Naina terlihat sudah siap saat mobil Anjas memasuki halaman kos nya. Dia sengaja tidak pulang ke rumah orang tuanya untuk kesempatan ini. Hatinya gempita sekali saat Anjas menghubunginya kemaren. Tidak percuma dia meminta Evi untuk mundur dan menghindar dari sisi Anjas. Pada akhirnya Anjas menghubunginya.Dia sudah berdandan cantik dan memakai blouse ungu yang tampak elegan dipadukan dengan celana putih. Serasi dan pas, Naina berulang mematut diri di cermin, dia ingin sempurna di mata Anjas. Dia harus bisa membuat Anjas berpaling dari Evi. Bukankah dirinya tidak kalah cantik?Naina menyambut Anjas yang turun dari sisi kemudi dengan senyum semringah, lalu terlihat Anjas menuju pintu sebelahnya menurunkan gadis kecil dari dalamnya. Naina mendekat ingin menyambutnya tetapi gadis kecil itu melewatinya begitu saja. Dia berlari masuk ke dalam kos sambil berteriak.“Ante … Ante, ayo ante kita pergi,” katanya sambil memeriksa setiap sudut kos. Naina mencelos mendengarnya, kebahagiaannya tadi
“Kalau begitu kita batalkan rencana kita, Ma. Mama bisa bilang kalau cuti Arif dicancel jadi liburan kita gagal,” saran Arif melalui sambungan telepon. Sejak tadi malam Vida memang mengirim pesan WA menanyakan apakah Arif tidak sedang sibuk, karena Vida ingin bicara. Dia sudah tidak bisa kompromi lagi dengan semua kebohongan Bima padanya.Vida menggeleng mendengar saran Arif, berpikir itu bukan ide yang baik. Bagaimana pun liburan ini telah mereka rencanakan. Bela dan Caca akan kecewa, lagi pula Bima akan leluasa menjalankan rencananya bila liburan mereka gagal.“Mama nggak setuju, Rif. Kok malah liburan kita yang digagalkan, adik-adikmu bisa kecewa nanti?” protes Vida.“Ma, dengar Arif dulu, ini kesempatan kita untuk tahu apa rencana Papa di weekend panjang itu. Kebetulan Arif kan sudah ambil cuti. Nah waktu Arif itu bisa digunakan untuk mengikuti Papa diam-diam. Pokoknya tugas Mama hanya bilang rencana kita batal, selanjutnya Mama pantau gerak-gerik Papa. Bela sama Caca bisa Mama aj
Bima mengistirahatkan tubuhnya di ruang ViP. Sopir yang bersamanya telah tertidur pulas sejak tadi. Mata Bima nyalang melihat orang-orang yang berada di sekitarnya. Entahlah sejak tadi perasaan nya tidak tenang seperti ada yang mengikuti. Ditelitinya sekali lagi wajah orang-orang di sekelilingnya kalau-kalau ada yang mencurigakan.Bima menghembuskan napas panjang, mungkin hanya perasaan saja karena dia takut ketahuan. Dirinya juga sudah menghubungi Prapto, menanyakan kondisi apakah aman. Apa ada pesan masuk penting yang masuk ke HP nya? Sejauh ini Prapto mengatakan aman. Hanya ada pesan Vida yang menanyakan apakah sudah sampai dan sudah dijawab.Bima memang mengizinkan Prapto menjawab pesan di handpone-nya. Namun untuk telepon Bima menyuruh Prapto untuk tidak menjawab lalu menjelaskan sedang di jalan atau sedang sibuk melalui pesan.Ponselnya yang diketahui Vida memang dibawa Prapto bersama mobil. Semua memang sudah direncankannya dengan matang agar Vida dan anak-anak tidak akan perna
Rehan masih terpaku pikirannya seakan kosong seketika. Kejutan ini sungguh luar biasa menghantam dirinya. Membuatnya seperti terhempas berkali-kali oleh gulungan ombak. Sementara Evi masih menatap Naina dengan gusar. “Uf, sori. aku lupa kalau Rehan belum tahu, sori Vi, sori,” kata Naina tanpa rasa bersalah. Melipir pergi meninggalkan mereka. Ada sorak dalam hatinya juga senyum tipis nyaris tidak terlihat.Evi menatap kepergian Naina dengan kesal. Dia seperti sengaja membeberkan soal ini pada Rehan, Entah untuk tujuan apa.Naina yang sekarang tampaknya berbeda dengan Naina dikenalnya dulu. Dia sudah berubah banyak bersama waktu atau mungkin Evi yang tidak benar-benar mengenalnya dulu.“Apa maksudnya ini, Vi? Anak? Kita punya anak? Kamu hamil saat kita berpisah? Kenapa tidak memberitahuku Vi? Kenapa menyembunyikan semua?” tanya Rehan bertubi. Dia berang sekali. Sekian tahun menunggu, Sekian tahun seperti tidak memiliki harapan tiba-tiba saja dikejutkan oleh kenyataan ini,“Di mana anak
“Bapak mengenal saya?” tanya pemuda itu menyadarkan Bima. Mungkin dia bingung karena Bima menatapnya sangat intens Bima mengerjap, merasa lega dia bukan Arif. Posturnya memang mirip. Lagipula untuk apa Arif di sini. Bima menggeleng merasa dirinya terlalu paranoid.“Oh nggak maaf, saya sangka tadi teman anak saya, ternyata bukan,” kilah Bima sedikit gugup. Pemuda itu mengangguk lalu kembali bicara pada resepsionis. Bima segera berlalu setelah mendapatkan kunci, mengajak serta supir yang menemaninya. Dia ingin segera merebahkan diri. Besok dia harus bugar untuk bertemu Evi.Sementara itu Vida baru saja merebahkan diri di tempat tidur. Bela dan Caca telah berada di kamarnya. Lelah sekali mereka hari ini, berkeliling kuliner dan berakhir dengan Spa. Walaupun kecewa tidak jadi liburan, kegiatan hari ini cukup menghibur.Vida mengambil ponselnya teringat Arif belum menghubunginya sama sekali, kemana dia? Apakah benar Bima pergi bukan pulang seperti apa yang dia katakan? Berhasilkah dia mengi
Naina bangkit dari kursi menghampiri Evi yang masih berdiri tidak jauh dari mereka. Dari mobil itu tampak Anjas turun lalu membantu Chesa turun juga.“Tahu diri, Vi. Kamu nggak pantas sama Anjas,” bisiknya sambil lalu, tetapi terasa telak menghujam hati. Naina melanjutkan langkah menghampiri Anjas dan Chesa. Bima masih memandang mereka yang datang penuh tanya. Hatinya sedikit terusik dengan kehadiran mereka.Siapa mereka? Ada hubungan apa mereka dengan Evi?“Hai, Mas,” sapa Naina sambil bermaksud meraih Chesa tetapi Chesa justru berlari menuju Evi.“Hai Ante,” sapa Chesa, seperti biasa Evi berjongkok menyambut Chesa lalu memeluknya. Bima terlihat makin gusar melihat itu. Merasa seperti mendapat saingan.“Kalian jadi mau pergi?” tanya Naina sambil mengikuti langkah Anjas. “Tapi sepertinya nggak bisa, Evi lagi ada tamu,” lanjutnya lagi. Langkah Anjas terhenti. Sejak tadi hatinya memang sudah dipenuhi pertanyaan melihat lelaki yang duduk teras kos Evi.“Kenalin Mas, dia calon suami Evi.
“Kalau Papa maksa Arif akan bongkar pemerkosaan Papa terhadap Evi!” bisik Arif. Bima tertegun, wajahnya pias seketika. Tanpa kata dia melepaskan cekalan terhadap Evi dan mengikuti Arif masuk ke mobil.“Mana Hardi?” Bima menanyakan supir yang dibawanya sambil melihat pada kursi belakang.“Dia bawa motor Arif pulang,” jawab Arif singkat. Bima terdiam, jadi Arif memang telah mengikutinya. Padahal dia sudah begitu waspada, sudah bergerak dengan rencana yang matang. Tanpa mobil, tanpa handpone mengapa masih bisa terlacak.Bima bergerak resah, apa yang akan terjadi setelah ini? Apa yang akan dilakukan Vida padanya?Evi memandang nanar kepergian mereka dengan rasa sesak di dada. Pedih sekali menerima perlakuan mereka terhadapnya. Karena dirinya hanya asisten rumah tangga tidak pantaskah untuk bersuara.Evi mengalihkan pandang pada mereka di sekitarnya yang masih terdiam mencerna kejadian tadi. Ibu kos nya yang nampak bingung juga Naina yang sepertinya kecewa, Evi tidak jadi pergi. Bahkan mer
Evi merebahkan diri yang terasa lelah di tempat tidur. Kedatangan Bima dan perlawanannya cukup menguras energi, dia ingin sejenak mengosongkan pikiran, melupakan semuanya.Suara dering telepon memaksa Evi untuk bangun memeriksanya. Dari ibunya, ada gejolak rasa yang membuat Evi merasa enggan menerima telepon itu. Evi kecewa ibunya terus memaksa dirinya bersama Bima sampai memberikan alamatnya sehingga Bima datang dan kejadian ini terjadi.Namun dering yang tidak berhenti membuat Evi tidak tega mengabaikannya, Evi tidak ingin ibunya cemas.“Mengapa lama sekali, Vi,” tegur ibunya setelah salam. Evi menatap penuh rindu pada Ardan yang ada di pangkuan ibunya.“Bu,..Bu,” celoteh nya tangannya meraih handpone ingin menggapai dirinya. Evi menghapus matanya yang berkaca.“Pak Bima belum sampai Vi?” tanya Tati mengalihkan perhatian Evi. Tati berpikir saat dirinya menelepon Evi telah berada di perjalanan bersama Bima. Namun kenyataannya Evi masih di rumah.“Evi tidak mau menikah dengan Pak Bima