“Aku pergi, Bu. Aku buktikan aku bukan pelakor, aku tidak akan merusak rumah tangga Ibu,” lirih Evi dengan pandangan menerawang pada lautan luas di hadapannya. Pulau yang dia tinggalkan semakin mengecil seiring dengan laju kapal.Evi duduk bersandar, sengaja tidak masuk ruangan untuk memandang lautan. Masih dia ingat tangisan ibunya yang berkeras melarang pergi. Juga Ardan, hati Evi kembali teriris mengingatnya. Waktu kebersamaan dengan Ardan hanya terjadi saat usia nya masih di bawah satu tahun. Selanjut Evi harus bekerja meninggalkannya. Dia lancar bicara, bisa bercerita, melompat dan bermain hanya dilaluinya bersama nenek nya.Tadi malam Bima memborbardir nya dengan pesan WA karena beberapa kali panggilannya tidak Evi angkat. Dia terus meminta kesempatan untuk bertanggung jawab.Dia mengatakan akan menikahi Evi secara siri, Untuk sementara hubungan mereka akan dirahasiakan demi menjaga penyakit jantung Vida. Evi tersenyum getir membacanya. Menjadi istri resmi saja dia tidak ingin a
“Apa yang terjadi, Vi?” tanya Naina setelah dokter dan perawatnya pergi. Evi diam, ada air mata mengalir di pipinya. Naina masih menunggu Evi bicara. Ruangan seketika sunyi tanpa suara.“Kamu sudah menikah lagi? Sekarang kamu hamil lalu kamu kabur dari suamimu? Atau orang yang menghamilimu meninggalkan kamu?”Evi masih bergeming membiarkan Naina dengan asumsinya. Naina menatapnya gusar.“Vi, kamu bisa cerita padaku, aku nggak mau ya, kamu tinggal sama aku tiba-tiba nanti ada yang nuntut aku karena nyembunyiin kamu,” desaknya.“Apa kamu akan percaya padaku?” tanya Evi dengan tatapan nanar ke langit-langit. Naina ganti terdiam. Dia sudah lama tidak bertemu Evi. Evi yang dulu tentu beda dengan Evi yang sekarang. Evi yang dulu, polos lugu tetapi cerdas. Evi yang sekarang dia tidak tahu apa-apa. “Semua tidak ada yang percaya padaku, Nai. Aku dianggap penggoda, pelakor. Warungku dihancurkan dan aku diserang sampai babak belur. Semua mencaciku, Nai,” ungkap Evi, pilu. Air matanya mengalir
Arif menghela napas saat ibunya terlihat melamun di dekat pot-pot bunga. Ibunya bilang akan menyibukkan diri dengan bunga-bunga itu. Menggemburkan tanahnya, membuang daun-daun yang menguning layu dan memberi pupuk. Namun kenyataannya malah melamun.“Ma, Papa sakit, badannya panas. Tadi Nenek telepon Arif mengabarkan kedaan Papa,” kata Arif setelah berada di dekat ibunya. Arif tahu walaupun pikirannya entah kemana. Mama mendengarkannya bicara.“Arif tidak apa-apa jika Mama mau memaafkan Papa. Mungkin Mama dan Papa bisa memulai semuanya dari awal lagi.”“Tapi Rif, bagaimana dengan pelakor itu? Sepertinya Papamu tidak menginginkan Mama lagi.”“Siapa bilang begitu, Papa tidak akan pernah datang meminta Mama pulang kalau Papa tidak menginginkan Mama lagi,” sanggah Arif. Ibunya memang selalu menghindar saat ayahnya datang, tidak ingin menemui.Sebelumnya Arif pun tidak ingin memaafkan ayahnya. Dirinya sangat marah sekali, tetapi melihat beberapa kali ayahnya datang dalam kondisi lusuh tidak
Sore itu Anjas mengantarkan Evi sampai tempat kost Naina. Berulang kali mereka menolak, bermaksud naik taksi online saja tetapi Anjas tetap mengantar.“Jadi mulai besok kamu akan langsung bekerja?” tanya Anjas setelah meletakkan barang-barang mereka. Tidak banyak hanya tas yang berisi pakaian Evi dan sedikit makanan yang Anjas berikan untuk mereka. Evi menggangguk.“Apa pekerjaanmu?” Tanya Anjas, Evi memandangnya keberatan, untuk apa dia tahu. Bukankah sudah cukup di sini saja, dia tidak perlu ikut campur urusannya.“Maaf karena kondisimu belum memungkinkan untuk bekerja, kamu masih butuh istirahat setidaknya satu sampai dua hari, rahimmu masih lemah dan pendarahan yang kamu alami cukup banyak. Wajahmu juga masih pucat,” papar Anjas menelisik keberatan di wajah Evi.“Anjas benar, Vi kamu besok istirahat dulu, aku akan bilang dengan kepala dapur, kebetulan dia temanku,” sambung Naina menenangkan Evi.“Aku nggak mungkin izin pada hari pertama kerja, Nai,” tolak Evi“Kepala dapur? Apa pe
Evi ingat dulu, dirinya menatap bahagia pada test pack yang menampilkan garis merah dua. Hari itu juga Evi langsung ke bidan untuk meyakinkan hasil pemeriksaannya. Hasilnya positif Evi dinyatakan hamil delapan minggu. Tidak sabar rasanya dirinya ingin mengabarkan berita bahagia itu pada Rehan. Setelah setahun menanti dengan banyak cibiran tetangga bahkan mertuanya sendiri. Akhirnya anugrah itu dia dapatkan.Hari itu Evi memasak kesukaan Rehan, hasil test pack dan keterangan Bidan dipersiapkan nya dengan baik. Di bungkus dan dihiasi pita biru. Bibirnya semringah membayangkan betapa bahagiannya Rehan nanti menerima kabar ini. Apa yang akan dilakukannya? Memeluknya kah? Berteriak gembira dan langsung menelepon orangtuanya?Evi belum mengabari ibunya atau siapa pun. Evi ingin Rehan yang pertama mendengar kabar itu. Namun kejutan yang dia siapkan terpatahkan oleh kejutan yang dibawa Rehan. Hari itu. Dia datang dengan seorang gadis cantik, rekan kerjanya di kantor.“Siapa dia Mas?” tanya E
““Vi, tunggu, Vi, aku ingin bicara,” kejar Rehan saat Evi kembali menghindarinya. Evi baru saja tiba. Baru menaruh barang di loker tetapi Rehan seperti menunggunya. Dia sudah ada saat Evi keluar dari ruang itu.“Aku mau kerja, aku di sini mau kerja, tentang masa lalu kita sudah lama selesai tidak ada yang perlu dibicarakan lagi,” tegas Evi tanpa berbalik.“Aku mau minta maaf Vi, aku menyesal meninggalkanmu, aku tidak baik-baik ….”Evi mendengkus, meneruskan langkah tanpa menunggu Rehan selesai bicara.“Vi …”Evi segera bergabung dengan teman-temannya di dapur. “Kenapa dia Vi?” tanya salah satu rekannya, Evi hanya mengangkat bahu, segera menuju ke bak cuci piring untuk menyiapkan sabun dan lainnya.“Hati-hati, Vi. Istrinya galak gampang salah paham,” bisik yang lain.Evi tersenyum kecut mendengarnya.“Ya jangan dekat-dekat, aku aja pernah dilabrak cuma gara-gara nganter pesanan bareng dia,” sambung yang lain lagi.Evi sedikit mengernyit, baru mendengar tentang itu. Dia memang tidak pe
“Ke sini dulu, Chesa.” Evi menarik perlahan tangan Chesa di gandengannya menuju kandang monyet, Chesa tampak antusias sekali melihatnya.“Itu monyet, Ante? Monyet suka pisang,” serunya. Evi mengangguk mengambil pisang dari keranjang yang mereka bawa. Monyet-monyet itu tampak melompat dari dahan ke dahan sambil berseru gaduh.“Kita kasih makan ya,,” kata Evi memotong pisang menjadi beberapa bagian, memberikan 1 potong nya pada Chesa. Chesa melemparkan potongan itu melalui celah yang tersedia. Dia berseru senang saat ada yang berhasil menangkap lemparannya.Dari kandang monyet mereka berpindah lagi ke kandang yang lain. Chesa tampak senang sekali. Anjas yang mengikuti mereka dari belakang jadi menyesal sangat jarang mengajak Chesa jalan-jalan.“Istirahat dulu,” ajak Evi sambil menuju bangku di dekat mereka. Dia mengelap keringat Chesa yang mengalir di dahi. dan Merapihkan ikatan rambutnya.“Minum dulu ya sama makan kue, nanti kita lihat macan, gimana suara macam?” tanya Evi sambil memba
Naina tertegun menatap langkah Evi yang menghilang ke dalam kamar mandi. Hatinya ikut teriris mendengar kalimat Evi. Rasa bersalah mendera.Sejak dari rumah dia memang sudah tidak bisa menahan emosi, cemburu dan merasa tersaingi. Padahal tidak seharusnya dia cemburu dirinya tidak ada hubungan apa-apa dengan Anjas.Mengapa saat dirinya jatuh cinta lagi harus ada Evi di sisinya. Evi sungguh bukan levelnya untuk bersaing, dirinya lebih segalanya. Dirinya lebih berpenghasilan dan mandiri. Berasal dari keluarga baik-baik. Namun mengapa Anjas seperti lebih menyukai Evi dibanding dirinya. Naina menghentak kaki dengan kesal, masuk kamar dan menghempaskan diri ke kasur.Pagi itu Naina terbangun oleh aroma masakan yang menusuk hidung. Dia memang sedang libur sholat jadi saat azan tadi dia tidur lagi. Pasti Evi yang sudah memasak, dia memang rajin sekali selama tinggal di sini, sering memasak, tempat kos nya juga jadi selalu bersih dan rapi.Naina memaksa diri bangun, segera mengambil handuk dan
Reina tidak pernah tahu cerita yang sebenarnya. Dia sangat membenci Anjas karena meninggalkannya pada saat dirinya bertarung di antara hidup dan mati. Anjas juga membiarkannya terpuruk sendiri. Pernah sekali saat dia diam-diam menemui Anjas karena ingin bertanya mengapa Anjas berubah, kenapa dia meninggalkannya. Anjas mengatakan.“Antara kita sudah selesai Reina, Aku memang hanya ingin bertanggung jawab karena kamu hamil,, selanjutnya kita cukup sampai di sini," jawab Anjas sambil memalingkan wajah. Tidak ingin melihat kekecewaan dan rasa sakit di mata Reina.“Nggak mungkin, Mas, kamu bohong kan?” tolak Reina, Anjas diam.“Lihat aku, Mas katakan kalau sebenarnya kamu bohong, katakan kalau kau nggak mungkin nyakitin aku seperti ini,” desak Reina dengan intonasi yang mulai naik. Air mata mulai mengalir di pipinya.“Sayangnya itu memang kenyataannya Rei, aku sudah tidak mencintaimu lagi, Rasa itu berubah.” Anjas menegarkan diri mengucapkan itu. Membekukan hati agar tidak terpengaruh oleh
Flsh back sebelum Reina melahirkan.“Kami butuh persetujuan untuk operasi, istri Bapak mengalami preeklamsi berat, keadaaan ini bisa mengancam nyawa ibu dan bayinya. Saat ini kami sedang melakukan perawatan untuk membuat kondisinya stabil.”“Tidak ada jalan lain selain operasi, Dokter?” tanya Anjas dengan hati nyeri. Dia sungguh bukan tidak ingin memberi yang terbaik untuk Reina untuk anaknya tetapi uang yang dirinya kumpulkan hanya cukup untuk persalinan normal di puskesmas. Jika harus operasi dari mana biayanya. Apalagi di rumah sakit besar seperti ini. Reina dirujuk ke rumah sakit karena tensi darah yang tinggi.Dokter menggeleng mematahkan harapan Anjas. Anjas menghembuskan napas panjang, tangannya bergerak menandatangani persetujuan operasi dengan pikiran kalut. Tidak tahu harus kemana mencari tambahan dana untuk biaya Reina. Namun nyawa Reina tetap harus diselamatkan, Anjas tidak ingin terjadi apa-apa dengannya. Usai menandatangani persetujuan, seorang perawat menggiringnya menu
“Kita pulang saja nanti kamu bisa menenangkan diri,” ajak Evi, Anjas mengangguk dan beranjak mengajak Evi mengikutinya ke mobil. Sampai di mobil Anjas mengingat jika Evi belum pernah tahu kehadiran ibunya. Anjas belum memberi tahunya.“Vi, dalam dua hari ini kamu sudah telpon Ibu?” tanya Anjas sambil mulai melajukan mobilnya.Evi menoleh dan menggeleng“Berapa kali Ibu ku telpon nggak ngangkat terakhir telpon, Ibu menolak video call hanya telpon biasa, Ibu bilang sedang di pasar,” jawabnya.“Kalau gitu kita ke rumah dulu ya, ada kejutan di rumah,” senyum Anjas, Evi menatapnya penuh tanya tetapi Anjas sudah kembali fokus ke jalan. Evi pun diam tidak jadi bertanya, percuma pikirnya jika Anjas sudah bilang kejutan dia tidak akan menjawab.Mobil melaju tenang membelah keramaian kota, hingga saat mobil berbelok di halaman rumah Anjas, pandangan Evi terpaku ke teras rumah. Tertegun tidak percaya.Evi masih diam saat Anjas telah menghentikan mobilnya dan mengajak turun. Di teras rumah itu Ev
“Evi ....” tegur seseorang dari belakang dengan suara yang tidak yakin. Evi berbalik menemukan Aila yang mendekatinya.“Ya ampun Evi, jadi beneran kamu mau nikah sama Pak Anjas?” tanyanya antusias setelah dekat. Evi tersenyum menyambutnya tanpa mengangguk atau menggeleng, Evi yakin Ibu satu anak di hadapannnya sudah tahu jawabannya.“Aku emang dah nyangka kalau kalian ada apa-apa. Pak Anjas hampir tidak pernah merekomendasikan orang, apalagi sampai menahan saat ingin resign ternyata memang ya,…” sambungnya sambil tertawa. Mantan atasannya itu mengelengkan kepala dengan sisa tawa yang belum hilang. Evi jadi mengerti berarti beberapa keringanan yang di terimanya selama bekerja memang atas campur tangan Anjas.Evi mengajak Aila untuk duduk tetapi dia menolak, katanya masih banyak pekerjaan yang harus dia lakukan, restoran memang tutup tetapi karyawan tetap diberdayakan untuk persiapan pesta. Selain tetap menerima gaji mereka juga dibayar .Hari ini Anjas memang mengajak Evi untuk melihat
Anjas menyambut kehadiran calon mertuanya dengan suka cita, mengambil alih anak yang berada dalam gendongan calon mertuanya. Anak lelaki itu nyaris seumur dengan Chesa tetapi badannya terlihat lebih kecil, mungkin karena ekonomi yang sulit dan dalam asuhan neneknya yang tidak seharusnya mengasuh anak kecil lagi. Chesa di sisinya ikut bertanya siapa dia tampak antusias sekali ingin menyentuh pipi anak yang tertidur pulas situ. Mereka datang bersama adiknya Faris yang memang dia minta untuk menjemput. Selain bersama ibunya Tati, faris juga datang bersama istri dan kedua anaknya yang masih berusia 3 tahun dan 1 tahun. Juga Fahri adik bungsunya yang masih kuliah. “Nak Anjas sungguh-sungguh berniat meminang Evi? Saya sungguh terkejut sekali saat tiba-tiba di jemput saya pikir saya akan diculik, ingin menelpon Evi tapi dilarang mereka bilang ini kejutan buat Evi, saya sudah banyak menduga-duga, tapi setelah saya pikir lagi tidak mungkin juga penculik membawa dua balita yang memanggilnya
Anjas menyambut Arinda turun dari mobil.“beres senua, Ma?” tanya Anjas sambil melirik barang belanjaan yang tampak memenuhi mobil bagian belakang. Anjas memanggil semua pekerjanya untuk menurunkan barang-barang itu. “Cape banget Uma, tugasmu malam ini buat pijit kaki Uma.”“Tugas Abak, itu Uma kan Abak yang minta pernikahan buru-buru,” elak Anjas. Mendengar namanya disebut Yasir menoleh lalu mencibir.“Ya kalau kamu nggak mau gampang kok tinggal dibatalkan saja.”“Eh, nggak ya Abak, semua udah bergerak kok mau dibatalkan,” gerutu Anjas, Arinda dan Yasir menahan senyum sambil menggelengkan kepalanya.*** “Kamu selama di sini nggak pernah ketemu Reina, Njas?” tanya Arinda saat mereka selesai makan malam. Anjas sudah tidak mengunyah ataupun minum. Sepeti kedua orang tuanya, Anjas pun sudah selesai makan beberapa menit lalu. Namun pertanyaan itu membautnya nayris tersedak.Dua kali sudah Anjas mendengar nama itu dihubungka padanya. Ada apa sebenarnya.“Kok Uma nanyain lagi, dia Cuma mas
“Sumringah banget, cepet banget ya perubahan cuaca,” goda Aldi saat Anjas memasuki kafe. Wajahnya memang terlihat cerah, senyum lebar tersungging di bibirnya, padahal kemarin masih tampak kusut.“Kabar baik nih kayaknya, “ sambung Dimas.Anjas mengambil tempat di antara mereka dengan senum yang hampir menyerupai tawa. Kafe belum begitu ramai. Pengunjung kafe ini memang banyak pada sore dan malam hari. Beda dengan restoran Anjas yang justru ramai pada pagi dan siang hari.“Gimana nih? Udah baikan sama Evi, Evi dah nerima kamu?”“Lebih dari itu, Bro.” Anjas menjawab tanya Reno, yang lain seketika mendekat, ingin tahu lebih banyak.“lo … udah ena-ena?” tanya Reno hati-hati.“Gila lo!” Anjas melempar Reno dengan gumpalan tisu. Marah sekali dia walaupun bercanda, mereka pikir Evi serendah itu.“Apa dong?” Dimas tampak tidak sabar.“Kalian harus bantu gue, gue mau nikah 2 minggu lagi,”“Hah gila lo,” umpat mereka serempak“Kayak udah kebelet banget lo mau nikah semendadak itu,” sungut Aldi.
Arinda tertegun mendengar pernyataan Evi. Janda anak satu yang sudah berusia 4 tahun. Dia seperti masih muda sekali, wajahnya tidak menunjukkan itu. Evi meremas tangannya dengan resah, dadanya berdebar kencang menunggu keputusan.Pertemuan ini sungguh tidak terduga, andai tahu dirinya sudah memaksimalkan diri. Namun percaya diri sekali dirinya akan di terima. Walaupun ragu sebenarnya Evi sangat mengharap di terima.“Kamu mencintai Anjas?” Bukannya menjawab, Arinda justru balik bertanya. Lidah Evi terasa kelu seketika. Pertanyaan itu terasa sulit untuk dijawab. Walaupun hatinya mengakui mencintai Anjas tetapi mengucapkannya Evi ragu. Evie takut perasaan Anjas padanya tidak lagi sama.Anjas menatap Evi menunggu jawaban, hatinya pun berdebar kencang, was-was Evi menjawab tidak sesuai harapan.“Nak, … kamu mencintai, Anjas?” Setelah lama tidak ada jawaban, Arinda mengulang pertanyaannya kembali.“Bu ….” Evi menghentikan kalimatnya, hatinya resah. Arinda masih bergeming menunggu.“Sa … say
Anjas menghela napas, merasa salah tingkah dengan pernyataan itu. Belum sempat dia menjawab, pesanan mereka datang. Anjas meminta Evi untuk menikmati dulu. Evi sebenarnya ingin cepat pergi tetapi pembicaraan mereka sama sekali belum mulai.“Maaf, Vi. Saat itu saya tidak tahu persoalan yang sebenarnya saya tidak mungkin gegabah,” jelas Anjas tentang mengapa dia tidak membela Evi.“Kita baru mengenal, Vi. Saya belum tahu banyak tentang kamu,” lanjutnya.“Kalau begitu biarkan saya pergi, Pak. Jangan cegah lagi, saya perlu memperbaiki hidup saya.”“Apa di sini kamu tidak bisa lebih baik?”Evi menggeleng.“Di sini Pak Bima telah tahu keberadaan saya, dia bisa datang sewaktu-waktu. Hubungan saya dengan Naina juga telah tidak baik, belum lagi Rehan dan istrinya. Saya ingin tenang Pak. Saya ingin pergi,” papar Evi. Dia sengaja tidak menyebutkan ingin melupakan lelaki di hadapannya menjadi alasan utama. Tidak ingin Anjas tahu.“Saya akan melindungi kamu kalau itu yang kamu khawatirkan Vi. Saya