Malam harinya, Ray menghubungi teman-temannya untuk menculik Yumna. Niat buruk itu benar-benar akan dilakukannya. Terlepas dari anak itu darah dagingnya atau bukan, baginya adalah rumah tangganya dengan Maharani tetap aman."Kamu tidak salah, Bro? Bukankah dia Yumna?" ucap salah satu temannya."Iya. Dia sudah tidak lagi aku butuhkan," sahut Ray."Tapi tidak dengan cara seperti ini, Bro. Apalagi dia sedang hamil. Kalau ternyata anak itu benar anak kamu bagaimana?""Aku tidak peduli. Aku tidak mau menikah dengannya.""Kenapa bukan istri tuamu saja yang kau singkirkan? Kalau dia lenyap, otomatis semua hartanya akan jatuh ke tanganmu."Ray melirik mendengar ide dari temannya. 'Benar juga. Kenapa tak terpikirkan olehku sebelumnya,' batin Ray."Kita buat seperti kecelakaan. Kau tahu hal itu sudah sering kita lakukan." Lagi, teman Ray memberikan ide buruk."Kau benar." Ray tersenyum miring."Yang penting jangan lupa bagiannya ..." Sembari memainkan jarinya, teman dari Ray memberikan kode."K
Hari demi hari berlalu. Syakila masih disibukkan dengan kegiatan barunya menemani Maharani di rumah sakit. Sesekali ia bahkan menginap di sana, mengabaikan Devan dan Aira yang terkadang merengek meminta ditemani."Mommy ... Nanti Aira minta dibacakan dongeng sebelum tidur, ya. Sudah lama Mommy tidak membacakannya untuk Aira," rengek Aira saat makan malam."Maaf, Sayang. Lain kali saja ya. Malam ini Mommy harus menjaga Bude Rani lagi di rumah sakit."Aira berubah murung. Nasi yang masih separuh di piringnya ia tinggalkan begitu saja, berlalu ke kamarnya."Aira ... Nak," panggilan dari Syakila tak diresponnya. Ia terus berjalan melampiaskan kekecewaannya."Sayang, tidak bisa kah cukup dokter dan beberapa perawat yang menjaga Tante Rani? Kau juga perlu memperhatikan dirimu dan Aira," tegur Devan."Tidak bisa, Mas. Kasus ini belum selesai. Ray bisa saja berkeliaran dan melakukan hal buruk pada Kak Rani. Aku tidak mau hal itu sampai terjadi," sahut Syakila."Tapi sudah banyak polisi juga y
"Ada apa, Nak?" tanya Amber."Ah, tidak, Oma. Ini Mas Devan kirim pesan," kilah Syakila berpura-pura bersikap biasa."Owh, mungkin dia kangen sama kamu. Pulanglah dulu, Sayang. Barangkali suamimu sedang membutuhkan kamu," ujar Amber."Iya, sebentar lagi Parveen pulang, kok." Syakila berusaha mengukir senyum menutupi kegelisahannya."Bagaimana kalau kita bersama-sama ke rumahmu? Opa dan Oma mu juga sudah lama tidak berkunjung ke sana.""Ide yang bagus." Amber ikut menimpali."Emmmm, boleh deh." Syakila menyerah. Istri dari Devan itu memutuskan untuk pulang sejenak, sekaligus mengecek kebenaran foto yang baru saja ia lihat.Namun tiba-tiba ...Dertt. Derrtt!Sebuah panggilan dari pengacara berhasil menghentikan langkah Syakila."Ya, halo ..." Sapanya pada si penelpon."Bagaimana, Nona? Apakah Anda jadi datang ke kantor polisi sekarang?" sahut kuasa hukumnya."Eum ... Jadi, Pak. Tapi sepertinya akan datang terlambat, mendadak saya ada urusan penting.""Baik, kalau begitu saya tunggu di k
Dengan tingkah congkak seraya tersenyum miring, Renata yang masih menggendong Aira berjalan melewati Syakila yang mematung. Pundaknya sengaja disenggol oleh Renata untuk menunjukkan bahwa Syakila tidak ada apa-apanya dibandingkan dirinya.Ingin rasanya Syakila menangis, tetapi dia sudah bertekad untuk tidak menjadi cengeng lagi. Dia adalah wanita kuat yang akan menghadapi ujian apapun yang menerpa.Memejamkan matanya sejenak, Syakila menghirup udara panjang dan menghembuskannya perlahan, lalu meneruskan langkah ke ruang tamu."Opa, Oma, Ibu, sepertinya aku tinggal sebentar, ya. Ada urusan penting." Syakila sengaja langsung berpamitan karena tak ingin bersedih dengan perlakuan putrinya barusan."Kamu baru pulang, Nak. Memangnya penting sekali?" tanya Sukoco seakan keberatan."Iya, Bu. Aku harus ke kantor polisi supaya masalah Kak Maharani cepat selesai," jawab Syakila."Oh masih tentang hal itu. Ya sudah, jangan terlalu fokus. Kamu juga perlu memikirkan keluarga," lanjut mertuanya meng
"Astaghfirullah!" Jantung Syakila seakan hampir keluar dari dadanya. Denyutnya semakin kencang seiring ketukan pada kaca mobilnya yang bersahutan. "Nona, apa kau baik-baik saja." "Hai, keluarlah." Beberapa teriakan dan ketukan membuat Syakila terkesiap. Masih memegang dadanya yang kaget Syakila kemudian membuka pintu mobilnya perlahan. "Apa yang terjadi?" lirihnya. "Apa Nona tidak apa-apa? Mobilmu menabrak trotoar," terang salah satu warga. "Astaghfirullah, pantas saya seperti merasa ada benturan. Alhamdulillah saya baik-baik saja, Pak," ujar Syakila sembari melirik bodi mobil depannya yang rusak. "Syukurlah kalau begitu. Sebaiknya Nona istirahat saja dulu sebelum kembali melakukan perjalanan." Seseorang yang lainnya ikut mengingatkan. "Saya memang sedang mencari restoran, Pak. Tempatnya sudah tidak terlalu jauh dari sini," timpal Syakila. "Kalau begitu mobilnya dibawa ke bengkel saja di dekat sini. Nanti Nona cari restoran yang dekat. Takutnya kalau dipaksa jalan,
Hari sudah sore ketika Syakila sampai di halaman rumah keluarga Sukoco. Pikirannya sedikit lebih baik setelah bercerita banyak hal pada Nita.Apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu memang benar. Selama ini setiap permasalahan yang ia hadapi tidak pernah tuntas. Khususnya pada keluarga Kamil. Untuk itu terlebih dahulu ia akan menyelesaikan satu persatu masalahnya dengan anggota keluarga itu agar beban pikirannya tidak menumpuk.Terutama dengan Jasmin yang sudah terang-terangan mengibarkan bendera perang padanya melalui Dion."Assalamualaikum," ucap Syakila memasuki rumahnya.Sepi. Tak ada sahutan yang menjawab salamnya.Rasa lelah membuatnya tak ingin ambil pusing. Segera dirinya berjalan ke arah kamarnya. Biasanya jam segini suaminya sudah pulang. Syakila sudah tidak sabar ingin bertemu dengan lelaki halalnya.Benar saja ketika memasuki kamar, Devan sudah duduk santai di sofa panjang dekat dengan balkon.Syakila mengukir senyum lalu mendekat. "Assalamualaikum, Mas," sapanya."Wa'alaik
'Kenapa semua jadi seperti ini? Kenapa mudah sekali mereka membuang kepercayaan padaku? Apakah secepat ini rumah tanggaku akan hancur?' Hati Syakila menjerit pilu.Dia terus melangkah ke luar dengan telapak tangan yang terus mengusap kasar pipinya, menghilangkan jejak air mata yang tak hentinya berlomba untuk menetes.Sampai di depan mobilnya, Syakila menghirup udara sebanyak-banyaknya sembari terus menguatkan diri."Kamu kuat, Sya. Kamu pasti kuat. Please, air mata ... Berhentilah mengalir," gumamnya.Setelah merasa cukup kuat, wanita berkulit putih dengan rasa lelahnya bersiap memasuki mobil dan meninggalkan rumah yang beberapa bulan ia tempati. Akan tetapi sebuah panggilan beserta tepukan lembut dari belakang berhasil membuatnya berhenti."Ibu percaya padamu, Nak," tuturnya terdengar lembut.Syakila membalikkan badannya perlahan. Bu Sukoco sudah berdiri, tersenyum hangat dan mengangguk kecil.Seketika tubuh ringkih yang sudah kelelahan itu merengkuh kencang Bu Sukoco. Menumpahkan
"Kenapa menatapku seperti itu? Apa yang aku katakan benar, bukan?" ucap Syakila. "Kamu hanya wanita kedua di kehidupan Mas Devan. Aku yakin setelah bosan Mas Devan pasti akan mencampakkan mu. Jadi jangan sok berkuasa di sini. Aku sudah lebih dulu keluar masuk rumah ini dari pada kamu. Ngerti!" Mata Renata kembali melotot. "Keluar masuk, ya? Itu dulu 'kan sewaktu mommy kandung Aira masih hidup? Sekarang sudah berbeda. Kuharap kamu tahu diri dan tidak bertingkah. Aku bisa membuatmu tidak diijinkan menginjakkan kaki lagi di rumah ini selamanya." "Oh ya? Takut ... Ha ha ha." Renata tertawa sumbang membalas peringatan yang dilayangkan Syakila. Wanita berusia 23 tahun itu tidak sama sekali takut. "Kau boleh tertawa sepuas yang kamu mau sekarang, tetapi esok kau juga harus menyiapkan hati untuk kuat melihat keharmonisan keluarga kecilku," ujar Syakila. "Cih! Belum apa-apa aku sudah berhasil membuat Mas Devan membelaku di depanmu. Justru kamu yang harus bersiap-siap untuk diusir dari rum
Namun, detik berikutnya Kamil berubah pikiran, ia memutuskan untuk mengambil langkah nekat. Dengan tangan yang masih mencengkeram erat leher Shakila, dia menyeringai penuh keyakinan. "Kalau aku tidak bisa lolos, setidaknya aku akan membawa mereka semua ke neraka bersamaku!" gumamnya, menekan pedal kasih nggak habis. Mesin mobil meraung seperti binatang buas yang terluka, melaju kencang menuju brigade polisi. Syakila panik, tangannya reflek mencoba menggoyang-goyangkan setir agar laju mobil berubah arah, atau berhenti. "Kamil, jangan gila! Kau akan membunuh kita semua!""Memang itu yang aku inginkan. Ha ha ha!"Tangan Kamil memukul keras tangan Syakila yang mengganggu setir. "Kau diam saja, Sayang. Aku pastikan kita akan berakhir dalam keabadian sekarang.""Gak! Aku gak mau! Berhenti, Kamil!""Aku akan berhenti kalau kau mau berjanji untuk bersedia hidup bersamaku selamanya.""Dasar gila! Itu tidak akan terjadi." Syakila memukul-mukul lengan Kamil, tetapi pukulan kecil itu hanya dian
Kamil menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, memutarnya dengan mata yang menatap lurus ke depan seperti seekor ular yang siap menyemburkan bisanya. Tanpa ekspresi, dia mendekati Syakila yang masih memejamkan mata lalu membopongnya seperti karung beras, membawanya ke dalam mobil.Beberapa minggu lalu, ketika ia berhasil meracuni polisi yang berjaga kemudian kabur dari lapas, Kamil mendatangi salah satu anak buahnya yang tak tertangkap dan meminta mobil untuk dikendarai. Dibantu oleh anak buahnya itulah akhirnya Kamil berhasil menyelinap ke vila yang disewa Devan, menyamar sebagai penjaga keamanan di sana setelah berhasil membuat penjaga aslinya harus cuti.Dalam hatinya, Kamil bertekad untuk dapat bersatu dengan Syakila, apapun caranya. Jika dia tak bisa memiliki, maka orang lainpun tak ada yang boleh memiliki. Jika tak bisa bersatu di dunia, di alam lain pun Kamil tak keberatan. Dan kini, laki-laki yang jiwanya terganggu itu telah bersiap untuk melakukan sesuatu.****"Pasti ada
"Syakila ..." Telinga tajam Devan dapat mendengar suara gelas yang jatuh. Gegas pria bergaya rambut Taper Fade itu naik ke atas kolam dan berjalan ke dapur, tanpa peduli cipratan air yang berjatuhan di lantai."Sayang, kamu gak pa-pa?" teriaknya terus berjalan.Sunyi. Tak ada jawaban apapun. Langkahnya semakin cepat dan pasti. Namun, ketika sampai dapur, tak ada siapapun di sana. Hanya pecahan gelas yang berserakan di lantai.Devan panik. Seketika ia mengitari sekitaran sambil terus memanggil istri tercintanya."Syakila ...""Sayang, kamu di mana?"Terus mencari ke setiap ruangan di vila, tetapi hasilnya nihil. "Sayang, bercandanya gak lucu loh. Kamu di mana ?" Devan masih berfikir positif. Mungkin istrinya ingin bermain-main dengannya."Sayang, ayolah. Keluar dong. Aku dah kedinginan nih, mau ganti baju. Temenin yuk." Devan terus berbicara sendiri sambil terus mencari.Hampir seluruh ruangan ia datangi, dan hasilnya tetap kosong. Panik, Devan mulai sangat panik. Apa yang terjadi de
"Kenapa seperti ada yang mengikuti ya?" gumamnya, lalu menoleh ke belakang. Tetapi tak ada siapapun di sana. Jalanan sepi."Mas, ayok!" teriak Syakila yang sudah lebih dulu berjalan."Eh, iya, Sayang." Devan terkesiap kemudian menyusul, ikut mengantri bersama sang istri.Beberapa orang yang juga membeli bubur mengajak mereka ngobrol. Ada yang sama-sama pendatang, ada juga yang asli penduduk setempat. Syakila dan Devan menyukai keramahan penduduk di sekitar villa yang mereka sewa."Ini buburnya, Neng," ucap si penjual bubur pada Syakila, setelah beberapa waktu mengantri."Iya, Mang. Terima kasih." Syakila menerima kantong kresek berisi bubur, sementara Devan yang membayarnya."Mari, Ibu-ibu, kami duluan," pamitnya pada ibu-ibu yang masih mengantri."Mari, Neng, A, selamat liburan ya, semoga sukses," sahut seseibu dengan lantang."Sukses apa nih, Bu?" Devan sengaja menanggapi, karena tertarik dengan misteri di balik kata 'sukses' itu."Ya sukses jadi belendung atuh, hamil teh. Apalagi c
"Sayang ... Ahh...."Untuk yang kedua kalinya Devan mencapai puncak kenikmatan bersama Syakila di villa. Sepasang suami istri itu benar-benar menikmati bulan madu kedua ini. Hampir tak terlewatkan oleh mereka aktivitas saling mencintai, dan memadu kasih begitu mereka sampai di tempat penginapan itu. Apalagi Devan memilih villa yang lumayan jauh dari keramaian. menurutnya agar aktivitas mereka lebih privasi. Tentu hal itu semakin membuat mereka semakin intens.Dua manusia berlawanan jenis itu masih tersengal dengan napas memburu di balik selimut putih yang menutupi tubuhnya. "Kau benar-benar hebat, Sayang. Terima kasih." Devan memberikan pujian pada sang istri karena berhasil mengimbangi permainannya yang brutal.Lelaki itu betul-betul merindukan momen ini. Bagaimana tidak? Kemarin-kemarin dia terpaksa harus puasa menjamah tubuh indah Syakila. Banyak kejadian tak terduga yang mereka alami."Sama-sama, Mas. Kamu juga hebat. Masih gagah seperti yang dulu," sahut Syakila dengan suara ber
"Bu, Opa, dan Oma, weekend besok aku sama Syakila ada rencana liburan ke villa. Eum, kalau boleh kita mau nitip Aira, gak lama kok, cuma dua hari." Dengan sedikit malu Devan meminta izin saat mereka sedang bersantai di depan televisi.Aira sendiri sudah lebih dulu terlelap ditemani mommy-nya di kamar. Jadi anak itu tidak protes ketika daddy-nya akan pergi berdua saja dengan sang mommy."Tentu saja boleh, Nak. Kalian memang perlu liburan setelah semua yang kalian alami," ucap Sukoco."Ibumu benar, Dev. Pergilah, buat hari-hari kalian menyenangkan." Bamantara menimpali."Sola Aira, kami siap menjaganya. Dia anak yang baik, pasti akan mengerti." Amber juga mengeluarkan pendapatnya."Terima kasih, semuanya. Aku akan beri tahu kabar ini pada Syakila." Devan terlihat bahagia. Bulan madu kedua ini pasti akan menyenangkan."Ah, bagaimana kalau kita ajak Aira menengok rumah kita, Sayang. Supaya dia tidak sedih kalau daddy dan mommy-nya pergi berlibur," usul Amber pada suaminya."Ide yang bagus
Devan memandang layar ponselnya dengan alis berkerut. "Panggilan tak terjawab?" gumamnya sambil membuka notifikasi. "Jo? Kok banyak banget panggilannya?" Ia menghela napas panjang, merasa bersalah telah melupakan handphonenya sejak sore tadi.Devan benar-benar tenggelam dalam waktu berkualitas bersama Syakila, sang istri. Mereka berdua memanfaatkan momen langka tanpa gangguan. Rasanya nyaman bisa menikmati hari hanya berdua, tanpa memikirkan urusan luar. Andai saja Aira, putri kecil mereka, tidak mengetuk pintu kamar untuk mengingatkan waktu sholat Maghrib, mungkin mereka masih saja berlama-lama berbincang di kamar.Kini, setelah sholat berjamaah bersama keluarga, Devan baru menyadari betapa banyak panggilan dari Jo. Ia mencoba menelepon balik, tetapi panggilannya tak dijawab."Kenapa, Mas?" suara lembut Syakila menyadarkannya. Wanita itu mendekat, membawa segelas teh hangat, lalu duduk di sampingnya di atas karpet ruang keluarga.Devan menunjukkan layar ponselnya. "Jo telepon berkali
Teriakan di luar membuat semua orang terhenti. Jo, Alex, dan anak buahnya langsung berlari mengejar, meninggalkan Devan, Syakila, dan Bamantara yang masih terkejut di dalam ruangan.“Bagaimana dia bisa kabur?!” Devan menggeram.“Mas, biarkan mereka yang urus,” ujar Syakila dengan suara gemetar, memegang lengannya.Devan menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, di matanya, api kemarahan terhadap Kamil belum padam.Di luar gedung, Kamil dengan kondisi babak belur berlari sekuat tenaga. Tali yang mengikat tangannya rupanya berhasil ia lepas dengan pisau kecil yang tersembunyi di sepatunya. Para pengejarnya masih mengejar dari belakang, namun Kamil menemukan sebuah celah di pagar dan melarikan diri ke jalan raya yang cukup gelap.Dia mengira dirinya aman, sampai sirine polisi tiba-tiba terdengar semakin mendekat. Sebuah mobil patroli berhenti tepat di hadapannya, membuatnya panik.“Angkat tanganmu!” teriak salah satu petugas sambil mengarahkan senjatanya.Namun, Kamil tid
Pintu yang tiba-tiba terbuka itu mengagetkan semua orang di dalam ruangan. Kamil langsung berbalik, matanya menyipit marah. "Siapa di sana?!" teriaknya dengan nada tinggi penuh ancaman. Setelah menoleh dengan harapan yang hampir padam, sosok Devan berdiri tegap di ambang pintu dengan wajah yang penuh luka, tetapi matanya menyala dengan amarah yang tak terbendung. Di belakangnya Alex dan Jo berdiri, masing-masing memegang senjata seadanya."Permainanmu sudah selesai, bajingan!"ujar Devan dengan nada dingin namun tegas. Kamil tertawa sinis. "Oh, jadi kalian yang datang ke sini? Lucu sekali. Apa kalian juga ingin menyaksikan pernikahanku dengan Syakila?""Diam kau, Brengsek! Itu tidak akan pernah terjadi!" Devan berteriak dengan amarah yang kian menyala."Oh, ya? Apa hakmu melarang kami menikah? Kau bukan siapa-siapanya Syakila sekarang.""Dia istriku, brengsek!" Untuk kesekian kalinya Devan berteriak penuh emosi."Itu dulu, sebelum kamu menceraikannya. Tapi sekarang ....?Devan tak la