"Aku setuju dengan rencana itu, Ma. Hanya saja ada yang membuatku khawatir sekarang. Dan aku sangat merasa gelisah." Renata duduk di tepian ranjang seraya memandang ke arah jendela."Apalagi?" "Bagaimana kalau Dion mengatakan pada polisi bahwa aku juga terlibat?""Memangnya kamu terlibat? Kamu kan cuma membuat ide. Siapa suruh mereka mau ekskusi. Ya kan?" Bukannya memberikan arahan baik, Rosa justru seperti melindungi perbuatan salah putrinya."Iya sih.""Sudahlah, kamu jangan pikirkan itu. Sekarang mama akan ke administrasi untuk mengurus kepulanganmu. Biar rencana kita segera terlaksana.""Iya, Ma."Rosa kembali pergi meninggalkan Renata. Seperti kata mamanya, Renata tak perlu merasa khawatir dengan kasus Dion dan Jasmin, dia juga tak perlu merasa bersalah sebab dia merasa dirinya tak melakukan apapun, meski dalang atau otak rencana itu adalah dia.Namun, kegelisahan di hatinya tak bisa dengan mudah ia lenyapkan, entah karena apa.***Renata duduk di sudut kafe, wajahnya serius me
Renata menatap barikade polisi di depannya dengan mata tajam. Jalan di depan tertutup, dan suara sirene semakin keras mendekat dari belakang. Dia tahu tak ada jalan keluar yang mudah. Namun, Renata bukan tipe orang yang mudah menyerah. Dalam hitungan detik, otaknya sudah berpikir cepat, mencari celah."Aira, tetap duduk tenang ya, sayang," bisiknya kepada gadis kecil di kursi belakang, yang mulai gelisah.“Kenapa ada polisi, Tante?” tanya Aira dengan nada polos, matanya menatap Renata penuh kebingungan.Renata menahan napas, mencoba menjaga suaranya tetap tenang. "Polisi hanya ingin memastikan kita aman. Kamu tidak perlu takut."Namun dalam hatinya, Renata tahu bahwa situasinya jauh dari aman. Ia harus menemukan jalan keluar, dan cepat.Tanpa berpikir dua kali, Renata membanting setir ke kanan, menuju jalan kecil di samping yang nyaris tak terlihat karena gelap. Mobilnya berbelok tajam, membuat Aira sedikit tersentak ke sisi kursi. Jalanan semakin sempit dan berbatu, tapi itu satu-sat
"Tante! Ada asap, Tante! Aira takut, Tante ... Aira mau pulang." Gadis cilik yang sudah ketakutan sejak tadi kembali merengek. Tangisnya kian kencang bersama getaran di badannya karena menggigil takut. Renata tak banyak bicara. Dia segera membuka pintu mobil dan keluar dengan tergesa. Duarrr! Terdengar ledakan kecil dari dalam mesin mobil, dan asap semakin mengepul. Renata segera membuka pintu mobil belakang di mana Aira berada. Namun, pintunya macet. Aira terjebak di dalam. "Aira ...!" panggil Renata seraya menepuk kaca mobil dan terus mencoba membuka handle-nya, tapi sulit. Renata mulai panik. "Aira ...! Tenanglah, Sayang." Dia kembali ke pintu depan, namun sial, pintunya ternyata sudah tertutup dan ikut tak bisa dibuka. "Apa yang sudah kamu lakukan, hah!" Devan tiba-tiba datang lalu menyingkirkan tubuh Renata dengan kasar sampai terjerambab ke tanah. Ayah Aira itu sangat panik mengetahui Aira masih berada di dalam mobil yang berasap. "Daddy ... Aira takut, Dad." Di dalam
"Astaghfirullah, Mas. Kamu kenapa?" ....Syakila tertegun melihat Devan yang duduk di kursi tunggu rumah sakit dengan kondisi yang memprihatinkan. Wajahnya pucat, tangan kirinya memegang bahu yang terluka, dan pakaian Devan penuh dengan bekas percikan ledakan mobil. Namun, yang paling menyita perhatian Syakila adalah pandangan mata Devan yang tampak kosong dan dipenuhi dengan rasa bersalah."Mas Devan, kamu kenapa?" Syakila mengulangi pertanyaannya dengan suara bergetar, mendekat ke arah suaminya.Devan menoleh perlahan, senyum tipis yang dipaksakan muncul di wajahnya. "Aku baik-baik saja, Sayang. Hanya sedikit terbakar punggungnya, tapi tidak apa-apa. Yang penting Aira selamat.""Tidak, Mas! Ini tidak baik-baik saja!" Syakila langsung duduk di samping Devan, memeriksa bahu suaminya yang terlihat memerah dan mulai melepuh. "Kita harus panggil dokter untuk memeriksamu!"Devan menahan tangan Syakila, menggenggamnya erat. "Tidak perlu. Fokus kita sekarang adalah Aira. Aku tidak akan bis
"Saudara Renata!" Suara tegas seorang polisi membuat Renata tersentak dari lamunannya. Ia menoleh, melihat dua polisi berseragam lengkap berdiri di depannya. Tatapan mereka keras, tanpa ada belas kasih."Iya, saya Renata," jawab Renata dengan suara bergetar, meski mencoba tetap tenang."Kami menerima laporan tentang penculikan anak dan tindakan kelalaian yang membahayakan nyawa. Anda kami minta untuk ikut ke kantor polisi untuk penyelidikan lebih lanjut," ujar salah satu polisi dengan nada dingin.Renata merasa seolah dunia berputar. "Tidak, ini pasti salah paham! Saya tidak menculik Aira! Dia hanya bersama saya karena—""Kami sudah berbicara dengan Pak Devan," potong polisi itu tegas. "Beliau yang melaporkan Anda."Wajah Renata pucat seketika. "Tidak mungkin ... Mas Devan melaporkan saya?" tanyanya dengan suara bergetar, berusaha tak percaya. Polisi lainnya menatap Renata tanpa ekspresi. "Ibu Renata, kami harus menjalankan prosedur. Tolong ikuti kami dengan tenang."Dengan tangan ya
"Kalian semua tidak akan lolos dari ini! Aku akan pastikan keluarga kalian merasakan akibat dari memperlakukan anakku seperti ini!" Setelah mengatakan itu Rosa pergi meninggalkan rumah sakit dengan bara dendam yang membara. Entah apa yang akan wanita tua itu lakukan, yang jelas kehidupan Devan dan Syakila belum bisa dikatakan tenang. Setelah Renata, Jasmin, Yumna dan yang lainnya masih ada Rosa dan entah siapa lagi nantinya. Bukankah hidup selalu saja ada cobaannya? Tinggal bagaimana kita menghadapi setiap cobaan itu sehingga kita bisa melewatinya dengan ketenangan dan tentunya senantiasa mengingat Tuhan, bahwa Dia selalu mempunyai jalan keluarnya. "Mas Devan ..." "Tenanglah, semua akan baik-baik saja." Devan membawa Syakila ke dalam pelukan untuk menenangkannya. *** Beberapa hari mendapat perawatan, Aira sudah diperbolehkan pulang. Kesedihan dan ketakutannya berangsur hilang. Dia sudah kembali ceria, tetapi dia masih harus menemui psikiater untuk menghilangkan traumanya. "A
Cup! Devan membungkam bibir Syakila karena tidak ingin mendapat bantahan. Mata Syakila terbelalak mendapat serangan tiba-tiba itu. Namun, dia akhirnya paham bahwa suaminya itu tak suka dengan bantahan. "Mengerti 'kan, Sayang," ucap Devan setelah melepaskan kecupannya. "Keinginanmu adalah perintah bagiku, Tuan." Syakila menyahuti dengan agak jengkel karena ia juga ingin melihat tamu siapa yang membuat heboh di luar sana. "Ha ha ha, kau sangat cantik kalau lagi cemberut begitu. Apa---"2024-10-21 "Sssttt, jangan berisik, Mas. Nanti Aira bangun." Syakila memotong ucapan Devan. "Iya baiklah, aku keluar dulu ya. Ingat, kamu langsung ke kamar saja. Nanti Mas akan minta tolong sama bibi untuk menemani Aira." "Iya." Cup! Sekali lagi Devan mendaratkan bibirnya pada bibir Syakila. Namun kali ini hanya sekilas sebelum akhirnya beranjak dan keluar dari kamar Aira. Sementara Syakila mencebik, tetapi detik berikutnya dia tersenyum. 'Ya Allah, jagalah rumah tanggaku dari seg
Devan melesat menuju kamar, meninggalkan tamu dan kardus yang belum sempat ia periksa. Pikirannya kalut, langkah kakinya terasa begitu berat setiap kali suara jeritan Syakila bergema di telinganya. Dalam detik yang terasa seperti berabad-abad, Devan sampai di pintu kamar dan menemukannya dalam keadaan terbuka lebar. Ia melihat Syakila duduk terdiam di ujung tempat tidur, tubuhnya bergetar hebat. Wajahnya pucat pasi seperti baru melihat sesuatu yang mengerikan. Devan menghampiri dan memegang kedua bahunya. "Sayang, apa yang terjadi?" tanyanya lembut, mencoba mengendalikan kegelisahan yang mulai memenuhi dirinya. Syakila masih terdiam, pandangannya kosong menatap layar handphone di tangannya. Devan menelan ludah, menahan rasa takut yang semakin mendesak. Perlahan, ia mengambil handphone dari tangan istrinya. Dengan hati-hati, Devan melihat foto yang barusan diterima Syakila. Matanya menyipit. Sebuah foto yang menampilkan sosok pria yang ia kenali dengan baik: dirinya sendiri—t
"Mas Devan ...!" Suara Syakila melengking, dengan gerakan cepat ia memutar Devan, melindungi lelaki itu dengan dirinya sendiri.Jleb!Semuanya terjadi begitu cepat. Pisau tajam yang digenggam Kamil merobek keras lengan Syakila. Darah segar langsung membasahi kain bajunya.Devan terbelalak tak percaya dengan napas tercekat. "Syakila!" teriaknya dengan panik, tangannya menangkup tubuh istrinya yang sedikit limbung.Dor!Suara tembakan menggema di udara. Dalam hitungan detik Kamil terhuyung mundur. Tangannya yang memegang pisau perlahan melemah bersamaan dengan rasa bersalahnya terhadap Syakila. Dadanya seperti terbakar akibat timah panas yang masuk ke dalam tubuhnya. Darah mengalir deras dari bagian dada.Perlahan tubuh itu jatuh dengan bunyi berat ke tanah, tetapi matanya masih bisa melihat Syakila yang meringis menahan perih. Mungkin, ini adalah untuk terakhir kalinya ia dapat melihat wanita yang begitu didambanya."Maafkan aku Syakila ... Aku, a-aku men-cintai-mu," lirih Kamil dengan
Namun, detik berikutnya Kamil berubah pikiran, ia memutuskan untuk mengambil langkah nekat. Dengan tangan yang masih mencengkeram erat leher Shakila, dia menyeringai penuh keyakinan. "Kalau aku tidak bisa lolos, setidaknya aku akan membawa mereka semua ke neraka bersamaku!" gumamnya, menekan pedal kasih nggak habis. Mesin mobil meraung seperti binatang buas yang terluka, melaju kencang menuju brigade polisi. Syakila panik, tangannya reflek mencoba menggoyang-goyangkan setir agar laju mobil berubah arah, atau berhenti. "Kamil, jangan gila! Kau akan membunuh kita semua!""Memang itu yang aku inginkan. Ha ha ha!"Tangan Kamil memukul keras tangan Syakila yang mengganggu setir. "Kau diam saja, Sayang. Aku pastikan kita akan berakhir dalam keabadian sekarang.""Gak! Aku gak mau! Berhenti, Kamil!""Aku akan berhenti kalau kau mau berjanji untuk bersedia hidup bersamaku selamanya.""Dasar gila! Itu tidak akan terjadi." Syakila memukul-mukul lengan Kamil, tetapi pukulan kecil itu hanya dian
Kamil menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, memutarnya dengan mata yang menatap lurus ke depan seperti seekor ular yang siap menyemburkan bisanya. Tanpa ekspresi, dia mendekati Syakila yang masih memejamkan mata lalu membopongnya seperti karung beras, membawanya ke dalam mobil.Beberapa minggu lalu, ketika ia berhasil meracuni polisi yang berjaga kemudian kabur dari lapas, Kamil mendatangi salah satu anak buahnya yang tak tertangkap dan meminta mobil untuk dikendarai. Dibantu oleh anak buahnya itulah akhirnya Kamil berhasil menyelinap ke vila yang disewa Devan, menyamar sebagai penjaga keamanan di sana setelah berhasil membuat penjaga aslinya harus cuti.Dalam hatinya, Kamil bertekad untuk dapat bersatu dengan Syakila, apapun caranya. Jika dia tak bisa memiliki, maka orang lainpun tak ada yang boleh memiliki. Jika tak bisa bersatu di dunia, di alam lain pun Kamil tak keberatan. Dan kini, laki-laki yang jiwanya terganggu itu telah bersiap untuk melakukan sesuatu.****"Pasti ada
"Syakila ..." Telinga tajam Devan dapat mendengar suara gelas yang jatuh. Gegas pria bergaya rambut Taper Fade itu naik ke atas kolam dan berjalan ke dapur, tanpa peduli cipratan air yang berjatuhan di lantai."Sayang, kamu gak pa-pa?" teriaknya terus berjalan.Sunyi. Tak ada jawaban apapun. Langkahnya semakin cepat dan pasti. Namun, ketika sampai dapur, tak ada siapapun di sana. Hanya pecahan gelas yang berserakan di lantai.Devan panik. Seketika ia mengitari sekitaran sambil terus memanggil istri tercintanya."Syakila ...""Sayang, kamu di mana?"Terus mencari ke setiap ruangan di vila, tetapi hasilnya nihil. "Sayang, bercandanya gak lucu loh. Kamu di mana ?" Devan masih berfikir positif. Mungkin istrinya ingin bermain-main dengannya."Sayang, ayolah. Keluar dong. Aku dah kedinginan nih, mau ganti baju. Temenin yuk." Devan terus berbicara sendiri sambil terus mencari.Hampir seluruh ruangan ia datangi, dan hasilnya tetap kosong. Panik, Devan mulai sangat panik. Apa yang terjadi de
"Kenapa seperti ada yang mengikuti ya?" gumamnya, lalu menoleh ke belakang. Tetapi tak ada siapapun di sana. Jalanan sepi."Mas, ayok!" teriak Syakila yang sudah lebih dulu berjalan."Eh, iya, Sayang." Devan terkesiap kemudian menyusul, ikut mengantri bersama sang istri.Beberapa orang yang juga membeli bubur mengajak mereka ngobrol. Ada yang sama-sama pendatang, ada juga yang asli penduduk setempat. Syakila dan Devan menyukai keramahan penduduk di sekitar villa yang mereka sewa."Ini buburnya, Neng," ucap si penjual bubur pada Syakila, setelah beberapa waktu mengantri."Iya, Mang. Terima kasih." Syakila menerima kantong kresek berisi bubur, sementara Devan yang membayarnya."Mari, Ibu-ibu, kami duluan," pamitnya pada ibu-ibu yang masih mengantri."Mari, Neng, A, selamat liburan ya, semoga sukses," sahut seseibu dengan lantang."Sukses apa nih, Bu?" Devan sengaja menanggapi, karena tertarik dengan misteri di balik kata 'sukses' itu."Ya sukses jadi belendung atuh, hamil teh. Apalagi c
"Sayang ... Ahh...."Untuk yang kedua kalinya Devan mencapai puncak kenikmatan bersama Syakila di villa. Sepasang suami istri itu benar-benar menikmati bulan madu kedua ini. Hampir tak terlewatkan oleh mereka aktivitas saling mencintai, dan memadu kasih begitu mereka sampai di tempat penginapan itu. Apalagi Devan memilih villa yang lumayan jauh dari keramaian. menurutnya agar aktivitas mereka lebih privasi. Tentu hal itu semakin membuat mereka semakin intens.Dua manusia berlawanan jenis itu masih tersengal dengan napas memburu di balik selimut putih yang menutupi tubuhnya. "Kau benar-benar hebat, Sayang. Terima kasih." Devan memberikan pujian pada sang istri karena berhasil mengimbangi permainannya yang brutal.Lelaki itu betul-betul merindukan momen ini. Bagaimana tidak? Kemarin-kemarin dia terpaksa harus puasa menjamah tubuh indah Syakila. Banyak kejadian tak terduga yang mereka alami."Sama-sama, Mas. Kamu juga hebat. Masih gagah seperti yang dulu," sahut Syakila dengan suara ber
"Bu, Opa, dan Oma, weekend besok aku sama Syakila ada rencana liburan ke villa. Eum, kalau boleh kita mau nitip Aira, gak lama kok, cuma dua hari." Dengan sedikit malu Devan meminta izin saat mereka sedang bersantai di depan televisi.Aira sendiri sudah lebih dulu terlelap ditemani mommy-nya di kamar. Jadi anak itu tidak protes ketika daddy-nya akan pergi berdua saja dengan sang mommy."Tentu saja boleh, Nak. Kalian memang perlu liburan setelah semua yang kalian alami," ucap Sukoco."Ibumu benar, Dev. Pergilah, buat hari-hari kalian menyenangkan." Bamantara menimpali."Sola Aira, kami siap menjaganya. Dia anak yang baik, pasti akan mengerti." Amber juga mengeluarkan pendapatnya."Terima kasih, semuanya. Aku akan beri tahu kabar ini pada Syakila." Devan terlihat bahagia. Bulan madu kedua ini pasti akan menyenangkan."Ah, bagaimana kalau kita ajak Aira menengok rumah kita, Sayang. Supaya dia tidak sedih kalau daddy dan mommy-nya pergi berlibur," usul Amber pada suaminya."Ide yang bagus
Devan memandang layar ponselnya dengan alis berkerut. "Panggilan tak terjawab?" gumamnya sambil membuka notifikasi. "Jo? Kok banyak banget panggilannya?" Ia menghela napas panjang, merasa bersalah telah melupakan handphonenya sejak sore tadi.Devan benar-benar tenggelam dalam waktu berkualitas bersama Syakila, sang istri. Mereka berdua memanfaatkan momen langka tanpa gangguan. Rasanya nyaman bisa menikmati hari hanya berdua, tanpa memikirkan urusan luar. Andai saja Aira, putri kecil mereka, tidak mengetuk pintu kamar untuk mengingatkan waktu sholat Maghrib, mungkin mereka masih saja berlama-lama berbincang di kamar.Kini, setelah sholat berjamaah bersama keluarga, Devan baru menyadari betapa banyak panggilan dari Jo. Ia mencoba menelepon balik, tetapi panggilannya tak dijawab."Kenapa, Mas?" suara lembut Syakila menyadarkannya. Wanita itu mendekat, membawa segelas teh hangat, lalu duduk di sampingnya di atas karpet ruang keluarga.Devan menunjukkan layar ponselnya. "Jo telepon berkali
Teriakan di luar membuat semua orang terhenti. Jo, Alex, dan anak buahnya langsung berlari mengejar, meninggalkan Devan, Syakila, dan Bamantara yang masih terkejut di dalam ruangan.“Bagaimana dia bisa kabur?!” Devan menggeram.“Mas, biarkan mereka yang urus,” ujar Syakila dengan suara gemetar, memegang lengannya.Devan menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, di matanya, api kemarahan terhadap Kamil belum padam.Di luar gedung, Kamil dengan kondisi babak belur berlari sekuat tenaga. Tali yang mengikat tangannya rupanya berhasil ia lepas dengan pisau kecil yang tersembunyi di sepatunya. Para pengejarnya masih mengejar dari belakang, namun Kamil menemukan sebuah celah di pagar dan melarikan diri ke jalan raya yang cukup gelap.Dia mengira dirinya aman, sampai sirine polisi tiba-tiba terdengar semakin mendekat. Sebuah mobil patroli berhenti tepat di hadapannya, membuatnya panik.“Angkat tanganmu!” teriak salah satu petugas sambil mengarahkan senjatanya.Namun, Kamil tid