“Mama, stop! Cukup, Ma.” Salsa terpaksa menghentikan amukan mertuanya pada Sumi karena wanita yang masih terikat itu terlihat tak berdaya.Napas Mama Rita memburu. Belum puas rasanya menghajar wanita yang berumur tiga tahun di bawahnya itu.Bagaimana mungkin wanita itu tega meracuni dirinya, sedangkan banyak kebaikan yang wanita itu tunjukkan padanya sehingga ia pun tak segan membalas dengan beribu kebaikan pada keluarga wanita yang bekerja dengan anaknya beberapa bulan terakhir itu.“Tampar saya, Bu. Hukum saja saya. Saya memang pantas mendapatkannya.” Bi Sumi berucap lemah. Linangan air mata membanjiri pipi keriputnya, seolah menyesali perbuatan yang sudah melukai majikannya.“Halah. Aktingmu gak mempan kali ini, Sum!” seru Mama Rita.“Sudah, sebaiknya kita pulang saja ya, Ma. Bi Sumi biar Mas Zein yang urus.” Salsa menenangkan.“Selamat membusuk di penjara, kamu!” ucap mama Rita pada bi Sumi.Setelahnya, menantu dan mertua itu meninggalkan Bi Sumi sendirian.“Zein, Mama mau menuntu
“Maafkan kami. Saya dan tim sudah berusaha semaksimal mungkin agar janin dalam kandungan istri Anda baik-baik saja. Namun, sang pemberi kehidupan berkehendak lain.”Perkataan dokter ketika berada di ruangan dokter itu selalu terngiang dalam otak Zein. Sedih, pilu, cemas, dan perasaan tak enak lainnya berkumpul menjadi satu di hati pria berpawakan tinggi tersebut.Ia harus kehilangan anak yang bahkan belum terbentuk sempurna dalam rahim sang istri.Jika dirinya merasa kehilangan begitu dalam, lalu bagaimana dengan istrinya? Yang selalu bersama janin itu selama hampir empat bulan.“Maafkan Mama, Zein. Mama gagal menjaga cucu kedua Mama,” ujar mama Rita. Ia terus menerus meminta maaf dan menyalahkan diri sendiri saat mengetahui bayi dalam kandungan Salsa tak tertolong.“Sudah, Ma. Jangan meminta maaf dan menyalahkan diri begitu. Semua sudah takdir. Zein ikhlas. Kalau Mama terus menyalahkan diri seperti ini, Zein khawatir Mama drop lagi. Mama gak kasian sama Zein?” sahut Zein lembut.Mer
Tak ada daun yang jatuh, tanpa kehendak-Nya.Tak ada ranting yang patah, tanpa kodrat-NYA.Manusia hidup di dunia, semua atas takdir-NYA.---------Pagi menyapa kala Salsa terbangun dari tidur lelap yang membuat Zein khawatir. Hal pertama yang ia tanyakan adalah bayi dalam perutnya."Apa dia baik-baik saja, Mas? Kenapa perutku terasa sedikit nyeri?" ujar Salsa lemah sembari mengelus perut bagian atas. Sedikit saja tangannya turun, maka ia akan menemukan tumpukan perban yang membalut jahitan.Benar. Setelah di kuretase, ternyata rahim Salsa juga mengalami cedera parah yang mengharuskan ia operasi pengangkatan rahim. Hal itu terpaksa harus dilakukan demi keselamatan Salsa. Entah seperti apa hidup Salsa selanjutnya setelah mengetahui fakta menyakitkan itu. Yang pasti, Zein berjanji pada dirinya sendiri akan selalu menemani sang istri apapun yang terjadi.Sesaat Zein terdiam. Dia mencoba merangkai kata yang pas untuk menyampaikan apa yang telah terjadi. Bukan dia tega, tetapi Zein tahu i
"Sayang, maaf ya agak lama. Tadi ngantri banget."Zein datang menenteng kantong plastik berisi styrofoam bubur ayam. Melirik sekilas pada Salsa, Zein kemudian membuka styrofoam dan bersiap menyuapi Salsa."Buka mulutnya, Sayang. Mas suapi ya." Zein sudah menyendok satu suap bubur ayam untuk Salsa.Namun, Salsa tak merespon. Pandangan Salsa kosong, lurus tanpa kedip. Saat di guncang tubuhnya pun hanya diam."Becandanya gak lucu, Sayang. Ayok, buka mulutnya." Zein masih berpikir positif, meskipun merasa ada yang tidak beres dengan keadaan istrinya."Sayang ....""Hei ....!"Salsa! Sayang! Kamu kenapa?" Zein mulai panik.Ia meletakkan bubur ayam begitu saja di sembarang tempat. Telapak tangannya menepuk-nepuk pipi Salsa, dan masih tak ada respon."Dokter. Dokter ... Dokter ...!!!" Zein berteriak kencang. Lama tak ada tanda-tanda dokter atau perawat datang, Zein berlari ke luar sambil memanggil-manggil dokter dengan kencang seperti orang kese tanan. Ia lupa, bahwa ada alat untuk memangg
Keadaan Salsa masih sama seperti seminggu yang lalu. Walaupun sudah pulang, ia masih belum merespon apapun orang di sampingnya. Matanya tetap kosong seperti tak ada gairah hidup. Hanya ketika Naura mengajak bicaralah mata Salsa sedikit bergerak. Itupun hanya sekilas, dengan mulut yang tetap tertutup rapat."Ayah, Bunda kenapa jadi pendiam sih? Kenapa gak mau peluk Naura lagi?" tanya Naura sedih. Pasalnya, sejak bundanya pulang dari rumah sakit, Naura belum pernah lagi mendengar suara bundanya.Keadaan Zein sebenarnya tidak kalah menyedihkan. Namun, demi sang anak dia berusaha menutupi semuanya. Zein juga harus menjaga kesehatan untuk bisa merawat Salsa."Kan Bunda masih sakit, Sayang. Badan Bunda masih lemes, makanya belum bisa peluk Naura. Sekarang dipeluk Ayah dulu ya," ujar Zein seraya memeluk putri semata wayangnya penuh kasih.Setelah Salsa kehilangan rahimnya, Zein berkali-kali lipat menyayangi Naura, sebab dialah satu-satunya anak yang terlahir dari rahim wanita yang dicintai Z
[Temui saya di tempat tadi kita bertemu!]Mata Misyka mengerjap tak percaya begitu membaca pesan yang dikirim oleh Zein. Sedetik kemudian seringai tipis terbit dari bibirnya. "Sudah kuduga! Kau pasti akan menghubungiku, bapak Zein tercinta," monolognya.Buru-buru jari-jemarinya bergerak lincah di layar ponsel hendak membalas pesan lelaki yang didambakannya.[Baik, Pak].Gegas wanita itu bersiap diri agar terlihat menarik di depan Zein. Jika biasanya ia memakai pakaian seksi untuk menjerat mangsanya, berbeda dengan kali ini. Misyka memilih fashion sederhana agar terlihat meyakinkan bahwa dirinya kini sudah berubah.Pukul 18.45, Misyka sudah sampai di restoran yang dimaksud oleh Zein. Ia memilih meja kosong yang berada di pojokan. 'Pasti ada hal penting yang akan dia bicarakan padaku,' batinnya.Namun, sudah menunggu lebih dari 15 menit, tanda-tanda kemunculan Zein belum juga nampak. Berkali-kali wanita yang memakai dress motif bunga itu mengecek handphone miliknya, berharap ada pesan
Klunthing!Satu pesan masuk di ponsel Zein yang tergeletak di atas nakas. Laki-laki yang baru saja selesai memakaikan istrinya baju, sesaat setelah memandikannya itu bergeming. Ia masih asik mendandani sang istri. Menyisir rambut panjang Salsa, hingga membubuhkan hand body lotion pada kedua tangan dan kakinya.Sesekali pria itu juga mengajak Salsa ngobrol, dan memuji kecantikan sang istri yang baginya tak pernah pudar."Dokter bilang, kamu sudah banyak kemajuan. Kamu harus semangat, ya. Nanti kita jalan-jalan ke Bali. Atau ... Kamu mau ke luar negeri? Hem?""Kamu boleh belanja sesukamu. Boleh bermain-main sepuasnya. Boleh apa aja deh.""Hmm ... Kulitmu selalu halus dan wangi, Sayang. Mas suka."Lelaki yang masih memakai baju tidur itu juga beberapa kali mendaratkan ciuman di kepala atau pipi Salsa. Meskipun tidak mendapat respon apapun, tetapi Zein tak pernah menyerah, apalagi berkecil hati.Saat sedang memberi pewarna pada bibir pucat sang istri, pintu kamar terdengar diketuk tiga k
"Hari ini saya akan datang terlambat. Kamu handle dulu sem---.""Jangan lupa hari ini Anda ada jadwal bertemu klien pukul 11.00 dan semua sudah dipersiapkan. Saya harap Anda bisa menepati janji!" tegas Daniel memotong perkataan Zein.Tak peduli orang yang sedang menelponnya itu CEO ataupun karyawan biasa, jika sudah menyangkut urusan penting perusahaan, maka pemuda itu akan bertindak tegas.Zein memandang arloji yang melingkar pada pergelangan tangannya. Masih pukul 07.58. Artinya dia mempunyai waktu sekitar tiga jam lagi sebelum bertemu kliennya."Baiklah. Saya akan usahakan tiba di kantor sebelum klien kita datang," ucap Zein kemudian.Laki-laki itu terpaksa mengurungkan niatnya untuk segera ke kantor, karena harus menyelesaikan misinya bersama wanita yang pastinya sedang ngambek oleh ulahnya itu.Bukan mengutamakan wanita itu, akan tetapi Zein harus segera menyelesaikan masalahnya. Setidaknya sampai wanita itu merasakan apa yang dirasakan oleh istrinya."Baik, Pak," ujar Daniel."H