Aira tak serta merta menjawab, anak itu menengok pada Sukoco dan Syakila bergantian untuk meminta izin, walau sejujurnya anak itu enggan, tapi dia juga merasa kasihan melihat tantenya terbaring tak berdaya seperti itu. "Minta izin daddy dulu, ya. Sebentar lagi daddy datang, kok," ujar Syakila tak bisa mengambil keputusan. "Kenapa harus meminta persetujuan Devan? Saya ini nenek kandung Aira, saya juga berhak atas dia. Dari pada kamu yang cuma ibu tirinya. Ingat, kamu bukan siapa-siapanya kalau tidak menikah dengan Devan," sergah Rosa menohok. "Tapi kenyataannya Aira dibawah naungan Devan dan Syakila, itu artinya Aira tanggung jawabnya dan dia lebih berhak atas diri Aira dari pada Anda," sahut Bamantara tak terima. "Halah! Saya ini nenek kandungnya. Darah saya mengalir di dalam tubuh Aira. Tidak akan terjadi apa-apa dengannya selama bersamaku. Lagian ... Anda ini siapa? Ikut ngatur-ngatur." "Apa yang dikatakan Opa Bamantara benar." Tiba-tiba Devan muncul dari balik pintu yang s
**Perdebatan di Toilet Rumah Sakit**Devan membuka pintu toilet rumah sakit dengan kasar, dan di sana ia melihat Sundari berdiri tegang di depan Syakila, yang tengah merapikan hijabnya dengan tangan gemetar."Wanita tua!" Devan langsung berseru, suaranya penuh dengan kemarahan yang tak bisa lagi ia bendung. "Apa yang kau lakukan?!"Sundari menoleh kaget, tapi segera menegakkan badannya, berusaha untuk tampak tenang meski ketakutan jelas terpancar di matanya. "Aku … hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan," katanya, suaranya bergetar tapi tetap berusaha terdengar tegas. "Syakila adalah pembawa sial. Sejak dia datang ke keluargaku, tidak ada yang baik yang terjadi. Satu persatu kesialan menimpa keluargaku!"Syakila yang masih berdiri di dekat wastafel, masih sibuk membenahi hijabnya yang berantakan.Devan berjalan mendekat, wajahnya menegang, tetapi tangannya terulur menarik pinggang Syakila untuk berada di dekatnya. "Apa yang kau katakan barusan? Syakila pembawa sial di keluarga
“Iya, Kamil ... Mama ... Mama memang buat keributan dengan Syakila di toilet,” akunya pelan, suaranya terdengar lemah.“Apa yang sebenarnya terjadi, Bu?” desak Kamil.Sundari mulai bercerita, suaranya gemetar karena takut pada reaksi putranya. “Tadi mama lagi di toilet, mama dengar Syakila ngomongin mama sama seseorang. Dia bilang mama sudah tua dan keluarga kita sedang kena karma. Dia juga menertawakan Yumna dan Jasmin. Mama nggak tahan, jadi mama keluar dan langsung labrak Syakila. Mama bilang kalau dia nggak suka, mending ngomong langsung ke mama, jangan ngomongin di belakang, tapi dia gak terima."Rupanya Sundari memberikan cerita bohong.Kamil menatap mamanya dengan tajam. “Terus apa yang terjadi?”Sundari menggigit bibirnya, takut. “Syakila kaget, dan bilang mama salah dengar. Tapi Kamil, mama yakin mama nggak salah dengar! Mama marah, dan tanpa sadar mama ngomel di depan semua orang di luar toilet. Orang-orang lihat, Kamil… Mama malu, tapi mama nggak tahan dibicarain begitu.”K
"Oh, jadi kamu Syakila? Si perempuan kampung yang bermimpi jadi istri adikku?"Deg!Baru saja tiba di restoran yang dimaksud sang kekasih untuk bertemu keluarga pria itu, Syakila justru disambut sinis dua perempuan asing dalam balutan kebaya.“Maaf, kalian–”“Ck! Aku Yumna, kakak Kamil, dan ini Jasmin adik Kamil," potong wanita berkebaya cream itu lalu tertawa merendahkan."Jas, panggil Mama. Tamu spesialnya udah dateng," perintah Yumna lagi–masih membiarkan Syakila berdiri di ambang pintu masuk restoran.Beribu tanya sontak berkecamuk di benak Syakila. Dia memang belum dikenalkan pada keluarga Kamil. Tapi, pria itu mengatakan bahwa hari ini keluarganya mengundang Syakila. Lantas, mengapa mereka justru memperlakukannya seperti ini?"Mana gadis kampung itu?" Sebuah suara terdengar dari arah belakang, membuat Syakila tersadar dari lamunan.Dia mendapati seorang wanita paruh baya yang juga mengenakan kebaya tengah berdiri congkak. Tak hanya itu, dia berjalan diikuti Kamil yang diapit len
Ucapan Syakila menggantung, terlebih kala mendapati bosnya tersenyum. "Tahu, dong. Sang Pemimpi kan, namanya? Dongengnya bagus-bagus. Ibu suka nonton sama cucu Ibu." Seketika wajah Syakila memerah karena malu. Ternyata selama ini bos-nya diam-diam mengikuti kegiatan barunya."Hehehe, saya cuma iseng aja, Bu. Daripada gak ngapa-ngapain," terang Syakila kikuk."Udah ada endorse masuk belum?""Endorse apaan, Bu? Orang cuma live begituan siapa yang mau pake.""Ya udah. Kalau gitu, Ibu orang pertama yang akan pake jasa kamu. Mulai malam nanti, kamu live baju-baju dagangan Ibu, ya."Mata Syakila sedikit terbelalak. Bukan ia tak mau membantu bosnya itu, tetapi ia takut baju-baju yang ia pasarkan di platform itu tidak laku. Intinya ia takut gagal!"Tapi saya belum tahu caranya gimana, Bu. Kalau ada yang pesen bagaimana?" Itu hanya alasan saja. Sejauh ini Syakila sudah cukup mengerti perdagangan online. Akan tetapi, ia pura-pura gaptek, agar bosnya itu berpikir ulang."Udah, coba aja dulu.
Di sisi lain, dengan tekad dan keyakinan, Syakila mulai memulai streaming. Menjajakan beberapa baju yang ia bawa. Merapalkan doa-doa dalam hati, berharap usahanya membuahkan hasil. Nyatanya, realita tak sesuai ekspektasi.Apa yang sempat Syakila khawatirkan terjadi. Baju-baju dagangan Bu Sukoco yang di live tak banyak yang terjual.Awalnya Syakila berpikir positif. Mungkin karena dirinya masih pemula, sehingga butuh proses dan waktu untuk membuahkan hasil memuaskan.Namun, hal demikian berlarut pada live-live berikutnya. Malahan, semenjak Syakila menjual baju di dalam live-nya, jumlah penonton dan sawerannya semakin berkurang tiap harinya. Itupun banyak yang mengeluhkan dongeng yang Syakila ceritakan tak semenarik dulu."Sekarang jadi gak asik.""Jadi malas nonton.""Jangan sambil dagang dong, kayak dulu. Biar dongengnya lebih fokus dan menarik."Dan masih banyak lagi komen-komen yang membuat Syakila down.Mawar yang biasa bertaburan pun ikut meredup. Tersisa beberapa orang saja dan
"Dalam hidup ada dua pilihan. Mau menyerah, atau bertahan? Jika bertahan membuatmu sakit, maka menyerahlah. Tetapi, bila menyerah ternyata juga sulit, maka tinggalkan keduanya. Kamu tidak perlu menjadi lilin untuk bisa bermanfaat bagi kehidupan. Cukup menjadi air putih. Sederhana, tetapi besar manfaatnya untuk kehidupan."Syakila mendongak. Matanya mengerjap tak mengerti dengan apa yang di katakan Devan. Mata dengan hiasan bulu lentik alami itu memandang wajah Devan, membuat lelaki itu gemas. 'Kenapa tingkahnya lucu begitu?' batin Devan, saat sesekali mencuri pandang pada Syakila."Maksudnya apa, Mas?" tanya Syakila polos.Pria berambut belah pinggir ala-ala korea itu hanya menghela napas. "Lupakan! Memang susah ngomong sama anak kecil."Syakila mencebik. Selalu begitu setiap dirinya berbicara dengan Devan. Lelaki tampan yang berusia beberapa tahun di atasnya itu selalu menganggap ia anak kecil yang tak mengerti apapun."Ayok! Buruan!" pekik Devan."Ke mana?" Syakila pun ikut memekik
“Enggak! Gak kenal aku. Kakak kan tahu, aku gak suka sama platform itu," jawab Kamil berbohong.Pasti akan panjang ceritanya kalau Kamil menyebutkan siapa pemilik akun itu. Bukan bermaksud melindungi, tetapi dua tahun menjalin hubungan membuat Kamil merasa tak tega pada Syakila jika terus terusan diserang oleh kakak dan adiknya. Apalagi, selama dua tahun itu, Syakila selalu memperhatikan dan memperlakukan dirinya dengan baik."Eh, dia masih gak menyerah kak. Bebal juga nih orang. Serang lagi yuk, Kak!" ajak Jasmin yang masih memperhatikan Syakila."Mana?" sahut Yumna.Lalu Jasmin menunjukkan ponsel miliknya pada kakaknya itu."Iya. Dasar muka tembok!" caci Yumna."Udah deh, dari pada ngurusin orang yang gak kenal, mendingan kalian istirahat. Besok kamu harus sekolah loh, Jas." Kamil berusaha mencegah dua saudaranya yang akan kembali menyerang Syakila."Ah, Kak Kamil gak seru!" Jasmin beranjak seraya menghentakkan kakinya kesal."Tahu tuh, Kamil. Ganggu aja!" Yumna pun ikut sewot, dan