Pesan berisi informasi tentang semua kegiatanku dan kejadian kemarin berada di ponsel ini.Itu artinya Mas mengetahui hal buruk yang menimpaku, tapi kenapa dia dia saja seolah tidak merasa khawatir sama sekali?Seperti pagi ini, Mas Zein bersikap biasa saja. Bahkan ia tidak terlihat khawatir tentang aku yang diganggu preman kemarin. Tidak mungkin kan, pesan itu belum ia baca. Hingga ketika mengantar Mama pulang dari rumah sakit dan berangkat ke kantor pun, Mas Zein masih menyimpan semuanya dariku.Tak ingin ambil pusing, aku memilih abai agar tak menambah beban pikiran. Bersama Naura, aku memutuskan untuk menemani Mama saja di kamarnya."Hai cucu Oma yang cantik ... Sini sayang, Oma kangen." Mama Rita menyambut bahagia ketika melihat aku dan Naura memasuki kamar beliau.Naura juga ikut bahagia bertemu Omanya. Anak itu berlari, kemudian memeluk Omanya yang sedang duduk diatas ranjang. Sementara aku memilih untuk duduk di sofa yang tersedia di kamar yang mama tempati di rumahku ini.
"Zein? Ngapain dia di situ?" ucap mama tak kalah kaget dan heran.Aku masih terkesiap. Otakku masih mencari jawaban tentang pertanyaan yang sama mengenai kemunculan mas Zein yang mendadak di konferensi Misyka."Sal ---!" Mama memanggilku untuk sebuah tanya. Dan aku hanya bisa menjawab dengan gelengan."Biar Mama telpon si Zein.""Tunggu dulu, Ma. Kita lihat saja apa yang akan mas Zein lakukan di sana."Meskipun rasa penasaran begitu menggebu di dalam hati, tapi aku lebih memilih percaya dengan kedatangan mas Zein yang pastinya tidak akan merugikan dirinya sendiri.Pada layar televisi, kamera masih menyoroti mas Zein, Daniel, dan seorang pemuda yang belum aku kenal.Suasana cukup hening beberapa saat, seolah menanti ucapan yang akan kembali keluar dari salah satu dari ketiga orang yang berjalan dengan gagah. Semua pandangan tertuju pada ketiga lelaki yang kini sudah berada di depan meja dimana Misyka dan orang-orangnya berada."Tentukan dimana saya harus melakukan tes DNA itu. Semua bi
POV Author.Sepeninggal Zein dari gedung diadakannya konferensi oleh Misyka dan timnya, suana menjadi kacau balau. Beberapa wartawan mencemooh Misyka. Ada pula yang sibuk merekam wajah panik Aldo dan Misyka.Pak Aldo terus berusaha mematikan proyektornya, sementara Misyka sibuk berteriak memanggil sekuriti untuk membubarkan paparazi yang semakin gaduh."Demi Tuhan, saya difitnah. Video ini palsu. Laki-laki yang melecehkan saya adalah Zein. Zein yang ada di video ini." Misyka terus berteriak."Tolong ... Siapapun yang bisa mematikan proyektor sialan itu, tolong matikan. Saya tidak tahan!" Kini Misyka terlihat sangat kacau. Dia berjongkok seraya meremas rambutnya sendiri. Ia merasa frustasi. Merasa hidup tidaklah adil padanya. Belum selesai ia menanggung malu dengan kehamilan tanpa suami, kini dia juga harus bersiap menghadapi hujatan netizen yang maha benar.Rasanya kepala Misyka hampir meledak memikirkan hidupnya yang sudah hancur. Kariernya berantakan akibat ulahnya sendiri.Alih-al
“Mama, stop! Cukup, Ma.” Salsa terpaksa menghentikan amukan mertuanya pada Sumi karena wanita yang masih terikat itu terlihat tak berdaya.Napas Mama Rita memburu. Belum puas rasanya menghajar wanita yang berumur tiga tahun di bawahnya itu.Bagaimana mungkin wanita itu tega meracuni dirinya, sedangkan banyak kebaikan yang wanita itu tunjukkan padanya sehingga ia pun tak segan membalas dengan beribu kebaikan pada keluarga wanita yang bekerja dengan anaknya beberapa bulan terakhir itu.“Tampar saya, Bu. Hukum saja saya. Saya memang pantas mendapatkannya.” Bi Sumi berucap lemah. Linangan air mata membanjiri pipi keriputnya, seolah menyesali perbuatan yang sudah melukai majikannya.“Halah. Aktingmu gak mempan kali ini, Sum!” seru Mama Rita.“Sudah, sebaiknya kita pulang saja ya, Ma. Bi Sumi biar Mas Zein yang urus.” Salsa menenangkan.“Selamat membusuk di penjara, kamu!” ucap mama Rita pada bi Sumi.Setelahnya, menantu dan mertua itu meninggalkan Bi Sumi sendirian.“Zein, Mama mau menuntu
“Maafkan kami. Saya dan tim sudah berusaha semaksimal mungkin agar janin dalam kandungan istri Anda baik-baik saja. Namun, sang pemberi kehidupan berkehendak lain.”Perkataan dokter ketika berada di ruangan dokter itu selalu terngiang dalam otak Zein. Sedih, pilu, cemas, dan perasaan tak enak lainnya berkumpul menjadi satu di hati pria berpawakan tinggi tersebut.Ia harus kehilangan anak yang bahkan belum terbentuk sempurna dalam rahim sang istri.Jika dirinya merasa kehilangan begitu dalam, lalu bagaimana dengan istrinya? Yang selalu bersama janin itu selama hampir empat bulan.“Maafkan Mama, Zein. Mama gagal menjaga cucu kedua Mama,” ujar mama Rita. Ia terus menerus meminta maaf dan menyalahkan diri sendiri saat mengetahui bayi dalam kandungan Salsa tak tertolong.“Sudah, Ma. Jangan meminta maaf dan menyalahkan diri begitu. Semua sudah takdir. Zein ikhlas. Kalau Mama terus menyalahkan diri seperti ini, Zein khawatir Mama drop lagi. Mama gak kasian sama Zein?” sahut Zein lembut.Mer
Tak ada daun yang jatuh, tanpa kehendak-Nya.Tak ada ranting yang patah, tanpa kodrat-NYA.Manusia hidup di dunia, semua atas takdir-NYA.---------Pagi menyapa kala Salsa terbangun dari tidur lelap yang membuat Zein khawatir. Hal pertama yang ia tanyakan adalah bayi dalam perutnya."Apa dia baik-baik saja, Mas? Kenapa perutku terasa sedikit nyeri?" ujar Salsa lemah sembari mengelus perut bagian atas. Sedikit saja tangannya turun, maka ia akan menemukan tumpukan perban yang membalut jahitan.Benar. Setelah di kuretase, ternyata rahim Salsa juga mengalami cedera parah yang mengharuskan ia operasi pengangkatan rahim. Hal itu terpaksa harus dilakukan demi keselamatan Salsa. Entah seperti apa hidup Salsa selanjutnya setelah mengetahui fakta menyakitkan itu. Yang pasti, Zein berjanji pada dirinya sendiri akan selalu menemani sang istri apapun yang terjadi.Sesaat Zein terdiam. Dia mencoba merangkai kata yang pas untuk menyampaikan apa yang telah terjadi. Bukan dia tega, tetapi Zein tahu i
"Sayang, maaf ya agak lama. Tadi ngantri banget."Zein datang menenteng kantong plastik berisi styrofoam bubur ayam. Melirik sekilas pada Salsa, Zein kemudian membuka styrofoam dan bersiap menyuapi Salsa."Buka mulutnya, Sayang. Mas suapi ya." Zein sudah menyendok satu suap bubur ayam untuk Salsa.Namun, Salsa tak merespon. Pandangan Salsa kosong, lurus tanpa kedip. Saat di guncang tubuhnya pun hanya diam."Becandanya gak lucu, Sayang. Ayok, buka mulutnya." Zein masih berpikir positif, meskipun merasa ada yang tidak beres dengan keadaan istrinya."Sayang ....""Hei ....!"Salsa! Sayang! Kamu kenapa?" Zein mulai panik.Ia meletakkan bubur ayam begitu saja di sembarang tempat. Telapak tangannya menepuk-nepuk pipi Salsa, dan masih tak ada respon."Dokter. Dokter ... Dokter ...!!!" Zein berteriak kencang. Lama tak ada tanda-tanda dokter atau perawat datang, Zein berlari ke luar sambil memanggil-manggil dokter dengan kencang seperti orang kese tanan. Ia lupa, bahwa ada alat untuk memangg
Keadaan Salsa masih sama seperti seminggu yang lalu. Walaupun sudah pulang, ia masih belum merespon apapun orang di sampingnya. Matanya tetap kosong seperti tak ada gairah hidup. Hanya ketika Naura mengajak bicaralah mata Salsa sedikit bergerak. Itupun hanya sekilas, dengan mulut yang tetap tertutup rapat."Ayah, Bunda kenapa jadi pendiam sih? Kenapa gak mau peluk Naura lagi?" tanya Naura sedih. Pasalnya, sejak bundanya pulang dari rumah sakit, Naura belum pernah lagi mendengar suara bundanya.Keadaan Zein sebenarnya tidak kalah menyedihkan. Namun, demi sang anak dia berusaha menutupi semuanya. Zein juga harus menjaga kesehatan untuk bisa merawat Salsa."Kan Bunda masih sakit, Sayang. Badan Bunda masih lemes, makanya belum bisa peluk Naura. Sekarang dipeluk Ayah dulu ya," ujar Zein seraya memeluk putri semata wayangnya penuh kasih.Setelah Salsa kehilangan rahimnya, Zein berkali-kali lipat menyayangi Naura, sebab dialah satu-satunya anak yang terlahir dari rahim wanita yang dicintai Z