Rehan masih terpaku pikirannya seakan kosong seketika. Kejutan ini sungguh luar biasa menghantam dirinya. Membuatnya seperti terhempas berkali-kali oleh gulungan ombak. Sementara Evi masih menatap Naina dengan gusar. “Uf, sori. aku lupa kalau Rehan belum tahu, sori Vi, sori,” kata Naina tanpa rasa bersalah. Melipir pergi meninggalkan mereka. Ada sorak dalam hatinya juga senyum tipis nyaris tidak terlihat.Evi menatap kepergian Naina dengan kesal. Dia seperti sengaja membeberkan soal ini pada Rehan, Entah untuk tujuan apa.Naina yang sekarang tampaknya berbeda dengan Naina dikenalnya dulu. Dia sudah berubah banyak bersama waktu atau mungkin Evi yang tidak benar-benar mengenalnya dulu.“Apa maksudnya ini, Vi? Anak? Kita punya anak? Kamu hamil saat kita berpisah? Kenapa tidak memberitahuku Vi? Kenapa menyembunyikan semua?” tanya Rehan bertubi. Dia berang sekali. Sekian tahun menunggu, Sekian tahun seperti tidak memiliki harapan tiba-tiba saja dikejutkan oleh kenyataan ini,“Di mana anak
“Bapak mengenal saya?” tanya pemuda itu menyadarkan Bima. Mungkin dia bingung karena Bima menatapnya sangat intens Bima mengerjap, merasa lega dia bukan Arif. Posturnya memang mirip. Lagipula untuk apa Arif di sini. Bima menggeleng merasa dirinya terlalu paranoid.“Oh nggak maaf, saya sangka tadi teman anak saya, ternyata bukan,” kilah Bima sedikit gugup. Pemuda itu mengangguk lalu kembali bicara pada resepsionis. Bima segera berlalu setelah mendapatkan kunci, mengajak serta supir yang menemaninya. Dia ingin segera merebahkan diri. Besok dia harus bugar untuk bertemu Evi.Sementara itu Vida baru saja merebahkan diri di tempat tidur. Bela dan Caca telah berada di kamarnya. Lelah sekali mereka hari ini, berkeliling kuliner dan berakhir dengan Spa. Walaupun kecewa tidak jadi liburan, kegiatan hari ini cukup menghibur.Vida mengambil ponselnya teringat Arif belum menghubunginya sama sekali, kemana dia? Apakah benar Bima pergi bukan pulang seperti apa yang dia katakan? Berhasilkah dia mengi
Naina bangkit dari kursi menghampiri Evi yang masih berdiri tidak jauh dari mereka. Dari mobil itu tampak Anjas turun lalu membantu Chesa turun juga.“Tahu diri, Vi. Kamu nggak pantas sama Anjas,” bisiknya sambil lalu, tetapi terasa telak menghujam hati. Naina melanjutkan langkah menghampiri Anjas dan Chesa. Bima masih memandang mereka yang datang penuh tanya. Hatinya sedikit terusik dengan kehadiran mereka.Siapa mereka? Ada hubungan apa mereka dengan Evi?“Hai, Mas,” sapa Naina sambil bermaksud meraih Chesa tetapi Chesa justru berlari menuju Evi.“Hai Ante,” sapa Chesa, seperti biasa Evi berjongkok menyambut Chesa lalu memeluknya. Bima terlihat makin gusar melihat itu. Merasa seperti mendapat saingan.“Kalian jadi mau pergi?” tanya Naina sambil mengikuti langkah Anjas. “Tapi sepertinya nggak bisa, Evi lagi ada tamu,” lanjutnya lagi. Langkah Anjas terhenti. Sejak tadi hatinya memang sudah dipenuhi pertanyaan melihat lelaki yang duduk teras kos Evi.“Kenalin Mas, dia calon suami Evi.
“Kalau Papa maksa Arif akan bongkar pemerkosaan Papa terhadap Evi!” bisik Arif. Bima tertegun, wajahnya pias seketika. Tanpa kata dia melepaskan cekalan terhadap Evi dan mengikuti Arif masuk ke mobil.“Mana Hardi?” Bima menanyakan supir yang dibawanya sambil melihat pada kursi belakang.“Dia bawa motor Arif pulang,” jawab Arif singkat. Bima terdiam, jadi Arif memang telah mengikutinya. Padahal dia sudah begitu waspada, sudah bergerak dengan rencana yang matang. Tanpa mobil, tanpa handpone mengapa masih bisa terlacak.Bima bergerak resah, apa yang akan terjadi setelah ini? Apa yang akan dilakukan Vida padanya?Evi memandang nanar kepergian mereka dengan rasa sesak di dada. Pedih sekali menerima perlakuan mereka terhadapnya. Karena dirinya hanya asisten rumah tangga tidak pantaskah untuk bersuara.Evi mengalihkan pandang pada mereka di sekitarnya yang masih terdiam mencerna kejadian tadi. Ibu kos nya yang nampak bingung juga Naina yang sepertinya kecewa, Evi tidak jadi pergi. Bahkan mer
Evi merebahkan diri yang terasa lelah di tempat tidur. Kedatangan Bima dan perlawanannya cukup menguras energi, dia ingin sejenak mengosongkan pikiran, melupakan semuanya.Suara dering telepon memaksa Evi untuk bangun memeriksanya. Dari ibunya, ada gejolak rasa yang membuat Evi merasa enggan menerima telepon itu. Evi kecewa ibunya terus memaksa dirinya bersama Bima sampai memberikan alamatnya sehingga Bima datang dan kejadian ini terjadi.Namun dering yang tidak berhenti membuat Evi tidak tega mengabaikannya, Evi tidak ingin ibunya cemas.“Mengapa lama sekali, Vi,” tegur ibunya setelah salam. Evi menatap penuh rindu pada Ardan yang ada di pangkuan ibunya.“Bu,..Bu,” celoteh nya tangannya meraih handpone ingin menggapai dirinya. Evi menghapus matanya yang berkaca.“Pak Bima belum sampai Vi?” tanya Tati mengalihkan perhatian Evi. Tati berpikir saat dirinya menelepon Evi telah berada di perjalanan bersama Bima. Namun kenyataannya Evi masih di rumah.“Evi tidak mau menikah dengan Pak Bima
Evi menatap nanar motor Naina yang melewatinya begitu saja tanpa menyapa. Mereka seperti dua orang asing yang tidak saling kenal. Evi sungguh menyesali itu. Hanya Naina teman yang dimiliki nya sejak SMP. Bahkan dia masih mau berteman saat dirinya tidak melanjutkan sekolah.Dia juga sering meminjamkan buku peajarannya dan mengajarinya. Sedikit banyak dia paham beberapa materi SMA yang diajarkan Naina. Tanpa Naina, Evi benar-benar sendirian. Naina memusuhi nya karena Anjas? Evi menggeleng, ada sakit yang menusuk hatinya. Bukankah Anjas kini telah menjauhinya? Menghilang dan tidak pernah muncul lagi?Entah kemana dia? Evi tersenyum getir, seharusnya dia tidak perlu menghilang. Dirinya juga cukup tahu diri untuk tidak mendekat. Sudah berapa hari ini juga setiap pulang dari kerja tempat Anjas, Evi pergi ke restoran lain untuk melamar kerja. Dirinya akan pindah jika sudah mendapat pekerjaan. Sayangnya tidak semudah itu mendapat pekerjaan.Pagi-pagi sambil berangkat kerja, Evi sengaja mampir
Sampai di rumah, ingin sekali Anjas langsung menemui Rehan menanyakan bagaimana hubungan nya dengan Evi sebenarnya. Masih sebagai mantan atau ada rencana akan berlanjut. Hatinya sungguh kacau sekali.Bagaimana kabar Evi sekarang? Adakah dia merasakan kerinduan sama seperti yang dirinya rasakan? Atau dirinya memang tidak perduli? Yakinkah dia meneruskan niatnya untuk bersama Evi? Bagaimana jika hubungan Evi dan lelaki tua yang datang itu benar? Hai Anjas rasanya terkoyak mengingat itu. Pedih sekali.“Kacau banget, Bro? Ngapa inget Reina lagi?” tegur Aldi sahabatnya. Mereka sedang minum kopi bareng di kafe milik Aldi. Bersama Aldi dan dua temannya yang lain inilah njas mengelola restoran hingga berhasil seperti sekarang.Mereka yang membantunya bangkit dari penghinaan orang tua Reina, ibunya Chesa. Mereka memberinya semangat dan bahu membahu menanam modal hingga sukses seperti sekarang. Jadi memang sudah terbiasa saat ada masalah mereka akan bersama mencari solusi.Anjas memperlihatkan
“Kamu harus menghadap HRD dulu kalau mau berhenti, Vi. Soalnya kamu itu rekomendasi Pak Anjas langsung jadi kami tidak bisa sembarangan mengizinkan kamu berhenti,” tolak Aila, Ibu muda yang baru memiliki satu balita itumenggeleng, menyodorkan kemabli surat resign yang diberikan Evi.Evi mengernyit, bukankah dirinya hanya pekerja rendahan di sini? Mengapa serumit itu untuk berhenti? Tapi tunggu, Aila bilang dia rekomendasi Anjas langsung? Bukankah Naina yang mendaftarkannya ke sini mengapa jadi Anjas?Inikah yang membuatnya kadang mendapat kemudahan, diizinkan istirahat, diingatkan bila terlihat lelah untuk berpindah tempat.Namun Evi tidak ingin bertemu Anjas lagi, dia ingin segera pergi, kemariEvi menatap kesibukan orang-orang yang sedang menghias restoran. Sejak kemarin hatinya penuh tanya ada apa? tidak ingin lagi bertemu dan bicara dengannya. Kemarin tetangga kos nya menawarkan pekerjaan di kantin kantornya. Mungkin gajinya lebih kecil dari di sini tetapi tidak apa, Evi hanya perl