Di dalam kamar megah, di atas kasur king size sebagai saksi penyatuan cinta, Syakila dan Devan tengah berbagi peluh kenikmatan. Sudah berbagai gaya mereka gunakan untuk sama-sama mencapai puncak. Di tengah temaramnya lampu kamar, Syakila begitu menikmati sentuhan lembut Devan yang mampu membawanya melayang. Tak cukup hanya satu kali, mereka mengulang hingga ketiga kalinya. Menghabiskan malam hingga pukul tiga dini hari. Pun dengan Devan. Lelaki itu bagaikan menemukan oase di tengah Sahara. Dahaga yang selama bertahun-tahun ia pendam kini tersalurkan sudah. Bersama Syakila, wanita yang mampu memberinya segudang rasa. Wanita suci yang menjaga marwahnya untuk dipersembahkan padanya. Meskipun ini bukan kali pertama bagi mereka, tetapi di tempat ini mereka bisa leluasa melakukan apa yang mereka inginkan. "Mendesahlah, Sayang. Keluarkan suaramu. Di sini tidak ada siapapun yang akan terganggu dengan suara indahmu," bisik Devan disela pergulatan. Dia tahu Syakila tengah menahan sua
"Mas Kamil!" "Syakila!" gumam Kamil ikut terkejut melihat sepasang mata wanita bercadar yang begitu mirip dengan Syakila. Meski hanya sepasang mata, Kamil masih begitu hafal dengan pandangannya yang selalu teduh dan menenangkan. Tetapi Kamil sendiri tak bisa meyakini hal itu sebab wajah itu tertutup cadar. Dia akan mengetahuinya setelah nanti mereka berbincang. Jika pun dia bukan Syakila, pasti mereka orang yang dekat dengan wanita pujaannya mengingat butik yang semalam ia lewati adalah butik milik Syakila. Pandangan mata Kamil tak bisa terlepas dari Syakila. Sementara Devan nampak tak suka melihat keberadaan dan pandangan memuja yang Kamil tujukan untuk istrinya, "Ck! Ngapain dia di sini." Lalu mendekat positif pada Syakila. "Selamat pagi semuanya, dengan pihak butik korban pembobolan?" sapa polisi yang baru saja tiba bersama Kamil. "Pagi, betul, Pak," sahut Bamantara. "Baik. Perkenalkan ini Pak Kamil, orang yang semalam membawa sekaligus saksi yang melihat pelaku pembo
"Ah, sialan Kamu. Awas ya!" sentak Jasmin sembari berjalan meninggalkan ruangan. "Kamu tuh yang awas! Dasar asisten belagu. Tukang halu. Huuuuu," sorak Desi penuh kemenangan. *** Beberapa jam mendapat pertanyaan dari polisi, akhirnya Kamil diijinkan untuk pulang. Saat tiba di tempat keberadaan Devan dan yang lainnya tadi berada, suasana sudah sepi. Hanya terlihat Bamantara dan kuasa hukumnya yang setia menunggu. "Oh, Anda masih di sini, Pak Bamantara?" ucap Kamil. "Panggil saja Opa. Saya biasa dipanggil seperti itu," sahut Bamantara mengakrabkan diri. "Baiklah, Opa." "Begitu lebih baik. Emmm, saya hanya ingin mengajak kamu makan siang sebagai ucapan terima kasih. Tapi kalau kamu tidak sibuk." "Oh, kebetulan saya sedang tidak ada kegiatan. Beberapa hari lalu saya baru saja berhenti dari pekerjaan saya." Kamil terpaksa berbohong. Tak mungkin dirinya mengatakan sedang terkena skors dari kantor. Setidaknya ia akan menjaga imejnya di pertemuan pertama dengan seseorang yan
Yumna membalikkan badannya bermaksud membuat perhitungan pada orang yang telah lancang mengatakan dirinya murah.Hanya ada wanita dengan tatanan rambut ikal sebahunya yang mengkilap, juga makeup elegan yang menghiasi wajah cantik itu meski diperkirakan usianya lebih tua dari Yumna. Serta tas branded dengan harga fantastis yang ia tenteng di tangan kirinya. Tak ketinggalan kacamata hitam yang menutupi matanya."Heh, memangnya kamu siapa? Berani mengatakan itu padaku. Kau kira dirimu hebat dengan gaya rambut yang sok itu, serta tas branded palsumu? Cih! Memalukan!" cibir Yumna sembari bersedekap dada.Perempuan itu nampak santai membuka kacamatanya dan tersenyum remeh pada Yumna, "Semua yang ada padaku asli. Pastinya berkualitas tinggi dan mahal. Tapi ... Sudahlah, saya tidak perlu memberi tahumu. Saya ke sini cuma mau mengambil kartu ATM yang diberikan suamiku padamu.""Kartu ATM? Suami? Siapa yang kamu maksud?" Yumna memasang ekspresi tak mengerti."Jangan perlihatkan sifat aslimu, wa
"Auw!" Della mendesis sakit ketika Kamil dengan kasar menghempaskan tubuhnya ke lantai. "Ingat, Del. Aku tahu semua tentang perilaku memakukanmu. Jika kau tak ingin celaka di tengah keluarga selingkuhanmu, maka perbaiki perilakumu padaku. Sudah untung aku tak membuat nama ayahmu tercoreng! Tapi, hal itu pasti akan terjadi kalau kau tak menuruti perintahku!" pungkasnya memberikan ultimatum lalu meninggalkan Della dengan segudang rasa tak percaya. Ternyata diam-diam suaminya itu menyelidiki semuanya. 'Apakah Kamil juga sebenarnya tahu bahwa anak yang dilahirkan olehku juga bukan anak kandungnya?' batin Della masih berkecamuk. Namun, ia tak ingin percaya begitu saja. Bisa saja kan Kamil hanya ngarang, toh dia tak menunjukkan bukti apapun mengenai ucapannya. Jadi Della merasa tidak perlu takut. "Kau kira aku akan takut dengan ancaman kosongmu itu? Kau bahkan hanya akan malu jika sampai melakukan itu sebab kau tak punya satu pun bukti dengan omong kosong mu itu! Lihat saja, aku past
"Ya Allah, Mas Ryan? Apa kabar?" Syakila langsung menyapa hangat kedatangan pemuda yang baru saja berucap salam. "Alhamdulillah baik, Veen. Kamu gimana kabarnya? Sepertinya jauh lebih segar," sahut Ryan seraya memandang Syakila penuh kerinduan. Sebagai lelaki yang mencintai Syakila, Devan tahu makna tatapan itu sehingga ia dengan cekatan turut menghampiri Ryan, "Hai, Bro. Kemana aja baru nongol?" Sembari mengulurkan tangan kanannya sedang tangan kirinya langsung merangkul pinggang ramping istrinya. Ryan terkesiap dan menyambut uluran tangan Devan, "Hai, Dev. Aku terlalu sibuk akhir-akhir ini. Ya, kau tahu lah profesi dokter jiwa." Ryan mencoba bersikap biasa. "Hemmm, okelah. Yuk masuk, gabung sama yang lain." Devan memberi isyarat menggunakan dagunya. "Oke," sahut Ryan. Lelaki itu tahu kalau Devan bersikap waspada dengan kedatangannya. Dia pun hanya menggelengkan kepalanya. Meski rasa itu masih ada untuk Syakila, sedikit pun Ryan tak ingin mencurangi hubungan pengantin baru
"Jangan terlalu dipikirkan, Mas. Masih ada aku, kok." Dari arah belakang tiba-tiba Nita berceletuk menghibur Ryan. Dengan langkah santai, wanita berambut panjang bergelombang tersebut mendekat, dan berhenti tepat di sebelah Ryan yang tengah melihat kemesraan Devan dan Syakila. "Aku hanya senang akhirnya Parveen menemukan kebahagiaannya. Semoga trauma itu benar-benar hilang dari dirinya, tapi kalau kamu ..." sahut Ryan sengaja memberi jeda pada kalimatnya. Nita menoleh penasaran dengan hal yang akan Ryan sampaikan, "Aku apa?" Alisnya bahkan berkerut. "Kalau kamu mau menikah denganku, maka kebahagiaanku akan semakin bertambah," sambung Ryan berhasil membuat Nita terbelalak sesaat, lalu setelahnya menggelincir biasa saja. "Jangan gombal, Mas. Gak mempan di saya." Sembari menabok lengan Ryan, Nita terkekeh. Tak disangka Ryan justru menangkap telapak Nita dan mengunci dengan telapak besarnya. Kini mereka saling pandang dengan telapak yang saling menaut. Ada getar tak biasa yan
"Siapa laki-laki yang Kamu bawa pulang ke rumah, Nit?" Nita menoleh pada sumber suara yang muncul dari dalam. Ratna--ibunya muncul dengan langkah tertatih. "Ibu ... Kok keluar? Ibu belum terlalu sehat, loh." Nita mendekat dan menuntun Ratna. "Siapa dia, Nak?" Ratna memandang Ryan yang berdiri di dekat mobilnya. "Halo, Tante. Saya Ryan teman dekat Nita. Kami baru saja menghadiri syukuran di rumah Parveen. Maaf jika mengantarkan Nita terlalu sore." Dengan senyum manisnya Ryan terlihat ramah. Terbiasa berharapan dengan keluarga pasiennya membuat dokter muda itu tak kesulitan berinteraksi dengan orang tua berusia senjata tersebut. "Teman dekat?" Ratna menoleh pada sang anak meminta penjelasan. "Hanya teman biasa, Bu," ujar Nita. "Kalau boleh saya ingin numpang shalat ashar, boleh?" tanya Ryan. "Oh tentu saja. Mari masuk, Nak." Ratna sedikit bergeser memberi jalan untuk Ryan. Ryan mengangguk sopan, kemudian melepaskan sepatunya dan melangkahkan kaki mengikuti Nita dan