"Ah, sialan Kamu. Awas ya!" sentak Jasmin sembari berjalan meninggalkan ruangan. "Kamu tuh yang awas! Dasar asisten belagu. Tukang halu. Huuuuu," sorak Desi penuh kemenangan. *** Beberapa jam mendapat pertanyaan dari polisi, akhirnya Kamil diijinkan untuk pulang. Saat tiba di tempat keberadaan Devan dan yang lainnya tadi berada, suasana sudah sepi. Hanya terlihat Bamantara dan kuasa hukumnya yang setia menunggu. "Oh, Anda masih di sini, Pak Bamantara?" ucap Kamil. "Panggil saja Opa. Saya biasa dipanggil seperti itu," sahut Bamantara mengakrabkan diri. "Baiklah, Opa." "Begitu lebih baik. Emmm, saya hanya ingin mengajak kamu makan siang sebagai ucapan terima kasih. Tapi kalau kamu tidak sibuk." "Oh, kebetulan saya sedang tidak ada kegiatan. Beberapa hari lalu saya baru saja berhenti dari pekerjaan saya." Kamil terpaksa berbohong. Tak mungkin dirinya mengatakan sedang terkena skors dari kantor. Setidaknya ia akan menjaga imejnya di pertemuan pertama dengan seseorang yan
Yumna membalikkan badannya bermaksud membuat perhitungan pada orang yang telah lancang mengatakan dirinya murah.Hanya ada wanita dengan tatanan rambut ikal sebahunya yang mengkilap, juga makeup elegan yang menghiasi wajah cantik itu meski diperkirakan usianya lebih tua dari Yumna. Serta tas branded dengan harga fantastis yang ia tenteng di tangan kirinya. Tak ketinggalan kacamata hitam yang menutupi matanya."Heh, memangnya kamu siapa? Berani mengatakan itu padaku. Kau kira dirimu hebat dengan gaya rambut yang sok itu, serta tas branded palsumu? Cih! Memalukan!" cibir Yumna sembari bersedekap dada.Perempuan itu nampak santai membuka kacamatanya dan tersenyum remeh pada Yumna, "Semua yang ada padaku asli. Pastinya berkualitas tinggi dan mahal. Tapi ... Sudahlah, saya tidak perlu memberi tahumu. Saya ke sini cuma mau mengambil kartu ATM yang diberikan suamiku padamu.""Kartu ATM? Suami? Siapa yang kamu maksud?" Yumna memasang ekspresi tak mengerti."Jangan perlihatkan sifat aslimu, wa
"Auw!" Della mendesis sakit ketika Kamil dengan kasar menghempaskan tubuhnya ke lantai. "Ingat, Del. Aku tahu semua tentang perilaku memakukanmu. Jika kau tak ingin celaka di tengah keluarga selingkuhanmu, maka perbaiki perilakumu padaku. Sudah untung aku tak membuat nama ayahmu tercoreng! Tapi, hal itu pasti akan terjadi kalau kau tak menuruti perintahku!" pungkasnya memberikan ultimatum lalu meninggalkan Della dengan segudang rasa tak percaya. Ternyata diam-diam suaminya itu menyelidiki semuanya. 'Apakah Kamil juga sebenarnya tahu bahwa anak yang dilahirkan olehku juga bukan anak kandungnya?' batin Della masih berkecamuk. Namun, ia tak ingin percaya begitu saja. Bisa saja kan Kamil hanya ngarang, toh dia tak menunjukkan bukti apapun mengenai ucapannya. Jadi Della merasa tidak perlu takut. "Kau kira aku akan takut dengan ancaman kosongmu itu? Kau bahkan hanya akan malu jika sampai melakukan itu sebab kau tak punya satu pun bukti dengan omong kosong mu itu! Lihat saja, aku past
"Ya Allah, Mas Ryan? Apa kabar?" Syakila langsung menyapa hangat kedatangan pemuda yang baru saja berucap salam. "Alhamdulillah baik, Veen. Kamu gimana kabarnya? Sepertinya jauh lebih segar," sahut Ryan seraya memandang Syakila penuh kerinduan. Sebagai lelaki yang mencintai Syakila, Devan tahu makna tatapan itu sehingga ia dengan cekatan turut menghampiri Ryan, "Hai, Bro. Kemana aja baru nongol?" Sembari mengulurkan tangan kanannya sedang tangan kirinya langsung merangkul pinggang ramping istrinya. Ryan terkesiap dan menyambut uluran tangan Devan, "Hai, Dev. Aku terlalu sibuk akhir-akhir ini. Ya, kau tahu lah profesi dokter jiwa." Ryan mencoba bersikap biasa. "Hemmm, okelah. Yuk masuk, gabung sama yang lain." Devan memberi isyarat menggunakan dagunya. "Oke," sahut Ryan. Lelaki itu tahu kalau Devan bersikap waspada dengan kedatangannya. Dia pun hanya menggelengkan kepalanya. Meski rasa itu masih ada untuk Syakila, sedikit pun Ryan tak ingin mencurangi hubungan pengantin baru
"Jangan terlalu dipikirkan, Mas. Masih ada aku, kok." Dari arah belakang tiba-tiba Nita berceletuk menghibur Ryan. Dengan langkah santai, wanita berambut panjang bergelombang tersebut mendekat, dan berhenti tepat di sebelah Ryan yang tengah melihat kemesraan Devan dan Syakila. "Aku hanya senang akhirnya Parveen menemukan kebahagiaannya. Semoga trauma itu benar-benar hilang dari dirinya, tapi kalau kamu ..." sahut Ryan sengaja memberi jeda pada kalimatnya. Nita menoleh penasaran dengan hal yang akan Ryan sampaikan, "Aku apa?" Alisnya bahkan berkerut. "Kalau kamu mau menikah denganku, maka kebahagiaanku akan semakin bertambah," sambung Ryan berhasil membuat Nita terbelalak sesaat, lalu setelahnya menggelincir biasa saja. "Jangan gombal, Mas. Gak mempan di saya." Sembari menabok lengan Ryan, Nita terkekeh. Tak disangka Ryan justru menangkap telapak Nita dan mengunci dengan telapak besarnya. Kini mereka saling pandang dengan telapak yang saling menaut. Ada getar tak biasa yan
"Siapa laki-laki yang Kamu bawa pulang ke rumah, Nit?" Nita menoleh pada sumber suara yang muncul dari dalam. Ratna--ibunya muncul dengan langkah tertatih. "Ibu ... Kok keluar? Ibu belum terlalu sehat, loh." Nita mendekat dan menuntun Ratna. "Siapa dia, Nak?" Ratna memandang Ryan yang berdiri di dekat mobilnya. "Halo, Tante. Saya Ryan teman dekat Nita. Kami baru saja menghadiri syukuran di rumah Parveen. Maaf jika mengantarkan Nita terlalu sore." Dengan senyum manisnya Ryan terlihat ramah. Terbiasa berharapan dengan keluarga pasiennya membuat dokter muda itu tak kesulitan berinteraksi dengan orang tua berusia senjata tersebut. "Teman dekat?" Ratna menoleh pada sang anak meminta penjelasan. "Hanya teman biasa, Bu," ujar Nita. "Kalau boleh saya ingin numpang shalat ashar, boleh?" tanya Ryan. "Oh tentu saja. Mari masuk, Nak." Ratna sedikit bergeser memberi jalan untuk Ryan. Ryan mengangguk sopan, kemudian melepaskan sepatunya dan melangkahkan kaki mengikuti Nita dan
Tak banyak memakan waktu, kini Jasmine sudah berada di hotel tempat biasa ia bertemu dengan Dion--kekasihnya.Di lobby, seorang pria tampan berkacamata hitam sudah menunggunya."Hai, Baby. Kau semakin cantik saja," ucapnya.Jasmin tersipu, "Hai juga, Bab. Kau selalu pandai merayuku, Dion.""Aku tidak merayu, hanya mengatakan yang sebenarnya.""Kau juga semakin tampan saja. Aku rindu padamu." Jasmin tanpa malu memeluk tubuh tinggi Dion."Ya, apalagi aku. Aku begitu kecanduan dengan tubuh seksimu," sahut Dion berbisik."Genit," ujar Jasmine mencubit kecil pinggang Dion."Yuk kita check in. Aku sudah tidak sabar," ajak Dion sembari merangkul pundak Jasmin dan berjalan menuju resepsionis.Beberapa saat kemudian mereka berhasil mendapatkan kamar. Masih saling merangkul mereka berjalan dengan percaya dirinya menuju kamar hotel.Tanpa mereka sadari seseorang telah mengintai dan mengambil gambar mereka dari belakang. Terus mengikuti hingga mereka menghilang di balik pintu kamar. Tak sampai d
"Ketemu!" seru Dion sembari menyambar benda berukuran kecil yang menempel pada vas bunga di atas meja di pojokan. "Apanya?" Jasmin mendekat penasaran dengan balutan selimut yang menutupi tubuh polosnya. Dion lalu mendekatkan kamera kecil itu pada wajahnya dan memberi ancaman di sana, "Kalian salah bermain-main denganku! Cepat atau lambat aku akan membuat kalian menyesal telah berurusan dengan Dion Pratama!" Setelahnya ia membanting benda itu ke lantai dan menginjaknya hingga hancur berkeping-keping. "Apa itu, Dion?" Jasmin masih bingung. "Kamera. Mereka pasti yang telah memasangnya. Mereka sengaja melakukan itu untuk menghancurkanmu!" Rahang Dion mengeras dengan gigi bergemeletuk. Marah, lelaki itu tak suka ada orang yang mengusiknya. Tiba-tiba saja Dion menjambak rambut coklat Jasmin, "Semua ini gara-gara kamu. Kalau sampai karirku hancur, kau juga akan aku buat hancur seperti kamera kecil itu. Ngerti!" "Aww ...! Sakit Dion. Kamu kenapa, sih?" rintih Jasmin sembari mendo
Namun, detik berikutnya Kamil berubah pikiran, ia memutuskan untuk mengambil langkah nekat. Dengan tangan yang masih mencengkeram erat leher Shakila, dia menyeringai penuh keyakinan. "Kalau aku tidak bisa lolos, setidaknya aku akan membawa mereka semua ke neraka bersamaku!" gumamnya, menekan pedal kasih nggak habis. Mesin mobil meraung seperti binatang buas yang terluka, melaju kencang menuju brigade polisi. Syakila panik, tangannya reflek mencoba menggoyang-goyangkan setir agar laju mobil berubah arah, atau berhenti. "Kamil, jangan gila! Kau akan membunuh kita semua!""Memang itu yang aku inginkan. Ha ha ha!"Tangan Kamil memukul keras tangan Syakila yang mengganggu setir. "Kau diam saja, Sayang. Aku pastikan kita akan berakhir dalam keabadian sekarang.""Gak! Aku gak mau! Berhenti, Kamil!""Aku akan berhenti kalau kau mau berjanji untuk bersedia hidup bersamaku selamanya.""Dasar gila! Itu tidak akan terjadi." Syakila memukul-mukul lengan Kamil, tetapi pukulan kecil itu hanya dian
Kamil menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, memutarnya dengan mata yang menatap lurus ke depan seperti seekor ular yang siap menyemburkan bisanya. Tanpa ekspresi, dia mendekati Syakila yang masih memejamkan mata lalu membopongnya seperti karung beras, membawanya ke dalam mobil.Beberapa minggu lalu, ketika ia berhasil meracuni polisi yang berjaga kemudian kabur dari lapas, Kamil mendatangi salah satu anak buahnya yang tak tertangkap dan meminta mobil untuk dikendarai. Dibantu oleh anak buahnya itulah akhirnya Kamil berhasil menyelinap ke vila yang disewa Devan, menyamar sebagai penjaga keamanan di sana setelah berhasil membuat penjaga aslinya harus cuti.Dalam hatinya, Kamil bertekad untuk dapat bersatu dengan Syakila, apapun caranya. Jika dia tak bisa memiliki, maka orang lainpun tak ada yang boleh memiliki. Jika tak bisa bersatu di dunia, di alam lain pun Kamil tak keberatan. Dan kini, laki-laki yang jiwanya terganggu itu telah bersiap untuk melakukan sesuatu.****"Pasti ada
"Syakila ..." Telinga tajam Devan dapat mendengar suara gelas yang jatuh. Gegas pria bergaya rambut Taper Fade itu naik ke atas kolam dan berjalan ke dapur, tanpa peduli cipratan air yang berjatuhan di lantai."Sayang, kamu gak pa-pa?" teriaknya terus berjalan.Sunyi. Tak ada jawaban apapun. Langkahnya semakin cepat dan pasti. Namun, ketika sampai dapur, tak ada siapapun di sana. Hanya pecahan gelas yang berserakan di lantai.Devan panik. Seketika ia mengitari sekitaran sambil terus memanggil istri tercintanya."Syakila ...""Sayang, kamu di mana?"Terus mencari ke setiap ruangan di vila, tetapi hasilnya nihil. "Sayang, bercandanya gak lucu loh. Kamu di mana ?" Devan masih berfikir positif. Mungkin istrinya ingin bermain-main dengannya."Sayang, ayolah. Keluar dong. Aku dah kedinginan nih, mau ganti baju. Temenin yuk." Devan terus berbicara sendiri sambil terus mencari.Hampir seluruh ruangan ia datangi, dan hasilnya tetap kosong. Panik, Devan mulai sangat panik. Apa yang terjadi de
"Kenapa seperti ada yang mengikuti ya?" gumamnya, lalu menoleh ke belakang. Tetapi tak ada siapapun di sana. Jalanan sepi."Mas, ayok!" teriak Syakila yang sudah lebih dulu berjalan."Eh, iya, Sayang." Devan terkesiap kemudian menyusul, ikut mengantri bersama sang istri.Beberapa orang yang juga membeli bubur mengajak mereka ngobrol. Ada yang sama-sama pendatang, ada juga yang asli penduduk setempat. Syakila dan Devan menyukai keramahan penduduk di sekitar villa yang mereka sewa."Ini buburnya, Neng," ucap si penjual bubur pada Syakila, setelah beberapa waktu mengantri."Iya, Mang. Terima kasih." Syakila menerima kantong kresek berisi bubur, sementara Devan yang membayarnya."Mari, Ibu-ibu, kami duluan," pamitnya pada ibu-ibu yang masih mengantri."Mari, Neng, A, selamat liburan ya, semoga sukses," sahut seseibu dengan lantang."Sukses apa nih, Bu?" Devan sengaja menanggapi, karena tertarik dengan misteri di balik kata 'sukses' itu."Ya sukses jadi belendung atuh, hamil teh. Apalagi c
"Sayang ... Ahh...."Untuk yang kedua kalinya Devan mencapai puncak kenikmatan bersama Syakila di villa. Sepasang suami istri itu benar-benar menikmati bulan madu kedua ini. Hampir tak terlewatkan oleh mereka aktivitas saling mencintai, dan memadu kasih begitu mereka sampai di tempat penginapan itu. Apalagi Devan memilih villa yang lumayan jauh dari keramaian. menurutnya agar aktivitas mereka lebih privasi. Tentu hal itu semakin membuat mereka semakin intens.Dua manusia berlawanan jenis itu masih tersengal dengan napas memburu di balik selimut putih yang menutupi tubuhnya. "Kau benar-benar hebat, Sayang. Terima kasih." Devan memberikan pujian pada sang istri karena berhasil mengimbangi permainannya yang brutal.Lelaki itu betul-betul merindukan momen ini. Bagaimana tidak? Kemarin-kemarin dia terpaksa harus puasa menjamah tubuh indah Syakila. Banyak kejadian tak terduga yang mereka alami."Sama-sama, Mas. Kamu juga hebat. Masih gagah seperti yang dulu," sahut Syakila dengan suara ber
"Bu, Opa, dan Oma, weekend besok aku sama Syakila ada rencana liburan ke villa. Eum, kalau boleh kita mau nitip Aira, gak lama kok, cuma dua hari." Dengan sedikit malu Devan meminta izin saat mereka sedang bersantai di depan televisi.Aira sendiri sudah lebih dulu terlelap ditemani mommy-nya di kamar. Jadi anak itu tidak protes ketika daddy-nya akan pergi berdua saja dengan sang mommy."Tentu saja boleh, Nak. Kalian memang perlu liburan setelah semua yang kalian alami," ucap Sukoco."Ibumu benar, Dev. Pergilah, buat hari-hari kalian menyenangkan." Bamantara menimpali."Sola Aira, kami siap menjaganya. Dia anak yang baik, pasti akan mengerti." Amber juga mengeluarkan pendapatnya."Terima kasih, semuanya. Aku akan beri tahu kabar ini pada Syakila." Devan terlihat bahagia. Bulan madu kedua ini pasti akan menyenangkan."Ah, bagaimana kalau kita ajak Aira menengok rumah kita, Sayang. Supaya dia tidak sedih kalau daddy dan mommy-nya pergi berlibur," usul Amber pada suaminya."Ide yang bagus
Devan memandang layar ponselnya dengan alis berkerut. "Panggilan tak terjawab?" gumamnya sambil membuka notifikasi. "Jo? Kok banyak banget panggilannya?" Ia menghela napas panjang, merasa bersalah telah melupakan handphonenya sejak sore tadi.Devan benar-benar tenggelam dalam waktu berkualitas bersama Syakila, sang istri. Mereka berdua memanfaatkan momen langka tanpa gangguan. Rasanya nyaman bisa menikmati hari hanya berdua, tanpa memikirkan urusan luar. Andai saja Aira, putri kecil mereka, tidak mengetuk pintu kamar untuk mengingatkan waktu sholat Maghrib, mungkin mereka masih saja berlama-lama berbincang di kamar.Kini, setelah sholat berjamaah bersama keluarga, Devan baru menyadari betapa banyak panggilan dari Jo. Ia mencoba menelepon balik, tetapi panggilannya tak dijawab."Kenapa, Mas?" suara lembut Syakila menyadarkannya. Wanita itu mendekat, membawa segelas teh hangat, lalu duduk di sampingnya di atas karpet ruang keluarga.Devan menunjukkan layar ponselnya. "Jo telepon berkali
Teriakan di luar membuat semua orang terhenti. Jo, Alex, dan anak buahnya langsung berlari mengejar, meninggalkan Devan, Syakila, dan Bamantara yang masih terkejut di dalam ruangan.“Bagaimana dia bisa kabur?!” Devan menggeram.“Mas, biarkan mereka yang urus,” ujar Syakila dengan suara gemetar, memegang lengannya.Devan menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, di matanya, api kemarahan terhadap Kamil belum padam.Di luar gedung, Kamil dengan kondisi babak belur berlari sekuat tenaga. Tali yang mengikat tangannya rupanya berhasil ia lepas dengan pisau kecil yang tersembunyi di sepatunya. Para pengejarnya masih mengejar dari belakang, namun Kamil menemukan sebuah celah di pagar dan melarikan diri ke jalan raya yang cukup gelap.Dia mengira dirinya aman, sampai sirine polisi tiba-tiba terdengar semakin mendekat. Sebuah mobil patroli berhenti tepat di hadapannya, membuatnya panik.“Angkat tanganmu!” teriak salah satu petugas sambil mengarahkan senjatanya.Namun, Kamil tid
Pintu yang tiba-tiba terbuka itu mengagetkan semua orang di dalam ruangan. Kamil langsung berbalik, matanya menyipit marah. "Siapa di sana?!" teriaknya dengan nada tinggi penuh ancaman. Setelah menoleh dengan harapan yang hampir padam, sosok Devan berdiri tegap di ambang pintu dengan wajah yang penuh luka, tetapi matanya menyala dengan amarah yang tak terbendung. Di belakangnya Alex dan Jo berdiri, masing-masing memegang senjata seadanya."Permainanmu sudah selesai, bajingan!"ujar Devan dengan nada dingin namun tegas. Kamil tertawa sinis. "Oh, jadi kalian yang datang ke sini? Lucu sekali. Apa kalian juga ingin menyaksikan pernikahanku dengan Syakila?""Diam kau, Brengsek! Itu tidak akan pernah terjadi!" Devan berteriak dengan amarah yang kian menyala."Oh, ya? Apa hakmu melarang kami menikah? Kau bukan siapa-siapanya Syakila sekarang.""Dia istriku, brengsek!" Untuk kesekian kalinya Devan berteriak penuh emosi."Itu dulu, sebelum kamu menceraikannya. Tapi sekarang ....?Devan tak la