Hari demi hari berlalu. Syakila masih disibukkan dengan kegiatan barunya menemani Maharani di rumah sakit. Sesekali ia bahkan menginap di sana, mengabaikan Devan dan Aira yang terkadang merengek meminta ditemani."Mommy ... Nanti Aira minta dibacakan dongeng sebelum tidur, ya. Sudah lama Mommy tidak membacakannya untuk Aira," rengek Aira saat makan malam."Maaf, Sayang. Lain kali saja ya. Malam ini Mommy harus menjaga Bude Rani lagi di rumah sakit."Aira berubah murung. Nasi yang masih separuh di piringnya ia tinggalkan begitu saja, berlalu ke kamarnya."Aira ... Nak," panggilan dari Syakila tak diresponnya. Ia terus berjalan melampiaskan kekecewaannya."Sayang, tidak bisa kah cukup dokter dan beberapa perawat yang menjaga Tante Rani? Kau juga perlu memperhatikan dirimu dan Aira," tegur Devan."Tidak bisa, Mas. Kasus ini belum selesai. Ray bisa saja berkeliaran dan melakukan hal buruk pada Kak Rani. Aku tidak mau hal itu sampai terjadi," sahut Syakila."Tapi sudah banyak polisi juga y
"Ada apa, Nak?" tanya Amber."Ah, tidak, Oma. Ini Mas Devan kirim pesan," kilah Syakila berpura-pura bersikap biasa."Owh, mungkin dia kangen sama kamu. Pulanglah dulu, Sayang. Barangkali suamimu sedang membutuhkan kamu," ujar Amber."Iya, sebentar lagi Parveen pulang, kok." Syakila berusaha mengukir senyum menutupi kegelisahannya."Bagaimana kalau kita bersama-sama ke rumahmu? Opa dan Oma mu juga sudah lama tidak berkunjung ke sana.""Ide yang bagus." Amber ikut menimpali."Emmmm, boleh deh." Syakila menyerah. Istri dari Devan itu memutuskan untuk pulang sejenak, sekaligus mengecek kebenaran foto yang baru saja ia lihat.Namun tiba-tiba ...Dertt. Derrtt!Sebuah panggilan dari pengacara berhasil menghentikan langkah Syakila."Ya, halo ..." Sapanya pada si penelpon."Bagaimana, Nona? Apakah Anda jadi datang ke kantor polisi sekarang?" sahut kuasa hukumnya."Eum ... Jadi, Pak. Tapi sepertinya akan datang terlambat, mendadak saya ada urusan penting.""Baik, kalau begitu saya tunggu di k
Dengan tingkah congkak seraya tersenyum miring, Renata yang masih menggendong Aira berjalan melewati Syakila yang mematung. Pundaknya sengaja disenggol oleh Renata untuk menunjukkan bahwa Syakila tidak ada apa-apanya dibandingkan dirinya.Ingin rasanya Syakila menangis, tetapi dia sudah bertekad untuk tidak menjadi cengeng lagi. Dia adalah wanita kuat yang akan menghadapi ujian apapun yang menerpa.Memejamkan matanya sejenak, Syakila menghirup udara panjang dan menghembuskannya perlahan, lalu meneruskan langkah ke ruang tamu."Opa, Oma, Ibu, sepertinya aku tinggal sebentar, ya. Ada urusan penting." Syakila sengaja langsung berpamitan karena tak ingin bersedih dengan perlakuan putrinya barusan."Kamu baru pulang, Nak. Memangnya penting sekali?" tanya Sukoco seakan keberatan."Iya, Bu. Aku harus ke kantor polisi supaya masalah Kak Maharani cepat selesai," jawab Syakila."Oh masih tentang hal itu. Ya sudah, jangan terlalu fokus. Kamu juga perlu memikirkan keluarga," lanjut mertuanya meng
"Astaghfirullah!" Jantung Syakila seakan hampir keluar dari dadanya. Denyutnya semakin kencang seiring ketukan pada kaca mobilnya yang bersahutan."Nona, apa kau baik-baik saja.""Hai, keluarlah."Beberapa teriakan dan ketukan membuat Syakila terkesiap. Masih memegang dadanya yang kaget Syakila kemudian membuka pintu mobilnya perlahan."Apa yang terjadi?" lirihnya."Apa Nona tidak apa-apa? Mobilmu menabrak trotoar," terang salah satu warga."Astaghfirullah, pantas saya seperti merasa ada benturan. Alhamdulillah saya baik-baik saja, Pak," ujar Syakila sembari melirik bodi mobil depannya yang rusak."Syukurlah kalau begitu. Sebaiknya Nona istirahat saja dulu sebelum kembali melakukan perjalanan." Seseorang yang lainnya ikut mengingatkan."Saya memang sedang mencari restoran, Pak. Tempatnya sudah tidak terlalu jauh dari sini," timpal Syakila."Kalau begitu mobilnya dibawa ke bengkel saja di dekat sini. Nanti Nona cari restoran yang dekat. Takutnya kalau dipaksa jalan, mesin mobilnya ter
Hari sudah sore ketika Syakila sampai di halaman rumah keluarga Sukoco. Pikirannya sedikit lebih baik setelah bercerita banyak hal pada Nita.Apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu memang benar. Selama ini setiap permasalahan yang ia hadapi tidak pernah tuntas. Khususnya pada keluarga Kamil. Untuk itu terlebih dahulu ia akan menyelesaikan satu persatu masalahnya dengan anggota keluarga itu agar beban pikirannya tidak menumpuk.Terutama dengan Jasmin yang sudah terang-terangan mengibarkan bendera perang padanya melalui Dion."Assalamualaikum," ucap Syakila memasuki rumahnya.Sepi. Tak ada sahutan yang menjawab salamnya.Rasa lelah membuatnya tak ingin ambil pusing. Segera dirinya berjalan ke arah kamarnya. Biasanya jam segini suaminya sudah pulang. Syakila sudah tidak sabar ingin bertemu dengan lelaki halalnya.Benar saja ketika memasuki kamar, Devan sudah duduk santai di sofa panjang dekat dengan balkon.Syakila mengukir senyum lalu mendekat. "Assalamualaikum, Mas," sapanya."Wa'alaik
"Oh, jadi kamu Syakila? Si perempuan kampung yang bermimpi jadi istri adikku?"Deg!Baru saja tiba di restoran yang dimaksud sang kekasih untuk bertemu keluarga pria itu, Syakila justru disambut sinis dua perempuan asing dalam balutan kebaya.“Maaf, kalian–”“Ck! Aku Yumna, kakak Kamil, dan ini Jasmin adik Kamil," potong wanita berkebaya cream itu lalu tertawa merendahkan."Jas, panggil Mama. Tamu spesialnya udah dateng," perintah Yumna lagi–masih membiarkan Syakila berdiri di ambang pintu masuk restoran.Beribu tanya sontak berkecamuk di benak Syakila. Dia memang belum dikenalkan pada keluarga Kamil. Tapi, pria itu mengatakan bahwa hari ini keluarganya mengundang Syakila. Lantas, mengapa mereka justru memperlakukannya seperti ini?"Mana gadis kampung itu?" Sebuah suara terdengar dari arah belakang, membuat Syakila tersadar dari lamunan.Dia mendapati seorang wanita paruh baya yang juga mengenakan kebaya tengah berdiri congkak. Tak hanya itu, dia berjalan diikuti Kamil yang diapit len
Ucapan Syakila menggantung, terlebih kala mendapati bosnya tersenyum. "Tahu, dong. Sang Pemimpi kan, namanya? Dongengnya bagus-bagus. Ibu suka nonton sama cucu Ibu." Seketika wajah Syakila memerah karena malu. Ternyata selama ini bos-nya diam-diam mengikuti kegiatan barunya."Hehehe, saya cuma iseng aja, Bu. Daripada gak ngapa-ngapain," terang Syakila kikuk."Udah ada endorse masuk belum?""Endorse apaan, Bu? Orang cuma live begituan siapa yang mau pake.""Ya udah. Kalau gitu, Ibu orang pertama yang akan pake jasa kamu. Mulai malam nanti, kamu live baju-baju dagangan Ibu, ya."Mata Syakila sedikit terbelalak. Bukan ia tak mau membantu bosnya itu, tetapi ia takut baju-baju yang ia pasarkan di platform itu tidak laku. Intinya ia takut gagal!"Tapi saya belum tahu caranya gimana, Bu. Kalau ada yang pesen bagaimana?" Itu hanya alasan saja. Sejauh ini Syakila sudah cukup mengerti perdagangan online. Akan tetapi, ia pura-pura gaptek, agar bosnya itu berpikir ulang."Udah, coba aja dulu.
Di sisi lain, dengan tekad dan keyakinan, Syakila mulai memulai streaming. Menjajakan beberapa baju yang ia bawa. Merapalkan doa-doa dalam hati, berharap usahanya membuahkan hasil. Nyatanya, realita tak sesuai ekspektasi.Apa yang sempat Syakila khawatirkan terjadi. Baju-baju dagangan Bu Sukoco yang di live tak banyak yang terjual.Awalnya Syakila berpikir positif. Mungkin karena dirinya masih pemula, sehingga butuh proses dan waktu untuk membuahkan hasil memuaskan.Namun, hal demikian berlarut pada live-live berikutnya. Malahan, semenjak Syakila menjual baju di dalam live-nya, jumlah penonton dan sawerannya semakin berkurang tiap harinya. Itupun banyak yang mengeluhkan dongeng yang Syakila ceritakan tak semenarik dulu."Sekarang jadi gak asik.""Jadi malas nonton.""Jangan sambil dagang dong, kayak dulu. Biar dongengnya lebih fokus dan menarik."Dan masih banyak lagi komen-komen yang membuat Syakila down.Mawar yang biasa bertaburan pun ikut meredup. Tersisa beberapa orang saja dan