Dengan tingkah congkak seraya tersenyum miring, Renata yang masih menggendong Aira berjalan melewati Syakila yang mematung. Pundaknya sengaja disenggol oleh Renata untuk menunjukkan bahwa Syakila tidak ada apa-apanya dibandingkan dirinya.Ingin rasanya Syakila menangis, tetapi dia sudah bertekad untuk tidak menjadi cengeng lagi. Dia adalah wanita kuat yang akan menghadapi ujian apapun yang menerpa.Memejamkan matanya sejenak, Syakila menghirup udara panjang dan menghembuskannya perlahan, lalu meneruskan langkah ke ruang tamu."Opa, Oma, Ibu, sepertinya aku tinggal sebentar, ya. Ada urusan penting." Syakila sengaja langsung berpamitan karena tak ingin bersedih dengan perlakuan putrinya barusan."Kamu baru pulang, Nak. Memangnya penting sekali?" tanya Sukoco seakan keberatan."Iya, Bu. Aku harus ke kantor polisi supaya masalah Kak Maharani cepat selesai," jawab Syakila."Oh masih tentang hal itu. Ya sudah, jangan terlalu fokus. Kamu juga perlu memikirkan keluarga," lanjut mertuanya meng
"Astaghfirullah!" Jantung Syakila seakan hampir keluar dari dadanya. Denyutnya semakin kencang seiring ketukan pada kaca mobilnya yang bersahutan. "Nona, apa kau baik-baik saja." "Hai, keluarlah." Beberapa teriakan dan ketukan membuat Syakila terkesiap. Masih memegang dadanya yang kaget Syakila kemudian membuka pintu mobilnya perlahan. "Apa yang terjadi?" lirihnya. "Apa Nona tidak apa-apa? Mobilmu menabrak trotoar," terang salah satu warga. "Astaghfirullah, pantas saya seperti merasa ada benturan. Alhamdulillah saya baik-baik saja, Pak," ujar Syakila sembari melirik bodi mobil depannya yang rusak. "Syukurlah kalau begitu. Sebaiknya Nona istirahat saja dulu sebelum kembali melakukan perjalanan." Seseorang yang lainnya ikut mengingatkan. "Saya memang sedang mencari restoran, Pak. Tempatnya sudah tidak terlalu jauh dari sini," timpal Syakila. "Kalau begitu mobilnya dibawa ke bengkel saja di dekat sini. Nanti Nona cari restoran yang dekat. Takutnya kalau dipaksa jalan,
Hari sudah sore ketika Syakila sampai di halaman rumah keluarga Sukoco. Pikirannya sedikit lebih baik setelah bercerita banyak hal pada Nita.Apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu memang benar. Selama ini setiap permasalahan yang ia hadapi tidak pernah tuntas. Khususnya pada keluarga Kamil. Untuk itu terlebih dahulu ia akan menyelesaikan satu persatu masalahnya dengan anggota keluarga itu agar beban pikirannya tidak menumpuk.Terutama dengan Jasmin yang sudah terang-terangan mengibarkan bendera perang padanya melalui Dion."Assalamualaikum," ucap Syakila memasuki rumahnya.Sepi. Tak ada sahutan yang menjawab salamnya.Rasa lelah membuatnya tak ingin ambil pusing. Segera dirinya berjalan ke arah kamarnya. Biasanya jam segini suaminya sudah pulang. Syakila sudah tidak sabar ingin bertemu dengan lelaki halalnya.Benar saja ketika memasuki kamar, Devan sudah duduk santai di sofa panjang dekat dengan balkon.Syakila mengukir senyum lalu mendekat. "Assalamualaikum, Mas," sapanya."Wa'alaik
'Kenapa semua jadi seperti ini? Kenapa mudah sekali mereka membuang kepercayaan padaku? Apakah secepat ini rumah tanggaku akan hancur?' Hati Syakila menjerit pilu.Dia terus melangkah ke luar dengan telapak tangan yang terus mengusap kasar pipinya, menghilangkan jejak air mata yang tak hentinya berlomba untuk menetes.Sampai di depan mobilnya, Syakila menghirup udara sebanyak-banyaknya sembari terus menguatkan diri."Kamu kuat, Sya. Kamu pasti kuat. Please, air mata ... Berhentilah mengalir," gumamnya.Setelah merasa cukup kuat, wanita berkulit putih dengan rasa lelahnya bersiap memasuki mobil dan meninggalkan rumah yang beberapa bulan ia tempati. Akan tetapi sebuah panggilan beserta tepukan lembut dari belakang berhasil membuatnya berhenti."Ibu percaya padamu, Nak," tuturnya terdengar lembut.Syakila membalikkan badannya perlahan. Bu Sukoco sudah berdiri, tersenyum hangat dan mengangguk kecil.Seketika tubuh ringkih yang sudah kelelahan itu merengkuh kencang Bu Sukoco. Menumpahkan
"Kenapa menatapku seperti itu? Apa yang aku katakan benar, bukan?" ucap Syakila. "Kamu hanya wanita kedua di kehidupan Mas Devan. Aku yakin setelah bosan Mas Devan pasti akan mencampakkan mu. Jadi jangan sok berkuasa di sini. Aku sudah lebih dulu keluar masuk rumah ini dari pada kamu. Ngerti!" Mata Renata kembali melotot. "Keluar masuk, ya? Itu dulu 'kan sewaktu mommy kandung Aira masih hidup? Sekarang sudah berbeda. Kuharap kamu tahu diri dan tidak bertingkah. Aku bisa membuatmu tidak diijinkan menginjakkan kaki lagi di rumah ini selamanya." "Oh ya? Takut ... Ha ha ha." Renata tertawa sumbang membalas peringatan yang dilayangkan Syakila. Wanita berusia 23 tahun itu tidak sama sekali takut. "Kau boleh tertawa sepuas yang kamu mau sekarang, tetapi esok kau juga harus menyiapkan hati untuk kuat melihat keharmonisan keluarga kecilku," ujar Syakila. "Cih! Belum apa-apa aku sudah berhasil membuat Mas Devan membelaku di depanmu. Justru kamu yang harus bersiap-siap untuk diusir dari rum
Setelah menuntaskan hasratnya, Devan berlalu begitu saja meninggalkan Syakila dengan pilu yang mendera.Masih tanpa sehelai benang pun, Syakila menangis tanpa suara. Akan tetapi cairan bening itu tak hentinya mengalir begitu deras. Sakit jiwa raganya melebihi apa yang Kamil lakukan dulu padanya. Hatinya terkoyak. Harga dirinya tercabik. Dia ibarat sampah tak berguna yang telah selesai digunakan lalu dicampakkan begitu saja.***Keesokan harinya ...Syakila bersikap biasa saja di depan meja makan saat keluarga itu sarapan. Namun, mata sembabnya tak bisa menutupi betapa dia lelah menangis sepanjang malam.Renata yang menyadari hal itu tertawa puas dalam hati sembari mengumpat, 'Belum apa-apa sudah nangis sepanjang malam. Bagaimana kalau dia sudah dibuang Mas Devan? Dasar cengeng! Sok kuat!''Syakila kenapa matanya sembab, ya? Apa yang sudah terjadi.' Sukoco pun ikut membatin. Dipandanginya sang menantu yang sabar mengambil perhatian pada Devan dan Aira, meski diabaikan keduanya."Mas
"Oh ya? Syakila, Syakila ... Kamu pikir aku tidak tahu kalau kamu baru saja menangis sepanjang malam. Kamu pasti begitu khawatir dan ketakutan dengan keberadaanku di sini, bukan? Apalagi Aira langsung jatuh dalam genggamanku." Sembari bersedekap dada, Renata dengan sombongnya berkata seolah ia telah menang. "Aku, takut padamu?" Syakila menunjuk diri sendiri, memasang wajah polos dan lanjut berkata, "Memangnya kamu siapa? Hanya bibit pelakor yang sama sekali tidak penting bagiku." "Apa kamu bilang?!" Renata melotot pada Syakila dengan tangan terkepal ke bawah. "CALON PE-LA-KORRR, sayangnya akan gagal merebut Mas Devan dariku. Sudah jelas sekarang?" ujar Syakila menohok sengaja mengeja kata 'pelakor' dengan begitu jelasnya. "Kamu!" Renata geram. Dia menunjuk wajah Syakila dengan jari telunjuknya. "Kenapa?" balas Syakila tetap santai. "Cih! Sok kuat kamu. Jangan kamu pikir aku tidak tahu kalau rumah tanggamu saat ini tidak sedang baik-baik saja. Itu tandanya Mas Devan sudah mu
"Aira sayang, yuk sama Tante lagi. Bagaimana kalau kita cari makan di luar saja?" ucap Renata.Di tengah ketegangan yang mendera wanita itu begitu pandai memanfaatkan situasi.Tangis Aira pun mereda. Gadis cilik itu tampak berubah riang menyambut ajakan tantenya."Mau Tante. Yuk kita pergi," ucap Aira."Tante pesan taksi online dulu, ya. Kan Tante gak ada mobil di sini." Renata lalu mengambil ponsel miliknya di saku celana pendek yang ia kenakan."Pakai mobil Daddy saja, Tan," ujar Aira mulai masuk perangkap Renata."Aduh, Tante gak bisa pakai mobil itu, Sayang. Tante takut.""Kalau begitu ajak Daddy aja, ya.""Gak pa-pa, Sayang, gak usah. Kan Daddy kamu baru pulang, pasti masih capek." Renata berpura-pura menolak, padahal itu adalah tujuan utamanya."Daddy mau 'kan makan di luar?" Aira langsung bertanya pada Devan dengan muka memelasnya."Boleh. Kebetulan Daddy belum makan malam," jawab Devan sembari masih memandang Syakila penuh arti.Seketika lengkungan tipis tercipta di bibir Rena
Bamantara segera memanggil dokter. Sementara Sukoco, Amber dan Devan berdiri di sisi ranjang persalinan Syakila."Silakan menunggu di luar. Kami akan segera melakukan tindakan. Cukup suaminya saja yang berada di sini," ucap dokter sesaat setelah ia memeriksa pembukaan Syakila yang sudah genap."Baik, Dok." Mereka semua keluar, menyisakan Devan yang gemetar menemani Syakila.Dibantu beberapa perawat, dokter perempuan spesialis kandungan mengarahkan Syakila untuk mengatur napas.Suara erangan Syakila terus menggema di ruang bersalin. Devan tidak melepaskan genggaman tangannya, matanya memerah, dan hatinya penuh doa yang tak putus. Keringat deras membasahi dahi Syakila, tetapi semangatnya tak tergoyahkan."Sayang, kamu kuat. Sebentar lagi selesai," bisik Devan, suaranya bergetar menahan rasa cemas yang menyelubungi hatinya.Dokter memberi isyarat kepada Syakila untuk kembali mendorong dengan tenaga terakhir. "Ayo, Bu, sekali lagi! Tarik napas dalam dan dorong sekuat tenaga!"Dengan satu
Mendengar teriakkan Renata, seketika membuat Devan dan ibunya panik. Sementara dokter segera mengambil tindakan dengan memberikan obat penenang. Terpaksa hal itu harus dilakukan kembali karena keadaan Renata yang belum bisa stabil mengontrol dirinya.Perlahan tapi pasti, teriakan Renata melemah dan akhirnya dia terbaring dengan mata terpejam di tempat tidur."Kira-kira, apa Renata bisa sembuh, Dok?" tanya Sukoco setelah mereka berada di luar ruangan."Semua kemungkinan tetap ada, Bu. Kita hanya bisa berusaha, selebihnya Tuhan yang akan menentukan," sahut dokter."Lakukan yang terbaik untuk Renata, Dok. Saya serahkan pada tim dokter di sini sembari membantu dengan doa," timpal Devan."Tentu, kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien.""Terima kasih. Kalau begitu, kami pamit dulu, Dok. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungi saya.""Baik, Pak Devan. Terima kasih kembali."Kemudian mereka berpisah di lorong yang berbeda tujuan. Devan dan Sukoco berjalan pulang, sementara
Suasana mendadak sunyi seakan menunggu jawaban Devan. Entah karena memang ingin mengetahui kabar Renata, atau karena bingung dengan reaksi Devan yang berubah mimik ketika ibunya bertanya, semua yang duduk lesehan di ruang tengah menatapnya.Menghembuskan napas panjang, Devan pun akhirnya menjawab setelah beberapa saat terdiam, "Renata sekarang berada di rumah sakit, Bu. Keadaannya tidak baik-baik saja.""Innalillahi ... Apa dia sakit di penjara?" Dengan keterkejutan yang tak dapat disembunyikan, Sukoco kembali bertanya."Devan juga kurang tahu, Bu. Rencananya besok Devan akan menjenguk untuk melihat keadaannya. Semoga dia baik-baik saja.""Kasihan sekali dia. Lalu, apakah Rosa tahu kalau Renata sakit?""Sepertinya belum, karena Tante Rosa sudah lama pindah dan Devan tidak tahu tempat tinggalnya yang baru."Sukoco mendesah pelan. Rasa iba seketika menghinggapi mengingat Renata pernah tinggal bersamanya. Meskipun akhir-akhir ini sikap gadis itu melewati batas, tetapi Sukoco tahu bahwa s
"Maafkan aku, Veen. Aku gak tega menyembunyikan dari mereka, terlebih kamu harus melewatinya hanya bersama Mas Devan. Ya, meskipun aku tahu, kalian pasti bisa melewati semuanya," terang Nita menyela ucapan Syakila.Sahabatnya itu benar-benar tak tega saat menjenguknya beberapa waktu lalu di rumah sakit, sehingga keceplosan bilang pada Bamantara saat bertemu di butik. Nita pikir, dengan adanya do'a dari keluarganya, mungkin bisa mengurangi rasa sakit Syakila."Jangan salahkan Nita, Nak. Kita yang memaksanya untuk bicara," timpal Bamantara, memandang cucu angkatnya dengan sendu. Rasanya tak tega melihat wanita itu diuji terus menerus sejak dulu. Walaupun cuma cucu angkat, tapi Bamantara benar-benar menyayanginya."Lagian, kenapa kamu menyembunyikannya dari kami, hem?" tanya Amber sembari mengusap kepala Syakila.Istri dari Devan itu hanya menunduk. "Kila hanya tidak ingin terus menerus menambah beban pikiran kalian," lirihnya."Apa yang kamu katakan, Sayang. Kamu ini bukan beban, tapi k
Devan meletakkan ponselnya di meja dengan tangan bergetar. Napasnya terasa berat, dan pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang membingungkan. Wajahnya pucat, membuat Syakila semakin cemas.“Mas, apa yang mereka katakan?” tanyanya dengan nada panik.Devan menghela napas panjang sebelum menjawab. “Polisi bilang... Renata dalam kondisi buruk di penjara. Dia sering membuat keributan, dan itu membuat dia harus ditempatkan di ruang isolasi dan kemungkinan akan dipindahkan ke tahanan rumah sakit kejiwaan. Mereka minta aku datang.”“Astaghfirullah. Kenapa bisa begitu, Mas?" ucap Syakila tak kalah terkejut."Mas juga gak tahu, Sayang. Mas akan telepon Pak Herman saja untuk mengurusnya."Syakila tertegun sejenak. Ia tak tega melihat suaminya dilanda banyak masalah dan tanggung jawab. Andai bisa, ia ingin sekali membantu, tetapi kondisinya yang lemah mungkin hanya akan memperburuk keadaan. Untuk itu Syakila ingin mengurangi beban pikiran suaminya dengan pulang dan istirahat di Jakarta saja supaya l
Renata duduk di sudut ruangan. Tubuhnya yang dulu anggun kini hanya menyisakan bayang-bayang kesengsaraan dengan rambutnya yang kusut."Mas Devan... tolong aku," lirihnya, hampir tak terdengar. Namun, suara itu terus diulang-ulang, seolah menjadi satu-satunya pegangan di tengah kegelapan.Para narapidana lain di sel besar itu menatapnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang iba, tapi lebih banyak yang mencemooh. Salah satu dari mereka, wanita bertubuh kekar dengan tato di lehernya, mendekat sambil menyeringai."Kau pikir orang yang kau sebut namanya itu akan menyelamatkanmu? Hah! Kau ini cuma boneka yang sudah dibuang. Lihat dirimu sekarang!" Wanita itu meludahi tanah, matanya memandang Renata dengan jijik.Renata memejamkan matanya, mencoba mengabaikan ejekan itu. Tapi pikirannya tak bisa berhenti memutar ulang ingatan tentang Devan. Pria itu—satu-satunya yang dia anggap mampu menyelamatkannya dari tempat ini."Mas Devan pasti akan datang," gumam Renata. Suaranya nyaris tak terdengar, t
Meski sudah berbulan-bulan tak sadarkan diri, kakak kandung almarhum Kamil itu masih sangat mengenali pria gagah di hadapannya. Pria yang dulu begitu didambanya, tetapi pada akhirnya dia harus merelakan ia berjodoh dengan yang lain meskipun awalnya penuh ketidakrelaan."Syukurlah akhirnya kamu sadar, Yum. Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa yang kamu keluhkan?" Devan memberondong Yumna dengan pertanyaan setelah dokter selesai memeriksanya.Tak menjawab, Yumna menyunggingkan senyum tipis. Dokter kemudian menjelaskan bahwa kondisi Yumna sudah lebih baik, hanya saja ada beberapa hal yang ingin dokter sampaikan pada Devan tetapi tanpa sepengetahuan Yumna. Melalui sebuah kode, dokter itu menyuruh Devan untuk ikut dengannya ke ruangan."Kamu istirahatlah, aku keluar dulu," ucap Devan. Yumna mengangguk lemah.***"Maaf sebelumnya, apakah Anda suami dari pasien?" tanya dokter ketika mereka sudah berada di ruangan konsultasi."Bukan, Dok. Saya temannya. Atas permintaan almarhum adiknya, saya ya
Di lorong rumah sakit, Devan duduk termenung di salah satu bangku, menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Pikirannya berkelana, memikirkan dua wanita yang kini menjadi tanggung jawabnya—Sundari dan Yumna. Pesan terakhir Kamil masih terngiang jelas dalam ingatannya."Tolong jaga mamaku yang sedang struk, juga Kak Yumna yang masih koma."Suara langkah kaki membuat Devan menoleh. Perawat yang tadi menangani Sundari datang menghampirinya."Pak Devan, saya sudah memeriksa keadaan Bu Sundari. Sejauh ini stabil, tapi... sepertinya beliau sangat berharap Pak Kamil datang," ujar perawat itu hati-hati.Devan mengangguk lemah. "Saya mengerti. Saya akan mencari waktu yang tepat untuk bicara dengannya."Perawat itu ragu sejenak sebelum melanjutkan. "Saya yakin Pak Kamil ingin yang terbaik untuk keluarganya. Tapi beban ini tentu tidak mudah bagi Anda. Jika butuh bantuan, kami di sini siap mendukung."Devan tersenyum tipis, merasa sedikit terhibur oleh perhatian perawat itu. "Terima kasih. Sa
Beberapa saat kemudian, perawat yang tadi berjanji kembali memasuki ruangan. Wajahnya tampak sedikit tegang, tapi dia mencoba tersenyum agar tidak menambah kecemasan pasiennya."Ibu, saya sudah coba hubungi Pak Kamil," katanya lembut.Sundari, yang terbaring di tempat tidur, berusaha menggerakkan bibirnya untuk bertanya. Namun, hanya gumaman lemah yang keluar. Perawat itu segera mendekat, menggenggam tangan Sundari dengan hati-hati."Pak Kamil sedang sibuk, Bu. Tapi beliau titip pesan bahwa beliau sangat sayang sama Ibu dan akan segera datang jika urusannya selesai," lanjutnya dengan suara penuh kebohongan yang terdengar begitu tulus.Mata Sundari sedikit berkaca-kaca. Meskipun tidak bisa berkata-kata, ia mencoba menunjukkan rasa terima kasih dengan menggenggam lemah tangan perawat tersebut."Tenang saja, Bu. Saya akan pastikan Ibu tetap sehat supaya bisa bertemu beliau nanti," ucap perawat itu sambil menyeka sudut matanya yang mulai basah.Namun di dalam hatinya, perawat itu merasa s