"Hah! Bisa-bisanya Jasmin bilang begitu. Mana mungkin aku ham--hoek!" Tiba-tiba perut Yumna kembali mual. Dia segera berlari ke belakang menuju satu-satunya kamar mandi di rumah itu, melewati Sundari yang tengah menyiapkan makanan untuk sarapan. Di dalam kamar mandi, Yumna terus mengeluarkan isi perutnya yang belum terisi apapun dari bangun tidur lalu . Sundari pun dibuat bingung mendengar suara muntahan sang putri. "Kamu kenapa, Yum?" Tok! Tok! Tok! Walau bagaimanapun Sundari adalah ibu yang sayang terhadap anak-anaknya. Melihat Yumna seperti itu ada sedikit rasa khawatir menyeruak. Mendadak suara dalam kamar mandi sunyi sesaat setelah gemericik kran yang dihidupkan oleh Yumna. Tak berselang lama pintu terbuka. Yumna dengan wajah pucatnya keluar. Langkahnya tertatih, terlihat lemas. "Kamu sakit?" tanya Sundari. "Gak tahu, Ma. Perutku tiba-tiba mual dan seluruh tubuh rasanya lemas." "Coba Mama cek panas atau tidak." Tangan Sundari terayun berniat memegang kening Yu
"Mas berhenti!" teriak Syakila dari dalam mobilnya. Decitan mobil yang mendadak berhenti membuat Devan harus menahan napasnya. "Ada apa, Sayang?" tanya Devan khawatir. Beruntung jalanan sedikit lengang sehingga mobil yang berhenti mendadak itu tak menimbulkan kecelakaan. Tin. Tiiiinnn! Suara klakson dari belakang mengharuskan Devan untuk menepikan kendaraan roda empat miliknya. "Kenapa tiba-tiba menyuruhku berhenti, Sayang?" tanya Devan. "Lihat ... Bukankah itu Bu Sundari?" Syakila menunjuk seorang wanita lebih dari setelah abad sedang berjalan keluar dari mini market. "Sepertinya begitu. Memangnya kenapa?" sahut Devan biasa saja karena memang dia tidak peduli pada keluarga itu. "Kita ikuti mereka, Mas," titah Syakila setelah melihat mobil yang ditumpangi Sundari bergerak maju. "Untuk apa? Lebih baik kita tidak berurusan lagi dengan mereka, Sayang." "Kalau Mas Devan keberatan, aku bisa naik taksi saja," ancam Syakila bersiap membuka pintu mobil. "Jangan! Baiklah kita akan
Tubuh Ray kaku di tempat. Ia seperti mati kutu di hadapan istrinya. Melihat Yumna berada di rumahnya bukanlah keinginannya. Andai bisa ia ingin sekali menyuruh wanita selingkuhannya untuk enyah sekarang juga. "Gimana, Mas, suka dengan kejutannya?" Maharani mulai membuka suaranya. "Me-mereka siapa, Sayang?" Ray pura-pura tidak kenal. "Heh! Jangan pura-pura kamu. Setelah seenaknya hamilin anak orang sekarang pura-pura tidak kenal. Jangan coba lari dari tanggung jawab, ya!" Sundari tak terima. Mata Maharani sedikit melebar. Meski sudah memprediksi hal ini akan terjadi, tetap saja ia merasa kaget mendengar laki-laki yang hidup bersamanya selama puluhan tahun kini menghamili wanita yang bahkan lebih pantas menjadi anaknya. "Owh ... Jadi ada orang hamil di sini. Kalau begitu ajak mereka masuk dong, Mas. Kasihan mereka panas-panasan di luar," ujar Maharani. "Tidak perlu, Sayang. Mas benar-benar tidak mengenal mereka. Bisa saja mereka sengaja ingin membuat hubungan kita berantakan.
"Assalamualaikum ..." Di tengah perdebatan Sundari dan Ray, terdengar salam dari arah pintu membuat manusia yang saling beradu mulut itu terdiam. "Wa'alaikumsalam, masuk," sahut Maharani. Mendengar itu, tamu yang ternyata adalah Syakila dan Devan pun muncul. Mereka berdua kompak memasang ekspresi terkejut saat melihat Yumna dan Sundari juga tengah bertamu di sana. Padahal yang sebenarnya adalah Syakila sengaja mengajak Devan masuk, untuk melihat bagaimana tiga manusia yang pernah ingin menghancurkan rumah tangganya kini justru mereka yang diambang kehancuran itu. Yumna dan Sundari pun tak kalah terkejut. Seketika jantung Yumna berdegup kencang. Tak semestinya dirinya bertemu dengan Devan dalam keadaan seperti sekarang ini. "Oh, kalian ... Sini masuk saja." Maharani menyambut hangat kedatangan Syakila dan Devan yang kebetulan hubungan mereka memang cukup akrab. "Lagi ada tamu ya, Kak? Maaf mengganggu," ujar Syakila basa-basi sembari berjalan menuju ke arah Maharani. "Buk
"Diam semua!" teriak Sundari. "Dasar anak-anak tidak punya sopan santun," sambungnya mengumpat."Ehm! Baiklah, calon mertua Mas Ray yang terhormat, kami akan diam, tapi tolong kalian pergi dari sini sekarang juga, ya," ucap Maharani."Kami memang akan pergi dari sini, tetapi setelah dua orang itu pergi terlebih dahulu." Sembari menunjuk Syakila dan Devan, secara tidak langsung Sundari mengusir."Memangnya kamu siapa? Menyuruh saya dan istri saya pergi," ujar Devan."Kamu yang siapa? Datang-datang ikut campur urusan kami." Sundari nyolot."Siapa yang ikut campur sih, Bu? Kami memang sudah sering kok datang ke sini. Makanya aku sempat kaget ketika tahu Pak Ray mau membantu Yumna untuk menjebak Mas Devan. Aneh sekali rasanya, rupanya ...""Bohong! Bukan aku yang menjebak, tapi Mas Devan sendiri yang memintaku untuk datang ke sana waktu itu," sanggah Yumna."Aku? Memintamu untuk datang?" Sembari menunjuk dirinya sendiri, Devan kemudian terkekeh, "Kau yakin?""Tentu saja. Aku ada buktinya,
Malam harinya, Ray menghubungi teman-temannya untuk menculik Yumna. Niat buruk itu benar-benar akan dilakukannya. Terlepas dari anak itu darah dagingnya atau bukan, baginya adalah rumah tangganya dengan Maharani tetap aman."Kamu tidak salah, Bro? Bukankah dia Yumna?" ucap salah satu temannya."Iya. Dia sudah tidak lagi aku butuhkan," sahut Ray."Tapi tidak dengan cara seperti ini, Bro. Apalagi dia sedang hamil. Kalau ternyata anak itu benar anak kamu bagaimana?""Aku tidak peduli. Aku tidak mau menikah dengannya.""Kenapa bukan istri tuamu saja yang kau singkirkan? Kalau dia lenyap, otomatis semua hartanya akan jatuh ke tanganmu."Ray melirik mendengar ide dari temannya. 'Benar juga. Kenapa tak terpikirkan olehku sebelumnya,' batin Ray."Kita buat seperti kecelakaan. Kau tahu hal itu sudah sering kita lakukan." Lagi, teman Ray memberikan ide buruk."Kau benar." Ray tersenyum miring."Yang penting jangan lupa bagiannya ..." Sembari memainkan jarinya, teman dari Ray memberikan kode."K
Hari demi hari berlalu. Syakila masih disibukkan dengan kegiatan barunya menemani Maharani di rumah sakit. Sesekali ia bahkan menginap di sana, mengabaikan Devan dan Aira yang terkadang merengek meminta ditemani."Mommy ... Nanti Aira minta dibacakan dongeng sebelum tidur, ya. Sudah lama Mommy tidak membacakannya untuk Aira," rengek Aira saat makan malam."Maaf, Sayang. Lain kali saja ya. Malam ini Mommy harus menjaga Bude Rani lagi di rumah sakit."Aira berubah murung. Nasi yang masih separuh di piringnya ia tinggalkan begitu saja, berlalu ke kamarnya."Aira ... Nak," panggilan dari Syakila tak diresponnya. Ia terus berjalan melampiaskan kekecewaannya."Sayang, tidak bisa kah cukup dokter dan beberapa perawat yang menjaga Tante Rani? Kau juga perlu memperhatikan dirimu dan Aira," tegur Devan."Tidak bisa, Mas. Kasus ini belum selesai. Ray bisa saja berkeliaran dan melakukan hal buruk pada Kak Rani. Aku tidak mau hal itu sampai terjadi," sahut Syakila."Tapi sudah banyak polisi juga y
"Ada apa, Nak?" tanya Amber."Ah, tidak, Oma. Ini Mas Devan kirim pesan," kilah Syakila berpura-pura bersikap biasa."Owh, mungkin dia kangen sama kamu. Pulanglah dulu, Sayang. Barangkali suamimu sedang membutuhkan kamu," ujar Amber."Iya, sebentar lagi Parveen pulang, kok." Syakila berusaha mengukir senyum menutupi kegelisahannya."Bagaimana kalau kita bersama-sama ke rumahmu? Opa dan Oma mu juga sudah lama tidak berkunjung ke sana.""Ide yang bagus." Amber ikut menimpali."Emmmm, boleh deh." Syakila menyerah. Istri dari Devan itu memutuskan untuk pulang sejenak, sekaligus mengecek kebenaran foto yang baru saja ia lihat.Namun tiba-tiba ...Dertt. Derrtt!Sebuah panggilan dari pengacara berhasil menghentikan langkah Syakila."Ya, halo ..." Sapanya pada si penelpon."Bagaimana, Nona? Apakah Anda jadi datang ke kantor polisi sekarang?" sahut kuasa hukumnya."Eum ... Jadi, Pak. Tapi sepertinya akan datang terlambat, mendadak saya ada urusan penting.""Baik, kalau begitu saya tunggu di k