Sore itu Anjas mengantarkan Evi sampai tempat kost Naina. Berulang kali mereka menolak, bermaksud naik taksi online saja tetapi Anjas tetap mengantar.“Jadi mulai besok kamu akan langsung bekerja?” tanya Anjas setelah meletakkan barang-barang mereka. Tidak banyak hanya tas yang berisi pakaian Evi dan sedikit makanan yang Anjas berikan untuk mereka. Evi menggangguk.“Apa pekerjaanmu?” Tanya Anjas, Evi memandangnya keberatan, untuk apa dia tahu. Bukankah sudah cukup di sini saja, dia tidak perlu ikut campur urusannya.“Maaf karena kondisimu belum memungkinkan untuk bekerja, kamu masih butuh istirahat setidaknya satu sampai dua hari, rahimmu masih lemah dan pendarahan yang kamu alami cukup banyak. Wajahmu juga masih pucat,” papar Anjas menelisik keberatan di wajah Evi.“Anjas benar, Vi kamu besok istirahat dulu, aku akan bilang dengan kepala dapur, kebetulan dia temanku,” sambung Naina menenangkan Evi.“Aku nggak mungkin izin pada hari pertama kerja, Nai,” tolak Evi“Kepala dapur? Apa pe
Evi ingat dulu, dirinya menatap bahagia pada test pack yang menampilkan garis merah dua. Hari itu juga Evi langsung ke bidan untuk meyakinkan hasil pemeriksaannya. Hasilnya positif Evi dinyatakan hamil delapan minggu. Tidak sabar rasanya dirinya ingin mengabarkan berita bahagia itu pada Rehan. Setelah setahun menanti dengan banyak cibiran tetangga bahkan mertuanya sendiri. Akhirnya anugrah itu dia dapatkan.Hari itu Evi memasak kesukaan Rehan, hasil test pack dan keterangan Bidan dipersiapkan nya dengan baik. Di bungkus dan dihiasi pita biru. Bibirnya semringah membayangkan betapa bahagiannya Rehan nanti menerima kabar ini. Apa yang akan dilakukannya? Memeluknya kah? Berteriak gembira dan langsung menelepon orangtuanya?Evi belum mengabari ibunya atau siapa pun. Evi ingin Rehan yang pertama mendengar kabar itu. Namun kejutan yang dia siapkan terpatahkan oleh kejutan yang dibawa Rehan. Hari itu. Dia datang dengan seorang gadis cantik, rekan kerjanya di kantor.“Siapa dia Mas?” tanya E
““Vi, tunggu, Vi, aku ingin bicara,” kejar Rehan saat Evi kembali menghindarinya. Evi baru saja tiba. Baru menaruh barang di loker tetapi Rehan seperti menunggunya. Dia sudah ada saat Evi keluar dari ruang itu.“Aku mau kerja, aku di sini mau kerja, tentang masa lalu kita sudah lama selesai tidak ada yang perlu dibicarakan lagi,” tegas Evi tanpa berbalik.“Aku mau minta maaf Vi, aku menyesal meninggalkanmu, aku tidak baik-baik ….”Evi mendengkus, meneruskan langkah tanpa menunggu Rehan selesai bicara.“Vi …”Evi segera bergabung dengan teman-temannya di dapur. “Kenapa dia Vi?” tanya salah satu rekannya, Evi hanya mengangkat bahu, segera menuju ke bak cuci piring untuk menyiapkan sabun dan lainnya.“Hati-hati, Vi. Istrinya galak gampang salah paham,” bisik yang lain.Evi tersenyum kecut mendengarnya.“Ya jangan dekat-dekat, aku aja pernah dilabrak cuma gara-gara nganter pesanan bareng dia,” sambung yang lain lagi.Evi sedikit mengernyit, baru mendengar tentang itu. Dia memang tidak pe
“Ke sini dulu, Chesa.” Evi menarik perlahan tangan Chesa di gandengannya menuju kandang monyet, Chesa tampak antusias sekali melihatnya.“Itu monyet, Ante? Monyet suka pisang,” serunya. Evi mengangguk mengambil pisang dari keranjang yang mereka bawa. Monyet-monyet itu tampak melompat dari dahan ke dahan sambil berseru gaduh.“Kita kasih makan ya,,” kata Evi memotong pisang menjadi beberapa bagian, memberikan 1 potong nya pada Chesa. Chesa melemparkan potongan itu melalui celah yang tersedia. Dia berseru senang saat ada yang berhasil menangkap lemparannya.Dari kandang monyet mereka berpindah lagi ke kandang yang lain. Chesa tampak senang sekali. Anjas yang mengikuti mereka dari belakang jadi menyesal sangat jarang mengajak Chesa jalan-jalan.“Istirahat dulu,” ajak Evi sambil menuju bangku di dekat mereka. Dia mengelap keringat Chesa yang mengalir di dahi. dan Merapihkan ikatan rambutnya.“Minum dulu ya sama makan kue, nanti kita lihat macan, gimana suara macam?” tanya Evi sambil memba
Naina tertegun menatap langkah Evi yang menghilang ke dalam kamar mandi. Hatinya ikut teriris mendengar kalimat Evi. Rasa bersalah mendera.Sejak dari rumah dia memang sudah tidak bisa menahan emosi, cemburu dan merasa tersaingi. Padahal tidak seharusnya dia cemburu dirinya tidak ada hubungan apa-apa dengan Anjas.Mengapa saat dirinya jatuh cinta lagi harus ada Evi di sisinya. Evi sungguh bukan levelnya untuk bersaing, dirinya lebih segalanya. Dirinya lebih berpenghasilan dan mandiri. Berasal dari keluarga baik-baik. Namun mengapa Anjas seperti lebih menyukai Evi dibanding dirinya. Naina menghentak kaki dengan kesal, masuk kamar dan menghempaskan diri ke kasur.Pagi itu Naina terbangun oleh aroma masakan yang menusuk hidung. Dia memang sedang libur sholat jadi saat azan tadi dia tidur lagi. Pasti Evi yang sudah memasak, dia memang rajin sekali selama tinggal di sini, sering memasak, tempat kos nya juga jadi selalu bersih dan rapi.Naina memaksa diri bangun, segera mengambil handuk dan
Vida menangis di kamarnya, tidak tahu harus mengadu ke mana. Semakin hari Bima semakin berubah, semakin jauh dari nya. Ingin mengadu pada orang tua atau mertuanya percuma saja, mereka sudah tua hanya menambah pikiran mereka saja.Bela dan Caca belum mengerti apa-apa, mereka terbiasa hidup penuh kemudahan dari kecil. Mudah memperoleh apa yang diinginkan. Tinggal mengadu saat ada masalah, maka Bima akan turun tangan membereskan.Dua puluh lima tahun mereka bersama haruskah berakhir begitu saja? Bagaimana caranya menyadarkan Bima agar tidak memikirkan pelakor kecil itu lagi? Bagaimana caranya mengajaknya untuk kembali pada mereka? Vida tidak ingin kehilangan, tidak ingin semuanya menjadi berantakan.Dia sudah berusaha memaafkan, kembali berniat memulai semua dari awal tetapi tampaknya hati suaminya telah berpaling.Vida mengambil ponselnya. Men-scroll mencari nama seseorang lalu mendialnya.“Bagaimana?” tanya Vida “Baru saya tanya Bu, kata Mas Aris, nggak ada janji sama dia, Bu. Malah s
Naina terlihat sudah siap saat mobil Anjas memasuki halaman kos nya. Dia sengaja tidak pulang ke rumah orang tuanya untuk kesempatan ini. Hatinya gempita sekali saat Anjas menghubunginya kemaren. Tidak percuma dia meminta Evi untuk mundur dan menghindar dari sisi Anjas. Pada akhirnya Anjas menghubunginya.Dia sudah berdandan cantik dan memakai blouse ungu yang tampak elegan dipadukan dengan celana putih. Serasi dan pas, Naina berulang mematut diri di cermin, dia ingin sempurna di mata Anjas. Dia harus bisa membuat Anjas berpaling dari Evi. Bukankah dirinya tidak kalah cantik?Naina menyambut Anjas yang turun dari sisi kemudi dengan senyum semringah, lalu terlihat Anjas menuju pintu sebelahnya menurunkan gadis kecil dari dalamnya. Naina mendekat ingin menyambutnya tetapi gadis kecil itu melewatinya begitu saja. Dia berlari masuk ke dalam kos sambil berteriak.“Ante … Ante, ayo ante kita pergi,” katanya sambil memeriksa setiap sudut kos. Naina mencelos mendengarnya, kebahagiaannya tadi
“Kalau begitu kita batalkan rencana kita, Ma. Mama bisa bilang kalau cuti Arif dicancel jadi liburan kita gagal,” saran Arif melalui sambungan telepon. Sejak tadi malam Vida memang mengirim pesan WA menanyakan apakah Arif tidak sedang sibuk, karena Vida ingin bicara. Dia sudah tidak bisa kompromi lagi dengan semua kebohongan Bima padanya.Vida menggeleng mendengar saran Arif, berpikir itu bukan ide yang baik. Bagaimana pun liburan ini telah mereka rencanakan. Bela dan Caca akan kecewa, lagi pula Bima akan leluasa menjalankan rencananya bila liburan mereka gagal.“Mama nggak setuju, Rif. Kok malah liburan kita yang digagalkan, adik-adikmu bisa kecewa nanti?” protes Vida.“Ma, dengar Arif dulu, ini kesempatan kita untuk tahu apa rencana Papa di weekend panjang itu. Kebetulan Arif kan sudah ambil cuti. Nah waktu Arif itu bisa digunakan untuk mengikuti Papa diam-diam. Pokoknya tugas Mama hanya bilang rencana kita batal, selanjutnya Mama pantau gerak-gerik Papa. Bela sama Caca bisa Mama aj