Lantai enam Police Plaza pada pukul sembilan pagi padat dengan kegiatan. Seperti halnya lantai tujuh dan delapan, lantai enam dibagi-bagi menjadi beberapa departemen. Kantor-kantor luar diberi partisi dinding baja enamel untuk menciptakan ruang-ruang yang rapi dengan masing-masing jendela besar dengan satu set sofa di dalamnya ditambah satu meja kerja dengan dua kursi yang berhadapan. Disalah satu ruang itu Letnan Jonash Abellard bekerja menjadi seorang abdi masyarakat.Pagi itu di mejanya, dia masih termenung, mengingat kejadian beberapa malam lalu. Saat ia keluar dari kamar Alicia dan mengedarkan ke koridor yang remang-remang. Dia mengenali setiap celah dan lorong rumah ini dengan baik. Suasana terdengar sunyi. Semua orang terlelap di peraduannya, kecuali Alicia. Dan jika dia bersama Alicia disana, pasti akan membuat wanita itu terjaga hingga fajar, untuk mencoba menghilangkan gejolak nafsu yang telah tertumpuk selama tiga tahun. Sepertinya dia akan punya waktu untuk itu, sendirian,
Seseorang pria datang berkunjung ke ruang kantornya.“Halo, Letnan Abellard,” kata laki-laki itu menyalami. “Aku Anthony Parker. Aku bekerja di bagian pembunuhan di pusat kota. Selama beberapa tahun ini kita sudah beberapa kali bertemu. Aku tidak tahu apakah kau masih ingat padaku?”“Yeah. Tentu. Apa kabar Toni.” Tentu saja ingatan Jonash masih bekerja dengan baik. “Aku tahu kakakmu petinju yang keren. Teman-teman banyak mengelu-elukan.” Jonash menutup pintu ruangan itu, dia merasa perlu melakukannya. “Aku turut berduka atas meninggalnya.”“Terima kasih.” Toni mencondongkan tubuhnya ke depan sehingga sikunya bertumpu pada lutut. Jonash tahu dari rekan-rekannya, Anthony Parker adalah mantan bintang atletik di cabang lari. Dia memiliki kaki dan tangan yang panjang.Toni tampak serius dan tak berkata apa-apa ketika menyalakan sebatang rokok. Matanya terus menatap Jonash, seperti sedang mencari---sesuatu yang akan memberitahunya siapa sebenarnya letnan di seksi Pwmbunuhan ini, di pihak ma
Pembunuhan oleh Death Squad terhadap orang yang disangkakan Germain Abrahan oleh detektif Anthony Parker adalah salah satu ulah komisaris besar mereka untuk membuat gaduh sebagai salah satu keseruan pemain jalanan. Orang lain sebenarnya yang telah mereka bunuh, ikan teri, istilahnya, kawan-kawan mereka yang kurang prospektif. Mereka buat filter untuk kelompok mereka. Mereka tidak rugi, membunuh rekan sendiri bagi mereka tidak hal yang aneh. Beberapa minggu setelah kejadian pembunuhan di Atlantic City itu, Germain Abraham telah tertawa lebar meresmikan The Dreamer Club. Yang menandakan orde yang sama sekali baru telah lahir. Memunculkan kekacauan tak terelakkan dari sebuah struktur organisasi kejahatan. Orde ini berkuasa di tempat yang layak diperhitungkan : Amerika Serikat, Italia, Jerman Barat, Inggris, Perancis, Belanda, Spanyol, seluruh penjuru Jepang. Di semua kota dan negara utama di dunia.Kata Terhormat dan Anonim akan menjadi fondasi organisasi kejahatan masa depan.The D****
Jonash tertegun, kerongkongannya tercekat. Ia membaca nama Benigno Jacob Andriano pada dokumen perjalanan sebuah kargo sebuah kapal yang saat ini akan ia tuju. Orang yang selama ini ia cari, nasibnya berada dalam genggamannya. Ia tidak terpikirkan kemungkinan sangat besar bahwa lelaki pengacau itu adalah bagian dari the Dreamer Club. Bahkan mungkin orang terdekat Germain Abraham.Kapal berukuran empat puluh kaki itu mengangkut hampir selusin pejabat dari Pebean dan Drug Enforcement Agency, termasuk Letnan Jonash Abellard, polisi yang bertugas pada satuan Direktorat Narkoba sedang menuju sebuah kapal bernama Magisca. Kapal berbendera Turki itu sedang berlabuh di New York Harbor, dekat Ambrose Light.Kapten Mohammed Romzi menyumpahi nasib sialnya ketika memeriksa dokumen setebal lima halaman yang dicap stempel resmi Pabean, Departemen Keuangan. Rokok tanpa filter yang terselip di bibirnya yang bengkak dan putih, kering mengelupas. Burung-burung camar terbang berputar, memekik keras diat
"Aku mendapatkan kartu truffnya,” kata Jonash kepada Parker.Tapi apakah Grand Jury, bisa melumpuhkan kakinya semudah itu. Mengingat pembicaraan yang telah ia lakukan dengan seseorang yang beberapa waktu lalu, telah tidak menaruh harapan terhadap Grand Jury.Anthony Parker meyakinkan dirinya, mengatakan semua hal yang ia alami kepada letnan Jonash adalah keputusan tepat. Langkah itu diambilnya saat sebelum kejadian Atlantic City itu tepatnya setelah ia merasa beberapa tugas sebagai Death Squad, melakukan tugas pembunuhan bos-bos mafia telah ia lakukan, suatu siang kala itu, seserang menelepon ponselnya “The Man.”“Aku ingin bertemu denganmu. Dimana kita bisa ketemu,” tanya seseorang di seberang sana. Sejenak, sebuah usul melintas di kepala Parker. “Naiklah kereta api dari New York Central seperti biasa kau pergi bekerja,” kata Parker. “Tapi pagi ini turunlah di Two Hundred Twenty Sixth Street. Aku akan menunggu. Jangan khawatir, tak akan ada seorangpun yang mengenalmu. Tidak ada seo
Telephone Benigno Jacob Andriano telah mengguncang jiwanya. Ia tidak bisa tidur sesudah telephone itu. Ia berbaring dengan mata terbuka. Mengingat tahun-tahun berlalu penuh kepedihan, penderitaan, tidak saja menghancurkan harga diri dan kehormatannya, tapi terbunuhnya keponakan serta pengasuhnya. Jonash berpikir keras, berarti kemungkinan besar kakaknya masih hidup. Dimana keberadaannya? Apakah Audrey berada dalam penguasaan lelaki jahat itu?Pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi isi kepala. Ia telah menunggu selama tiga tahun lebih, untuk membalaskan dendamnya, membalaskan dendam untuk kakaknya.Jonash merasakan tindihan perasaan frustasi. Kebebasan dan kecongkakan Benigno mencemoohnya. Benigno telah menempatkan dirinya di luar hukum, di luar sistem moral dan etika.Jonash sudah menceritakan kejadian itu pada rekannya Parker demikian pula hal yang mengguncangkan hatinya. Akhir-akhir ini, ia pun melewatkan malam demi malam tanpa tidur. Sudah bulat tekat mereka untuk membereskan kasus ya
Seorang wanita cantik menyetir sendiri Bugatti Centodieci putih seharga sembilan juta dollar AS atau sekitar seratus tiga puluh enam koma enam miliar rupiah. Dia masuk ke kesebuah gedung perkantoran di kota New Jersey dan menjemput seorang wanita Dirangkulkan tangannya ke leher wanita itu. “Kau sudah tiga bulan berlatih, aku rasa cukup sudah usahamu.”“Ah, Cecil, kau memang adikku yang cerewet.” Audrey tertawa menyambut kedatangan saudara iparnya, Cecilia Amethyst Diangello.Bagaimanapun, Audrey harus berusaha menerima takdir hidupnya. Pelatihan yang ia jalani dia rasa sudah cukup. Ia menyanggupi saja keinginan adik suaminya ini untuk menerima undangan kawan adiknya itu merayakan sebuah pesta karnaval. Itu ia lakukan juga karena Cecilia memegang janjinya untuk tidak menghubungi kakaknya, Nathanielle Salvatore Diangello mengenai keberadaannya. Bukannya tidak ingin bertemu, Audrey ingin membereskan sendiri masalahnya. Ventria anak kandungnya, dia saja yang memiliki kewajiban membela har
Jemari Cecilia menempel erat pada bahu Lane sampai kemudian dia memundurkan tubuh dan mengamati sekali lagi. “Aku tidak tahu namamu.” Mereka memang tidak saling kenal. “Tapi itu lebih baik,” imbuh wanita itu sambil mengangguk tipis. “Karena ini akhir pertemuan kita.”Tidak, sama sekali jauh dari akhir.Cecilia berkata lagi, “Setelah aku pergi, kuharap kau melakukan hal sama.”Wanita itu memerintahnya? Tapi tugasnya baru dimulai.“Pergilah ke pintu belakang. Posisinya lima meter di kirimu. Turuni tangga disitu. Itu pintu keluar masuk staff acara ini. Tidak akan ada tamu yang menyadari kepergianmu. Aku tidak ingin melihatmu lagi.” Cecilia tersenyum mengatakan itu, sedetik berikutnya wajahnya mengeras. “Jangan ganggu aku!”Kemudian wanita itu berbalik dan pergi.Menarik.Tatapan Lane menyusuri pinggang ramping wanita itu. Terlalu banyak kulit---yang sempurna---yang terekspos karena gaun berpotongan rendah itu memperlihatkan punggungnya.Cecilia tidak menolehnya lagi. Ia menghampiri wanit