapnya terbata, menatap bergantian pada tubuhnya yang berada di balik selimut dan wajah Evi yang menangis. Kamar berantakan, pakaian mereka terserak di lantai.

Evi menatapnya geram dan sakit hati, setelah semuanya terjadi semalam, dia melupakannya begitu saja? Dia pura-pura atau memang sengaja.

“Bapak lupa?Bapak telah menodai saya, Bapak merampas kehormatan saya. Sa … saya memang orang kecil Pak, saya cuma pembantu. Namun tidak seharusnya Bapak memperlakukan saya begini,” cerca Evi di sela isak.

“Bukan begitu, Vi. Sungguh saya tidak tahu apa yang tejadi, saya pikir kamu istri saya. Kamu yang masuk ke kamar ini, saya sungguh tidak tahu kalau itu kamu,” kilah Bima mencari Alibi. Evi menatap nya tidak percaya merasa semua hanya alasan Bima saja.

“Bapak tidak sedang mabuk, tidak hilang ingatan tidak mungkin Bapak tidak tahu,” protes Evi dengan rasa marah. Gelegak kebencian terasa membakar dada. Ringan sekali dia berkata dan apa katanya tadi? Tidak tahu kalau itu dirinya? 

“Maaf, Vi,” sesal Bima sambil menunduk. Dirinya sungguh merindukan istrinya tadi malam. Walaupun dia pergi baru kemarin siang tetapi kebersamaan mereka sudah lama tidak terjadi. Melihat Evi semalam lelaki yang masih tampak gagah itu tidak mampu menahan diri.

Evi mengepalkan tangannya, melemparkan bantal di tangannya pada Bima.

“Saya sungguh tidak menyangka ternyata Bapak sejahat itu!” tandas Evi sambil bangkit menyeret selimut agar tetap menutupi tubuhnya dan memungut pakaiannya yang terserak di lantai. Perempuan cantik dengan rambut melebihi bahu segera pergi keluar kamar.

“Tunggu, Vi,” tahan Bima saat langkah Evi mencapai pintu. Evi berhenti tanpa berbalik.

“Tolong lupakan kejadian ini, tolong rahasiakan kejadian dari Ibu, saya tidak ingin terjadi apa-apa padanya. Kamu inget jantungnya lemah. Tolong Vi, lupakan kejadian ini,” pinta Bima, Evi memejamkan mata, membiarkan air matanya bergulir bebas di pipi. Melupakan? Semudah itu kah? Ibarat luka tersiram air cuka itulah yang dirasakan nya kini.

Tanpa kata, Evi melanjutkan langkah, menuju kamarnya sendiri. Pekerjaan rumah sudah menunggunya. Tidak ada waktu meratapi diri. Mungkin benar dirinya harus melupakan kejadian itu. Menganggap kejadian itu tidak pernah terjadi. Mudah-mudahan saja majikan perempuannya tidak akan pernah tahu dan tidak ada benih yang tertanam di rahimnya.

Sementara Bima, berkali mengacak rambutnya, menyesali mengapa semua terjadi. Menyesali mengapa gelap mata sambil berharap tidak ada akibat dari perbuatannya.

Evi menggosok dirinya, menyabuni dan menyiram air berkali-kali. Entahlah rasanya Evi membenci dirinya sendiri, dia merasa kotor dan hina, mengutuki ketidak berdayaannya. Andai tadi malam dia tidak perlu mengantar minuman, mungkin kejadian itu tidak perlu terjadi. Namun bagaimana mungkin dirinya mengabaikan itu. Majikan perempuannya selalu mengingatkannya untuk mengurus keperluan Bima.

Evi mengusap wajahnya frustrasi, menangis lagi. Bagaimana caranya dia harus melupakan, bila kejadian itu begitu nyata?

Kalau saja dia tidak perlu mencari nafkah untuk Ibu dan anaknya yang baru berusia 4 tahun, saat ini Evi ingin pergi saja. Kalau saja dia tidak sedang butuh pekerjaan ini, dirinya tidak akan di sini lagi. Mengapa lelaki sama saja?  Suaminya yang dulu meninggalkannya dengan perempuan lain saat dirinya hamil. Majikannya justru menodai nya.

Segera Evi menyiapkan nasi goreng untuk sarapan. Sudah siang, dia tidak akan sempat lagi masak. Memilah baju untuk di cuci, mencuci piring dan merapihkan meja makan. Mungkin semua pekerjaan itu bisa mengalihkan pikirannya dari kejadian itu.

Bima terlihat telah rapi saat Evi menyiapkan nasi goreng di meja. Evi hanya menatapnya datar. Tidak ada sapa basa-basi atau menyilahkan nya makan seperti biasanya. Dia lanjut mengepel lantai.

Apapun pekerjaan rasanya ingin Evi kerjakan untuk melupakan kejadian semalam, serta menghindari interaksi dengan Bima. Evi sangat membenci nya kini.

“Nih hilangkan tanda merah di lehermu dengan ini.” Evi tersentak saat Bima telah berdiri di dekatnya dengan menyodorkan krim yang telah dibuka tutup nya.

“Ayo cepat ambil sebelum Ibu datang,” desak Bima melihat Evi bergeming. Evi menghembuskan napas mengambil krim itu menggunakan jari nya.

“Jangan banyak-banyak nanti ketahuan,” sergah Bima,” Ratakan saja menggunakannya.”

Evi rasanya ingin melempar pakai gagang pel karena kesal. 

“Kalau bukan karena Bapak, ini juga tidak akan terjadi,” geram Evi, dia pergi ke kamar dengan rasa gemuruh di dada. Evi memang tidak mengikat rambutnya untuk menutupi tanda merah itu. Itu yang menyebabkan Bima mencarikan krim untuknya. Dia tentu tidak ingin juga istrinya nanti pulang melihat tanda merah itu.

 Bima tidak kira-kira menyerangnya semalam, keterlaluan sekali. Brutal. Pemberontakkan nya tidak berarti apa-apa. Dia seperti melepas dahaga. Entah mengapa dia seperti itu. Padahal dia punya istri dan mereka tampak begitu mesra.

Evi melanjutkan pekerjaan setelah Bima pergi. Dia menyapu dan mengepel lantai. Suara bel di pintu membuatnya tersentak. Istri majikannya kah itu? Bagaimana dengan tanda merah di lehernya? Sudahkah menghilang semua?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status