"Astaghfirullah, Mas. Kamu kenapa?" ....Syakila tertegun melihat Devan yang duduk di kursi tunggu rumah sakit dengan kondisi yang memprihatinkan. Wajahnya pucat, tangan kirinya memegang bahu yang terluka, dan pakaian Devan penuh dengan bekas percikan ledakan mobil. Namun, yang paling menyita perhatian Syakila adalah pandangan mata Devan yang tampak kosong dan dipenuhi dengan rasa bersalah."Mas Devan, kamu kenapa?" Syakila mengulangi pertanyaannya dengan suara bergetar, mendekat ke arah suaminya.Devan menoleh perlahan, senyum tipis yang dipaksakan muncul di wajahnya. "Aku baik-baik saja, Sayang. Hanya sedikit terbakar punggungnya, tapi tidak apa-apa. Yang penting Aira selamat.""Tidak, Mas! Ini tidak baik-baik saja!" Syakila langsung duduk di samping Devan, memeriksa bahu suaminya yang terlihat memerah dan mulai melepuh. "Kita harus panggil dokter untuk memeriksamu!"Devan menahan tangan Syakila, menggenggamnya erat. "Tidak perlu. Fokus kita sekarang adalah Aira. Aku tidak akan bis
"Saudara Renata!" Suara tegas seorang polisi membuat Renata tersentak dari lamunannya. Ia menoleh, melihat dua polisi berseragam lengkap berdiri di depannya. Tatapan mereka keras, tanpa ada belas kasih."Iya, saya Renata," jawab Renata dengan suara bergetar, meski mencoba tetap tenang."Kami menerima laporan tentang penculikan anak dan tindakan kelalaian yang membahayakan nyawa. Anda kami minta untuk ikut ke kantor polisi untuk penyelidikan lebih lanjut," ujar salah satu polisi dengan nada dingin.Renata merasa seolah dunia berputar. "Tidak, ini pasti salah paham! Saya tidak menculik Aira! Dia hanya bersama saya karena—""Kami sudah berbicara dengan Pak Devan," potong polisi itu tegas. "Beliau yang melaporkan Anda."Wajah Renata pucat seketika. "Tidak mungkin ... Mas Devan melaporkan saya?" tanyanya dengan suara bergetar, berusaha tak percaya. Polisi lainnya menatap Renata tanpa ekspresi. "Ibu Renata, kami harus menjalankan prosedur. Tolong ikuti kami dengan tenang."Dengan tangan ya
"Kalian semua tidak akan lolos dari ini! Aku akan pastikan keluarga kalian merasakan akibat dari memperlakukan anakku seperti ini!" Setelah mengatakan itu Rosa pergi meninggalkan rumah sakit dengan bara dendam yang membara. Entah apa yang akan wanita tua itu lakukan, yang jelas kehidupan Devan dan Syakila belum bisa dikatakan tenang. Setelah Renata, Jasmin, Yumna dan yang lainnya masih ada Rosa dan entah siapa lagi nantinya. Bukankah hidup selalu saja ada cobaannya? Tinggal bagaimana kita menghadapi setiap cobaan itu sehingga kita bisa melewatinya dengan ketenangan dan tentunya senantiasa mengingat Tuhan, bahwa Dia selalu mempunyai jalan keluarnya. "Mas Devan ..." "Tenanglah, semua akan baik-baik saja." Devan membawa Syakila ke dalam pelukan untuk menenangkannya. *** Beberapa hari mendapat perawatan, Aira sudah diperbolehkan pulang. Kesedihan dan ketakutannya berangsur hilang. Dia sudah kembali ceria, tetapi dia masih harus menemui psikiater untuk menghilangkan traumanya. "A
Cup! Devan membungkam bibir Syakila karena tidak ingin mendapat bantahan. Mata Syakila terbelalak mendapat serangan tiba-tiba itu. Namun, dia akhirnya paham bahwa suaminya itu tak suka dengan bantahan. "Mengerti 'kan, Sayang," ucap Devan setelah melepaskan kecupannya. "Keinginanmu adalah perintah bagiku, Tuan." Syakila menyahuti dengan agak jengkel karena ia juga ingin melihat tamu siapa yang membuat heboh di luar sana. "Ha ha ha, kau sangat cantik kalau lagi cemberut begitu. Apa---"2024-10-21 "Sssttt, jangan berisik, Mas. Nanti Aira bangun." Syakila memotong ucapan Devan. "Iya baiklah, aku keluar dulu ya. Ingat, kamu langsung ke kamar saja. Nanti Mas akan minta tolong sama bibi untuk menemani Aira." "Iya." Cup! Sekali lagi Devan mendaratkan bibirnya pada bibir Syakila. Namun kali ini hanya sekilas sebelum akhirnya beranjak dan keluar dari kamar Aira. Sementara Syakila mencebik, tetapi detik berikutnya dia tersenyum. 'Ya Allah, jagalah rumah tanggaku dari seg
Devan melesat menuju kamar, meninggalkan tamu dan kardus yang belum sempat ia periksa. Pikirannya kalut, langkah kakinya terasa begitu berat setiap kali suara jeritan Syakila bergema di telinganya. Dalam detik yang terasa seperti berabad-abad, Devan sampai di pintu kamar dan menemukannya dalam keadaan terbuka lebar. Ia melihat Syakila duduk terdiam di ujung tempat tidur, tubuhnya bergetar hebat. Wajahnya pucat pasi seperti baru melihat sesuatu yang mengerikan. Devan menghampiri dan memegang kedua bahunya. "Sayang, apa yang terjadi?" tanyanya lembut, mencoba mengendalikan kegelisahan yang mulai memenuhi dirinya. Syakila masih terdiam, pandangannya kosong menatap layar handphone di tangannya. Devan menelan ludah, menahan rasa takut yang semakin mendesak. Perlahan, ia mengambil handphone dari tangan istrinya. Dengan hati-hati, Devan melihat foto yang barusan diterima Syakila. Matanya menyipit. Sebuah foto yang menampilkan sosok pria yang ia kenali dengan baik: dirinya sendiri—t
"Aku harus tahu siapa yang berani mengancam kita." Devan bersandar di sisi ranjang, tangan mengepal di genggaman. "Mas, kamu merasa gak pesan-pesan dan teror itu saling bersautan?Rasanya, mereka sudah lama memperhatikan kita." Syakila menyuarakan kecurigaannya dengan nada tenang tapi tajam, menunjukkan bahwa dia juga mulai menganalisis situasi. “Kamu benar, Sayang. Ini bukan ancaman acak. Mereka jelas mengetahui seluk beluk keluarga kita.” Devan berucap dengan matanya berkilat penuh amarah. “Lalu kenapa tidak langsung bertindak sekarang, Mas? Semakin kita tahu pelakunya semakin cepat hidup kita tenang.” “Jika kita bereaksi terburu-buru, mereka bisa menghilangkan jejak. Kita butuh informasi lebih dulu.” Devan menatap Syakila, seolah memberinya peringatan untuk tetap tenang. “Lantas, apa rencana Mas selanjutnya?” “Orang ini mengincar kelemahan kita.” Devan merenung sesaat, sebelum melanjutkan, “Jika mereka tahu tentang Aira, pasti ada kaitan antara ancaman ini dengan masa l
"Innalilahi wainnailaihi roji'un. Baik, saya akan segera ke sana ..."Keinginan untuk membeli sarapan terpaksa ia urungkan. Kakinya mengayun cepat menuju parkiran dan menghidupkan mobil tergesa setelah dia masuk ke dalamnya.Tak berselang lama mobil Kamil telah sampai di halaman rumah sakit di mana Della dirawat. Dia tergesa mencari dokter yang menangani Della."Apa yang telah terjadi, Dok? Bukankah seharusnya Della baik-baik saja? Tapi kenapa ..." Kamil memberondong pertanyaan begitu bertemu dengan dokter yang mengobati mantan istrinya."Maaf, Pak Kamil, kami sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk Bu Della, tetapi sepertinya Tuhan berkehendak lain. Kami turut berdukacita, Pak."Kamil menghela napasnya. Apa yang dikatakan dokter sepenuhnya adalah benar. Jodoh, maut, sesungguhnya mutlak kuasa Allah. Untuk itu Kamil harus bisa berlapang dada merelakan mantan istrinya itu pergi untuk selamanya."Setelah tanda tangan, kami akan segera melakukan otopsi untuk mengetahui penyebabnya."
"Mas ... Lihatlah. Bukankah ini Bu Rosa?" Syakila menyodorkan handphone miliknya pada Devan saat tak sengaja melihat unggahan Rosa di sosial media lewat berandanya.Devan memperhatikan foto itu. "Iya, benar. Kenapa, Sayang?" Bagi Devan tak ada yang aneh. Hanya foto biasa di mana Rosa sedang berdiri di antara deretan boneka yang kemungkinan berada di sebuah toko boneka."Ish! Coba perhatikan sekelilingnya ... Banyak boneka, Mas. Bahkan ada yang besar seperti manusia."Devan yang sedang mengganti bajunya dengan piyama tetap santai menanggapi, "Kenapa? Kamu pengen boneka besar? Besok Mas beliin, ya. Banyak kok di pusat perbelanjaan.""Mas Devan ini! Bukan itu!" "Lalu?""Apakah sebuah kebetulan Bu Rosa berada di toko boneka setelah sebelumnya kita juga mendapat teror boneka? Kalau dilihat dari jam postingannya menunjukkan tiga hari lalu. Artinya satu hari sebelum teror itu datang ke rumah kita."Barulah Devan terpaku. Gerakannya terhenti seketika, lalu sejurus kemudian menoleh dan mendek