“Kamu harus menghadap HRD dulu kalau mau berhenti, Vi. Soalnya kamu itu rekomendasi Pak Anjas langsung jadi kami tidak bisa sembarangan mengizinkan kamu berhenti,” tolak Aila, Ibu muda yang baru memiliki satu balita itumenggeleng, menyodorkan kemabli surat resign yang diberikan Evi.Evi mengernyit, bukankah dirinya hanya pekerja rendahan di sini? Mengapa serumit itu untuk berhenti? Tapi tunggu, Aila bilang dia rekomendasi Anjas langsung? Bukankah Naina yang mendaftarkannya ke sini mengapa jadi Anjas?Inikah yang membuatnya kadang mendapat kemudahan, diizinkan istirahat, diingatkan bila terlihat lelah untuk berpindah tempat.Namun Evi tidak ingin bertemu Anjas lagi, dia ingin segera pergi, kemariEvi menatap kesibukan orang-orang yang sedang menghias restoran. Sejak kemarin hatinya penuh tanya ada apa? tidak ingin lagi bertemu dan bicara dengannya. Kemarin tetangga kos nya menawarkan pekerjaan di kantin kantornya. Mungkin gajinya lebih kecil dari di sini tetapi tidak apa, Evi hanya perl
Dengan penuh amarah dia melajukan mobilnya menjauhi kos san Evi. Rahangnya mengeras, tangannya menggenggam setir dengan kencang.Dia sudah merangkai rencana untuk bertemu Evi. Atasan Evi tadi melapor jika Evi mengajukan surat resign. Anjas ingin menanyakan alasannya resign. Selain itu dia juga rindu ingin bertemu. Sepuluh hari tidak melihat Evi terasa sangat menyiksa.Namun semua rencananya patah saat melihat lelaki itu memasuki pagar kos san Evi. Anjas ingat lelaki itu, dia yang menjemput lelaki tua yang mengaku calon suami Evi.Apa niat Evi resign berhubungan dengan kedatangan lelaki itu? Pada akhirnya dia memutuskan mau untuk menikah dengan calon suaminya?Anjas merasakan luka yang tidak berdarah di hatinya, sakit sekali.Dia pernah patah hati karena penolakan orang tua Reina dan tindakan mereka memisahkan Reina darinya. Anjas tidak ingin patah hati lagi. Cukup sudah sekali jangan sampai terulang lagi, tetapi mengapa begini?Anjas mengurangi kecepatan mobilnya saat sebuah mobil mend
“Ante.”Suara itu membuat Evi tertegun, ada yang terasa membuncah di dadanya. Evi menoleh, mencari arah suaranya. Jantungnya terasa berdetak kencang, kerinduan dan berbagai rasa bercampur membuatnya tidak menentu.“Ante.”Suara itu datang lagi diikuti sesosok anak kecil dengan rambut dikucir dua yang menabrakkan diri pada dirinya. Evi rasanya masih tidak percaya, dia pikir tidak akan pernah lagi bertemu. Dia pikir Anjas tidak akan pernah mengizinkan mereka untuk bertemu lagi.Evi mensejajarkan tingginya dengan tubuh kecil itu, membalas pelukannya lebih erat.“Dia selalu menanyakanmu dan mengajak bertemu denganmu.”Evi mendongak, menemukan Anjas yang berdiri menjulang di hadapannya. Tangannya santai dimasukkan ke saku.“Papa jahat Ante, nggak mau ngajak ketemu Ante,” Adu Chesa sambil melepaskan pelukan. Evi bangkit. Sedikit kecewa mengetahui Anjas menemuinya demi Chesa. Dirinya ternyata terlalu berharap.Suara bisik-bisik di sekitarnya menyadarkan Evi jika mereka sedang berada di dapur
“Papa tahu kamu membenci Papa, tidak dapat memaafkan Papa, karena kamu menyukai Evi. Kamu tidak mungkin bersatu dengan Evi karena Papa. Papa sungguh menyesal Rif. Papa salah tetapi tolong Papa untuk sekali ini Rif. Demi keutuhan keluarga kita, demi adik-adikmu,” pinta Bima memelas. Dia harus bisa membujuk Arif agar memaafkannya. Ini satu kunci menggoyahkan keputusan Vida untuk berpisah.Arif bergeming dengan wajah datar.“Papa tidak tahu akan gimana jika sampai pisah, apa kata nenek dan kakekmu nanti? Apa juga kata keluarga besar kita Rif? Jika Papa Mama sampai berpisah?” lanjutnya, Arif tersenyum sinis.“Mengapa Papa tidak berpikir ke sana saat akan melakukan Pa. mengapa sekarang Papa seolah membebankan kesalahan padaku dan Mama?”“Arif, Papa tidak …”“Demi adik-adik? Demi keluarga besar kita? Papa pikir Papa tidak mengalihkan tanggung jawab pada kami Pa? Aku dan Mama dipaksa memaklumi pengkhianatan Papa demi itu,” beber Arif memotong kalimat ayahnya. Bima kehilangan kataMatanya men
Anjas menghela napas, merasa salah tingkah dengan pernyataan itu. Belum sempat dia menjawab, pesanan mereka datang. Anjas meminta Evi untuk menikmati dulu. Evi sebenarnya ingin cepat pergi tetapi pembicaraan mereka sama sekali belum mulai.“Maaf, Vi. Saat itu saya tidak tahu persoalan yang sebenarnya saya tidak mungkin gegabah,” jelas Anjas tentang mengapa dia tidak membela Evi.“Kita baru mengenal, Vi. Saya belum tahu banyak tentang kamu,” lanjutnya.“Kalau begitu biarkan saya pergi, Pak. Jangan cegah lagi, saya perlu memperbaiki hidup saya.”“Apa di sini kamu tidak bisa lebih baik?”Evi menggeleng.“Di sini Pak Bima telah tahu keberadaan saya, dia bisa datang sewaktu-waktu. Hubungan saya dengan Naina juga telah tidak baik, belum lagi Rehan dan istrinya. Saya ingin tenang Pak. Saya ingin pergi,” papar Evi. Dia sengaja tidak menyebutkan ingin melupakan lelaki di hadapannya menjadi alasan utama. Tidak ingin Anjas tahu.“Saya akan melindungi kamu kalau itu yang kamu khawatirkan Vi. Saya
Arinda tertegun mendengar pernyataan Evi. Janda anak satu yang sudah berusia 4 tahun. Dia seperti masih muda sekali, wajahnya tidak menunjukkan itu. Evi meremas tangannya dengan resah, dadanya berdebar kencang menunggu keputusan.Pertemuan ini sungguh tidak terduga, andai tahu dirinya sudah memaksimalkan diri. Namun percaya diri sekali dirinya akan di terima. Walaupun ragu sebenarnya Evi sangat mengharap di terima.“Kamu mencintai Anjas?” Bukannya menjawab, Arinda justru balik bertanya. Lidah Evi terasa kelu seketika. Pertanyaan itu terasa sulit untuk dijawab. Walaupun hatinya mengakui mencintai Anjas tetapi mengucapkannya Evi ragu. Evie takut perasaan Anjas padanya tidak lagi sama.Anjas menatap Evi menunggu jawaban, hatinya pun berdebar kencang, was-was Evi menjawab tidak sesuai harapan.“Nak, … kamu mencintai, Anjas?” Setelah lama tidak ada jawaban, Arinda mengulang pertanyaannya kembali.“Bu ….” Evi menghentikan kalimatnya, hatinya resah. Arinda masih bergeming menunggu.“Sa … say
Evi memberontak hebat dari kungkungan Bima, berusaha sekuat tenaga melepaskan diri. Namun percuma, tenaga itu terlalu kuat untuk dilawan, apalagi rumah sepi hanya mereka berdua. Tidak ada yang mendengar meski dirinya berteriak. Hujan di luar membuat keadaan di luar rumah pun sepi. Dia hanya bermaksud mengantarkan kopi yang diminta Bima. Majikan berusia hampir 50 tahun tampak sedang lembur dengan berkas berserakan. Evi meletakkan kopi itu di meja dekat Bima tetapi saat akan keluar Bima menariknya, memeluk tubuh rampingnya dan menjatuhkannya ke tempat tidur sambil meracau. “Sebentar saja Ma, Papah ingin sekali." “Please, Ma, Papah ingin sekali,” bisik Bima di telinga. Evi terperangah mendengar itu. Dia yakin sekali Bima saat ini sadar, tidak sedang mabuk. Namun mengapa dia menganggap dirinya, istri? “Pak saya Evi bukan Ibu,” bantah Evi mencoba menyadarkan Bima, Bima sempat tertegun tetapi saat merasakan Evi hampir terlepas dia segera memerangkapnya kembali. “Tolong jangan lakukan,
Evi tertegun lama, merasa takut untuk membuka pintu. Dia kembali ke kamar untuk melihat cermin. Meneliti kembali setiap inci leher nya. Takut sekali jika tanda merah itu masih terlihat. Namun suara bel yang dibunyikan dengan tidak sabar, membuat perempuan semampai dengan tinggi 155 cm harus tergesa membuka pintu.“Ibu sudah pulang?” sambut Evi sedikit gugup, Di hadapannya berdiri wanita setengah baya berjilbab yang masih terlihat cantik. Dia mengernyit melihat seperti ada yang berbeda dengan penampilan Evi. Rambutnya tampak terurai tidak diikat, membuatnya terkesan tidak rapi. Evi mengabaikan itu, segera mengambil alih koper di tangan majikannya.“Lama banget buka pintunya ?” sungut Vida sambil masuk melewati Evi.“Maaf, Bu saya masih di kamar mandi tadi,” jawab Evi mencari alasan. Vida mengangguk melihat sekeliling ruangan yang belum selesai di pel oleh Evi. Melihat lagi penampilan Evi dengan risih. Biasanya perempuan muda yang telah memiliki anak itu tampak rapih. Rambut itu selal