Besok aja, ya Pah, Mamah cape,” tolak Vida sambil menyingkirkan tangan Bima dari pinggangnya. Bima mencelos, dia berbalik dengan hela napas berat. Entah sudah berapa kali Vida menolaknya dengan berbagai alasan. Padahal dirinya masih butuh, walaupun usia sudah tidak muda lagi.
Dua tahun lagi dirinya memang berusia 50 tahun sedang istrinya tiga tahun di bawahnya. Anak mereka sudah besar. Yang sulung sudah selesai sekolahnya, baru tiga bulan lalu di ambil sumpah profesi sebagai dokter dan sekarang bekerja di rumah sakit swasta. Yang kedua masih kuliah semester 4 dan si bungsu SMA.
Apakah memang dengan usia dan kondisi seperti ini tidak memungkinkan lagi untuk mereka melakukan itu? Apa yang salah? Mengapa istrinya selalu menolak?
“Kita sudah tua, lo, Pah. Anak-anak udah gede,” tolaknya, atau pada lain waktu,
“Mamah besok mau berangkat pagi, Pah takut kesiangan.” Lagi dan lagi, Bima harus menelan kecewa karena penolakan itu. Dirinya juga sudah lupa kapan terakhir mereka bersama.
Lelaki yang masih terlihat tampan itu bangkit meninggalkan istrinya yang telah pulas, mencari angin di luar mungkin bisa meredakan keinginan yang menyiksa.
Sepi sekali, mereka memang hanya tinggal bertiga. Otomatis saat Vida pergi, dia hanya berdua dengan Evi. Mengingat Evi, Bima kembali mengingat malam itu. Dirinya sangat menyesali kejadian itu. Namun tidak dapat dipungkiri jika malam itu, dahaganya terobati.
Bima menghempaskan diri di sofa. Jari-jemari nya mengutak-atik remote televisi mencari acara yang mungkin bisa menghibur diri. Namun hasrat dalam diri benar-benar membuat dirinya resah. Bima bangkit, mengetuk pintu kamar Evi yang terletak di belakang dekat dapur. Dia ingin meminta di buatkan kopi atau camilan untuk menemani malam.
Evi membuka pintu kamarnya dengan wajah mengantuk, melihat Bima berdiri di depan kamarnya membuat Evi gemetar takut. Dia berniat menutup kembali pintu kamarnya, tetapi kaki Bima sigap menahan. Dirinya hanya ingin dibuatkan kopi, mengapa Evi seperti ketakutan?
Bima sudah biasa mengetuk pintu kamarnya bila ingin dibuatkan kopi malam-malam. Namun sejak kejadian di malam itu Evi selalu takut dan benci berdekatan dengannya. Selalu berusaha untuk menghindar. Perempuan muda itu selalu was-was, takut kejadian itu terulang lagi.
Evi yang sedang berada dalam balutan baju tidur entah mengapa justru membuat Bima terpana. Baju tidurnya biasa tidak seksi tetapi karena Bima sedang ingin, tetap saja membuat sensasi sendiri untuknya. Sejak malam kejadian itu, bayangan Evi memang selalu hadir di benaknya,
Niat Bima yang hanya ingin dibuatkan kopi, jadi berbelok. Dia menginginkan yang lain.
Bima mendorong Evi masuk dalam kamarnya lalu menutup pintu dengan cepat. Evi tentu saja terkejut, matanya membelalak antara takut dan tidak percaya, Bima senekat ini. Bukankah istrinya ada. Sebelum Evi sempat protes, Bima sudah mendorongnya ke tempat tidur dan membekap mulutnya.
Jarak kamar Evi dan kamarnya memang cukup jauh Kamar Evi berada di belakang dekat dapur. Terpisah oleh ruang makan dan ruang tengah yang cukup lebar. Keadaan ini cukup menguntungkan untuk Bima. Dia bisa memaksa Evi tanpa khawatir istrinya terbangun.
Sekali lagi Bima melakukan aksinya. Tidak peduli pemberontakan dan tangis Evi yang menghiba. Bima gelap mata, keinginan yang tidak terpenuhi pada yang seharusnya membuat akal sehatnya menghilang. Tidak terpikir akibatnya ke depan. Tidak terpikir bagaimana nasib Evi setelah ini. Padahal saat melakukan aksinya yang pertama, dirinya telah berjanji jika tidak akan terulang lagi. Malam ini dia mengingkarinya.
Evi menangis setelah Bima pergi meninggalkan kamarnya. Tidak pernah diduga Bima akan kembali mengulang perbuatannya padahal istrinya ada di rumah. Tidak cukupkah dia mendapatkan itu dari istrinya, mengapa harus menyasar padanya? Mengapa melampiaskan padanya?
Sepertinya dirinya harus berhenti. Dia tidak bisa lagi di sini. Jika ada istrinya saja Bima berani bagaimana kalau majikannya itu pergi nanti. Mereka berdua saja seperti kemarin, bisa-bisa Bima akan terus mengulang perbuatannya.
Evi makin sesengukan meratap. Mengapa Bima kini tega sekali padanya. Tega menghancurkan hidupnya. Akan bagaimana setelah ini? Entah apa yang menyebabkan Bima seperti ini. Sebelumnya Bima baik-baik saja walaupun ditinggalkan. Apa pun keperluan Bima memang dirinya yang mengurus. Vida istrinya hanya memberi intruksi saja dan mengingatkannya.
Bima tidak pernah menggoda atau berbuat tidak senonoh padanya. Itu juga yang membuat dirinya betah hingga tiga tahun bekerja di sini. Dirinya hanya sesekali pulang, lebih rutin nya dua minggu sekali untuk menengok anaknya. Sekarang mengapa seperti ini?
***
“Bu, maaf saya mau minta izin pulang, Bu,” lirih Evi sambil menunduk, keputusan Evi sudah bulat setelah dia memikirkan berulang kali. Walaupun dia belum tahu setelah ini akan bekerja apa. Vida yang baru menyelesaikan sarapan mendongak menatapnya. Bima ikut tertegun. Dia menghentikan gerakannya untuk minum.
“Kenapa mendadak, Vi lagian ini bukan hari sabtu?” protes Vida, dia menggeleng .
“Nggak bisa, Vi, saya sudah rencana mau ikut acara jalan-jalan ibu-ibu komplek tiga hari. kamu nggak bisa pergi," lanjutnya sambil terus menggeleng. Evi menegang mendengar rencana itu. Wajahnya pias seketika.
“Minggu depan aja kamu pulangnya,” putusnya.
Alasan Vida membuat Bima menoleh seketika, istrinya itu sama sekali belum mebicarakan rencana itu padanya.
“Mama juga belum izin Papa, lho,” protes Bima tidak setuju, tetapi Vida justru bergayut manja padanya.
“Belum sempet, Pa. Rencana baru hari ini mau ngomong, boleh ya Pa, please!” rayunya. Bima mendengkus selalu seperti ini, dirinya tidak pernah bisa melarang istrinya. Percuma, dia akan merajuk dan mengabaikannya bila dilarang dan Bima tidak tahan diperlakukan begitu..
“Jika Evi tidak pulang, Mama boleh berangkat. Jika tidak di rumah saja,” tandas Bima sambil beranjak.
Evi menggeleng seketika, sungguh dirinya tidak ingin lagi di sini, Dia takut Bima akan mengulang lagi perbuatannya. Apa lagi Vida akan pergi, tiga hari, lama sekali itu.
Dia tidak ingin dituduh telah mengkhianati Vida. Walaupun Vida sedikit cerewet tetapi dia baik padanya. Dia takut perbuatan Bima akan terus berulang, dia takut jika nanti disalahkan dan dituduh pelakor. Apa kata Vida bila tahu? Juga Anak-anak Bima, mereka sudah besar-besar. Mereka akan membencinya.
“Pa, Mama bisa mati bosan sendirian di rumah,” sungut Vida, Bima mengangkat bahu, memeriksa kembali tas yang akan dibawanya.
“Kamu dengar, rencana saya bisa batal kalau kamu pulang, nanti saja kamu pulangnya setelah saya pulang,” putus Vida, Evi menggeleng kuat, dia mengangkat wajah menatap Vida. Vida baru menyadari wajah Evi seperti habis menangis, matanya merah dan wajahnya sembab.
“Kamu dari nangis? Ada apa sebenarnya, mengapa ingin pulang?” tanya Vida tidak mengerti. Perasaannya menjadi tidak enak. Menebak-nebak apa yang terjadi. Bima yang berada di ruang TV tidak jauh dari meja makan menegang seketika. Gerakan memakai kaos kaki terhenti. Dadanya berdebar kencang, takut Evi mengadu tentang perlakuan nya semalam.
“Kenapa Evi?” desak Vida.
Evi memalingkan wajah, mencoba mencari jawaban masuk akal untuk pertanyaan itu. Andai dirinya mengadu apakah Vida akan percaya? Sementara Vida menunggu, Bima menatap Evi dengan dada berdebar. Was-was dengan alasan yang akan dinyatakan Evi.
“Kenapa Vi?” desak Vida lagi. Evi menghapus pelan air mata yang jatuh ke pipi. “Ibu mengabari kalau Ardan sakit, Bu. Saya khawatir,” jawabnya sambil menunduk, takut kebohongannya akan terbaca oleh Vida. Dalam hati dia berdoa semoga Ardan baik-baik saja. Bima diam-diam menghembuskan napas lega mendengarnya.“Kapan mengabarinya?” tanya Vida lagi tidak puas, rencana keberangkatan nya terancam batal kalau begini. Kenapa sih anak Evi harus sakit sekarang.“Tadi pagi abis subuh, Bu,” jawab Evi singkat berharap Vida mau membatalkan kepergiannya dan mengizinkannya pulang.“Ya sudah berkemas lah, nanti kalau Ardan sudah sembuh, cepat balik lagi kesini ya.” Putus Vida akhirnya. Dirinya tidak tega kalau alasannya karena anak Evi sakit, apalagi Evi sampai menangis seperti itu.“Ya sudah kamu bareng saya aja, saya antar, mumpung masih pagi, ayo,” ajak Bima sambil menegakkan diri. Dia sudah selesai memakai kaos kaki. Evi menggeleng seketika tanpa mengalihkan pandang. Bencinya pada Bima telah teras
Evi menahan air mata yang mendesak ingin keluar setelah Bima pergi. Dia tidak boleh menangis. Jangan sampai orang-orang nanti berprasangka macam-macam karena melihatnya menangis. Tidak dia tidak boleh menangis.Sungguh Evi takut sekali kalau dirinya sampai hamil. Ardan sudah tidak memiliki ayah karena ayahnya selingkuh. Lalu bila dia sampai hamil mungkinkah dirinya bisa menuntut Bima untuk bertanggung jawab. Dia dulu butuh waktu setahun untuk hamil, mudah-mudahan sekarang juga dia tidak secepat itu hamil.Evi mendongak menahan air mata. memaksa dirinya melanjutkan langkah menuju pangkalan ojek. Mengabaikan dadanya yang terasa sesak dan air mata yang terus mendesak.“Loh, Vi pulang,” tegur seorang tukang ojek saat dirinya dekat, dia memberikan helm pada Evi. “Kamu dari nangis?” tanyanya sebelum Evi sempat memakai helm. Evi segera menutupinya dengan helm“Nggak Paklik tadi kelilipan debu,” kilahnya, dia mengenal tukang ojek itu sebagai tetangganya, hampir semua tukang oejk di sini mema
Tati menutup teleponnya yang sambungannya telah terputus. Matanya menatap tajam pada langkah Evi yang memasuki rumah. Berbagai tanya memenuhi benaknya.“Kenapa, Bu?” tanya Evi tidak mengerti dengan tatapan Tati. Perasaan tidak nyaman memenuhi hatinya. Apalagi melihat Tati sedang memegang hand pone miliknya.“Majikanmu barusan telepon, menanyakan kapan kembali ke sana, dan kamu beralasan Ardan sakit untuk pulang?” jelas Tati dengan nada kesal pada akhir kalimat. Dia sangat tidak menyukai alasan Evi yang mengatakan Ardan sakit.“Maafkan, Evi, Bu,”sesal Evi sambil menunduk. Dirinya juga menyesali alasan itu, tetapi hanya itu yang terpikir olehnya. Dia hanya ingin pulang menjauh dari Bima.“Ibu sudah mengtakan kamu akan kembali sore nanti.”Evi mengangkat wajah, menggeleng seketika mendengar keputusan itu, matanya berkaca.“Evi nggak mau kembali ke sana, Bu,” cicitnya menahan isak.“Iya tapi kenapa?” desak Tati kesal. Dadanya terasa bergemuruh, air mata Evi, jatuh mengalir di pipi. Dia m
Evi menunduk, tidak tahu harus memberi alasan apa. Bima pun tampak diam tanpa kata. Haruskah Evi mengatakan alasan itu, Bima telah menodainya, apakah Vida akan percaya? Andai dia bisa dengan mudah mengungkap kebenaran itu.“Saya sudah bilang kan, Vi saya tidak akan memberikan gaji mu bulan ini jika memutuskan pergi, apalagi tidak ada pengganti,” lanjut Vida, ini hanya gertakan meskipun tegas Vida tidak akan setega itu menahan hak orang lain. Dirinya hanya ingin Evi memikirkan nya lagi setidaknya sebelum dirinya mendapat pengganti Evi.Dirinya sungguh penasaran, ada apa sebenarnya di balik niat Evi untuk berhenti. Tadi melihat Evi kembali hatinya sudah lega berpikir prasangkanya terpatahkan. Namun Evi justru datang untuk meminta berhenti.Dia tahu Evi butuh pekerjaan ini untuk Ibu dan anaknya, mengapa berhenti? Terlalu mendesakkah alasan itu hingga membuatnya berhenti tiba-tiba.Lama waktu berlalu, Evi terlihat masih diam, dia bergerak gelisah. Vida menghela napas, alasan yang tunggu t
“Ma, Papa enggak ada hubungan apa-apa dengan Evi. Mama kenapa sih kok jadi menuduh Papa begitu?” elak Bima, hatinya gusar atas tuduhan itu. Dia tidak ada hubungan apa-apa, malam itu dia hanya … khilaf.“Oke mungkin pertanyaan Mama perlu diralat,” tanggap Vida mencoba tenang,” Apa yang terjadi pada Papa dan Evi saat Mama pergi? Apa yang Papa lakukan padanya? Sehingga Evi harus tutup mulut dan Papa bermaksud bertanggung jawab padanya?”Bima terpana, lidahnya kelu seketika. Benaknya sibuk mencari alasan yang bisa untuk membela diri tatapan tajam Vida membuatnya terintimidasi.“Mama mendengar semuanya, Pa, apa yang Papa ucapkan pada Evi tadi. Jadi tidak perlu mengelak lagi,” jelas Vida, dadanya terasa sesak seketika. Dia sudah bisa menebak apa yang terjadi hanya saja ada sebagian kecil hatinya yang menolak itu. Dirinya sangat mempercayai suaminya. Dia ingin Bima menyangkal itu, mengatakan itu semua hanya dugaan nya. Ingin sekali kejadian sesungguhnya bukan seperti yang tertera di benakny
Evi menyediakan minuman es teh dan sedikit kudapan. Ada dua orang pekerja di depan rumahnya sedang memasang terpal. Evi berencana menggunakan gaji dari majikannya untuk modal berdagang gorengan soto dan pecel. Setidaknya dengan cara itu Evi tidak perlu menggunakan tabungan yang selama ini dia kumpulkan.Evi melanjutkan dengan memeriksa belanjaan nya. Menyusun perkakas yang akan dibutuhkan. Tati membantunya sambil menggerutu, menyesali keputusannya berhenti. Kemarin Tati pikir Evi pergi ke sana untuk kembali bekerja ternyata justru hanya mengambil semua bajunya.“Ya sudahlah terserah kamu saja,” putus Tati akhirnya. Dirinya bukan ingin memaksa Evi terus bekerja, hanya dirinya cemas, bagaimana mereka bila Evi turut menganggur. Apalagi Ardan tahun depan masuk sekolah.Tati meninggalkan Evi, melangkah keluar rumah. Mengawasi Ardan khawatir mengganggu pekerja. Namun Ardan hanya duduk di bawah pohon jambu memandang mereka. Evi menghela napas, memahami kekecewaan Ibu padanya. Kemarin juga
[Vi, setelah Mama sehat aku akan mengatakan tentang hubungan kita] pesan w******p dari Arif masuk ke ponsel Evi.[Hubungan apa, Mas? Kita tidak ada hubungan apa-apa] balas Evi. [Vi, kamu apa-apan, sih] Arif tidak terima dengan jawaban Evi. Gusar dan kesal, Evi tidak pernah menganggap serius perasaannya.[Sudah, Mas jangan buat Ibu kembali sakit dengan rencanamu. Sudah ya Mas, saya enggak mau ada masalah lagi][Masalah apa yang kamu maksud?] Evi memijat tombol non aktif pada ponsel nya, tidak ingin membalas lagi Tidak ingin membaca pesan apa pun lagi dari Arif. Sejak kepulangan nya waktu itu dia gencar sekali menyerangnya dengan pesan WA. Tidak pernah menelpon karena Evi yakin, Arif tidak ingin hubungan mereka diketahui teman-temannya.Pengalaman ditinggal suami telah mengajarkan Evi untuk selalu berhati-hati menerima pernyataan cinta. Tidak terbuai karenanya hingga mematikan logika. Sejak awal perempuan berhidung mancung itu selalu meragukan cinta Arif padanya.Jika belum menikah saja
“Sebentar, Bu. Evi sakit perut,”kata Evi setelah pintu kamarnya terbuka, dia sedikit membungkuk dan meringis memegang perutnya. Sebelum Tati sempat bertanya, Evi telah tergesa berlari menuju kamar mandi. Tati hanya menghela napas.Evi sengaja melakukan itu agar ibunya tidak melihat sisa tangis di wajahnya, juga tidak bertanya dirinya kenapa.“Kamu nggak macam-macam kan sama Pak Bima tadi? Ngapain dia datang?” tanya Tati saat Evi keluar dari kamar mandi. Evi tertegun mendengar pertanyaan itu dan tatap tajam ibunya.“Bu kami hanya bicara tadi? Pak Bima Cuma nanya kenapa Evi berhenti,” kilah Evi perlahan.“Lalu kenapa kamu nangis? Kamu jangan bohong, Nak, Ibu tahu sekali bagaimana kamu,” desak Tati hampir menangis, dia sangat yakin ada sesuatu yang membuat Evi memutuskan berhenti. Tati juga khawatir bisa sesuatu itu adalah hal yang fatal untuk mereka. Entah itu apa, wanita paruh baya itu tidak berani untuk menebak.Mendengar itu air mata Evi kembali jatuh tidak tertahankan, dia menghambur