Pembunuhan oleh Death Squad terhadap orang yang disangkakan Germain Abrahan oleh detektif Anthony Parker adalah salah satu ulah komisaris besar mereka untuk membuat gaduh sebagai salah satu keseruan pemain jalanan. Orang lain sebenarnya yang telah mereka bunuh, ikan teri, istilahnya, kawan-kawan mereka yang kurang prospektif. Mereka buat filter untuk kelompok mereka. Mereka tidak rugi, membunuh rekan sendiri bagi mereka tidak hal yang aneh. Beberapa minggu setelah kejadian pembunuhan di Atlantic City itu, Germain Abraham telah tertawa lebar meresmikan The Dreamer Club. Yang menandakan orde yang sama sekali baru telah lahir. Memunculkan kekacauan tak terelakkan dari sebuah struktur organisasi kejahatan. Orde ini berkuasa di tempat yang layak diperhitungkan : Amerika Serikat, Italia, Jerman Barat, Inggris, Perancis, Belanda, Spanyol, seluruh penjuru Jepang. Di semua kota dan negara utama di dunia.Kata Terhormat dan Anonim akan menjadi fondasi organisasi kejahatan masa depan.The D****
Jonash tertegun, kerongkongannya tercekat. Ia membaca nama Benigno Jacob Andriano pada dokumen perjalanan sebuah kargo sebuah kapal yang saat ini akan ia tuju. Orang yang selama ini ia cari, nasibnya berada dalam genggamannya. Ia tidak terpikirkan kemungkinan sangat besar bahwa lelaki pengacau itu adalah bagian dari the Dreamer Club. Bahkan mungkin orang terdekat Germain Abraham.Kapal berukuran empat puluh kaki itu mengangkut hampir selusin pejabat dari Pebean dan Drug Enforcement Agency, termasuk Letnan Jonash Abellard, polisi yang bertugas pada satuan Direktorat Narkoba sedang menuju sebuah kapal bernama Magisca. Kapal berbendera Turki itu sedang berlabuh di New York Harbor, dekat Ambrose Light.Kapten Mohammed Romzi menyumpahi nasib sialnya ketika memeriksa dokumen setebal lima halaman yang dicap stempel resmi Pabean, Departemen Keuangan. Rokok tanpa filter yang terselip di bibirnya yang bengkak dan putih, kering mengelupas. Burung-burung camar terbang berputar, memekik keras diat
"Aku mendapatkan kartu truffnya,” kata Jonash kepada Parker.Tapi apakah Grand Jury, bisa melumpuhkan kakinya semudah itu. Mengingat pembicaraan yang telah ia lakukan dengan seseorang yang beberapa waktu lalu, telah tidak menaruh harapan terhadap Grand Jury.Anthony Parker meyakinkan dirinya, mengatakan semua hal yang ia alami kepada letnan Jonash adalah keputusan tepat. Langkah itu diambilnya saat sebelum kejadian Atlantic City itu tepatnya setelah ia merasa beberapa tugas sebagai Death Squad, melakukan tugas pembunuhan bos-bos mafia telah ia lakukan, suatu siang kala itu, seserang menelepon ponselnya “The Man.”“Aku ingin bertemu denganmu. Dimana kita bisa ketemu,” tanya seseorang di seberang sana. Sejenak, sebuah usul melintas di kepala Parker. “Naiklah kereta api dari New York Central seperti biasa kau pergi bekerja,” kata Parker. “Tapi pagi ini turunlah di Two Hundred Twenty Sixth Street. Aku akan menunggu. Jangan khawatir, tak akan ada seorangpun yang mengenalmu. Tidak ada seo
Telephone Benigno Jacob Andriano telah mengguncang jiwanya. Ia tidak bisa tidur sesudah telephone itu. Ia berbaring dengan mata terbuka. Mengingat tahun-tahun berlalu penuh kepedihan, penderitaan, tidak saja menghancurkan harga diri dan kehormatannya, tapi terbunuhnya keponakan serta pengasuhnya. Jonash berpikir keras, berarti kemungkinan besar kakaknya masih hidup. Dimana keberadaannya? Apakah Audrey berada dalam penguasaan lelaki jahat itu?Pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi isi kepala. Ia telah menunggu selama tiga tahun lebih, untuk membalaskan dendamnya, membalaskan dendam untuk kakaknya.Jonash merasakan tindihan perasaan frustasi. Kebebasan dan kecongkakan Benigno mencemoohnya. Benigno telah menempatkan dirinya di luar hukum, di luar sistem moral dan etika.Jonash sudah menceritakan kejadian itu pada rekannya Parker demikian pula hal yang mengguncangkan hatinya. Akhir-akhir ini, ia pun melewatkan malam demi malam tanpa tidur. Sudah bulat tekat mereka untuk membereskan kasus ya
Seorang wanita cantik menyetir sendiri Bugatti Centodieci putih seharga sembilan juta dollar AS atau sekitar seratus tiga puluh enam koma enam miliar rupiah. Dia masuk ke kesebuah gedung perkantoran di kota New Jersey dan menjemput seorang wanita Dirangkulkan tangannya ke leher wanita itu. “Kau sudah tiga bulan berlatih, aku rasa cukup sudah usahamu.”“Ah, Cecil, kau memang adikku yang cerewet.” Audrey tertawa menyambut kedatangan saudara iparnya, Cecilia Amethyst Diangello.Bagaimanapun, Audrey harus berusaha menerima takdir hidupnya. Pelatihan yang ia jalani dia rasa sudah cukup. Ia menyanggupi saja keinginan adik suaminya ini untuk menerima undangan kawan adiknya itu merayakan sebuah pesta karnaval. Itu ia lakukan juga karena Cecilia memegang janjinya untuk tidak menghubungi kakaknya, Nathanielle Salvatore Diangello mengenai keberadaannya. Bukannya tidak ingin bertemu, Audrey ingin membereskan sendiri masalahnya. Ventria anak kandungnya, dia saja yang memiliki kewajiban membela har
Jemari Cecilia menempel erat pada bahu Lane sampai kemudian dia memundurkan tubuh dan mengamati sekali lagi. “Aku tidak tahu namamu.” Mereka memang tidak saling kenal. “Tapi itu lebih baik,” imbuh wanita itu sambil mengangguk tipis. “Karena ini akhir pertemuan kita.”Tidak, sama sekali jauh dari akhir.Cecilia berkata lagi, “Setelah aku pergi, kuharap kau melakukan hal sama.”Wanita itu memerintahnya? Tapi tugasnya baru dimulai.“Pergilah ke pintu belakang. Posisinya lima meter di kirimu. Turuni tangga disitu. Itu pintu keluar masuk staff acara ini. Tidak akan ada tamu yang menyadari kepergianmu. Aku tidak ingin melihatmu lagi.” Cecilia tersenyum mengatakan itu, sedetik berikutnya wajahnya mengeras. “Jangan ganggu aku!”Kemudian wanita itu berbalik dan pergi.Menarik.Tatapan Lane menyusuri pinggang ramping wanita itu. Terlalu banyak kulit---yang sempurna---yang terekspos karena gaun berpotongan rendah itu memperlihatkan punggungnya.Cecilia tidak menolehnya lagi. Ia menghampiri wanit
Cecilia berlari menuju Audrey yang disandera. Tapi agen itu tidak tinggal diam. Tangan panjangnya segera terulur menggapai lengan Cecilia.“Sayang sekali,” bisik pria itu. “Tapi aku tidak akan membuatkanmu menghadapi mereka.Pria itu tidak memahami apa yang tengah terjadi. Sedangkan Cecilia mengetahui. Ia juga lebih dari sekedar siap untuk bertukar tempat dengan Audrey. Darahnya mendidih melihat saudari iparnya diacungi senjata. Cecilia melepaskan rengkuhan tangan itu di lengannya.“Lepaskan dia!” teriak Cecilia membentak dan menghampiri kawanan itu.Sang agen mengumpat dalam hati.Seorang pria bertopeng menatap Cecilia. Pistol yang diarahkan Audrey teralih pada wanita berambut pirang yang menghampiri. Pistol itu diarahkan ke dada Cecilia, tepat di titik jantungnya.Cecilia mengangkat dagunya dan menunggu.Hanya saja, pada detik setelahnya, si agen mendorongnya ke belakang.“Jangan sok pahlawan, kau sudah bosan hidup?!” hardik lelaki bertopeng itu.“Kalau itu resikonya akan kuterima,”
Lane menyapu pandangannya ke sekitar. Para wanita yang mengenakan gaun cantik dan pria-pria yang membalut tubuhnya dengan tuksedo mahal berdiri gemetara, dalam kegelapan, sambil mendongak, menatap gedung lantai dua yang terbakar. Malam yang penuh kesenangam telah berubah menjadi malam yang menakutkan.“Lepaskan aku,” pinta Cecilia. “Tolong.”Lane menurunkan Cecilia dari bahunya perlahan-lahan. Wanita itu telah kehilangan sepatu hak tingginya, entah kemana. Sepatu mahal besutan Dior, tapi Cecilia tidak begitu mempedulikan. Kini ia beejalan dengan kaki telanjang lembutnya di atas lantai granit yang dingin. Dengan cepat dan agak sempoyongan dia berlari ke arah Audrey, mereka saling memeluk erat. Kemudian terdengar pembicaraan dalam bahasa Italia, yang dapat diartikan Lane karena ia juga mengerti bahasa itu, ucapan Audrey yang takut dan panik bahwa---kematian---nyaris mereka berdua alami.Tapi itu salah. Lane tak akan membiarkan kematian mendekati Cecilia---dan saudaranya itu.Penglihatan