"Jangan terlalu dipikirkan, Mas. Masih ada aku, kok." Dari arah belakang tiba-tiba Nita berceletuk menghibur Ryan. Dengan langkah santai, wanita berambut panjang bergelombang tersebut mendekat, dan berhenti tepat di sebelah Ryan yang tengah melihat kemesraan Devan dan Syakila. "Aku hanya senang akhirnya Parveen menemukan kebahagiaannya. Semoga trauma itu benar-benar hilang dari dirinya, tapi kalau kamu ..." sahut Ryan sengaja memberi jeda pada kalimatnya. Nita menoleh penasaran dengan hal yang akan Ryan sampaikan, "Aku apa?" Alisnya bahkan berkerut. "Kalau kamu mau menikah denganku, maka kebahagiaanku akan semakin bertambah," sambung Ryan berhasil membuat Nita terbelalak sesaat, lalu setelahnya menggelincir biasa saja. "Jangan gombal, Mas. Gak mempan di saya." Sembari menabok lengan Ryan, Nita terkekeh. Tak disangka Ryan justru menangkap telapak Nita dan mengunci dengan telapak besarnya. Kini mereka saling pandang dengan telapak yang saling menaut. Ada getar tak biasa yan
"Siapa laki-laki yang Kamu bawa pulang ke rumah, Nit?" Nita menoleh pada sumber suara yang muncul dari dalam. Ratna--ibunya muncul dengan langkah tertatih. "Ibu ... Kok keluar? Ibu belum terlalu sehat, loh." Nita mendekat dan menuntun Ratna. "Siapa dia, Nak?" Ratna memandang Ryan yang berdiri di dekat mobilnya. "Halo, Tante. Saya Ryan teman dekat Nita. Kami baru saja menghadiri syukuran di rumah Parveen. Maaf jika mengantarkan Nita terlalu sore." Dengan senyum manisnya Ryan terlihat ramah. Terbiasa berharapan dengan keluarga pasiennya membuat dokter muda itu tak kesulitan berinteraksi dengan orang tua berusia senjata tersebut. "Teman dekat?" Ratna menoleh pada sang anak meminta penjelasan. "Hanya teman biasa, Bu," ujar Nita. "Kalau boleh saya ingin numpang shalat ashar, boleh?" tanya Ryan. "Oh tentu saja. Mari masuk, Nak." Ratna sedikit bergeser memberi jalan untuk Ryan. Ryan mengangguk sopan, kemudian melepaskan sepatunya dan melangkahkan kaki mengikuti Nita dan
Tak banyak memakan waktu, kini Jasmine sudah berada di hotel tempat biasa ia bertemu dengan Dion--kekasihnya.Di lobby, seorang pria tampan berkacamata hitam sudah menunggunya."Hai, Baby. Kau semakin cantik saja," ucapnya.Jasmin tersipu, "Hai juga, Bab. Kau selalu pandai merayuku, Dion.""Aku tidak merayu, hanya mengatakan yang sebenarnya.""Kau juga semakin tampan saja. Aku rindu padamu." Jasmin tanpa malu memeluk tubuh tinggi Dion."Ya, apalagi aku. Aku begitu kecanduan dengan tubuh seksimu," sahut Dion berbisik."Genit," ujar Jasmine mencubit kecil pinggang Dion."Yuk kita check in. Aku sudah tidak sabar," ajak Dion sembari merangkul pundak Jasmin dan berjalan menuju resepsionis.Beberapa saat kemudian mereka berhasil mendapatkan kamar. Masih saling merangkul mereka berjalan dengan percaya dirinya menuju kamar hotel.Tanpa mereka sadari seseorang telah mengintai dan mengambil gambar mereka dari belakang. Terus mengikuti hingga mereka menghilang di balik pintu kamar. Tak sampai d
"Ketemu!" seru Dion sembari menyambar benda berukuran kecil yang menempel pada vas bunga di atas meja di pojokan. "Apanya?" Jasmin mendekat penasaran dengan balutan selimut yang menutupi tubuh polosnya. Dion lalu mendekatkan kamera kecil itu pada wajahnya dan memberi ancaman di sana, "Kalian salah bermain-main denganku! Cepat atau lambat aku akan membuat kalian menyesal telah berurusan dengan Dion Pratama!" Setelahnya ia membanting benda itu ke lantai dan menginjaknya hingga hancur berkeping-keping. "Apa itu, Dion?" Jasmin masih bingung. "Kamera. Mereka pasti yang telah memasangnya. Mereka sengaja melakukan itu untuk menghancurkanmu!" Rahang Dion mengeras dengan gigi bergemeletuk. Marah, lelaki itu tak suka ada orang yang mengusiknya. Tiba-tiba saja Dion menjambak rambut coklat Jasmin, "Semua ini gara-gara kamu. Kalau sampai karirku hancur, kau juga akan aku buat hancur seperti kamera kecil itu. Ngerti!" "Aww ...! Sakit Dion. Kamu kenapa, sih?" rintih Jasmin sembari mendo
"Hah! Bisa-bisanya Jasmin bilang begitu. Mana mungkin aku ham--hoek!" Tiba-tiba perut Yumna kembali mual. Dia segera berlari ke belakang menuju satu-satunya kamar mandi di rumah itu, melewati Sundari yang tengah menyiapkan makanan untuk sarapan. Di dalam kamar mandi, Yumna terus mengeluarkan isi perutnya yang belum terisi apapun dari bangun tidur lalu . Sundari pun dibuat bingung mendengar suara muntahan sang putri. "Kamu kenapa, Yum?" Tok! Tok! Tok! Walau bagaimanapun Sundari adalah ibu yang sayang terhadap anak-anaknya. Melihat Yumna seperti itu ada sedikit rasa khawatir menyeruak. Mendadak suara dalam kamar mandi sunyi sesaat setelah gemericik kran yang dihidupkan oleh Yumna. Tak berselang lama pintu terbuka. Yumna dengan wajah pucatnya keluar. Langkahnya tertatih, terlihat lemas. "Kamu sakit?" tanya Sundari. "Gak tahu, Ma. Perutku tiba-tiba mual dan seluruh tubuh rasanya lemas." "Coba Mama cek panas atau tidak." Tangan Sundari terayun berniat memegang kening Yu
"Mas berhenti!" teriak Syakila dari dalam mobilnya. Decitan mobil yang mendadak berhenti membuat Devan harus menahan napasnya. "Ada apa, Sayang?" tanya Devan khawatir. Beruntung jalanan sedikit lengang sehingga mobil yang berhenti mendadak itu tak menimbulkan kecelakaan. Tin. Tiiiinnn! Suara klakson dari belakang mengharuskan Devan untuk menepikan kendaraan roda empat miliknya. "Kenapa tiba-tiba menyuruhku berhenti, Sayang?" tanya Devan. "Lihat ... Bukankah itu Bu Sundari?" Syakila menunjuk seorang wanita lebih dari setelah abad sedang berjalan keluar dari mini market. "Sepertinya begitu. Memangnya kenapa?" sahut Devan biasa saja karena memang dia tidak peduli pada keluarga itu. "Kita ikuti mereka, Mas," titah Syakila setelah melihat mobil yang ditumpangi Sundari bergerak maju. "Untuk apa? Lebih baik kita tidak berurusan lagi dengan mereka, Sayang." "Kalau Mas Devan keberatan, aku bisa naik taksi saja," ancam Syakila bersiap membuka pintu mobil. "Jangan! Baiklah kita akan
Tubuh Ray kaku di tempat. Ia seperti mati kutu di hadapan istrinya. Melihat Yumna berada di rumahnya bukanlah keinginannya. Andai bisa ia ingin sekali menyuruh wanita selingkuhannya untuk enyah sekarang juga. "Gimana, Mas, suka dengan kejutannya?" Maharani mulai membuka suaranya. "Me-mereka siapa, Sayang?" Ray pura-pura tidak kenal. "Heh! Jangan pura-pura kamu. Setelah seenaknya hamilin anak orang sekarang pura-pura tidak kenal. Jangan coba lari dari tanggung jawab, ya!" Sundari tak terima. Mata Maharani sedikit melebar. Meski sudah memprediksi hal ini akan terjadi, tetap saja ia merasa kaget mendengar laki-laki yang hidup bersamanya selama puluhan tahun kini menghamili wanita yang bahkan lebih pantas menjadi anaknya. "Owh ... Jadi ada orang hamil di sini. Kalau begitu ajak mereka masuk dong, Mas. Kasihan mereka panas-panasan di luar," ujar Maharani. "Tidak perlu, Sayang. Mas benar-benar tidak mengenal mereka. Bisa saja mereka sengaja ingin membuat hubungan kita berantakan.
"Assalamualaikum ..." Di tengah perdebatan Sundari dan Ray, terdengar salam dari arah pintu membuat manusia yang saling beradu mulut itu terdiam. "Wa'alaikumsalam, masuk," sahut Maharani. Mendengar itu, tamu yang ternyata adalah Syakila dan Devan pun muncul. Mereka berdua kompak memasang ekspresi terkejut saat melihat Yumna dan Sundari juga tengah bertamu di sana. Padahal yang sebenarnya adalah Syakila sengaja mengajak Devan masuk, untuk melihat bagaimana tiga manusia yang pernah ingin menghancurkan rumah tangganya kini justru mereka yang diambang kehancuran itu. Yumna dan Sundari pun tak kalah terkejut. Seketika jantung Yumna berdegup kencang. Tak semestinya dirinya bertemu dengan Devan dalam keadaan seperti sekarang ini. "Oh, kalian ... Sini masuk saja." Maharani menyambut hangat kedatangan Syakila dan Devan yang kebetulan hubungan mereka memang cukup akrab. "Lagi ada tamu ya, Kak? Maaf mengganggu," ujar Syakila basa-basi sembari berjalan menuju ke arah Maharani. "Buk