Share

Bab 3. Hamil

Semua orang terkejut, begitu mereka melihat Lily jatuh tak sadarkan diri. Perdebatan Reno dan Alina, terpaksa harus berhenti karena Lily yang pingsan. Reno dan Weni panik melihatnya, mereka bergerak lebih dulu menghampiri Lily yang sudah tergeletak di atas lantai. Sedangkan Alina dan Abimana, masih berdiri di tempat mereka sambil melihat ke arah Lily.

"Lily! Sayang! Kamu kenapa?" Reno menepuk-nepuk pelan pipi Lily dan matanya memancarkan kekhawatiran pada istri keduanya itu.

"Lily ... kamu kenapa, Nak?"

Tidak hanya Reno, Weni juga panik, karena sangat mengkhawatirkan menantunya. Padahal masih ada menantunya yang lain, yang harus dia perhatikan juga.

Hati Alina hancur, saat dia melihat suaminya sangat mengkhawatirkan istri keduanya. Rasa cemburu itu semakin menggebu, sampai air matanya berdesakan ingin segera keluar dari tempatnya. Namun, sebisa mungkin Alina menahannya agar tidak terlihat menyedihkan di sana.

"Reno, cepat kamu bawa istri kamu ke rumah sakit!" Titah Weni pada putra keduanya itu.

"Iya, Ma."

Pria itu dengan sigap menggendong istri keduanya, tanpa mempedulikan Alina yang masih berdiri di sana dengan menahan rasa sakit di hatinya. Reno membawa Lily keluar dari rumah sambil membawa kunci mobilnya.

Suara keras terdengar, bersamaan dengan satu tamparan yang mendarat pada pipi kiri Alina. Abimana terperangah, saat melihat apa yang dilakukan ibunya pada Alina.

"Astaghfirullah! Mama!" ujar Abimana.

"Ini semua gara-gara kamu! Awas aja kalau sampai terjadi sesuatu sama Lily," geram Weni dengan tatapan tajam yang mengarah pada Alina.

Terlihat jelas, Alina tidak terima disalahkan dan kali ini dia angkat bicara. Tidak diam seperti biasanya. "Kenapa jadi gara-gara aku, Ma? Aku kan nggak ngapa ngapain menantu kesayangan mama itu. Aku cuma diem di sini dan menerima semua hinaan Mama. Tapi ... Mama malah menyalahkan aku?"

Kedua mata Weni sontak saja melebar, tangannya berkacak di pinggang dan menunjukkan keangkuhannya. "Kamu berani ngelawan saya, Alina? Tidak sopan kamu, ya. Dasar mandul!"

Weni meninggikan suaranya di depan Alina, sampai-sampai membuat Alina memejamkan matanya. Merasakan dadanya diremat dengan kuat oleh perkataan ibu mertua yang bagaikan pedang, menghunus hatinya.

Hampir setiap hari, dia harus mendengar bentakan dan hinaan dari ibu mertuanya. Alina lelah menghadapi tekanan ini. Dia ingin mengakhirinya, tapi di sisi lain, dia masih ingin mempertahankan rumah tangganya. Dia bertahan demi Reno, suaminya.

"Awas ya kamu! Urusan saya belum selesai sama kamu, Alina!" seru Weni sambil menunjuk wajah Alina dengan jari telunjuknya."Dasar perempuan mandul," desis Weni yang masih terdengar oleh Alina. Untuk ke sekian kalinya, wanita paruh baya itu mengejek Alina dengan kekurangannya sebagai seorang wanita.

Kemudian, Weni memutuskan melangkah pergi dari sana, karena dia merasa harus menemani Lily dan Reno. Weni takut dan khawatir, bila terjadi sesuatu yang serius kepada Lily.

Tak lama, setelah kepergian ibu mertua, bersama dengan suami dan madunya meninggalkan rumah itu. Buliran bening yang sedari tadi tertahan di kedua matanya, akhirnya meluruh juga, dengan cukup deras. Air mata itu turun tanpa suara, tapi sorot matanya menunjukkan kesedihan yang nyata.

"Alina ... kamu nggak apa-apa?" tanya Abimana yang merasa iba melihat adik iparnya menangis seperti ini. Seakan dia ikut merasakan sakitnya Alina.

Alina buru-buru memalingkan muka, menyembunyikan wajahnya yang kacau. Dia mengusap basah itu, yang tak tahu diri berada di pipinya.

"Aku nggak apa-apa, Bang. A-aku berangkat dulu. Assalamualaikum."

Wanita itu berpamitan dengan terburu-buru, karena dia tidak mau tampak menjadikan lagi di depan siapapun. Abimana juga tidak membiarkan Alina pergi begitu saja dengan perut kosong dan dalam keadaan yang kacau. Abimana menyiapkan roti dengan selai stoberi dan memasukkannya ke dalam wadah. Kemudian, dia bergegas menyusul Alina yang sudah pergi keluar rumah.

"Alina, tunggu!"

Alina menghentikan langkahnya, begitu mendengar suara Abimana yang memanggil namanya. Dia membalikkan tubuh dan melihat Abimana sudah berada dibelakangnya sambil membawa wadah berisi roti tadi.

Kepala menunduk, saat menyadari jarak Abimana dekat dengannya. "I-iya Bang? Ada apa?"

Abimana menghela nafas berat, lalu dia pun menyodorkan wadah berisi roti itu kepada Alina."Kamu belum sarapan."

"Nggak usah, Bang." Alina menolak pemberian Abimana.

Hatinya sedang tidak baik-baik saja, bagaimana bisa dia memakan sesuatu di saat-saat seperti ini? Apa Abimana tidak mengerti perasaannya?

"Apa pun keadaan kamu, suasana hati kamu saat ini. Jangan lupa untuk makan, karena itu adalah salah satu cara kamu ... untuk menyayangi diri kamu sendiri."

Hati Alina terenyuh, dia tidak mengira kalau Abimana akan mengerti perasaannya. Tidak seperti suaminya yang cuek dan bahkan mungkin, sudah tidak peduli lagi kepadanya sejak pria itu menikah lagi.

"Bang Abi saja paham perasaanku, tapi kenapa kamu nggak paham, Mas?" Tangis Alina dalam hatinya.

"Makasih Bang. Abang juga jangan lupa sarapan."

"Saya mau sarapan di kantor, Alina. Oh ya, kamu mau ke mana? Saya antar ya?"

Abimana menawarkan pada Alina untuk berangkat bersamanya. Dia agak heran, melihat penampilan Alina yang terlihat rapi dengan outfit warna hitam putih.

"Saya mau melamar pekerjaan, Bang."

Abimana mengerutkan kening, saat mendengar jawaban Alina. Dia ingin bertanya, tapi mengurungkannya dan menyimpannya dalam hati.

"Ya udah, ayo Abang antar. Tapi maaf loh, cuma pake motor butut, hehe."

Lelaki yang memilki dua lesung pipi itu terkekeh dan mau tak mau, Alina juga balas tersenyum padanya. Selama ini Abimana baik padanya, meskipun orangnya jarang bicara dan baru kali ini, Abimana banyak bicara pada Alina. Mungkin, karena lelaki itu iba padanya.

"Nggak apa-apa, Bang. Ayo, kalau Abang mau antar saya. Itu pun kalau Bang Abi, nggak keberatan."

**

Sore itu, Alina pulang ke rumahnya dan masih memakai pakaian yang sama seperti terakhir saat dia pergi tadi pagi.

"Assalamu'alaikum." Sambil berjalan memasuki rumah, Alina begitu terkejut ketika mendapati suami dan mertuanya telah sampai lebih dulu. “Mas, kamu sudah pulang?”

Alina menghampiri sang suami, hendak mencium tangan Reno. Akan tetapi, tatapan sinis pria itu yang diikuti tepisan kasar tangan Alina membuat wanita itu terkejut.

"Dari mana saja kamu Alina?" tanya Reno, terlihat dia menyilangkan kedua tangan di dada dan menatap Alina dengan tajam.

"Aku dari—"

"Dasar mandul, kerjanya kelayapan terus." Weni tiba-tiba datang dan menyela perkataan Alina yang belum usai.

Dipanas-panasi ibunya, rahang Reno semakin mengetat karena marah. “Kamu tau Lily masuk rumah sakit, malah kelayapan!”

"Udah lah Reno, lebih baik kamu ceraikan si mandul ini! Toh ... sekarang Lily sudah hamil anak kalian, tidak ada gunanya dia di sini lagi!"

Hati Alina bagaikan dihantam godam besi yang berat saat mendengar perkataan ibu mertuanya. Dengan mata yang berlinang, antara sedih dan turut bahagia ... Alina berujar lirih, “L-Lily... hamil?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status