Yumna membalikkan badannya bermaksud membuat perhitungan pada orang yang telah lancang mengatakan dirinya murah.Hanya ada wanita dengan tatanan rambut ikal sebahunya yang mengkilap, juga makeup elegan yang menghiasi wajah cantik itu meski diperkirakan usianya lebih tua dari Yumna. Serta tas branded dengan harga fantastis yang ia tenteng di tangan kirinya. Tak ketinggalan kacamata hitam yang menutupi matanya."Heh, memangnya kamu siapa? Berani mengatakan itu padaku. Kau kira dirimu hebat dengan gaya rambut yang sok itu, serta tas branded palsumu? Cih! Memalukan!" cibir Yumna sembari bersedekap dada.Perempuan itu nampak santai membuka kacamatanya dan tersenyum remeh pada Yumna, "Semua yang ada padaku asli. Pastinya berkualitas tinggi dan mahal. Tapi ... Sudahlah, saya tidak perlu memberi tahumu. Saya ke sini cuma mau mengambil kartu ATM yang diberikan suamiku padamu.""Kartu ATM? Suami? Siapa yang kamu maksud?" Yumna memasang ekspresi tak mengerti."Jangan perlihatkan sifat aslimu, wa
"Auw!" Della mendesis sakit ketika Kamil dengan kasar menghempaskan tubuhnya ke lantai. "Ingat, Del. Aku tahu semua tentang perilaku memakukanmu. Jika kau tak ingin celaka di tengah keluarga selingkuhanmu, maka perbaiki perilakumu padaku. Sudah untung aku tak membuat nama ayahmu tercoreng! Tapi, hal itu pasti akan terjadi kalau kau tak menuruti perintahku!" pungkasnya memberikan ultimatum lalu meninggalkan Della dengan segudang rasa tak percaya. Ternyata diam-diam suaminya itu menyelidiki semuanya. 'Apakah Kamil juga sebenarnya tahu bahwa anak yang dilahirkan olehku juga bukan anak kandungnya?' batin Della masih berkecamuk. Namun, ia tak ingin percaya begitu saja. Bisa saja kan Kamil hanya ngarang, toh dia tak menunjukkan bukti apapun mengenai ucapannya. Jadi Della merasa tidak perlu takut. "Kau kira aku akan takut dengan ancaman kosongmu itu? Kau bahkan hanya akan malu jika sampai melakukan itu sebab kau tak punya satu pun bukti dengan omong kosong mu itu! Lihat saja, aku past
"Ya Allah, Mas Ryan? Apa kabar?" Syakila langsung menyapa hangat kedatangan pemuda yang baru saja berucap salam. "Alhamdulillah baik, Veen. Kamu gimana kabarnya? Sepertinya jauh lebih segar," sahut Ryan seraya memandang Syakila penuh kerinduan. Sebagai lelaki yang mencintai Syakila, Devan tahu makna tatapan itu sehingga ia dengan cekatan turut menghampiri Ryan, "Hai, Bro. Kemana aja baru nongol?" Sembari mengulurkan tangan kanannya sedang tangan kirinya langsung merangkul pinggang ramping istrinya. Ryan terkesiap dan menyambut uluran tangan Devan, "Hai, Dev. Aku terlalu sibuk akhir-akhir ini. Ya, kau tahu lah profesi dokter jiwa." Ryan mencoba bersikap biasa. "Hemmm, okelah. Yuk masuk, gabung sama yang lain." Devan memberi isyarat menggunakan dagunya. "Oke," sahut Ryan. Lelaki itu tahu kalau Devan bersikap waspada dengan kedatangannya. Dia pun hanya menggelengkan kepalanya. Meski rasa itu masih ada untuk Syakila, sedikit pun Ryan tak ingin mencurangi hubungan pengantin baru
"Jangan terlalu dipikirkan, Mas. Masih ada aku, kok." Dari arah belakang tiba-tiba Nita berceletuk menghibur Ryan. Dengan langkah santai, wanita berambut panjang bergelombang tersebut mendekat, dan berhenti tepat di sebelah Ryan yang tengah melihat kemesraan Devan dan Syakila. "Aku hanya senang akhirnya Parveen menemukan kebahagiaannya. Semoga trauma itu benar-benar hilang dari dirinya, tapi kalau kamu ..." sahut Ryan sengaja memberi jeda pada kalimatnya. Nita menoleh penasaran dengan hal yang akan Ryan sampaikan, "Aku apa?" Alisnya bahkan berkerut. "Kalau kamu mau menikah denganku, maka kebahagiaanku akan semakin bertambah," sambung Ryan berhasil membuat Nita terbelalak sesaat, lalu setelahnya menggelincir biasa saja. "Jangan gombal, Mas. Gak mempan di saya." Sembari menabok lengan Ryan, Nita terkekeh. Tak disangka Ryan justru menangkap telapak Nita dan mengunci dengan telapak besarnya. Kini mereka saling pandang dengan telapak yang saling menaut. Ada getar tak biasa yan
"Siapa laki-laki yang Kamu bawa pulang ke rumah, Nit?" Nita menoleh pada sumber suara yang muncul dari dalam. Ratna--ibunya muncul dengan langkah tertatih. "Ibu ... Kok keluar? Ibu belum terlalu sehat, loh." Nita mendekat dan menuntun Ratna. "Siapa dia, Nak?" Ratna memandang Ryan yang berdiri di dekat mobilnya. "Halo, Tante. Saya Ryan teman dekat Nita. Kami baru saja menghadiri syukuran di rumah Parveen. Maaf jika mengantarkan Nita terlalu sore." Dengan senyum manisnya Ryan terlihat ramah. Terbiasa berharapan dengan keluarga pasiennya membuat dokter muda itu tak kesulitan berinteraksi dengan orang tua berusia senjata tersebut. "Teman dekat?" Ratna menoleh pada sang anak meminta penjelasan. "Hanya teman biasa, Bu," ujar Nita. "Kalau boleh saya ingin numpang shalat ashar, boleh?" tanya Ryan. "Oh tentu saja. Mari masuk, Nak." Ratna sedikit bergeser memberi jalan untuk Ryan. Ryan mengangguk sopan, kemudian melepaskan sepatunya dan melangkahkan kaki mengikuti Nita dan
Tak banyak memakan waktu, kini Jasmine sudah berada di hotel tempat biasa ia bertemu dengan Dion--kekasihnya.Di lobby, seorang pria tampan berkacamata hitam sudah menunggunya."Hai, Baby. Kau semakin cantik saja," ucapnya.Jasmin tersipu, "Hai juga, Bab. Kau selalu pandai merayuku, Dion.""Aku tidak merayu, hanya mengatakan yang sebenarnya.""Kau juga semakin tampan saja. Aku rindu padamu." Jasmin tanpa malu memeluk tubuh tinggi Dion."Ya, apalagi aku. Aku begitu kecanduan dengan tubuh seksimu," sahut Dion berbisik."Genit," ujar Jasmine mencubit kecil pinggang Dion."Yuk kita check in. Aku sudah tidak sabar," ajak Dion sembari merangkul pundak Jasmin dan berjalan menuju resepsionis.Beberapa saat kemudian mereka berhasil mendapatkan kamar. Masih saling merangkul mereka berjalan dengan percaya dirinya menuju kamar hotel.Tanpa mereka sadari seseorang telah mengintai dan mengambil gambar mereka dari belakang. Terus mengikuti hingga mereka menghilang di balik pintu kamar. Tak sampai d
"Ketemu!" seru Dion sembari menyambar benda berukuran kecil yang menempel pada vas bunga di atas meja di pojokan. "Apanya?" Jasmin mendekat penasaran dengan balutan selimut yang menutupi tubuh polosnya. Dion lalu mendekatkan kamera kecil itu pada wajahnya dan memberi ancaman di sana, "Kalian salah bermain-main denganku! Cepat atau lambat aku akan membuat kalian menyesal telah berurusan dengan Dion Pratama!" Setelahnya ia membanting benda itu ke lantai dan menginjaknya hingga hancur berkeping-keping. "Apa itu, Dion?" Jasmin masih bingung. "Kamera. Mereka pasti yang telah memasangnya. Mereka sengaja melakukan itu untuk menghancurkanmu!" Rahang Dion mengeras dengan gigi bergemeletuk. Marah, lelaki itu tak suka ada orang yang mengusiknya. Tiba-tiba saja Dion menjambak rambut coklat Jasmin, "Semua ini gara-gara kamu. Kalau sampai karirku hancur, kau juga akan aku buat hancur seperti kamera kecil itu. Ngerti!" "Aww ...! Sakit Dion. Kamu kenapa, sih?" rintih Jasmin sembari mendo
"Hah! Bisa-bisanya Jasmin bilang begitu. Mana mungkin aku ham--hoek!" Tiba-tiba perut Yumna kembali mual. Dia segera berlari ke belakang menuju satu-satunya kamar mandi di rumah itu, melewati Sundari yang tengah menyiapkan makanan untuk sarapan. Di dalam kamar mandi, Yumna terus mengeluarkan isi perutnya yang belum terisi apapun dari bangun tidur lalu . Sundari pun dibuat bingung mendengar suara muntahan sang putri. "Kamu kenapa, Yum?" Tok! Tok! Tok! Walau bagaimanapun Sundari adalah ibu yang sayang terhadap anak-anaknya. Melihat Yumna seperti itu ada sedikit rasa khawatir menyeruak. Mendadak suara dalam kamar mandi sunyi sesaat setelah gemericik kran yang dihidupkan oleh Yumna. Tak berselang lama pintu terbuka. Yumna dengan wajah pucatnya keluar. Langkahnya tertatih, terlihat lemas. "Kamu sakit?" tanya Sundari. "Gak tahu, Ma. Perutku tiba-tiba mual dan seluruh tubuh rasanya lemas." "Coba Mama cek panas atau tidak." Tangan Sundari terayun berniat memegang kening Yu