Jonash sekarang berbeda dengan pria lembut yang dikenal Alicia dahulu.“Benar, mirip ayahnya. Sayangnya sang ayah sudah tidak lagi bersama kami.”Itu dia. Alicia sudah mengatakan kebohongan pertama, benih dari rentetan kebohongan lainnya.Jonash masih menatapnya mata tanpe emosi dan ekspresi datar. “Jadi kau sudah menikah?” Seberkas perubahan dalam nada bicara Jonash menandakan bahwa kalimat itu adalah pertanyaan. Dan sama sekali tidak terasa pertanda bahwa pertanyaan tersebut membuat hati Jonash merasakan kepedihan yang sama seperti yang ia rasakan. Pria itu terdengar bertanya dengan sopan, tanpa terlihat penasaran.Tapi untuk mengucapkan kebohongan satu ini dengan keras kepada Jonash ternyata lebih sulit daripada yang ditanggung hati dan nurani Alicia. Kebohongan yang tanpa batas.Alicia mengangguk, tanpa berani menatap mata Jonash.Tapi jika dia berpikir Jonash akan menentangnya; dengan cara membongkar kebohongannya dari klue kecil yang nyata dari tatapan mata Alicia yang berpaling
"Kau tidak memahami Benni. Kiamat itu akan terjadi seandainya Jonash menikah dengan seorang wanita dari hubungan tidak syah. Ini akan menjadi skandal di korpsnya yang elit, melebihi kabar buruk tentang kehadiran mereka ke dunia ini yang berasal dari seorang ibu yang bahkan tidak diketahui keberadaannya. Profesi Jonash akan ternoda. Semua akan menderita karenanya. Ditambah lagi keberadaan Peter,” tutur Alicia tentu saja dalam hati. Pandangan matanya berpaling menatap taman dari jendela ruang itu.Kemudian diraihnya jemari saudarinya itu. “Benni, sayang,” Alicia memohon. “Untuk sementara jangan bertanya-tanya tentang itu. Aku mohon.”“Maafkan aku. Kupikir aku ini saudarimu, kembaranmu. Kau akan lebih terbuka kepadaku.”“Nanti aku akan menjelaskan semuanya.” Jemari Benni diremas lembut kembali. “Tapi kumohon, jangan paksa aku sekarang.”Rasa tidak sabar dan kekesalan terlihat di wajah Britney, pertanda wanita ini pasti akan terus mendesaknya.“Lalu, apa kau pulang untuk selamanya?”Desah
Akibat kepedihan dan rasa bersalah yang membuncah di hati Alicia, wanita itu tidak dapat melihat keindahan taman yang dipenuhi dengan kuncup dan mekarnya aster, mawar serta violet yang terbentang di jendela dimana matanya mengalihkan tatapan saudarinya. Tapi sungguh sebuah keajaiban--Jonash belum menikah.“Jadi begitu.” Alicia terdiam beberapa waktu. “Ya, aku mendoakan kebahagiaannya."Alicia betul-betul mendoakan kebahagiaan Jonash.Akan sangat egois jika ia tidak mengizinkan Jonash hidup bahagia. Dan dia bukanlah orang yang egois. Kepergiannya dari Jonash membuktikan hal itu. Justru pernikahan mereka akan menghancurkan karier hebat Jonash di kepolisian. Alicia mengetahui masa lalu yang pria itu pernah ceritakan kepadanya. Betapa ingin ia mencari tahu keberadaan kakak yng sangat ia cintai, sekaligus membalas sakit hati lelaki itu kepada musuh besarnya yang memiliki kekuasaaan serta harta yang berlimpah, yang membuat aksi kejahatannya tidak dapat dengan mudah diberantas. Membuat musuh
Baju dalam Alicia tidak dilepas melainkan ditarik lepas perlahan dari tubuhnya yang gemetar. Dirinya berbaring telentang dengan membuka kaki layaknya wanita nakal dan tangannya membelai otot dan tubuh yang lembab dan kencang.Jemari Jonash menjajaki puncak gunung kembarnya dengan penuh konsentrasi yang begitu lamban dan nikmat. Punggung Alicia melengkung sewaktu jemarinya semakin dalam mencengkeram bahu Jonash. Panas menggelegak dari gunung kembarnya, menyebar turun ke perutnya. Kemudian membakar lekuk diatara pahanya. Hasrat yang dirasakannya menggila dan menyiksa. Alicia tahu dia bisa mati jika Jonash berhenti.“Apakah rasanya nikmat? Apa kau menyukainya?” tanya Jonash. Suaramya parau karena gairah, mata kelabunya menggelap karena hasrat.Napas Jonash menggelitik tengkuk Alicia, dan jemari Jonash melanjutkan tarian erotis di puncak gunung kembarnya, membuat Alicia hanya bisa mengerang dan terkesiap tak menentu.Alicia begitu mendamba. Tubuhnya menggelinjang. Begitu ingin menghentikan
Bagaimana mungkin Jonash bisa tahu dengan kepastian yang tak tergoyahkan seperti itu? padahal sudah dikatakannya bahwa usia Peter baru dua tahun, hingga tidak mungkin dia adalah ayah Peter.Setelah matanya beradaptasi dengan lampu pojok tempat tidurnya, Alicia dapat melihat wajah kecoklatan Jonash. Alicia menelan ludahnya, bagaimana dia harus merespons? Bagaimana dia dapat merespons?“Anak itu---“Sepertinya Jonash sudah menduga bahwa Alicia pasti akan menyangkal, karna saat itu juga pria yang berdiri menjulang di hadapannya sedang menatap dengan pandangan mengerikan. Menghunjam, murka. Bibirnya terkatup rapat.“Jangan berani-beraninya kau berdusta padaku. Tidak lagi. Jangan pernah lagi,” geram Jonash, dalam suara yang dalam dan kelam.Nada pria itu membuat Alicia ketakutan. Seolah sumur kemurkaan yang tak berdasar milik lelaki itu kini hanya ditahan oleh seutas benang.“Jonash.” Nama itu meluncur dengan nada memohon yang lirih. Nada menenangkan untuk memberi penjelasan.Jonash mundur
Ucapan Jonash begitu menyakitkan. Seperti kerikil yang menusuk kulit. Memang tidak diragukan, memang itu niat Jonash. Alicia terdiam, menerima perlakuan Jonash sebagai bagian dari hukumannya.“Jangan coba-coba merayuku. Itu tidak akan berhasil. Tapi karena kau memiliki putraku, urusan diantara kita masih jauh dari selesai.” Jika kalimat Jonash belum cukup buruk, mata Jonash yang memicing serta rahangnya yang mengeras menegaskan hal yang lebih seram lagi.Merayunya?Tapi Jonash lah yang menciumnya. Tapi karena Alicia sendiri menyambutnya dengan liar, yang dapat dilakukannya hanyalah menelan ludah dan mengangguk, mengiyakan dalam diam. Sementara rasa malu menetap di pipinya yang merah padam.Jonash berbalik pergi tapi seolah menubruk dinding, dia berbalik menatap Alicia dengan tatapan dingin. “Dan Demi Tuhan, jika kau kembali pergi dan membuatku mengejarmu---karena setelah tahu bahwa putraku ada padamu, kali ini aku akan mengejarmu sampai ujung dunia. Dan kupastikan kau akan menyesali s
7 Maret 2024Newark, New Jersey, Cecilia PenthouseAudrey membuka matanya perlahan. Dia mencoba-coba mengingat apa yang telah terjadi. Matanya ia edarkan ke sekitar. Sebuah kamar yang luas---dan indah. Dia yakin belum pernah berada di ruangan ini. Kamar ini sangat indah tapi berbeda dengan Residenza Diangello.Audrey terhenyak duduk karena kaget. Secepatnya pikirannya bekerja, dia pandangi dirinya. Dia mengenalan pakaian tidur yang nyaman, sebuah terusan berbahan katun yang lembut. Dia tau ini terusan berharga mahal. “Dimana aku?”Seorang masuk ke dalam kamar itu. Seorang wanita muda berwajah sangat cantik. Rambutnya pirang mempesona. Seperti halnya Audrey, wanita itu mengenalan terusan katun yang modelnya hampir sama dengan yang dipakai Audrey. Kalau punya Audrey berwarn biru muda, terusan yang dikenakan wanita itu berwarna pink.“Audrey, syukurlah kau sudah bangun!” Suara wanita itu keras dan riang, wajahnya terlihat sumringah.Audrey menatap wanita itu lekat. Semoga dia tidak amnes
Putri ahli waris Gruppo METRO beserta pengasuhnya diketemukan dalam keadaan tewas di pesisir pantai Cala Goloritze, wilayah selatan Sardinia.Mata Audrey masih dapat membaca headline surat kabar itu sebelum tubuhnya limbung, dengan dada sesak. Kemudian pandangan sekelilungnya gelap. Audrey tak sadarkan diri.Cecilia membaringkan Audrey di kamarnya. Dia dapat membayangkan seberapa sakit hati seorang ibu yang anaknya dibunuh dengan sangat tragis.Selama setengah jam berikitnya Cecilia berinisiatif memberikan aroma yang membangunkan Audrey dari pingsannya.Usaha itu berhasil. Audrey bersin.Dia mendapati adik iparnya disampingnya. Menatapnya dengan pandangan ikut berduka.“Audrey, pelayanku sudah menyiapkan makan untukmu. Sejak sehari lalu perutmu belum terisi.”Di atas meja di pojok kamar itu, terdapat beberapa piring kudapan. Biskuit jahe, pancake dengan madu, waffles, pastri dengan keju edam potong, selai kacang, serta dua gelas minuman, jus jeruk dan susu.“Aku tidak mau makan, Cecili