Putri ahli waris Gruppo METRO beserta pengasuhnya diketemukan dalam keadaan tewas di pesisir pantai Cala Goloritze, wilayah selatan Sardinia.Mata Audrey masih dapat membaca headline surat kabar itu sebelum tubuhnya limbung, dengan dada sesak. Kemudian pandangan sekelilungnya gelap. Audrey tak sadarkan diri.Cecilia membaringkan Audrey di kamarnya. Dia dapat membayangkan seberapa sakit hati seorang ibu yang anaknya dibunuh dengan sangat tragis.Selama setengah jam berikitnya Cecilia berinisiatif memberikan aroma yang membangunkan Audrey dari pingsannya.Usaha itu berhasil. Audrey bersin.Dia mendapati adik iparnya disampingnya. Menatapnya dengan pandangan ikut berduka.“Audrey, pelayanku sudah menyiapkan makan untukmu. Sejak sehari lalu perutmu belum terisi.”Di atas meja di pojok kamar itu, terdapat beberapa piring kudapan. Biskuit jahe, pancake dengan madu, waffles, pastri dengan keju edam potong, selai kacang, serta dua gelas minuman, jus jeruk dan susu.“Aku tidak mau makan, Cecili
Cecilia menatap kemarahan, kesungguhan, kepastian yang tak terbendung lagi di mata indah Audrey. “Well---” wanita muda ini bisa merasakan gelombang keyakinan di wajah Audrey. Kekuatan wanita yang sedang marah karena kematian putrinya tidak akan dapat diragukan lagi efek mematikannya. Tapi dia bisa tahu bagaimana rapuhnya wanita ini. Seperti dua sisi mata uang yang berbeda. “Kau harus melibatkan suamimu,” ujar Cecilia memberi dukungan.“Tidak Cecilia. Aku akan mencari pembunuh itu dengan tidak melibatkan suamiku. Aku akan menyelesaikan sendiri.”“Berhentilah berhalusinasi, Audrey.” Cecilia mulai merasa tidak sabar menghadapi kakak iparnya yang keras kepala ini.“Dengar kata-kataku, Cecilia Amethyt Diangello!” Audrey setengah berteriak tidak mau kalah.”Cecelia terdiam, mau tidak mau dia sedang menghadapi wanita naik pitam. Dia memaklumi penyebabnya. Dia memutuskan mengalah. Wanita didepannya adalah kakak iparnya, budaya menghornati kakak yang lebih tua telah diajarkan orang tuanya.“A
Lantai enam Police Plaza pada pukul sembilan pagi padat dengan kegiatan. Seperti halnya lantai tujuh dan delapan, lantai enam dibagi-bagi menjadi beberapa departemen. Kantor-kantor luar diberi partisi dinding baja enamel untuk menciptakan ruang-ruang yang rapi dengan masing-masing jendela besar dengan satu set sofa di dalamnya ditambah satu meja kerja dengan dua kursi yang berhadapan. Disalah satu ruang itu Letnan Jonash Abellard bekerja menjadi seorang abdi masyarakat.Pagi itu di mejanya, dia masih termenung, mengingat kejadian beberapa malam lalu. Saat ia keluar dari kamar Alicia dan mengedarkan ke koridor yang remang-remang. Dia mengenali setiap celah dan lorong rumah ini dengan baik. Suasana terdengar sunyi. Semua orang terlelap di peraduannya, kecuali Alicia. Dan jika dia bersama Alicia disana, pasti akan membuat wanita itu terjaga hingga fajar, untuk mencoba menghilangkan gejolak nafsu yang telah tertumpuk selama tiga tahun. Sepertinya dia akan punya waktu untuk itu, sendirian,
Seseorang pria datang berkunjung ke ruang kantornya.“Halo, Letnan Abellard,” kata laki-laki itu menyalami. “Aku Anthony Parker. Aku bekerja di bagian pembunuhan di pusat kota. Selama beberapa tahun ini kita sudah beberapa kali bertemu. Aku tidak tahu apakah kau masih ingat padaku?”“Yeah. Tentu. Apa kabar Toni.” Tentu saja ingatan Jonash masih bekerja dengan baik. “Aku tahu kakakmu petinju yang keren. Teman-teman banyak mengelu-elukan.” Jonash menutup pintu ruangan itu, dia merasa perlu melakukannya. “Aku turut berduka atas meninggalnya.”“Terima kasih.” Toni mencondongkan tubuhnya ke depan sehingga sikunya bertumpu pada lutut. Jonash tahu dari rekan-rekannya, Anthony Parker adalah mantan bintang atletik di cabang lari. Dia memiliki kaki dan tangan yang panjang.Toni tampak serius dan tak berkata apa-apa ketika menyalakan sebatang rokok. Matanya terus menatap Jonash, seperti sedang mencari---sesuatu yang akan memberitahunya siapa sebenarnya letnan di seksi Pwmbunuhan ini, di pihak ma
Pembunuhan oleh Death Squad terhadap orang yang disangkakan Germain Abrahan oleh detektif Anthony Parker adalah salah satu ulah komisaris besar mereka untuk membuat gaduh sebagai salah satu keseruan pemain jalanan. Orang lain sebenarnya yang telah mereka bunuh, ikan teri, istilahnya, kawan-kawan mereka yang kurang prospektif. Mereka buat filter untuk kelompok mereka. Mereka tidak rugi, membunuh rekan sendiri bagi mereka tidak hal yang aneh. Beberapa minggu setelah kejadian pembunuhan di Atlantic City itu, Germain Abraham telah tertawa lebar meresmikan The Dreamer Club. Yang menandakan orde yang sama sekali baru telah lahir. Memunculkan kekacauan tak terelakkan dari sebuah struktur organisasi kejahatan. Orde ini berkuasa di tempat yang layak diperhitungkan : Amerika Serikat, Italia, Jerman Barat, Inggris, Perancis, Belanda, Spanyol, seluruh penjuru Jepang. Di semua kota dan negara utama di dunia.Kata Terhormat dan Anonim akan menjadi fondasi organisasi kejahatan masa depan.The D****
Jonash tertegun, kerongkongannya tercekat. Ia membaca nama Benigno Jacob Andriano pada dokumen perjalanan sebuah kargo sebuah kapal yang saat ini akan ia tuju. Orang yang selama ini ia cari, nasibnya berada dalam genggamannya. Ia tidak terpikirkan kemungkinan sangat besar bahwa lelaki pengacau itu adalah bagian dari the Dreamer Club. Bahkan mungkin orang terdekat Germain Abraham.Kapal berukuran empat puluh kaki itu mengangkut hampir selusin pejabat dari Pebean dan Drug Enforcement Agency, termasuk Letnan Jonash Abellard, polisi yang bertugas pada satuan Direktorat Narkoba sedang menuju sebuah kapal bernama Magisca. Kapal berbendera Turki itu sedang berlabuh di New York Harbor, dekat Ambrose Light.Kapten Mohammed Romzi menyumpahi nasib sialnya ketika memeriksa dokumen setebal lima halaman yang dicap stempel resmi Pabean, Departemen Keuangan. Rokok tanpa filter yang terselip di bibirnya yang bengkak dan putih, kering mengelupas. Burung-burung camar terbang berputar, memekik keras diat
"Aku mendapatkan kartu truffnya,” kata Jonash kepada Parker.Tapi apakah Grand Jury, bisa melumpuhkan kakinya semudah itu. Mengingat pembicaraan yang telah ia lakukan dengan seseorang yang beberapa waktu lalu, telah tidak menaruh harapan terhadap Grand Jury.Anthony Parker meyakinkan dirinya, mengatakan semua hal yang ia alami kepada letnan Jonash adalah keputusan tepat. Langkah itu diambilnya saat sebelum kejadian Atlantic City itu tepatnya setelah ia merasa beberapa tugas sebagai Death Squad, melakukan tugas pembunuhan bos-bos mafia telah ia lakukan, suatu siang kala itu, seserang menelepon ponselnya “The Man.”“Aku ingin bertemu denganmu. Dimana kita bisa ketemu,” tanya seseorang di seberang sana. Sejenak, sebuah usul melintas di kepala Parker. “Naiklah kereta api dari New York Central seperti biasa kau pergi bekerja,” kata Parker. “Tapi pagi ini turunlah di Two Hundred Twenty Sixth Street. Aku akan menunggu. Jangan khawatir, tak akan ada seorangpun yang mengenalmu. Tidak ada seo
Telephone Benigno Jacob Andriano telah mengguncang jiwanya. Ia tidak bisa tidur sesudah telephone itu. Ia berbaring dengan mata terbuka. Mengingat tahun-tahun berlalu penuh kepedihan, penderitaan, tidak saja menghancurkan harga diri dan kehormatannya, tapi terbunuhnya keponakan serta pengasuhnya. Jonash berpikir keras, berarti kemungkinan besar kakaknya masih hidup. Dimana keberadaannya? Apakah Audrey berada dalam penguasaan lelaki jahat itu?Pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi isi kepala. Ia telah menunggu selama tiga tahun lebih, untuk membalaskan dendamnya, membalaskan dendam untuk kakaknya.Jonash merasakan tindihan perasaan frustasi. Kebebasan dan kecongkakan Benigno mencemoohnya. Benigno telah menempatkan dirinya di luar hukum, di luar sistem moral dan etika.Jonash sudah menceritakan kejadian itu pada rekannya Parker demikian pula hal yang mengguncangkan hatinya. Akhir-akhir ini, ia pun melewatkan malam demi malam tanpa tidur. Sudah bulat tekat mereka untuk membereskan kasus ya