P.O.V Salsa
Aku terkikik geli melihat sang sekretaris s0ng0ng yang sombong sedang menggerutu sambil mencuci piring kotor bekas makanku.Ditambah kedatangan Naura yang terus merengek minta ditemenin main.Aku yakin, saat ini dia pasti tengah merutuki nasib apesnya, sebab mendapat serangan balasan tak terduga dariku."Kenapa sih, Sayang? Kok ketawanya begitu. Lihat apa, sih?" tanya Mas Zein penasaran. Kepalanya sampai melongok pada benda pipih di tanganku yang terhubung langsung dengan CCTV di rumah ini."Ini loh, sekretaris baru Mas, lucu," sahutku mendekatkan handphone padanya.Terlihat di layar persegi ini, Misyka sedang menenangkan Naura yang terus-menerus memanggilnya untuk segera bermain.Penampilannya sudah sangat kacau. Rambut lurus super mengkilapnya, acak-acakan. Kemeja panjang warna maroon dengan hiasan rempel di bagian kancingnya, sudah berantakan. Makeup-nya juga terlihat luntur."Kok ada Naura, Sayang?" tanya Mas Zein. Matanya masih menatap layar handphone, tapi wajahnya menengok padaku."Iya. Tadi aku yang telpon.""Maksudnya?" Mas Zein beralih sempurna menghadapku."Aku yang telpon Naura untuk keluar kamar, minta ditemenin Misyka kalau mau main, Mas," terangku.Aku memang menghubungi Naura melalui telpon rumah di kamarnya, ketika Mas Zein sedang fokus bekerja pada ponsel pintar miliknya.Meminta Naura untuk keluar kamar dan bermain dengan Misyka. Awalnya Naura menolak. Tapi, Setelah aku katakan kalau Misyka suka main kuda-kudaan, anak cantikku akhirnya bersedia, sebab Naura pun paling suka dengan permainan itu, dengan syarat tidak boleh memberi tahu di mana aku dan Mas Zein berada, serta harus menunggu pekerjaan Misyka selesai. "Ada-ada saja kamu ... Kalau nanti Misyka mengundurkan diri kamu yang tanggung jawab ya. Mas gak enak sama Pak Danu nanti," ucap Mas Zein setelah aku ceritakan bagaimana Naura bisa muncul di dapur."Gak bakal terjadi Mas. Tenang saja.""Bisa seyakin itu kamu, Dek?""Tentu saja. Aku tahu maksud kedatangan dia ke sini, Mas. Makanya aku bisa yakin kalau Misyka itu pasti tidak akan resign.""Memangnya apa tujuannya?""Apalagi kalau bukan caper sama Mas.""Caper?""Iya. Mas Zein kan ganteng, baik, punya duit, pasti banyak wanita yang suka."Mas Zein tertawa mendengar pujian dan pemikiranku tentang Misyka."Yang penting hati Mas cuma buat kamu seorang," rayunya mencubit hidungku."Maas ... Ih. Sakit tahu!" ujarku pura-pura merajuk."Iya, Maaf. Ya sudah, kamu istirahat dulu ya. Mas ke sofa dulu sebentar mau buka laptop." Mas Zein bergerak turun dari ranjang setelah mengacak pucuk rambutku.-----"Sayang ... Bangun, yuk. Shalat Zhuhur dan makan dulu."Samar-samar aku merasakan tepukan lembut pada pipiku.Due kelopak mata yang entah sejak kapan saling menaut ini, perlahan aku buka.Bayangan lelaki dengan garis wajah nyaris sempurna menjadi pemandangan pertama saat mata ini terbuka sempurna. Senyumnya merekah, memperlihatkan deretan gigi putih yang rapi dengan bibir merah alami. Sungguh, Mas Zein adalah anugerah terindah selain anakku."Bangun dulu, shalat Zhuhur. Udah mau abis loh waktunya. Kamu juga belum makan siang bukan?" ucap Mas Zein.Perlahan aku bergerak, meregangkan otot lalu duduk."Jam berapa sekarang, Mas? Aku ketiduran, ya?""Jam dua siang. Gak apa-apa, nanti habis shalat dan makan kamu boleh tidur lagi, kok."Beberapa detik kemudian aku teringat pada Misyka. Aku ketiduran, lalu apa yang terjadi padanya ya.Tunggu, rambut Mas Zein basah. Apa suamiku ini habis mandi? Tapi tidak biasanya Mas Zein mandi siang. Kalau sudah mandi pagi, maka mandinya lagi sore. Tapi ini, kok. Jangan-jangan ... Tidak. Aku tidak boleh berpikir buruk.CCTV, ya, aku harus melihat CCTV.Aku memindai kasur mencari handphone. Tapi kosong. Di bawah bantal pun tak ada."Cari apa sih, Dek?" "Handphone aku, Mas.""Itu." Mas Zein menunjuk nakas di mana benda persegi tergeletak di sana. "Baterainya habis. Itu lagi diisi daya dulu. Mau ngapain?""Misyka sama Naura, Mas. Terus kamu, apa yang terjadi selama aku tertidur?" tanyaku tanpa basa-basi."Misyka sudah pulang sejak tadi. Kalau Naura, sekarang lagi tidur siang setelah aku suapi makan. Kalau Mas, Mas sejak tadi temenin kamu sambil membalas email yang masuk."Aku memicingkan mata. Seketika perasaan tak enak menghinggapi."Jam berapa Misyka pulang, terus sama siapa, Mas?""Sekitar jam satu kayaknya. Pulangnya ya sendiri dong. Kan dia bawa mobil ke sini.""Beneran, bukan Mas yang antar?""Enggaklah, ngapain.""Beneran ..." kataku terdengar menyelidik."Iya. Kenapa sih?""Enggak! Awas ya kalau macam-macam.""Ya ampun istri tercintaku ... Mana mungkin Mas macam-macam, kalau sudah ada dua bidadari yang Mas miliki. Dan juga ada satu lagi calon bidadari atau jagoan di sini." Mas Zein mengelus perutku.Aku tersipu, Mas Zein memang selalu pintar mengembalikan moodku yang terkadang suka tiba-tiba buyar.Entah karena hormon kehamilan, atau karena aku sering baca novel online tentang perselingkuhan, perasaanku jadi lebih sensitif.Padahal sebelumnya aku tidak pernah menyimpan curiga apapun pada suamiku.Pun sekarang, harusnya aku tidak boleh berpikir hal-hal aneh tentang Mas Zein, sebab perhatian dan kasih sayangnya tidak pernah berubah sejak dulu."Hemmm ... Mulai deh bengongnya." Mas Zein menepuk pelan pundakku."Enggak bengong kok," elakku."Sudah semakin sore, sana ambil wudhu dulu.""Iya, Sayangnya aku ....""Mulai deh, genitnya. Sudah sana." Mas Zein kemudian bangkit dari duduknya.----Selepas shalat dan makan siang yang tertunda, aku duduk santai di taman depan bersama Mas Zein.Ditemani dua cangkir teh hangat, kami duduk bersisihan, bercerita tentang jenis kelamin calon bayi yang masih berada di rahimku."Aku berharap bayinya nanti laki-laki, biar bisa jagain aku sama Naura," ucapku."Apa saja yang penting kalian berdua sehat. Mas sudah sangat bahagia," sahut suamiku."Iya sih. Tapi kalau boleh minta, maunya cowok aja. Ceweknya udah ada Naura.""Semoga saja, ya."Mulutku sudah terbuka bersiap mengucapkan sesuatu, tetapi harus kembali aku tutup karena ponsel Mas Zein berdering.Dirogohnya saku celana pendek, Mas Zein mengambil benda yang sudah menyala.Aku tidak tahu siapa yang menelpon Mas Zein, karena aku tidak berhasil melihat dengan jelas nama yang tertera di layar itu.Mas Zein melirikku sekilas, lalu berdiri menjauh dari ku tanpa mengatakan apapun sambil menempelkan ponselnya di pipi."Kenapa menjauh? Biasanya gak pernah begitu," monologku heran."Apa aku nguping saja ya, dari pada penasaran.""Tapi gak, ah. Buat apa. Nanti juga ketahuan kalau ada yang dia sembunyikan dariku."Kuputuskan untuk berselancar di dumay saja untuk menghilangkan pikiran buruk tentang sikap Mas Zein barusan.Saat sedang asyik bergulir di aplikasi bergambar huruf, tak sengaja aku melihat foto wanita yang hari ini datang ke rumahku."Misyka? Sejak kapan aku berteman dengannya. Kenapa bisa muncul di berandaku," gumamku.Penasaran, aku klik gambar itu. Terlihat, Misyka sedang berpose cantik di sebuah kafe. Dengan caption 'menunggumu'."Bodo amatlah da mau ngapain."Mengabaikan Misyka, aku berniat masuk saja ke rumah. Mas Zein masih berbicara di telepon dengan entah siapa. Mungkin ada hal penting makanya agak lama.Baru beberapa langkah berjalan, Mas Zein memanggilku."Sayang, Mas pergi dulu bentar ya. Ada hal penting yang harus Mas urus.""Ke mana?""Eee ... Ke-mau ke kantor sebentar," jawab Mas Zein tergagap."Baiklah.""Terima kasih, Sayang, Mas pergi dulu." Meraih kepalaku lalu mencium sekilas pucuknya.Curiga? Tentu saja. Tapi untuk sementara, biar aku ikuti dulu permainan Mas Zein.Aku meneruskan langkah menuju rumah tanpa menunggu mobil Mas Zein melaju. Tiba-tiba ponsel digenggaman bergetar.Satu pesan masuk dari nomor tak dikenal. Pesan berisi sebuah foto.Aku berhenti sejenak untuk melihat isi foto itu. Foto SS percakapan seseorang yang berhasil membuatku mematung.[Saya lagi dijalan sebentar lagi sampai. Jangan kemana-mana. Tunggu.]Bukan hanya kalimat dalam foto itu yang membuat aku bagai tersambar petir, tetapi juga nomor pengirim yang tertera di sana.Aku hafal betul nomor itu. Nomor yang aku belikan dulu untuk suamiku, Mas Zein.Klakson pamit Mas Zein berhasil mengembalikkan tubuhku yang sempat mematung beberapa detik.Kepalaku pun reflek menengok pada mobil yang melaju melewati pagar yang dibiarkan terbuka begitu saja.Dengan gontai, aku harus menutup pagar sebab tak ada lagi orang di rumah ini selain Aku dan Naura.Selesai menutup pagar, handphone di tanganku kembali bergetar. Kali ini bahkan beberapa kali, menandakan pesan beruntun yang masuk.[Kamu kenal tangan yang memakai jam ini bukan?][Mungkin malam ini dia akan menghabiskan malam denganku][Gak apa-apa 'kan? Cuma satu malam, kok]Rasanya aku tahu siapa si pengirim pesan ini.Hammm, baiklah, akan aku ladeni.Belum selesai aku mengetik, pesan susulan sudah datang.[Kenapa? Kamu pasti kaget kan, suamimu bisa bersama denganku sekarang?][Ini belum seberapa. Kamu harus benar-benar menyiapkan mental untuk menghadapi kejutan-kejutan lainnya dari aku, Salsa!]Aku meremas benda berlayar menyala di tanganku.Setenang mungkin aku berjalan ke dalam rumah untuk
"Auw ...!""Ya ampun! Bu Salsa!" Rini memekik ketika melihatku merintih.Entah kenapa tiba-tiba perutku kram setelah melihat video Mas Zein bersama seorang wanita yang asing bagiku."Bu Salsa kenapa?" Asisten rumah tangga yang baru datang siang tadi itu terlihat cemas. Tergopoh dari arah dapur ia kemudian duduk di karpet dekat sofa tempat aku duduk. "Perut saya sedikit sakit, Rin. Sepertinya kram," ucapku meringis sambil memegang perut bagian bawah."Oalah, terus apa yang bisa saya bantu, Bu? Apa saya telpon ambulance saja?" "Tidak usah, nanti juga baikan sendiri. Saya cuma perlu istirahat saja.""Kalau begitu, mari saya antar ke kamar Ibu.""Baiklah, terima kasih."Kemudian aku dipapah oleh Rini masuk ke dalam kamar. Untunglah ada Rini, kalau tidak, aku pasti kewalahan menghadapi kram ini sendirian.Sesampainya di kamar dan berbaring, aku mengelus janin yang masih belum terbentuk sempurna di rahimku.Perasaan bersalah seketika menyinggahi hati."Maafkan Bunda, Sayang. Bunda terlal
"Pokoknya Pak Zein harus bertanggung jawab. Masa depanku sudah hancur sekarang."Dua hari pasca insiden yang menghebohkan jagad raya, di mana mobil yang dikendarai Mas Zein menabrak pohon, dengan kondisi Mas Zein dan seorang wanita ditemukan dalam keadaan setengah telanjang, Misyka datang bersama dua orang yang mengaku pengacaranya meraung meminta pertanggung jawaban pada suamiku.Ya, perempuan yang ditemukan tak sadarkan diri bersama suamiku adalah Misyka.Terkejut? Tentu saja! Tapi seperti permintaan Mas Zein, aku harus lebih percaya pada suamiku itu."Bagaimana, Pak Zein? Demi menjaga nama baik, saran saya sebaiknya Anda bertanggung jawab. Laki-laki baru akan disebut gentle apabila dia mau mengakui dan bertanggung jawab atas apa yang sudah ia perbuat. Apalagi klien saya banyak dirugikan dari insiden memalukan ini." Salah satu dari pengacara Misyka pun ikut mengeluarkan suara, memojokkon Mas Zein.Mata lelaki yang membersamaiku beberapa tahun itu tertuju padaku. Mata itu seolah meng
Sesuai ucapan mereka kemarin, pagi-pagi sekali cecunguk berkepala plontos itu datang kembali. Namun berbeda dari sebelumnya, kini pria tambun yang belum aku ketahui namanya itu datang sendiri.Wah, sepertinya akan sangat menyenangkan kali ini. Ya, walaupun akan jauh lebih seru kalau ada Misyka juga sebenarnya.Tapi tak apalah, satu persatu, perlahan akan aku tumbangkan mereka yang berani mengusik ketentramanku."Selamat pagi, Pak Zein, Bu Salsa. Saya datang membawa berkas perjanjian damai yang akan menguntungkan kedua belah pihak. Silakan dipelajari lalu tanda tangan di bawahnya." Dia menyodorkan map merah pada Mas Zein.Aku yang kebetulan sedang menyuapi Mas Zein sarapan, langsung menyambar map itu."Pegang, Mas," ucapku pada Mas Zein menyerahkan mangkuk berisi bubur. "Dihabiskan sendiri, ya. Aku mau ke sana sebentar," sambungku setelah mangkuk itu berpindah tangan.Kemudian aku mengajak Pria tambun itu menuju sofa.Setelah pria itu duduk, aku mengotak-atik sebentar handphone milikku
"Salsa, Sayang. Malam ini biar Mama yang jagain Zein di sini. Kamu istirahatlah di rumah. Naura juga sepertinya merindukanmu, Nak," titah Mama Rita--mertuaku.Habis Maghrib, tadi beliau datang bersama supirnya. Semenjak mengetahui Mas Zein kecelakaan, mertuaku itu langsung meluncur dari kota tempat suamiku dilahirkan ke sini dan menginap di rumahku menemani Naura."Emangnya gak pa-pa, Ma?" tanyaku sungkan."Iya, gak pa-pa dong, Sayang. Kasihan calon cucu Mama di sini." Mama mertua yang sudah seperti Mama kandungku itu mengelus perut ku."Gimana, Mas?" tanyaku pada Mas Zein."Iya, Mama benar. Istirahatlah di rumah. Di sini kamu pasti kurang cukup istirahat," sahut suamiku."Ya sudah, mumpung belum terlalu malam, pulanglah bersama Jono. Besok baru ke sini lagi," titah Mama Rita lagi."Ya udah, deh, makasih ya, Ma." Aku memeluk mama mertuaku dengan sayang.Barulah setelah itu aku pamit pada Mas Zein."Aku akan menghubungi Mas nanti. Takut Mas kangen," candaku."Genit." Mas Zein menoel h
Pengacara Misyka itu meberi tatapan tajam, lalu mencondongkan tubuhnya padaku sembari berucap penuh penekanan. "Jangan macam-macam dengan saya, Salsa. Kamu tidak tahu siapa saya sebenarnya. Saya bahkan bisa berbuat hal yang tidak pernah kamu duga!"Mungkin dia pikir aku akan takut dengan ancamannya itu.Dengan berani aku pun ikut membalas tatapan tajamnya serta menimpali ocehannya, "Simpel saja, Pak Aldo. Jangan usik ketenangan saya, maka saya juga tidak akan mengusik Anda. Gampang 'kan?"Pria itu justru terbahak mendengar ucapanku sehingga mengundang perhatian para pengunjung lainnya.Cukup lama dia melakukan itu. Dan aku tidak terpengaruh sama sekali."Come on, Bu Salsa. Suami Anda sudah tertangkap basah dengan seorang wanita. Kenapa Anda masih mau membelanya?" ujar Aldo setelah tawanya mulai mereda.Beberapa detik keheningan melanda.Aku sibuk mencari sesuatu yang akan aku tunjukkan pada si Aldo itu di handphone milikku. "Lihat ini dengan seksama Pak Aldo. Saya yakin Anda cukup ce
Waktu bergulir begitu cepat. Mas Zein sudah diperbolehkan pulang, setelah sebelumnya melakukan serangkaian tes untuk memastikan zat berbahaya di dalam tubuhnya hilang tak tersisa."Jadi bagaimana perkembangan masalah kamu dan sekretarismu itu. Apa sudah beres?" Mama Rita dan Mas Zein tengah mengobrol di kamar Mas Zein sehabis sarapan.Aku yang hendak membantu Mas Zein meminum obatnya berhenti dibalik pintu yang sedikit terbuka.Bukan bermaksud menguping, hanya penasaran saja. Apakah cerita yang akan Mas Zein sampaikan pada mamanya akan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya sudah aku ketahui, atau justru menutupinya.Samar-samar aku mendengar Mas Zein menjawab pertanyaan mama. Tapi jarak tempatku berada membuat suara Mas Zein tak begitu jelas di telingaku.Akhirnya demi bisa memenuhi rasa penasaran, aku memutuskan untuk ke kamar sebelah saja. Kamar kosong yang biasa ditempati tamu bila ada yang berkunjung.Aku berniat mendengar obrolan mereka dari CCTV. Di samping akan lebih jelas, a
"Zein? Jadi kamu ... Hemmm nguping ya?" ucap mama tersenyum simpul sambil menatapku.Aku nyengir kuda seraya menggaruk kepala yang tidak terasa gatal. "Ketahuan, deh.""Dasar kamu itu. Sini duduk." Mama menepuk sofa panjang yang beliau duduki.Aku pun segera melangkah, mendudukkan bokong tepat di samping mama sesuai perintah beliau.Melirik sekilas, mama Rita masih memperhatikan Mas Zein dari balik layar handphone milikku."Dari kecil Zein tidak pernah menghadapi masalah berat seorang diri. Almarhum papanya selalu menjadi garda terdepan ketika Zein mengalami masalah. Termasuk mama pun akan ikut andil menyelesaikan masalahnya." Mama mulai bersuara.Aku hanya diam, menunggu kalimat berikutnya yang akan mama sampaikan."Hal itulah yang sedikit Mama sesali sekarang. Zein tumbuh menjadi laki-laki yang sulit menyelesaikan masalahnya sendiri. Walaupun kami berhasil mendidik dia menjadi pria yang penyayang dan tidak suka kekerasan. Tapi hal itu justru sering dimanfaatkan oleh orang yang tidak