"Kau tidak memahami Benni. Kiamat itu akan terjadi seandainya Jonash menikah dengan seorang wanita dari hubungan tidak syah. Ini akan menjadi skandal di korpsnya yang elit, melebihi kabar buruk tentang kehadiran mereka ke dunia ini yang berasal dari seorang ibu yang bahkan tidak diketahui keberadaannya. Profesi Jonash akan ternoda. Semua akan menderita karenanya. Ditambah lagi keberadaan Peter,” tutur Alicia tentu saja dalam hati. Pandangan matanya berpaling menatap taman dari jendela ruang itu.Kemudian diraihnya jemari saudarinya itu. “Benni, sayang,” Alicia memohon. “Untuk sementara jangan bertanya-tanya tentang itu. Aku mohon.”“Maafkan aku. Kupikir aku ini saudarimu, kembaranmu. Kau akan lebih terbuka kepadaku.”“Nanti aku akan menjelaskan semuanya.” Jemari Benni diremas lembut kembali. “Tapi kumohon, jangan paksa aku sekarang.”Rasa tidak sabar dan kekesalan terlihat di wajah Britney, pertanda wanita ini pasti akan terus mendesaknya.“Lalu, apa kau pulang untuk selamanya?”Desah
Akibat kepedihan dan rasa bersalah yang membuncah di hati Alicia, wanita itu tidak dapat melihat keindahan taman yang dipenuhi dengan kuncup dan mekarnya aster, mawar serta violet yang terbentang di jendela dimana matanya mengalihkan tatapan saudarinya. Tapi sungguh sebuah keajaiban--Jonash belum menikah.“Jadi begitu.” Alicia terdiam beberapa waktu. “Ya, aku mendoakan kebahagiaannya."Alicia betul-betul mendoakan kebahagiaan Jonash.Akan sangat egois jika ia tidak mengizinkan Jonash hidup bahagia. Dan dia bukanlah orang yang egois. Kepergiannya dari Jonash membuktikan hal itu. Justru pernikahan mereka akan menghancurkan karier hebat Jonash di kepolisian. Alicia mengetahui masa lalu yang pria itu pernah ceritakan kepadanya. Betapa ingin ia mencari tahu keberadaan kakak yng sangat ia cintai, sekaligus membalas sakit hati lelaki itu kepada musuh besarnya yang memiliki kekuasaaan serta harta yang berlimpah, yang membuat aksi kejahatannya tidak dapat dengan mudah diberantas. Membuat musuh
Baju dalam Alicia tidak dilepas melainkan ditarik lepas perlahan dari tubuhnya yang gemetar. Dirinya berbaring telentang dengan membuka kaki layaknya wanita nakal dan tangannya membelai otot dan tubuh yang lembab dan kencang.Jemari Jonash menjajaki puncak gunung kembarnya dengan penuh konsentrasi yang begitu lamban dan nikmat. Punggung Alicia melengkung sewaktu jemarinya semakin dalam mencengkeram bahu Jonash. Panas menggelegak dari gunung kembarnya, menyebar turun ke perutnya. Kemudian membakar lekuk diatara pahanya. Hasrat yang dirasakannya menggila dan menyiksa. Alicia tahu dia bisa mati jika Jonash berhenti.“Apakah rasanya nikmat? Apa kau menyukainya?” tanya Jonash. Suaramya parau karena gairah, mata kelabunya menggelap karena hasrat.Napas Jonash menggelitik tengkuk Alicia, dan jemari Jonash melanjutkan tarian erotis di puncak gunung kembarnya, membuat Alicia hanya bisa mengerang dan terkesiap tak menentu.Alicia begitu mendamba. Tubuhnya menggelinjang. Begitu ingin menghentikan
Bagaimana mungkin Jonash bisa tahu dengan kepastian yang tak tergoyahkan seperti itu? padahal sudah dikatakannya bahwa usia Peter baru dua tahun, hingga tidak mungkin dia adalah ayah Peter.Setelah matanya beradaptasi dengan lampu pojok tempat tidurnya, Alicia dapat melihat wajah kecoklatan Jonash. Alicia menelan ludahnya, bagaimana dia harus merespons? Bagaimana dia dapat merespons?“Anak itu---“Sepertinya Jonash sudah menduga bahwa Alicia pasti akan menyangkal, karna saat itu juga pria yang berdiri menjulang di hadapannya sedang menatap dengan pandangan mengerikan. Menghunjam, murka. Bibirnya terkatup rapat.“Jangan berani-beraninya kau berdusta padaku. Tidak lagi. Jangan pernah lagi,” geram Jonash, dalam suara yang dalam dan kelam.Nada pria itu membuat Alicia ketakutan. Seolah sumur kemurkaan yang tak berdasar milik lelaki itu kini hanya ditahan oleh seutas benang.“Jonash.” Nama itu meluncur dengan nada memohon yang lirih. Nada menenangkan untuk memberi penjelasan.Jonash mundur
Ucapan Jonash begitu menyakitkan. Seperti kerikil yang menusuk kulit. Memang tidak diragukan, memang itu niat Jonash. Alicia terdiam, menerima perlakuan Jonash sebagai bagian dari hukumannya.“Jangan coba-coba merayuku. Itu tidak akan berhasil. Tapi karena kau memiliki putraku, urusan diantara kita masih jauh dari selesai.” Jika kalimat Jonash belum cukup buruk, mata Jonash yang memicing serta rahangnya yang mengeras menegaskan hal yang lebih seram lagi.Merayunya?Tapi Jonash lah yang menciumnya. Tapi karena Alicia sendiri menyambutnya dengan liar, yang dapat dilakukannya hanyalah menelan ludah dan mengangguk, mengiyakan dalam diam. Sementara rasa malu menetap di pipinya yang merah padam.Jonash berbalik pergi tapi seolah menubruk dinding, dia berbalik menatap Alicia dengan tatapan dingin. “Dan Demi Tuhan, jika kau kembali pergi dan membuatku mengejarmu---karena setelah tahu bahwa putraku ada padamu, kali ini aku akan mengejarmu sampai ujung dunia. Dan kupastikan kau akan menyesali s
7 Maret 2024Newark, New Jersey, Cecilia PenthouseAudrey membuka matanya perlahan. Dia mencoba-coba mengingat apa yang telah terjadi. Matanya ia edarkan ke sekitar. Sebuah kamar yang luas---dan indah. Dia yakin belum pernah berada di ruangan ini. Kamar ini sangat indah tapi berbeda dengan Residenza Diangello.Audrey terhenyak duduk karena kaget. Secepatnya pikirannya bekerja, dia pandangi dirinya. Dia mengenalan pakaian tidur yang nyaman, sebuah terusan berbahan katun yang lembut. Dia tau ini terusan berharga mahal. “Dimana aku?”Seorang masuk ke dalam kamar itu. Seorang wanita muda berwajah sangat cantik. Rambutnya pirang mempesona. Seperti halnya Audrey, wanita itu mengenalan terusan katun yang modelnya hampir sama dengan yang dipakai Audrey. Kalau punya Audrey berwarn biru muda, terusan yang dikenakan wanita itu berwarna pink.“Audrey, syukurlah kau sudah bangun!” Suara wanita itu keras dan riang, wajahnya terlihat sumringah.Audrey menatap wanita itu lekat. Semoga dia tidak amnes
Putri ahli waris Gruppo METRO beserta pengasuhnya diketemukan dalam keadaan tewas di pesisir pantai Cala Goloritze, wilayah selatan Sardinia.Mata Audrey masih dapat membaca headline surat kabar itu sebelum tubuhnya limbung, dengan dada sesak. Kemudian pandangan sekelilungnya gelap. Audrey tak sadarkan diri.Cecilia membaringkan Audrey di kamarnya. Dia dapat membayangkan seberapa sakit hati seorang ibu yang anaknya dibunuh dengan sangat tragis.Selama setengah jam berikitnya Cecilia berinisiatif memberikan aroma yang membangunkan Audrey dari pingsannya.Usaha itu berhasil. Audrey bersin.Dia mendapati adik iparnya disampingnya. Menatapnya dengan pandangan ikut berduka.“Audrey, pelayanku sudah menyiapkan makan untukmu. Sejak sehari lalu perutmu belum terisi.”Di atas meja di pojok kamar itu, terdapat beberapa piring kudapan. Biskuit jahe, pancake dengan madu, waffles, pastri dengan keju edam potong, selai kacang, serta dua gelas minuman, jus jeruk dan susu.“Aku tidak mau makan, Cecili
Cecilia menatap kemarahan, kesungguhan, kepastian yang tak terbendung lagi di mata indah Audrey. “Well---” wanita muda ini bisa merasakan gelombang keyakinan di wajah Audrey. Kekuatan wanita yang sedang marah karena kematian putrinya tidak akan dapat diragukan lagi efek mematikannya. Tapi dia bisa tahu bagaimana rapuhnya wanita ini. Seperti dua sisi mata uang yang berbeda. “Kau harus melibatkan suamimu,” ujar Cecilia memberi dukungan.“Tidak Cecilia. Aku akan mencari pembunuh itu dengan tidak melibatkan suamiku. Aku akan menyelesaikan sendiri.”“Berhentilah berhalusinasi, Audrey.” Cecilia mulai merasa tidak sabar menghadapi kakak iparnya yang keras kepala ini.“Dengar kata-kataku, Cecilia Amethyt Diangello!” Audrey setengah berteriak tidak mau kalah.”Cecelia terdiam, mau tidak mau dia sedang menghadapi wanita naik pitam. Dia memaklumi penyebabnya. Dia memutuskan mengalah. Wanita didepannya adalah kakak iparnya, budaya menghornati kakak yang lebih tua telah diajarkan orang tuanya.“A
Ceritakan tentang anakku.” Audrey bertanya saat mereka duduk di teras kecil itu.Audrey tiba-tiba bertanya kepada Nathan.“Beberapa kali kau mengatakan kata ‘anakku’, itu menyiratkan kalau anakku bukan anak kandungmu karena kau bilang kau suamiku.”Sungguh Nathan merasa ini episode tersulit yang harus ia dan istrinya lalui.Lelaki itu menatap ke arah cangkir kopinya yang telah kosong.Audrey tahu, sesuatu yang ia lupakan dan masih menjadi misteri itu bukan suatu kabar baik.“Kau pernah menikah dengan seseorang sebelum aku nikahi.” Akhirnya kata itu keluar dari bibirnya.“Apakah dia, Benigno yang aku cari?” Audrey menatap Nathan dengan ekspresi dalam, rasa ingin tahunya terlihat jelas.“Bukan.”“Lantas?”“Baiklah, aku akan membuka semua identitasmu.”Audrey memposisikan dirinya pada pose senyaman mungkin. Ia telah siap mendengarkan cerita Nathan.“Aku masih berkabung atas berpulangnya sahabatku, rekan kerjaku pada perusahaan yang kami berdua jalankan, ketika seminggu setelah pemakamanny
Sinar matahari menyinari kamar tidur nyaman ini. Kehangatan lembut meresap pada permukaan kulitnya.Pernahkah ia merasa lebih aman dan bahagia? Audrey sulit menjawab karena ingatannya hampir tak ada.Tapi ia tak bisa membayangkan merasa lebih aman daripada yang ia rasa sekarang ini.Kemarin, setelah singgah di sebuah desa terdapat sebuah toko bahan pangan, Ia melihat Nathan mengisi dua troli besar dengan sejumlah bahan makanan. Mereka berkendara selama berkilo-kilometer, jauh memasuki daerah pegunungan. Saat kemudian Nathan memasuki jalan berkerikil di puncak bukit, napas Audrey terasa terhenti, ia mengira dirinya telah melihat surga dalam perjalanan tadi, tapi itu hanya awalnya saja.Rumah kayu dua lantai milik Nathan terletak di puncak bukit menjulang. Terdapat teras kecil, di kedua lantai. Mereka menghadap lembah memikat dipenuhi pepohonan hijau menyejukkan. Tinggi dan masiv, pegunungan menjulang di kejauhan, menambah keindahan yang menakjubkan. Ia keluar dari mobil begitu Nathan be
"Enak saja. Jangan berani-beraninya kau menyalahkan dirimu. Ini semua salah Benigno. Sejak dulu bahkan sebelum aku mengenalmu, aku tahu siapa dia.”“Ceritakan bagaimana dia versimu.”Angin lembut menggerakkan rambut sebahu Audrey yang berwarna merah berpadu coklat yang keemasan, tampak kontras dengan pipinya yang bersih tanpa cela yang kini tidak pucat lagi, rona kemerahan telah tampak di situ.Begaimanapun saat ini adalah hari dimana ia merasa usahanya perlahan mulai menampakkan berita baik. Nathan akan menunda dulu cerita mengenai saudara tirinya itu agar tidak merusak suasana hati wanita ini.“Suatu saat aku akan menceritakan semua yang ingin kau katahui, ini hanya masalah waktu, SayangPanggilan itu sekali lagi membuat desir di hati Audrey tak tertahankan. Ia bisa menebak, lelaki di sampingnya tidak ingin suasana hatinya berubah karena mendengar sesuatu yang akan membuat ia tidak suka.Mungkin Nathan benar. Tapi ia tidak dapat mengenyahkan kenyataan bahwa jika ia tak pergi sendiri
Kau telah banyak membantu menguak tabir ini, Audrey,” ujar Patrick. “Berdasarkan informasi yang kau berikan dari sesi hipnotismu dua hari lalu, kami punya gambaran yang lebih jelas tentang keadaan fasilitas itu. Sepertinya dia punya banyak orang yang di rekrut untuk membantunya. Masalahnya, mereka itu siapa dan darimana asalnya?”“Mereka gelandangan.”“Apa?” Lima orang bertanya sekaligus.“Saat aku melatih, aku mendengar salah seorang pemuda menangis, mengatakan kalau dia ingin pulang. Pria yang memimpin latihan menghardiknya dan berkata, “Kau lupa? Kau tak punya rumah, layaknya idiot-idiot lain di sini. Kami memberi kalian para idiot gelandangan kesempatan tapi kalian bahkan tidak merasa beruntung.”“Itu masuk akal. Begitu banyak anak-anak jalanan sehingga tak ada yang kehilangan mereka saat mereka tak nampak.”Patrick berdiri, menandakan pertemuan hari ini akan usai. “Kau telah memberikan pemahaman baru bagi kami yang bahkan belum pernah kami pertimbangkan. Kerja yang bagus, Audrey.
Audrey mengedarkan pandangannya ke orang-orang dalam ruangan.“Suara lembut, jahat, melengking tapi maskulin, mengatakan padaku...” Audrey menelah ludah. “Dia akan menikmati saat menjinakkanku.”Nathan menahan perutnya yang bergolak, giginya gemeretak. Tapi ia berusaha menyembunyikan reaksi itu.Setelah menghembuskan napas panjang, Audrey berkata pelan. “Aku ingat rasa sakit...siksaan. Dia sangat menikmatinya.” Ia memejamkan mata, menahan gejolak di dadanya. “Aku mendengar tawa melengking...nyaris seperti memekik. Dia menertawakanku. Kurasa dia merancang siksaan berdasarkan yang menurutnya paling merendahkan dan sungguh menyakitkan.”Ketika Audrey membuka mata, Nathan yang memandangnya tidak berkedip, ingin melolong, ikut merasakan penderitaan nyata yang dipantulkan mata itu. Penderitaan dan rasa sakit tak terperi yang ia rasakan.“Aku digantung terbalik dalam kondisi telanjang...dan disirami air dingin. Kemudian dia menyuruh mereka meninggalkanku terbaring di satu tangan dan kakiku y
Troy Ferguson melangkahkan kaki ke dalam rumah utama, ia dilanda kebimbangan. Ia bertugas sebagai seorang eksekutor. Kali ini ia harus melakukan tugas itu lagi.Diketuknya pintu lab utama. Pemimpin membentak, “Masuk.”Dua pria berdiri di samping “Pemimpin”, mereka memegangi seorang wanita paruh baya, berambut gelap diantara mereka.Wanita itu telanjang. Tubuhnya lebam-lebam dan berdarah karena telah dipukuli. Penciumannya membawa aroma amis. Anak buah pemimpin sudah memakainya sebagai pelampiasan syahwat... wanita itu telah dihukum. Sungguh suatu pemandangan menyayat hati. Ia tak tahu alasannya, ia pun tak berani bertanya, karena kalau pemimpin sudah berkehendak, tiada yang boleh menghalangi. Jika pemimpin memilih untuk menghukum, itu haknya. Tidak ada yang boleh bertanya apalagi membangkang. Mata wanita itu bengkak dari pukulan bertubi-tubi yang telah ia terima. Dia mendongak, memandangnya dan sesuatu dalam dirinya tersentak, menusuk kebingungan tersebut. Wanita itu tersiksa, terluk
Wanita itu menariknya lagi. Meski pandangannya kabur, Audrey mengingat secangkir teh yang ia minum tadi sebelum tidur. Sambil mengelakkan tangaai yang mencengkeram kuat, Audrey bergerak ke samping wanita itu dan mengulurkan tangan. Jemarinya menggenggam cangkir yang akan ia pergunakan. Sebagai senjata, benda itu bukan berarti apa-apa tapi lebih baik dari pada tak ada sama sekali. Ia menunggu sampai wanita itu mendekatinya lagi. Dan ketika ia sudah mendekat, tangan itu ia ayun sekuatnya. Getaran benturan dan suara gedebug memuaskan, memberi tahu Audrey serangannya mengenai sasaran.Terdengar raungan kemarahan. “Aku akan pergi dari sini!” gumamnya. Ia lari meninggalkan kamar.Titik-titik hitam itu muncul di penglihatan Audrey, bertambah besar. Tapi ia tidak bisa membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Ia harus menghentikannya, dan tak ada orang lain yang dapat melakukan itu...kecuali dia sendiriTapi kakinya kaku tidak mau bekerja sama. Audrey tertatih, tersandung melintasi kamar dan m
"Bagaimana keadaanmu pagi ini?” tanya Nathan mengalihkan rasa canggungnya.“Baik, masih sedikit pusing.”“Ada yang kau ingat?”“Sedikit. Tidak ada yang penting.”“Seperti?”Audrey memijit keningnya dan meskipun Nathan lebih rela memakan kaca daripada memberikan lagi kepedihan pada istrinya itu, ia perlu tahu sebanyak yang ia bisa tentang apa yang Audrey ingat.“Ingatan-ingatan samar, bahkan lebih daripada saat aku tiba di sini.”Profesor Dimitri sudah memperkirakan hal itu. Pemulihan kecanduan obat-obatan membuat ingatan-ingatan itu memudar. Kita perlu mendapatkan sebanyak apapun yang bisa didapatkan sebelum ingatan itu memudar.Audrey mengangguk. “Iya, aku tahu… hanya saja sedikit sekali. Aku hanya ingat aku mengenakan pakaian putih…kurasa seragam. Aku ingat ruangan penuh matras, dan ada pertarungan. Tapi wajah-wajah di sana… semua berkabut.”Nathan memberikan sebuah bungkusan plastik kepada Audrey.“Ini apa?”“Peralatan melukis.”“Untuk apa?”“Kau pelukis yang berbakat, Audrey. Apa
"Kami akan melakukan apapun sebisa kami. Pertama kami akan coba menghipnotis. Sampai kami tahu, efek seperti apa yang terus di bawa obat itu. Aku tak suka merawatnya dengan menggunakan banyak macam obat.”Nathan menarik napas, siap dengan ancaman bila memang itu diperlukan. “Lakukan sebisamu. Jika dia tidak mengalami perkembangan, aku akan membawanya pulang bersamaku, akan kusembuhkan dengan caraku. Mungkin aku tidak akan memaksanya untuk sesuatu yang memang sudah betul-betul hilang dari ingatannya."Mata gelap Patrick menelusuri wajah Nathan, kemudian berpaling ke arah Profesor Dimitri. “Bagaimana menurutmu?”Profesor Dimitri mengangguk. “Nathan dan aku sudah membicarakan tentang ini tadi malam. Audrey merasa lebih tenang bersamanya, kurasa ini ide bagus.”Patrick menatap Nathan. “Kau tahu, Beningno sudah pasti akan mencarinya?”“Pasti aku akan menjaganya.” Nathan kembali menoleh ke arah Profesor Dimitri. “Apa yang seharusnya kuharapkan?”Ekspresi Dimitri terlihat frustasi. “Berdasar