Renata menatap barikade polisi di depannya dengan mata tajam. Jalan di depan tertutup, dan suara sirene semakin keras mendekat dari belakang. Dia tahu tak ada jalan keluar yang mudah. Namun, Renata bukan tipe orang yang mudah menyerah. Dalam hitungan detik, otaknya sudah berpikir cepat, mencari celah."Aira, tetap duduk tenang ya, sayang," bisiknya kepada gadis kecil di kursi belakang, yang mulai gelisah.“Kenapa ada polisi, Tante?” tanya Aira dengan nada polos, matanya menatap Renata penuh kebingungan.Renata menahan napas, mencoba menjaga suaranya tetap tenang. "Polisi hanya ingin memastikan kita aman. Kamu tidak perlu takut."Namun dalam hatinya, Renata tahu bahwa situasinya jauh dari aman. Ia harus menemukan jalan keluar, dan cepat.Tanpa berpikir dua kali, Renata membanting setir ke kanan, menuju jalan kecil di samping yang nyaris tak terlihat karena gelap. Mobilnya berbelok tajam, membuat Aira sedikit tersentak ke sisi kursi. Jalanan semakin sempit dan berbatu, tapi itu satu-sat
"Tante! Ada asap, Tante! Aira takut, Tante ... Aira mau pulang." Gadis cilik yang sudah ketakutan sejak tadi kembali merengek. Tangisnya kian kencang bersama getaran di badannya karena menggigil takut. Renata tak banyak bicara. Dia segera membuka pintu mobil dan keluar dengan tergesa. Duarrr! Terdengar ledakan kecil dari dalam mesin mobil, dan asap semakin mengepul. Renata segera membuka pintu mobil belakang di mana Aira berada. Namun, pintunya macet. Aira terjebak di dalam. "Aira ...!" panggil Renata seraya menepuk kaca mobil dan terus mencoba membuka handle-nya, tapi sulit. Renata mulai panik. "Aira ...! Tenanglah, Sayang." Dia kembali ke pintu depan, namun sial, pintunya ternyata sudah tertutup dan ikut tak bisa dibuka. "Apa yang sudah kamu lakukan, hah!" Devan tiba-tiba datang lalu menyingkirkan tubuh Renata dengan kasar sampai terjerambab ke tanah. Ayah Aira itu sangat panik mengetahui Aira masih berada di dalam mobil yang berasap. "Daddy ... Aira takut, Dad." Di dalam
"Astaghfirullah, Mas. Kamu kenapa?" ....Syakila tertegun melihat Devan yang duduk di kursi tunggu rumah sakit dengan kondisi yang memprihatinkan. Wajahnya pucat, tangan kirinya memegang bahu yang terluka, dan pakaian Devan penuh dengan bekas percikan ledakan mobil. Namun, yang paling menyita perhatian Syakila adalah pandangan mata Devan yang tampak kosong dan dipenuhi dengan rasa bersalah."Mas Devan, kamu kenapa?" Syakila mengulangi pertanyaannya dengan suara bergetar, mendekat ke arah suaminya.Devan menoleh perlahan, senyum tipis yang dipaksakan muncul di wajahnya. "Aku baik-baik saja, Sayang. Hanya sedikit terbakar punggungnya, tapi tidak apa-apa. Yang penting Aira selamat.""Tidak, Mas! Ini tidak baik-baik saja!" Syakila langsung duduk di samping Devan, memeriksa bahu suaminya yang terlihat memerah dan mulai melepuh. "Kita harus panggil dokter untuk memeriksamu!"Devan menahan tangan Syakila, menggenggamnya erat. "Tidak perlu. Fokus kita sekarang adalah Aira. Aku tidak akan bis
"Saudara Renata!" Suara tegas seorang polisi membuat Renata tersentak dari lamunannya. Ia menoleh, melihat dua polisi berseragam lengkap berdiri di depannya. Tatapan mereka keras, tanpa ada belas kasih."Iya, saya Renata," jawab Renata dengan suara bergetar, meski mencoba tetap tenang."Kami menerima laporan tentang penculikan anak dan tindakan kelalaian yang membahayakan nyawa. Anda kami minta untuk ikut ke kantor polisi untuk penyelidikan lebih lanjut," ujar salah satu polisi dengan nada dingin.Renata merasa seolah dunia berputar. "Tidak, ini pasti salah paham! Saya tidak menculik Aira! Dia hanya bersama saya karena—""Kami sudah berbicara dengan Pak Devan," potong polisi itu tegas. "Beliau yang melaporkan Anda."Wajah Renata pucat seketika. "Tidak mungkin ... Mas Devan melaporkan saya?" tanyanya dengan suara bergetar, berusaha tak percaya. Polisi lainnya menatap Renata tanpa ekspresi. "Ibu Renata, kami harus menjalankan prosedur. Tolong ikuti kami dengan tenang."Dengan tangan ya
"Kalian semua tidak akan lolos dari ini! Aku akan pastikan keluarga kalian merasakan akibat dari memperlakukan anakku seperti ini!" Setelah mengatakan itu Rosa pergi meninggalkan rumah sakit dengan bara dendam yang membara. Entah apa yang akan wanita tua itu lakukan, yang jelas kehidupan Devan dan Syakila belum bisa dikatakan tenang. Setelah Renata, Jasmin, Yumna dan yang lainnya masih ada Rosa dan entah siapa lagi nantinya. Bukankah hidup selalu saja ada cobaannya? Tinggal bagaimana kita menghadapi setiap cobaan itu sehingga kita bisa melewatinya dengan ketenangan dan tentunya senantiasa mengingat Tuhan, bahwa Dia selalu mempunyai jalan keluarnya. "Mas Devan ..." "Tenanglah, semua akan baik-baik saja." Devan membawa Syakila ke dalam pelukan untuk menenangkannya. *** Beberapa hari mendapat perawatan, Aira sudah diperbolehkan pulang. Kesedihan dan ketakutannya berangsur hilang. Dia sudah kembali ceria, tetapi dia masih harus menemui psikiater untuk menghilangkan traumanya. "A
Cup! Devan membungkam bibir Syakila karena tidak ingin mendapat bantahan. Mata Syakila terbelalak mendapat serangan tiba-tiba itu. Namun, dia akhirnya paham bahwa suaminya itu tak suka dengan bantahan. "Mengerti 'kan, Sayang," ucap Devan setelah melepaskan kecupannya. "Keinginanmu adalah perintah bagiku, Tuan." Syakila menyahuti dengan agak jengkel karena ia juga ingin melihat tamu siapa yang membuat heboh di luar sana. "Ha ha ha, kau sangat cantik kalau lagi cemberut begitu. Apa---"2024-10-21 "Sssttt, jangan berisik, Mas. Nanti Aira bangun." Syakila memotong ucapan Devan. "Iya baiklah, aku keluar dulu ya. Ingat, kamu langsung ke kamar saja. Nanti Mas akan minta tolong sama bibi untuk menemani Aira." "Iya." Cup! Sekali lagi Devan mendaratkan bibirnya pada bibir Syakila. Namun kali ini hanya sekilas sebelum akhirnya beranjak dan keluar dari kamar Aira. Sementara Syakila mencebik, tetapi detik berikutnya dia tersenyum. 'Ya Allah, jagalah rumah tanggaku dari seg
Devan melesat menuju kamar, meninggalkan tamu dan kardus yang belum sempat ia periksa. Pikirannya kalut, langkah kakinya terasa begitu berat setiap kali suara jeritan Syakila bergema di telinganya. Dalam detik yang terasa seperti berabad-abad, Devan sampai di pintu kamar dan menemukannya dalam keadaan terbuka lebar. Ia melihat Syakila duduk terdiam di ujung tempat tidur, tubuhnya bergetar hebat. Wajahnya pucat pasi seperti baru melihat sesuatu yang mengerikan. Devan menghampiri dan memegang kedua bahunya. "Sayang, apa yang terjadi?" tanyanya lembut, mencoba mengendalikan kegelisahan yang mulai memenuhi dirinya. Syakila masih terdiam, pandangannya kosong menatap layar handphone di tangannya. Devan menelan ludah, menahan rasa takut yang semakin mendesak. Perlahan, ia mengambil handphone dari tangan istrinya. Dengan hati-hati, Devan melihat foto yang barusan diterima Syakila. Matanya menyipit. Sebuah foto yang menampilkan sosok pria yang ia kenali dengan baik: dirinya sendiri—t
"Aku harus tahu siapa yang berani mengancam kita." Devan bersandar di sisi ranjang, tangan mengepal di genggaman. "Mas, kamu merasa gak pesan-pesan dan teror itu saling bersautan?Rasanya, mereka sudah lama memperhatikan kita." Syakila menyuarakan kecurigaannya dengan nada tenang tapi tajam, menunjukkan bahwa dia juga mulai menganalisis situasi. “Kamu benar, Sayang. Ini bukan ancaman acak. Mereka jelas mengetahui seluk beluk keluarga kita.” Devan berucap dengan matanya berkilat penuh amarah. “Lalu kenapa tidak langsung bertindak sekarang, Mas? Semakin kita tahu pelakunya semakin cepat hidup kita tenang.” “Jika kita bereaksi terburu-buru, mereka bisa menghilangkan jejak. Kita butuh informasi lebih dulu.” Devan menatap Syakila, seolah memberinya peringatan untuk tetap tenang. “Lantas, apa rencana Mas selanjutnya?” “Orang ini mengincar kelemahan kita.” Devan merenung sesaat, sebelum melanjutkan, “Jika mereka tahu tentang Aira, pasti ada kaitan antara ancaman ini dengan masa l