Evi memberontak hebat dari kungkungan Bima, berusaha sekuat tenaga melepaskan diri. Namun percuma, tenaga itu terlalu kuat untuk dilawan, apalagi rumah sepi hanya mereka berdua. Tidak ada yang mendengar meski dirinya berteriak. Hujan di luar membuat keadaan di luar rumah pun sepi.
Dia hanya bermaksud mengantarkan kopi yang diminta Bima. Majikan berusia hampir 50 tahun tampak sedang lembur dengan berkas berserakan. Evi meletakkan kopi itu di meja dekat Bima tetapi saat akan keluar Bima menariknya, memeluk tubuh rampingnya dan menjatuhkannya ke tempat tidur sambil meracau.
“Sebentar saja Ma, Papah ingin sekali."
“Please, Ma, Papah ingin sekali,” bisik Bima di telinga.
Evi terperangah mendengar itu. Dia yakin sekali Bima saat ini sadar, tidak sedang mabuk. Namun mengapa dia menganggap dirinya, istri?
“Pak saya Evi bukan Ibu,” bantah Evi mencoba menyadarkan Bima, Bima sempat tertegun tetapi saat merasakan Evi hampir terlepas dia segera memerangkapnya kembali.
“Tolong jangan lakukan, Pak,” pinta Evi putus asa, Air matanya mengalir membasahi pipi. Namun Bima yang telah dikuasai napsu tidak peduli, dia terus melakukan apapun yang dia inginkan. Evi terus menangis sambil berusaha memberontak dengan tenaga yang tersisa.
Tega sekali lelaki itu melakukan ini padanya. Merampas kehormatannya, saat istrinya tidak di rumah. Lelaki yang selama ini dihormati dan disegani nya. Lelaki yang selalu memperlakukan istrinya dengan romantis dan menyayangi anak-anaknya. Lelaki panutan nya dan idolanya. Pernah dia meminta bila nanti jodoh nya datang, lelaki itu seperti dia.
Kini semuanya hancur sudah, semua kesempurnaan lelaki itu musnah tidak bersisa. Semua rasa hormat dan kekaguman nya lebur jadi debu. Evi membenci nya dengan segenap rasa sakit yang dia rasakan.
Evi masih menangis saat Bima menggeliat, melihat sekeliling dengan bingung dan tersentak saat melihatnya.
“Evi … kenapa kamu ada di sini? Kamu … kita,” ucapnya terbata, menatap bergantian pada tubuhnya yang berada di balik selimut dan wajah Evi yang menangis. Kamar berantakan, pakaian mereka terserak di lantai.
Evi menatapnya geram dan sakit hati, setelah semuanya terjadi semalam, dia melupakannya begitu saja? Dia pura-pura atau memang sengaja.
“Bapak lupa?Bapak telah menodai saya, Bapak merampas kehormatan saya. Sa … saya memang orang kecil Pak, saya cuma pembantu. Namun tidak seharusnya Bapak memperlakukan saya begini,” cerca Evi di sela isak.
“Bukan begitu, Vi. Sungguh saya tidak tahu apa yang tejadi, saya pikir kamu istri saya. Kamu yang masuk ke kamar ini, saya sungguh tidak tahu kalau itu kamu,” kilah Bima mencari Alibi. Evi menatap nya tidak percaya merasa semua hanya alasan Bima saja.
“Bapak tidak sedang mabuk, tidak hilang ingatan tidak mungkin Bapak tidak tahu,” protes Evi dengan rasa marah. Gelegak kebencian terasa membakar dada. Ringan sekali dia berkata dan apa katanya tadi? Tidak tahu kalau itu dirinya?
“Maaf, Vi,” sesal Bima sambil menunduk. Dirinya sungguh merindukan istrinya tadi malam. Walaupun dia pergi baru kemarin siang tetapi kebersamaan mereka sudah lama tidak terjadi. Melihat Evi semalam lelaki yang masih tampak gagah itu tidak mampu menahan diri.
Evi mengepalkan tangannya, melemparkan bantal di tangannya pada Bima.
“Saya sungguh tidak menyangka ternyata Bapak sejahat itu!” tandas Evi sambil bangkit menyeret selimut agar tetap menutupi tubuhnya dan memungut pakaiannya yang terserak di lantai. Perempuan cantik dengan rambut melebihi bahu segera pergi keluar kamar.
“Tunggu, Vi,” tahan Bima saat langkah Evi mencapai pintu. Evi berhenti tanpa berbalik.
“Tolong lupakan kejadian ini, tolong rahasiakan kejadian dari Ibu, saya tidak ingin terjadi apa-apa padanya. Kamu inget jantungnya lemah. Tolong Vi, lupakan kejadian ini,” pinta Bima, Evi memejamkan mata, membiarkan air matanya bergulir bebas di pipi. Melupakan? Semudah itu kah? Ibarat luka tersiram air cuka itulah yang dirasakan nya kini.
Tanpa kata, Evi melanjutkan langkah, menuju kamarnya sendiri. Pekerjaan rumah sudah menunggunya. Tidak ada waktu meratapi diri. Mungkin benar dirinya harus melupakan kejadian itu. Menganggap kejadian itu tidak pernah terjadi. Mudah-mudahan saja majikan perempuannya tidak akan pernah tahu dan tidak ada benih yang tertanam di rahimnya.
Sementara Bima, berkali mengacak rambutnya, menyesali mengapa semua terjadi. Menyesali mengapa gelap mata sambil berharap tidak ada akibat dari perbuatannya.
Evi menggosok dirinya, menyabuni dan menyiram air berkali-kali. Entahlah rasanya Evi membenci dirinya sendiri, dia merasa kotor dan hina, mengutuki ketidak berdayaannya. Andai tadi malam dia tidak perlu mengantar minuman, mungkin kejadian itu tidak perlu terjadi. Namun bagaimana mungkin dirinya mengabaikan itu. Majikan perempuannya selalu mengingatkannya untuk mengurus keperluan Bima.
Evi mengusap wajahnya frustrasi, menangis lagi. Bagaimana caranya dia harus melupakan, bila kejadian itu begitu nyata?
Kalau saja dia tidak perlu mencari nafkah untuk Ibu dan anaknya yang baru berusia 4 tahun, saat ini Evi ingin pergi saja. Kalau saja dia tidak sedang butuh pekerjaan ini, dirinya tidak akan di sini lagi. Mengapa lelaki sama saja? Suaminya yang dulu meninggalkannya dengan perempuan lain saat dirinya hamil. Majikannya justru menodai nya.
Segera Evi menyiapkan nasi goreng untuk sarapan. Sudah siang, dia tidak akan sempat lagi masak. Memilah baju untuk di cuci, mencuci piring dan merapihkan meja makan. Mungkin semua pekerjaan itu bisa mengalihkan pikirannya dari kejadian itu.
Bima terlihat telah rapi saat Evi menyiapkan nasi goreng di meja. Evi hanya menatapnya datar. Tidak ada sapa basa-basi atau menyilahkan nya makan seperti biasanya. Dia lanjut mengepel lantai.
Apapun pekerjaan rasanya ingin Evi kerjakan untuk melupakan kejadian semalam, serta menghindari interaksi dengan Bima. Evi sangat membenci nya kini.
“Nih hilangkan tanda merah di lehermu dengan ini.” Evi tersentak saat Bima telah berdiri di dekatnya dengan menyodorkan krim yang telah dibuka tutup nya.
“Ayo cepat ambil sebelum Ibu datang,” desak Bima melihat Evi bergeming. Evi menghembuskan napas mengambil krim itu menggunakan jari nya.
“Jangan banyak-banyak nanti ketahuan,” sergah Bima,” Ratakan saja menggunakannya.”
Evi rasanya ingin melempar pakai gagang pel karena kesal.
“Kalau bukan karena Bapak, ini juga tidak akan terjadi,” geram Evi, dia pergi ke kamar dengan rasa gemuruh di dada. Evi memang tidak mengikat rambutnya untuk menutupi tanda merah itu. Itu yang menyebabkan Bima mencarikan krim untuknya. Dia tentu tidak ingin juga istrinya nanti pulang melihat tanda merah itu.
Bima tidak kira-kira menyerangnya semalam, keterlaluan sekali. Brutal. Pemberontakkan nya tidak berarti apa-apa. Dia seperti melepas dahaga. Entah mengapa dia seperti itu. Padahal dia punya istri dan mereka tampak begitu mesra.
Evi melanjutkan pekerjaan setelah Bima pergi. Dia menyapu dan mengepel lantai. Suara bel di pintu membuatnya tersentak. Istri majikannya kah itu? Bagaimana dengan tanda merah di lehernya? Sudahkah menghilang semua?
Evi tertegun lama, merasa takut untuk membuka pintu. Dia kembali ke kamar untuk melihat cermin. Meneliti kembali setiap inci leher nya. Takut sekali jika tanda merah itu masih terlihat. Namun suara bel yang dibunyikan dengan tidak sabar, membuat perempuan semampai dengan tinggi 155 cm harus tergesa membuka pintu.“Ibu sudah pulang?” sambut Evi sedikit gugup, Di hadapannya berdiri wanita setengah baya berjilbab yang masih terlihat cantik. Dia mengernyit melihat seperti ada yang berbeda dengan penampilan Evi. Rambutnya tampak terurai tidak diikat, membuatnya terkesan tidak rapi. Evi mengabaikan itu, segera mengambil alih koper di tangan majikannya.“Lama banget buka pintunya ?” sungut Vida sambil masuk melewati Evi.“Maaf, Bu saya masih di kamar mandi tadi,” jawab Evi mencari alasan. Vida mengangguk melihat sekeliling ruangan yang belum selesai di pel oleh Evi. Melihat lagi penampilan Evi dengan risih. Biasanya perempuan muda yang telah memiliki anak itu tampak rapih. Rambut itu selal
Besok aja, ya Pah, Mamah cape,” tolak Vida sambil menyingkirkan tangan Bima dari pinggangnya. Bima mencelos, dia berbalik dengan hela napas berat. Entah sudah berapa kali Vida menolaknya dengan berbagai alasan. Padahal dirinya masih butuh, walaupun usia sudah tidak muda lagi. Dua tahun lagi dirinya memang berusia 50 tahun sedang istrinya tiga tahun di bawahnya. Anak mereka sudah besar. Yang sulung sudah selesai sekolahnya, baru tiga bulan lalu di ambil sumpah profesi sebagai dokter dan sekarang bekerja di rumah sakit swasta. Yang kedua masih kuliah semester 4 dan si bungsu SMA.Apakah memang dengan usia dan kondisi seperti ini tidak memungkinkan lagi untuk mereka melakukan itu? Apa yang salah? Mengapa istrinya selalu menolak?“Kita sudah tua, lo, Pah. Anak-anak udah gede,” tolaknya, atau pada lain waktu,“Mamah besok mau berangkat pagi, Pah takut kesiangan.” Lagi dan lagi, Bima harus menelan kecewa karena penolakan itu. Dirinya juga sudah lupa kapan terakhir mereka bersama. Lelaki y
“Kenapa Vi?” desak Vida lagi. Evi menghapus pelan air mata yang jatuh ke pipi. “Ibu mengabari kalau Ardan sakit, Bu. Saya khawatir,” jawabnya sambil menunduk, takut kebohongannya akan terbaca oleh Vida. Dalam hati dia berdoa semoga Ardan baik-baik saja. Bima diam-diam menghembuskan napas lega mendengarnya.“Kapan mengabarinya?” tanya Vida lagi tidak puas, rencana keberangkatan nya terancam batal kalau begini. Kenapa sih anak Evi harus sakit sekarang.“Tadi pagi abis subuh, Bu,” jawab Evi singkat berharap Vida mau membatalkan kepergiannya dan mengizinkannya pulang.“Ya sudah berkemas lah, nanti kalau Ardan sudah sembuh, cepat balik lagi kesini ya.” Putus Vida akhirnya. Dirinya tidak tega kalau alasannya karena anak Evi sakit, apalagi Evi sampai menangis seperti itu.“Ya sudah kamu bareng saya aja, saya antar, mumpung masih pagi, ayo,” ajak Bima sambil menegakkan diri. Dia sudah selesai memakai kaos kaki. Evi menggeleng seketika tanpa mengalihkan pandang. Bencinya pada Bima telah teras
Evi menahan air mata yang mendesak ingin keluar setelah Bima pergi. Dia tidak boleh menangis. Jangan sampai orang-orang nanti berprasangka macam-macam karena melihatnya menangis. Tidak dia tidak boleh menangis.Sungguh Evi takut sekali kalau dirinya sampai hamil. Ardan sudah tidak memiliki ayah karena ayahnya selingkuh. Lalu bila dia sampai hamil mungkinkah dirinya bisa menuntut Bima untuk bertanggung jawab. Dia dulu butuh waktu setahun untuk hamil, mudah-mudahan sekarang juga dia tidak secepat itu hamil.Evi mendongak menahan air mata. memaksa dirinya melanjutkan langkah menuju pangkalan ojek. Mengabaikan dadanya yang terasa sesak dan air mata yang terus mendesak.“Loh, Vi pulang,” tegur seorang tukang ojek saat dirinya dekat, dia memberikan helm pada Evi. “Kamu dari nangis?” tanyanya sebelum Evi sempat memakai helm. Evi segera menutupinya dengan helm“Nggak Paklik tadi kelilipan debu,” kilahnya, dia mengenal tukang ojek itu sebagai tetangganya, hampir semua tukang oejk di sini mema
Tati menutup teleponnya yang sambungannya telah terputus. Matanya menatap tajam pada langkah Evi yang memasuki rumah. Berbagai tanya memenuhi benaknya.“Kenapa, Bu?” tanya Evi tidak mengerti dengan tatapan Tati. Perasaan tidak nyaman memenuhi hatinya. Apalagi melihat Tati sedang memegang hand pone miliknya.“Majikanmu barusan telepon, menanyakan kapan kembali ke sana, dan kamu beralasan Ardan sakit untuk pulang?” jelas Tati dengan nada kesal pada akhir kalimat. Dia sangat tidak menyukai alasan Evi yang mengatakan Ardan sakit.“Maafkan, Evi, Bu,”sesal Evi sambil menunduk. Dirinya juga menyesali alasan itu, tetapi hanya itu yang terpikir olehnya. Dia hanya ingin pulang menjauh dari Bima.“Ibu sudah mengtakan kamu akan kembali sore nanti.”Evi mengangkat wajah, menggeleng seketika mendengar keputusan itu, matanya berkaca.“Evi nggak mau kembali ke sana, Bu,” cicitnya menahan isak.“Iya tapi kenapa?” desak Tati kesal. Dadanya terasa bergemuruh, air mata Evi, jatuh mengalir di pipi. Dia m
Evi menunduk, tidak tahu harus memberi alasan apa. Bima pun tampak diam tanpa kata. Haruskah Evi mengatakan alasan itu, Bima telah menodainya, apakah Vida akan percaya? Andai dia bisa dengan mudah mengungkap kebenaran itu.“Saya sudah bilang kan, Vi saya tidak akan memberikan gaji mu bulan ini jika memutuskan pergi, apalagi tidak ada pengganti,” lanjut Vida, ini hanya gertakan meskipun tegas Vida tidak akan setega itu menahan hak orang lain. Dirinya hanya ingin Evi memikirkan nya lagi setidaknya sebelum dirinya mendapat pengganti Evi.Dirinya sungguh penasaran, ada apa sebenarnya di balik niat Evi untuk berhenti. Tadi melihat Evi kembali hatinya sudah lega berpikir prasangkanya terpatahkan. Namun Evi justru datang untuk meminta berhenti.Dia tahu Evi butuh pekerjaan ini untuk Ibu dan anaknya, mengapa berhenti? Terlalu mendesakkah alasan itu hingga membuatnya berhenti tiba-tiba.Lama waktu berlalu, Evi terlihat masih diam, dia bergerak gelisah. Vida menghela napas, alasan yang tunggu t
“Ma, Papa enggak ada hubungan apa-apa dengan Evi. Mama kenapa sih kok jadi menuduh Papa begitu?” elak Bima, hatinya gusar atas tuduhan itu. Dia tidak ada hubungan apa-apa, malam itu dia hanya … khilaf.“Oke mungkin pertanyaan Mama perlu diralat,” tanggap Vida mencoba tenang,” Apa yang terjadi pada Papa dan Evi saat Mama pergi? Apa yang Papa lakukan padanya? Sehingga Evi harus tutup mulut dan Papa bermaksud bertanggung jawab padanya?”Bima terpana, lidahnya kelu seketika. Benaknya sibuk mencari alasan yang bisa untuk membela diri tatapan tajam Vida membuatnya terintimidasi.“Mama mendengar semuanya, Pa, apa yang Papa ucapkan pada Evi tadi. Jadi tidak perlu mengelak lagi,” jelas Vida, dadanya terasa sesak seketika. Dia sudah bisa menebak apa yang terjadi hanya saja ada sebagian kecil hatinya yang menolak itu. Dirinya sangat mempercayai suaminya. Dia ingin Bima menyangkal itu, mengatakan itu semua hanya dugaan nya. Ingin sekali kejadian sesungguhnya bukan seperti yang tertera di benakny
Evi menyediakan minuman es teh dan sedikit kudapan. Ada dua orang pekerja di depan rumahnya sedang memasang terpal. Evi berencana menggunakan gaji dari majikannya untuk modal berdagang gorengan soto dan pecel. Setidaknya dengan cara itu Evi tidak perlu menggunakan tabungan yang selama ini dia kumpulkan.Evi melanjutkan dengan memeriksa belanjaan nya. Menyusun perkakas yang akan dibutuhkan. Tati membantunya sambil menggerutu, menyesali keputusannya berhenti. Kemarin Tati pikir Evi pergi ke sana untuk kembali bekerja ternyata justru hanya mengambil semua bajunya.“Ya sudahlah terserah kamu saja,” putus Tati akhirnya. Dirinya bukan ingin memaksa Evi terus bekerja, hanya dirinya cemas, bagaimana mereka bila Evi turut menganggur. Apalagi Ardan tahun depan masuk sekolah.Tati meninggalkan Evi, melangkah keluar rumah. Mengawasi Ardan khawatir mengganggu pekerja. Namun Ardan hanya duduk di bawah pohon jambu memandang mereka. Evi menghela napas, memahami kekecewaan Ibu padanya. Kemarin juga