Share

Dikira Babu Ternyata Ratu
Dikira Babu Ternyata Ratu
Author: NingrumAza

1. Tamu Tak Ada Akhlak

"Maaf, cari siapa ya?"

"Pak Zein ada?"

"Pak Zein lagi di sekolah anaknya. Lagi ada acara."

Wanita yang masih berada di luar pagar dengan rambut lurus sebahu itu hanya menganggukkan kepalanya. Sejurus kemudian, dia melangkah menerobos pagar yang sedikit terbuka tanpa permisi terlebih dahulu padaku.

Benar-benar tidak sopan. Rasanya tak sepadan dengan penampilannya yang terlihat berpendidikan.

Kondisiku yang lemah akibat kehamilan kedua ini membuatku tak bisa bergerak dengan gesit. Bahkan untuk sekedar mengeraskan suara guna mencegahnya saja aku tak bisa.

Itulah sebabnya mengapa Mas Zein yang menemani Naura di acara kontes nyanyi di sekolahnya.

Jika bukan karena penasaran oleh bel yang terus dibunyikan olehnya, aku tidak akan membukakan pagar dan melihat siapa yang berada di luar.

Dengan langkah tertatih aku mengikuti wanita yang belum kuketahui namanya itu setelah kembali menutup pagar.

"Cepetan dong jalannya! Lelet banget, sih!" sentak wanita itu yang sukses membuatku membelalakkan mata.

Apa dia waras? Kenapa tiba-tiba dia menyentakku begitu?

"Hei ...!" Dia kembali berseru memanggilku yang masih diam mencerna semuanya.

Aku terkesiap.

Namun, tak lantas mendekat padanya. Melainkan berjalan menuju galon di ruang tamu ini. Aku perlu menambahkan cairan sebagai penambah energi, setidaknya untuk menanggapi manusia yang aneh ini.

"Eh, kok malah minum. Sini kamu!" Kembali dia mengeluarkan suaranya. Kali ini disertai lengkingan yang memekikkan.

Kenapa sih dia? Benar-benar aneh.

"Maaf, kamu ini siapa ya? Kenapa teriak marah-marah gak jelas di sini?" ucapku lembut setelah berhasil menghabiskan air putih satu gelas.

Aku masih berdiri di dekat galon sementara dia sudah berada di area sofa bersiap untuk duduk. Jarak kami mungkin sekitar 8 meter, sebab rumah ini memang terbilang luas dan besar, terkhusus di area ruang tamu dan kamar-kamarnya.

"Saya ini sekretaris Pak Zein di kantor!" sahutnya.

Owh, jadi dia sekretisnya Mas Zein. Pasti baru masuk beberapa hari menggantikan Santi yang resign karena melahirkan. Oleh sebab itu dia tak mengenaliku.

"Eh, malah bengong lagi! Sini cepat!" Perintahnya. " Asal kamu tahu ya. Saya ini orang kepercayaannya Pak Zein, jadi jangan mentang-mentang gak ada majikan kamu bisa kerja lelet seenaknya ya!" sambungnya terus mengomel.

"Majikan?" ucapku heran.

"Iya! Saya akan laporkan semua kelakuan kamu ini sama pak Zein biar kamu di pecat!"

"Kenapa saya di pecat?" Aku masih belum mengerti, berulang kali mengerutkan kening untuk menemukan jawaban atas apa yang terjadi pada wanita cantik berpakaian rapih ini.

"Jelas karena kamu kerjanya lelet dan gak bener. Ada tamu bukannya diladenin, dibikinin minum, ini malah kamu yang minum duluan. Dasar gak sopan, udik, orang kampung."

Aku menunjuk diri sendiri dengan raut shok mendengar kata-kata kasar yang wanita itu berikan padaku.

"Kenapa Anda mengatai saya seperti itu? Memangnya Anda siapa tiba-tiba memerintah saya dan menghina saya," kataku tegas.

Rasa lemah yang beberapa hari melanda, seketika sirna mendengar omongan menohok dari orang yang sama sekali tidak aku ketahui namanya itu.

"Sudah saya katakan, saya ini orang kepercayaannya Pak Zein di kantor. Dan sudah menjadi tugas saya menegur para babu macam kamu jika bekerja tidak profesional!"

Hah! Jadi, dia sejak tadi menganggap aku sebagai babu di sini? Pantas dia belagak.

Tapi, apa yang membuat dia mengira aku ini ART ya?

Kutelisik penampilanku dari ujung kaki hingga pakaian dan kerudung yang kukenakan.

Semua biasa saja menurutku. Memakai daster panjang dengan penutup kepala sederhana adalah kebiasaanku sehari-hari kalau di rumah.

Ah, aku baru ingat. Ternyata aku belum mandi dari kemarin. Pantas saja dia menganggap ku begitu, pasti karena aku kumel dan bau.

Maklum, bawaan debay jadi malas mandi dan ngapa-ngapain.

"Tapi, kamu gak boleh gitu dong mengatai orang sembarangan. Kita bahkan gak saling kenal, loh," ujarku.

"Halah! Kita tidak perlu berkenalan. Gak level saya kenalan sama babu!"

Aku ingin menimpali, tapi dia keburu buka suara lebih dulu. "Hei! Kamu pakai sendal di rumah? Belagu bener ... Sudah kaya nyonya saja! Itu kamu pasti pakai sendal majikan kamu 'kan?! Benar-benar tidak punya sopan santun!"

Lalu dia mengambil sesuatu dalam tasnya.

Tak lama, dia mengeluarkan benda pipih warna hitam, mengotak atik sebentar, lalu mengarahkannya padaku.

Tunggu, apa dia ingin memotretku? Tapi untuk apa?

Kakiku mulai lemas terlalu lama berdiri. Aku berniat duduk pada kursi tunggal yang berada di dekat meja tempat galon, beberapa gelas dan pot bunga.

Belum sampai bokongku mendarat sempurna di kursi, wanita itu kembali berteriak, membuatku kembali berdiri tegak. "Siapa yang suruh kamu duduk di situ?!"

Cekrek!

Samar, aku mendengar bunyi seperti suara jepretan kamera.

"Awas kamu ya! Saya sudah mendapatkan bukti kekurang ajaran kamu ini. Siap-siap saja, kamu pasti akan hengkang dari rumah ini," ucapnya sambil mengangkat hendphone di tangannya.

"Mau kamu apa sih, Mba, sebenernya. Mau apa kamu datang ke sini!" Hilang sudah kesabaranku kali ini.

"Masih nanya? Kamu harus kebelakang bikinin minuman buat saya. Saya ini tamu penting!"

"Tamu pentingnya siapa? Mas Zein lagi pergi. Ngapain kamu masih di sini."

"Kamu tidak perlu tahu kepentingan saya ke sini. Jangan lupa, kamu itu cuma babu. Jadi jangan ikut campur urusan majikan. Ngerti!"

Aku mendengus kesal, kembali mendaratkan bokong di kursi dengan tergesa.

"Eh, lancang kamu ya!" Dia kali ini mendekat padaku. Berdiri dan menonyor kepalaku dengan jari telunjuknya. "Kalaupun mau duduk, kamu harusnya duduk di dapur sono!"

"Astaghfirullah ...!"

"Kenapa?" Dia melotot padaku sambil berkacak pinggang.

Lama-lama ngeselin juga ni orang. Dapet dari mana sih Mas Zein orang model gini. Sombongnya minta ampun.

"Punya masalah apa kamu sama saya? Kenapa kasar sekali!" sentakku.

"Cepat ke belakang bikinin saya minum!" perintahnya.

"Owh, jadi Mba cuma mau minum?"

"Harusnya gak usah ditanya. Kalau ada tamu langsung bikinin minum."

"Lah, kamu kan bukan tamu saya."

"Tapi, saya ini tamu majikan kamu. Itu artinya, kamu juga harus melayani saya."

"Majikan siapa sih?!" ucapku sedikit ngegas.

"Gak usah sok bl0'0n deh. Asal kamu tahu juga, ya. Dalam waktu dekat, saya akan menjadi nyonya di rumah ini," ujarnya jumawa.

"Mim--" ucapanku terpotong karena mendengar salam dari luar.

"Assalamualaikum ...." Mas Zein dan Naura ternyata yang datang.

"Wa'alaikumsalam ...," sahutku sambil melirik wanita itu. Dia merapikan rambut dan bajunya.

"Bunda ...." Naura berteriak dan berlari seraya merentangkan tangannya bersiap memelukku.

Kusambut pelukan anak sulung ku dengan sayang. Kembali melirik wanita yang masih berdiri mematung di sampingku. Kini dia berubah menjadi mode diam.

"Halo, Sayang. Gimana, sudah enakkan badannya?" Mas Zein pun ikut menyapaku dengan lembut.

Sekali lagi, aku melihat wanita itu. Kini wajahnya kaku, pucat pasi sudah seperti mayat hidup.

Ingin aku menyeringai jahat di depannya. Si4lnya, hatiku terlalu lembut jika melakukan hal-hal jahat.

"Sudah mendingan, Mas," jawabku. Meraih punggung suami tampanku lalu menciumnya dengan ta'zim.

"Syukurlah, jangan capek-capek ya, biar si Utun dan kamu sehat selalu." Suamiku mengelus lembut kepalaku dengan sayang.

Aku tersenyum lembut. Lagi-lagi, aku memutar netra pada wanita itu. Dia melebarkan mata dengan mulut yang sedikit terbuka.

Kuberikan tatapan tajam padanya seolah berkata, 'Setelah ini, akan aku tunjukkan padamu, siapa ratu siapa babu sebenarnya!'

___

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status