"Kalian semua tidak akan lolos dari ini! Aku akan pastikan keluarga kalian merasakan akibat dari memperlakukan anakku seperti ini!" Setelah mengatakan itu Rosa pergi meninggalkan rumah sakit dengan bara dendam yang membara. Entah apa yang akan wanita tua itu lakukan, yang jelas kehidupan Devan dan Syakila belum bisa dikatakan tenang. Setelah Renata, Jasmin, Yumna dan yang lainnya masih ada Rosa dan entah siapa lagi nantinya. Bukankah hidup selalu saja ada cobaannya? Tinggal bagaimana kita menghadapi setiap cobaan itu sehingga kita bisa melewatinya dengan ketenangan dan tentunya senantiasa mengingat Tuhan, bahwa Dia selalu mempunyai jalan keluarnya. "Mas Devan ..." "Tenanglah, semua akan baik-baik saja." Devan membawa Syakila ke dalam pelukan untuk menenangkannya. *** Beberapa hari mendapat perawatan, Aira sudah diperbolehkan pulang. Kesedihan dan ketakutannya berangsur hilang. Dia sudah kembali ceria, tetapi dia masih harus menemui psikiater untuk menghilangkan traumanya. "A
Cup! Devan membungkam bibir Syakila karena tidak ingin mendapat bantahan. Mata Syakila terbelalak mendapat serangan tiba-tiba itu. Namun, dia akhirnya paham bahwa suaminya itu tak suka dengan bantahan. "Mengerti 'kan, Sayang," ucap Devan setelah melepaskan kecupannya. "Keinginanmu adalah perintah bagiku, Tuan." Syakila menyahuti dengan agak jengkel karena ia juga ingin melihat tamu siapa yang membuat heboh di luar sana. "Ha ha ha, kau sangat cantik kalau lagi cemberut begitu. Apa---"2024-10-21 "Sssttt, jangan berisik, Mas. Nanti Aira bangun." Syakila memotong ucapan Devan. "Iya baiklah, aku keluar dulu ya. Ingat, kamu langsung ke kamar saja. Nanti Mas akan minta tolong sama bibi untuk menemani Aira." "Iya." Cup! Sekali lagi Devan mendaratkan bibirnya pada bibir Syakila. Namun kali ini hanya sekilas sebelum akhirnya beranjak dan keluar dari kamar Aira. Sementara Syakila mencebik, tetapi detik berikutnya dia tersenyum. 'Ya Allah, jagalah rumah tanggaku dari seg
Devan melesat menuju kamar, meninggalkan tamu dan kardus yang belum sempat ia periksa. Pikirannya kalut, langkah kakinya terasa begitu berat setiap kali suara jeritan Syakila bergema di telinganya. Dalam detik yang terasa seperti berabad-abad, Devan sampai di pintu kamar dan menemukannya dalam keadaan terbuka lebar. Ia melihat Syakila duduk terdiam di ujung tempat tidur, tubuhnya bergetar hebat. Wajahnya pucat pasi seperti baru melihat sesuatu yang mengerikan. Devan menghampiri dan memegang kedua bahunya. "Sayang, apa yang terjadi?" tanyanya lembut, mencoba mengendalikan kegelisahan yang mulai memenuhi dirinya. Syakila masih terdiam, pandangannya kosong menatap layar handphone di tangannya. Devan menelan ludah, menahan rasa takut yang semakin mendesak. Perlahan, ia mengambil handphone dari tangan istrinya. Dengan hati-hati, Devan melihat foto yang barusan diterima Syakila. Matanya menyipit. Sebuah foto yang menampilkan sosok pria yang ia kenali dengan baik: dirinya sendiri—t
"Aku harus tahu siapa yang berani mengancam kita." Devan bersandar di sisi ranjang, tangan mengepal di genggaman. "Mas, kamu merasa gak pesan-pesan dan teror itu saling bersautan?Rasanya, mereka sudah lama memperhatikan kita." Syakila menyuarakan kecurigaannya dengan nada tenang tapi tajam, menunjukkan bahwa dia juga mulai menganalisis situasi. “Kamu benar, Sayang. Ini bukan ancaman acak. Mereka jelas mengetahui seluk beluk keluarga kita.” Devan berucap dengan matanya berkilat penuh amarah. “Lalu kenapa tidak langsung bertindak sekarang, Mas? Semakin kita tahu pelakunya semakin cepat hidup kita tenang.” “Jika kita bereaksi terburu-buru, mereka bisa menghilangkan jejak. Kita butuh informasi lebih dulu.” Devan menatap Syakila, seolah memberinya peringatan untuk tetap tenang. “Lantas, apa rencana Mas selanjutnya?” “Orang ini mengincar kelemahan kita.” Devan merenung sesaat, sebelum melanjutkan, “Jika mereka tahu tentang Aira, pasti ada kaitan antara ancaman ini dengan masa l
"Innalilahi wainnailaihi roji'un. Baik, saya akan segera ke sana ..."Keinginan untuk membeli sarapan terpaksa ia urungkan. Kakinya mengayun cepat menuju parkiran dan menghidupkan mobil tergesa setelah dia masuk ke dalamnya.Tak berselang lama mobil Kamil telah sampai di halaman rumah sakit di mana Della dirawat. Dia tergesa mencari dokter yang menangani Della."Apa yang telah terjadi, Dok? Bukankah seharusnya Della baik-baik saja? Tapi kenapa ..." Kamil memberondong pertanyaan begitu bertemu dengan dokter yang mengobati mantan istrinya."Maaf, Pak Kamil, kami sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk Bu Della, tetapi sepertinya Tuhan berkehendak lain. Kami turut berdukacita, Pak."Kamil menghela napasnya. Apa yang dikatakan dokter sepenuhnya adalah benar. Jodoh, maut, sesungguhnya mutlak kuasa Allah. Untuk itu Kamil harus bisa berlapang dada merelakan mantan istrinya itu pergi untuk selamanya."Setelah tanda tangan, kami akan segera melakukan otopsi untuk mengetahui penyebabnya."
"Mas ... Lihatlah. Bukankah ini Bu Rosa?" Syakila menyodorkan handphone miliknya pada Devan saat tak sengaja melihat unggahan Rosa di sosial media lewat berandanya.Devan memperhatikan foto itu. "Iya, benar. Kenapa, Sayang?" Bagi Devan tak ada yang aneh. Hanya foto biasa di mana Rosa sedang berdiri di antara deretan boneka yang kemungkinan berada di sebuah toko boneka."Ish! Coba perhatikan sekelilingnya ... Banyak boneka, Mas. Bahkan ada yang besar seperti manusia."Devan yang sedang mengganti bajunya dengan piyama tetap santai menanggapi, "Kenapa? Kamu pengen boneka besar? Besok Mas beliin, ya. Banyak kok di pusat perbelanjaan.""Mas Devan ini! Bukan itu!" "Lalu?""Apakah sebuah kebetulan Bu Rosa berada di toko boneka setelah sebelumnya kita juga mendapat teror boneka? Kalau dilihat dari jam postingannya menunjukkan tiga hari lalu. Artinya satu hari sebelum teror itu datang ke rumah kita."Barulah Devan terpaku. Gerakannya terhenti seketika, lalu sejurus kemudian menoleh dan mendek
"Breaking news pagi ini. Telah ditemukan mayat seorang laki-laki tanpa identitas di dalam mobil yang terparkir di sebuah gedung apartemen. Polisi sudah memeriksanya. Dugaan sementara penyebabnya adalah sebuah racun yang sengaja ia minum untuk mengakhiri hidupnya. Dugaan itu diperkuat dengan adanya sebuah surat yang ditemukan di tangannya. Sebuah surat permintaan maaf untuk seseorang yang telah disakitinya. Namun, polisi masih terus mendalami kasus ini."Di sebuah stasiun televisi swasta Indonesia baru saja mengabarkan sebuah berita mengejutkan.Semua anggota keluarga Devan terkejut melihat berita itu. Apalagi gambar mayat yang terpampang di televisi itu seperti tak asing bagi Devan. Namun, ia lupa siapa nama itu."Ada-ada saja, ya, manusia jaman sekarang. Yang sudah tua saja ingin diberikan umur panjang, lah kok yang masih muda malah memilih mengakhiri hidupnya." Bamantara orang yang pertama kali berkomentar."Begitulah hidup. Terkadang ada hal-hal yang menurut orang sepele, tapi bagi
"Mau apa kalian? Lepas!" Dion terus memberontak. "Kita berkenalan dulu sebentar. Biar makin akrab. Ya gak ...?" Salah satu dari mereka menjawab. "Betul. Bukankah tak kenal maka tak sayang?" timpal yang lain sembari mengelus pipi Dion yang kini sudah berada di sel tempat tidur mereka. Dion memalingkan wajahnya, mengelap pipinya menggunakan lengan baju karena jijik. Namun, seseorang itu justru menangkup kedua pipinya dengan lembut. Dion yang masih dipegang oleh dua orang itu tak berdaya. Dia hanya bisa mendongak pasrah saat wajahnya berhadapan dengan laki-laki berpawakan tinggi besar di depannya itu. "Tenanglah, Tampan. Kamu aman bersama kami di sini," ucap pria itu sembari menatap dengan tatapan seolah berhasrat. Dion bergidik ngeri. Jangan-jangan pria-pria perkasa di depannya ini adalah kaum pelangi. Membayangkan itu, dada Dion seketika berdegup kencang. "Lepaskan tanganmu. Dia milikku!" Tiba-tiba lelaki yang disebut ketua geng itu berucap dengan nada dingin. Seketika
"Mas Devan ...!" Suara Syakila melengking, dengan gerakan cepat ia memutar Devan, melindungi lelaki itu dengan dirinya sendiri.Jleb!Semuanya terjadi begitu cepat. Pisau tajam yang digenggam Kamil merobek keras lengan Syakila. Darah segar langsung membasahi kain bajunya.Devan terbelalak tak percaya dengan napas tercekat. "Syakila!" teriaknya dengan panik, tangannya menangkup tubuh istrinya yang sedikit limbung.Dor!Suara tembakan menggema di udara. Dalam hitungan detik Kamil terhuyung mundur. Tangannya yang memegang pisau perlahan melemah bersamaan dengan rasa bersalahnya terhadap Syakila. Dadanya seperti terbakar akibat timah panas yang masuk ke dalam tubuhnya. Darah mengalir deras dari bagian dada.Perlahan tubuh itu jatuh dengan bunyi berat ke tanah, tetapi matanya masih bisa melihat Syakila yang meringis menahan perih. Mungkin, ini adalah untuk terakhir kalinya ia dapat melihat wanita yang begitu didambanya."Maafkan aku Syakila ... Aku, a-aku men-cintai-mu," lirih Kamil dengan
Namun, detik berikutnya Kamil berubah pikiran, ia memutuskan untuk mengambil langkah nekat. Dengan tangan yang masih mencengkeram erat leher Shakila, dia menyeringai penuh keyakinan. "Kalau aku tidak bisa lolos, setidaknya aku akan membawa mereka semua ke neraka bersamaku!" gumamnya, menekan pedal kasih nggak habis. Mesin mobil meraung seperti binatang buas yang terluka, melaju kencang menuju brigade polisi. Syakila panik, tangannya reflek mencoba menggoyang-goyangkan setir agar laju mobil berubah arah, atau berhenti. "Kamil, jangan gila! Kau akan membunuh kita semua!""Memang itu yang aku inginkan. Ha ha ha!"Tangan Kamil memukul keras tangan Syakila yang mengganggu setir. "Kau diam saja, Sayang. Aku pastikan kita akan berakhir dalam keabadian sekarang.""Gak! Aku gak mau! Berhenti, Kamil!""Aku akan berhenti kalau kau mau berjanji untuk bersedia hidup bersamaku selamanya.""Dasar gila! Itu tidak akan terjadi." Syakila memukul-mukul lengan Kamil, tetapi pukulan kecil itu hanya dian
Kamil menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, memutarnya dengan mata yang menatap lurus ke depan seperti seekor ular yang siap menyemburkan bisanya. Tanpa ekspresi, dia mendekati Syakila yang masih memejamkan mata lalu membopongnya seperti karung beras, membawanya ke dalam mobil.Beberapa minggu lalu, ketika ia berhasil meracuni polisi yang berjaga kemudian kabur dari lapas, Kamil mendatangi salah satu anak buahnya yang tak tertangkap dan meminta mobil untuk dikendarai. Dibantu oleh anak buahnya itulah akhirnya Kamil berhasil menyelinap ke vila yang disewa Devan, menyamar sebagai penjaga keamanan di sana setelah berhasil membuat penjaga aslinya harus cuti.Dalam hatinya, Kamil bertekad untuk dapat bersatu dengan Syakila, apapun caranya. Jika dia tak bisa memiliki, maka orang lainpun tak ada yang boleh memiliki. Jika tak bisa bersatu di dunia, di alam lain pun Kamil tak keberatan. Dan kini, laki-laki yang jiwanya terganggu itu telah bersiap untuk melakukan sesuatu.****"Pasti ada
"Syakila ..." Telinga tajam Devan dapat mendengar suara gelas yang jatuh. Gegas pria bergaya rambut Taper Fade itu naik ke atas kolam dan berjalan ke dapur, tanpa peduli cipratan air yang berjatuhan di lantai."Sayang, kamu gak pa-pa?" teriaknya terus berjalan.Sunyi. Tak ada jawaban apapun. Langkahnya semakin cepat dan pasti. Namun, ketika sampai dapur, tak ada siapapun di sana. Hanya pecahan gelas yang berserakan di lantai.Devan panik. Seketika ia mengitari sekitaran sambil terus memanggil istri tercintanya."Syakila ...""Sayang, kamu di mana?"Terus mencari ke setiap ruangan di vila, tetapi hasilnya nihil. "Sayang, bercandanya gak lucu loh. Kamu di mana ?" Devan masih berfikir positif. Mungkin istrinya ingin bermain-main dengannya."Sayang, ayolah. Keluar dong. Aku dah kedinginan nih, mau ganti baju. Temenin yuk." Devan terus berbicara sendiri sambil terus mencari.Hampir seluruh ruangan ia datangi, dan hasilnya tetap kosong. Panik, Devan mulai sangat panik. Apa yang terjadi de
"Kenapa seperti ada yang mengikuti ya?" gumamnya, lalu menoleh ke belakang. Tetapi tak ada siapapun di sana. Jalanan sepi."Mas, ayok!" teriak Syakila yang sudah lebih dulu berjalan."Eh, iya, Sayang." Devan terkesiap kemudian menyusul, ikut mengantri bersama sang istri.Beberapa orang yang juga membeli bubur mengajak mereka ngobrol. Ada yang sama-sama pendatang, ada juga yang asli penduduk setempat. Syakila dan Devan menyukai keramahan penduduk di sekitar villa yang mereka sewa."Ini buburnya, Neng," ucap si penjual bubur pada Syakila, setelah beberapa waktu mengantri."Iya, Mang. Terima kasih." Syakila menerima kantong kresek berisi bubur, sementara Devan yang membayarnya."Mari, Ibu-ibu, kami duluan," pamitnya pada ibu-ibu yang masih mengantri."Mari, Neng, A, selamat liburan ya, semoga sukses," sahut seseibu dengan lantang."Sukses apa nih, Bu?" Devan sengaja menanggapi, karena tertarik dengan misteri di balik kata 'sukses' itu."Ya sukses jadi belendung atuh, hamil teh. Apalagi c
"Sayang ... Ahh...."Untuk yang kedua kalinya Devan mencapai puncak kenikmatan bersama Syakila di villa. Sepasang suami istri itu benar-benar menikmati bulan madu kedua ini. Hampir tak terlewatkan oleh mereka aktivitas saling mencintai, dan memadu kasih begitu mereka sampai di tempat penginapan itu. Apalagi Devan memilih villa yang lumayan jauh dari keramaian. menurutnya agar aktivitas mereka lebih privasi. Tentu hal itu semakin membuat mereka semakin intens.Dua manusia berlawanan jenis itu masih tersengal dengan napas memburu di balik selimut putih yang menutupi tubuhnya. "Kau benar-benar hebat, Sayang. Terima kasih." Devan memberikan pujian pada sang istri karena berhasil mengimbangi permainannya yang brutal.Lelaki itu betul-betul merindukan momen ini. Bagaimana tidak? Kemarin-kemarin dia terpaksa harus puasa menjamah tubuh indah Syakila. Banyak kejadian tak terduga yang mereka alami."Sama-sama, Mas. Kamu juga hebat. Masih gagah seperti yang dulu," sahut Syakila dengan suara ber
"Bu, Opa, dan Oma, weekend besok aku sama Syakila ada rencana liburan ke villa. Eum, kalau boleh kita mau nitip Aira, gak lama kok, cuma dua hari." Dengan sedikit malu Devan meminta izin saat mereka sedang bersantai di depan televisi.Aira sendiri sudah lebih dulu terlelap ditemani mommy-nya di kamar. Jadi anak itu tidak protes ketika daddy-nya akan pergi berdua saja dengan sang mommy."Tentu saja boleh, Nak. Kalian memang perlu liburan setelah semua yang kalian alami," ucap Sukoco."Ibumu benar, Dev. Pergilah, buat hari-hari kalian menyenangkan." Bamantara menimpali."Sola Aira, kami siap menjaganya. Dia anak yang baik, pasti akan mengerti." Amber juga mengeluarkan pendapatnya."Terima kasih, semuanya. Aku akan beri tahu kabar ini pada Syakila." Devan terlihat bahagia. Bulan madu kedua ini pasti akan menyenangkan."Ah, bagaimana kalau kita ajak Aira menengok rumah kita, Sayang. Supaya dia tidak sedih kalau daddy dan mommy-nya pergi berlibur," usul Amber pada suaminya."Ide yang bagus
Devan memandang layar ponselnya dengan alis berkerut. "Panggilan tak terjawab?" gumamnya sambil membuka notifikasi. "Jo? Kok banyak banget panggilannya?" Ia menghela napas panjang, merasa bersalah telah melupakan handphonenya sejak sore tadi.Devan benar-benar tenggelam dalam waktu berkualitas bersama Syakila, sang istri. Mereka berdua memanfaatkan momen langka tanpa gangguan. Rasanya nyaman bisa menikmati hari hanya berdua, tanpa memikirkan urusan luar. Andai saja Aira, putri kecil mereka, tidak mengetuk pintu kamar untuk mengingatkan waktu sholat Maghrib, mungkin mereka masih saja berlama-lama berbincang di kamar.Kini, setelah sholat berjamaah bersama keluarga, Devan baru menyadari betapa banyak panggilan dari Jo. Ia mencoba menelepon balik, tetapi panggilannya tak dijawab."Kenapa, Mas?" suara lembut Syakila menyadarkannya. Wanita itu mendekat, membawa segelas teh hangat, lalu duduk di sampingnya di atas karpet ruang keluarga.Devan menunjukkan layar ponselnya. "Jo telepon berkali
Teriakan di luar membuat semua orang terhenti. Jo, Alex, dan anak buahnya langsung berlari mengejar, meninggalkan Devan, Syakila, dan Bamantara yang masih terkejut di dalam ruangan.“Bagaimana dia bisa kabur?!” Devan menggeram.“Mas, biarkan mereka yang urus,” ujar Syakila dengan suara gemetar, memegang lengannya.Devan menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, di matanya, api kemarahan terhadap Kamil belum padam.Di luar gedung, Kamil dengan kondisi babak belur berlari sekuat tenaga. Tali yang mengikat tangannya rupanya berhasil ia lepas dengan pisau kecil yang tersembunyi di sepatunya. Para pengejarnya masih mengejar dari belakang, namun Kamil menemukan sebuah celah di pagar dan melarikan diri ke jalan raya yang cukup gelap.Dia mengira dirinya aman, sampai sirine polisi tiba-tiba terdengar semakin mendekat. Sebuah mobil patroli berhenti tepat di hadapannya, membuatnya panik.“Angkat tanganmu!” teriak salah satu petugas sambil mengarahkan senjatanya.Namun, Kamil tid