Baju dalam Alicia tidak dilepas melainkan ditarik lepas perlahan dari tubuhnya yang gemetar. Dirinya berbaring telentang dengan membuka kaki layaknya wanita nakal dan tangannya membelai otot dan tubuh yang lembab dan kencang.Jemari Jonash menjajaki puncak gunung kembarnya dengan penuh konsentrasi yang begitu lamban dan nikmat. Punggung Alicia melengkung sewaktu jemarinya semakin dalam mencengkeram bahu Jonash. Panas menggelegak dari gunung kembarnya, menyebar turun ke perutnya. Kemudian membakar lekuk diatara pahanya. Hasrat yang dirasakannya menggila dan menyiksa. Alicia tahu dia bisa mati jika Jonash berhenti.“Apakah rasanya nikmat? Apa kau menyukainya?” tanya Jonash. Suaramya parau karena gairah, mata kelabunya menggelap karena hasrat.Napas Jonash menggelitik tengkuk Alicia, dan jemari Jonash melanjutkan tarian erotis di puncak gunung kembarnya, membuat Alicia hanya bisa mengerang dan terkesiap tak menentu.Alicia begitu mendamba. Tubuhnya menggelinjang. Begitu ingin menghentikan
Bagaimana mungkin Jonash bisa tahu dengan kepastian yang tak tergoyahkan seperti itu? padahal sudah dikatakannya bahwa usia Peter baru dua tahun, hingga tidak mungkin dia adalah ayah Peter.Setelah matanya beradaptasi dengan lampu pojok tempat tidurnya, Alicia dapat melihat wajah kecoklatan Jonash. Alicia menelan ludahnya, bagaimana dia harus merespons? Bagaimana dia dapat merespons?“Anak itu---“Sepertinya Jonash sudah menduga bahwa Alicia pasti akan menyangkal, karna saat itu juga pria yang berdiri menjulang di hadapannya sedang menatap dengan pandangan mengerikan. Menghunjam, murka. Bibirnya terkatup rapat.“Jangan berani-beraninya kau berdusta padaku. Tidak lagi. Jangan pernah lagi,” geram Jonash, dalam suara yang dalam dan kelam.Nada pria itu membuat Alicia ketakutan. Seolah sumur kemurkaan yang tak berdasar milik lelaki itu kini hanya ditahan oleh seutas benang.“Jonash.” Nama itu meluncur dengan nada memohon yang lirih. Nada menenangkan untuk memberi penjelasan.Jonash mundur
Ucapan Jonash begitu menyakitkan. Seperti kerikil yang menusuk kulit. Memang tidak diragukan, memang itu niat Jonash. Alicia terdiam, menerima perlakuan Jonash sebagai bagian dari hukumannya.“Jangan coba-coba merayuku. Itu tidak akan berhasil. Tapi karena kau memiliki putraku, urusan diantara kita masih jauh dari selesai.” Jika kalimat Jonash belum cukup buruk, mata Jonash yang memicing serta rahangnya yang mengeras menegaskan hal yang lebih seram lagi.Merayunya?Tapi Jonash lah yang menciumnya. Tapi karena Alicia sendiri menyambutnya dengan liar, yang dapat dilakukannya hanyalah menelan ludah dan mengangguk, mengiyakan dalam diam. Sementara rasa malu menetap di pipinya yang merah padam.Jonash berbalik pergi tapi seolah menubruk dinding, dia berbalik menatap Alicia dengan tatapan dingin. “Dan Demi Tuhan, jika kau kembali pergi dan membuatku mengejarmu---karena setelah tahu bahwa putraku ada padamu, kali ini aku akan mengejarmu sampai ujung dunia. Dan kupastikan kau akan menyesali s
7 Maret 2024Newark, New Jersey, Cecilia PenthouseAudrey membuka matanya perlahan. Dia mencoba-coba mengingat apa yang telah terjadi. Matanya ia edarkan ke sekitar. Sebuah kamar yang luas---dan indah. Dia yakin belum pernah berada di ruangan ini. Kamar ini sangat indah tapi berbeda dengan Residenza Diangello.Audrey terhenyak duduk karena kaget. Secepatnya pikirannya bekerja, dia pandangi dirinya. Dia mengenalan pakaian tidur yang nyaman, sebuah terusan berbahan katun yang lembut. Dia tau ini terusan berharga mahal. “Dimana aku?”Seorang masuk ke dalam kamar itu. Seorang wanita muda berwajah sangat cantik. Rambutnya pirang mempesona. Seperti halnya Audrey, wanita itu mengenalan terusan katun yang modelnya hampir sama dengan yang dipakai Audrey. Kalau punya Audrey berwarn biru muda, terusan yang dikenakan wanita itu berwarna pink.“Audrey, syukurlah kau sudah bangun!” Suara wanita itu keras dan riang, wajahnya terlihat sumringah.Audrey menatap wanita itu lekat. Semoga dia tidak amnes
Putri ahli waris Gruppo METRO beserta pengasuhnya diketemukan dalam keadaan tewas di pesisir pantai Cala Goloritze, wilayah selatan Sardinia.Mata Audrey masih dapat membaca headline surat kabar itu sebelum tubuhnya limbung, dengan dada sesak. Kemudian pandangan sekelilungnya gelap. Audrey tak sadarkan diri.Cecilia membaringkan Audrey di kamarnya. Dia dapat membayangkan seberapa sakit hati seorang ibu yang anaknya dibunuh dengan sangat tragis.Selama setengah jam berikitnya Cecilia berinisiatif memberikan aroma yang membangunkan Audrey dari pingsannya.Usaha itu berhasil. Audrey bersin.Dia mendapati adik iparnya disampingnya. Menatapnya dengan pandangan ikut berduka.“Audrey, pelayanku sudah menyiapkan makan untukmu. Sejak sehari lalu perutmu belum terisi.”Di atas meja di pojok kamar itu, terdapat beberapa piring kudapan. Biskuit jahe, pancake dengan madu, waffles, pastri dengan keju edam potong, selai kacang, serta dua gelas minuman, jus jeruk dan susu.“Aku tidak mau makan, Cecili
Cecilia menatap kemarahan, kesungguhan, kepastian yang tak terbendung lagi di mata indah Audrey. “Well---” wanita muda ini bisa merasakan gelombang keyakinan di wajah Audrey. Kekuatan wanita yang sedang marah karena kematian putrinya tidak akan dapat diragukan lagi efek mematikannya. Tapi dia bisa tahu bagaimana rapuhnya wanita ini. Seperti dua sisi mata uang yang berbeda. “Kau harus melibatkan suamimu,” ujar Cecilia memberi dukungan.“Tidak Cecilia. Aku akan mencari pembunuh itu dengan tidak melibatkan suamiku. Aku akan menyelesaikan sendiri.”“Berhentilah berhalusinasi, Audrey.” Cecilia mulai merasa tidak sabar menghadapi kakak iparnya yang keras kepala ini.“Dengar kata-kataku, Cecilia Amethyt Diangello!” Audrey setengah berteriak tidak mau kalah.”Cecelia terdiam, mau tidak mau dia sedang menghadapi wanita naik pitam. Dia memaklumi penyebabnya. Dia memutuskan mengalah. Wanita didepannya adalah kakak iparnya, budaya menghornati kakak yang lebih tua telah diajarkan orang tuanya.“A
Lantai enam Police Plaza pada pukul sembilan pagi padat dengan kegiatan. Seperti halnya lantai tujuh dan delapan, lantai enam dibagi-bagi menjadi beberapa departemen. Kantor-kantor luar diberi partisi dinding baja enamel untuk menciptakan ruang-ruang yang rapi dengan masing-masing jendela besar dengan satu set sofa di dalamnya ditambah satu meja kerja dengan dua kursi yang berhadapan. Disalah satu ruang itu Letnan Jonash Abellard bekerja menjadi seorang abdi masyarakat.Pagi itu di mejanya, dia masih termenung, mengingat kejadian beberapa malam lalu. Saat ia keluar dari kamar Alicia dan mengedarkan ke koridor yang remang-remang. Dia mengenali setiap celah dan lorong rumah ini dengan baik. Suasana terdengar sunyi. Semua orang terlelap di peraduannya, kecuali Alicia. Dan jika dia bersama Alicia disana, pasti akan membuat wanita itu terjaga hingga fajar, untuk mencoba menghilangkan gejolak nafsu yang telah tertumpuk selama tiga tahun. Sepertinya dia akan punya waktu untuk itu, sendirian,
Seseorang pria datang berkunjung ke ruang kantornya.“Halo, Letnan Abellard,” kata laki-laki itu menyalami. “Aku Anthony Parker. Aku bekerja di bagian pembunuhan di pusat kota. Selama beberapa tahun ini kita sudah beberapa kali bertemu. Aku tidak tahu apakah kau masih ingat padaku?”“Yeah. Tentu. Apa kabar Toni.” Tentu saja ingatan Jonash masih bekerja dengan baik. “Aku tahu kakakmu petinju yang keren. Teman-teman banyak mengelu-elukan.” Jonash menutup pintu ruangan itu, dia merasa perlu melakukannya. “Aku turut berduka atas meninggalnya.”“Terima kasih.” Toni mencondongkan tubuhnya ke depan sehingga sikunya bertumpu pada lutut. Jonash tahu dari rekan-rekannya, Anthony Parker adalah mantan bintang atletik di cabang lari. Dia memiliki kaki dan tangan yang panjang.Toni tampak serius dan tak berkata apa-apa ketika menyalakan sebatang rokok. Matanya terus menatap Jonash, seperti sedang mencari---sesuatu yang akan memberitahunya siapa sebenarnya letnan di seksi Pwmbunuhan ini, di pihak ma