Semua orang terkejut, begitu mereka melihat Lily jatuh tak sadarkan diri. Perdebatan Reno dan Alina, terpaksa harus berhenti karena Lily yang pingsan. Reno dan Weni panik melihatnya, mereka bergerak lebih dulu menghampiri Lily yang sudah tergeletak di atas lantai. Sedangkan Alina dan Abimana, masih berdiri di tempat mereka sambil melihat ke arah Lily.
"Lily! Sayang! Kamu kenapa?" Reno menepuk-nepuk pelan pipi Lily dan matanya memancarkan kekhawatiran pada istri keduanya itu. "Lily ... kamu kenapa, Nak?" Tidak hanya Reno, Weni juga panik, karena sangat mengkhawatirkan menantunya. Padahal masih ada menantunya yang lain, yang harus dia perhatikan juga. Hati Alina hancur, saat dia melihat suaminya sangat mengkhawatirkan istri keduanya. Rasa cemburu itu semakin menggebu, sampai air matanya berdesakan ingin segera keluar dari tempatnya. Namun, sebisa mungkin Alina menahannya agar tidak terlihat menyedihkan di sana. "Reno, cepat kamu bawa istri kamu ke rumah sakit!" Titah Weni pada putra keduanya itu. "Iya, Ma." Pria itu dengan sigap menggendong istri keduanya, tanpa mempedulikan Alina yang masih berdiri di sana dengan menahan rasa sakit di hatinya. Reno membawa Lily keluar dari rumah sambil membawa kunci mobilnya. Suara keras terdengar, bersamaan dengan satu tamparan yang mendarat pada pipi kiri Alina. Abimana terperangah, saat melihat apa yang dilakukan ibunya pada Alina. "Astaghfirullah! Mama!" ujar Abimana. "Ini semua gara-gara kamu! Awas aja kalau sampai terjadi sesuatu sama Lily," geram Weni dengan tatapan tajam yang mengarah pada Alina. Terlihat jelas, Alina tidak terima disalahkan dan kali ini dia angkat bicara. Tidak diam seperti biasanya. "Kenapa jadi gara-gara aku, Ma? Aku kan nggak ngapa ngapain menantu kesayangan mama itu. Aku cuma diem di sini dan menerima semua hinaan Mama. Tapi ... Mama malah menyalahkan aku?" Kedua mata Weni sontak saja melebar, tangannya berkacak di pinggang dan menunjukkan keangkuhannya. "Kamu berani ngelawan saya, Alina? Tidak sopan kamu, ya. Dasar mandul!" Weni meninggikan suaranya di depan Alina, sampai-sampai membuat Alina memejamkan matanya. Merasakan dadanya diremat dengan kuat oleh perkataan ibu mertua yang bagaikan pedang, menghunus hatinya. Hampir setiap hari, dia harus mendengar bentakan dan hinaan dari ibu mertuanya. Alina lelah menghadapi tekanan ini. Dia ingin mengakhirinya, tapi di sisi lain, dia masih ingin mempertahankan rumah tangganya. Dia bertahan demi Reno, suaminya. "Awas ya kamu! Urusan saya belum selesai sama kamu, Alina!" seru Weni sambil menunjuk wajah Alina dengan jari telunjuknya."Dasar perempuan mandul," desis Weni yang masih terdengar oleh Alina. Untuk ke sekian kalinya, wanita paruh baya itu mengejek Alina dengan kekurangannya sebagai seorang wanita. Kemudian, Weni memutuskan melangkah pergi dari sana, karena dia merasa harus menemani Lily dan Reno. Weni takut dan khawatir, bila terjadi sesuatu yang serius kepada Lily. Tak lama, setelah kepergian ibu mertua, bersama dengan suami dan madunya meninggalkan rumah itu. Buliran bening yang sedari tadi tertahan di kedua matanya, akhirnya meluruh juga, dengan cukup deras. Air mata itu turun tanpa suara, tapi sorot matanya menunjukkan kesedihan yang nyata. "Alina ... kamu nggak apa-apa?" tanya Abimana yang merasa iba melihat adik iparnya menangis seperti ini. Seakan dia ikut merasakan sakitnya Alina. Alina buru-buru memalingkan muka, menyembunyikan wajahnya yang kacau. Dia mengusap basah itu, yang tak tahu diri berada di pipinya. "Aku nggak apa-apa, Bang. A-aku berangkat dulu. Assalamualaikum." Wanita itu berpamitan dengan terburu-buru, karena dia tidak mau tampak menjadikan lagi di depan siapapun. Abimana juga tidak membiarkan Alina pergi begitu saja dengan perut kosong dan dalam keadaan yang kacau. Abimana menyiapkan roti dengan selai stoberi dan memasukkannya ke dalam wadah. Kemudian, dia bergegas menyusul Alina yang sudah pergi keluar rumah. "Alina, tunggu!" Alina menghentikan langkahnya, begitu mendengar suara Abimana yang memanggil namanya. Dia membalikkan tubuh dan melihat Abimana sudah berada dibelakangnya sambil membawa wadah berisi roti tadi. Kepala menunduk, saat menyadari jarak Abimana dekat dengannya. "I-iya Bang? Ada apa?" Abimana menghela nafas berat, lalu dia pun menyodorkan wadah berisi roti itu kepada Alina."Kamu belum sarapan." "Nggak usah, Bang." Alina menolak pemberian Abimana. Hatinya sedang tidak baik-baik saja, bagaimana bisa dia memakan sesuatu di saat-saat seperti ini? Apa Abimana tidak mengerti perasaannya? "Apa pun keadaan kamu, suasana hati kamu saat ini. Jangan lupa untuk makan, karena itu adalah salah satu cara kamu ... untuk menyayangi diri kamu sendiri." Hati Alina terenyuh, dia tidak mengira kalau Abimana akan mengerti perasaannya. Tidak seperti suaminya yang cuek dan bahkan mungkin, sudah tidak peduli lagi kepadanya sejak pria itu menikah lagi. "Bang Abi saja paham perasaanku, tapi kenapa kamu nggak paham, Mas?" Tangis Alina dalam hatinya. "Makasih Bang. Abang juga jangan lupa sarapan." "Saya mau sarapan di kantor, Alina. Oh ya, kamu mau ke mana? Saya antar ya?" Abimana menawarkan pada Alina untuk berangkat bersamanya. Dia agak heran, melihat penampilan Alina yang terlihat rapi dengan outfit warna hitam putih. "Saya mau melamar pekerjaan, Bang." Abimana mengerutkan kening, saat mendengar jawaban Alina. Dia ingin bertanya, tapi mengurungkannya dan menyimpannya dalam hati. "Ya udah, ayo Abang antar. Tapi maaf loh, cuma pake motor butut, hehe." Lelaki yang memilki dua lesung pipi itu terkekeh dan mau tak mau, Alina juga balas tersenyum padanya. Selama ini Abimana baik padanya, meskipun orangnya jarang bicara dan baru kali ini, Abimana banyak bicara pada Alina. Mungkin, karena lelaki itu iba padanya. "Nggak apa-apa, Bang. Ayo, kalau Abang mau antar saya. Itu pun kalau Bang Abi, nggak keberatan." ** Sore itu, Alina pulang ke rumahnya dan masih memakai pakaian yang sama seperti terakhir saat dia pergi tadi pagi. "Assalamu'alaikum." Sambil berjalan memasuki rumah, Alina begitu terkejut ketika mendapati suami dan mertuanya telah sampai lebih dulu. “Mas, kamu sudah pulang?” Alina menghampiri sang suami, hendak mencium tangan Reno. Akan tetapi, tatapan sinis pria itu yang diikuti tepisan kasar tangan Alina membuat wanita itu terkejut. "Dari mana saja kamu Alina?" tanya Reno, terlihat dia menyilangkan kedua tangan di dada dan menatap Alina dengan tajam. "Aku dari—" "Dasar mandul, kerjanya kelayapan terus." Weni tiba-tiba datang dan menyela perkataan Alina yang belum usai. Dipanas-panasi ibunya, rahang Reno semakin mengetat karena marah. “Kamu tau Lily masuk rumah sakit, malah kelayapan!” "Udah lah Reno, lebih baik kamu ceraikan si mandul ini! Toh ... sekarang Lily sudah hamil anak kalian, tidak ada gunanya dia di sini lagi!" Hati Alina bagaikan dihantam godam besi yang berat saat mendengar perkataan ibu mertuanya. Dengan mata yang berlinang, antara sedih dan turut bahagia ... Alina berujar lirih, “L-Lily... hamil?”Tubuh Alina membeku, jantungnya seakan berhenti berdetak saat itu juga, manakala dia mendengar kabar tentang kehamilan madunya. Seharusnya ini adalah kabar baik yang bisa membuatnya bahagia, karena suaminya akan memiliki keturunan setelah 5 tahun menunggu. Akan tetapi, hati Alina tidak merasa bahagia dengan kabar ini.Perkataan ibu mertuanya, bagaikan hujan petir yang datang di siang bolong. Mampu meluluhlantakkan perasaannya."Iya, Lily sedang hamil anak Reno. Tadi dokter memeriksanya di rumah sakit dan ternyata dia hamil. Terbukti kan, sekarang? Kalau kamu itu memang mandul?" Sarkas Weni kepada menantu pertamanya itu dan tanpa mempedulikan perasaan Alina sama sekali.Wajah pucat Alina, kedua mata wanita itu yang tampak mengembun, sama sekali tidak membuat Weni bersimpati kepadanya. Dia malah terlihat senang menyudutkan Alina tentang kemandulan."Ma, udah cukup." Reno meminta ibunya untuk tidak bicara lagi, karena sebenarnya hati Reno juga sakit mendengar Alina dihina dan disudutkan
Alih-alih membujuk suaminya agar tidak marah, Alina malah mengucapkan kata-kata yang membuat suaminya semakin marah. Ya, Reno marah, saat mendengar Alina malah mengusirnya. Seharusnya, hari ini menjadi hari yang bahagia untuk Reno dan Alina, karena kehamilan Lily. Akan tetapi, sikap Alina malah mengacaukan segalanya. Reno pun mulai membenarkan apa yang dikatakan oleh ibunya, bahwa sebenarnya Alina memang tidak senang dia bahagia. "Keluar Mas, aku lelah. Aku mau istirahat." Alina mengusir suaminya untuk kedua kalinya, sambil memalingkan wajah dari pria itu. Dia tidak mau kamu sampai Reno melihatnya menangis. Tapi, jika pria itu cukup peka akan perasaannya, mungkin Reno akan bertanya bagaimana perasaan istri pertamanya saat ini. "Keterlaluan kamu Alina! Apa kamu benar-benar nggak suka lihat aku sama Lily bahagia? Bisa-bisanya kamu sikap kayak gini, saat tahu Lily hamil?" Reno mencecar istrinya sambil marah-marah. Dia kecewa karena Alina tidak menunjukkan kebahagiaan atas kabar ini. "
Kali ini Alina tidak mau mengalah, dia harus bisa membuat Reno bisa tinggal dengannya malam ini. Reno juga sudah berjanji padanya dan bukankah sudah seharusnya Reno menjaga janjinya pada Alina?Selalu aja ada alasan, yang membuat Reno harus bersama Lily. Sampai-sampai Alina tidak punya waktu untuk bersama suaminya sendiri. Alina paham, kalau Lily juga istri suaminya, tapi wanita itu terlalu menguasai waktu Reno. Sehingga Alina tidak mendapatkan waktu bersama Reno."Aku tidak mengizinkanmu pergi, Mas. Malam ini kamu harus bersamaku, itu janji kamu!" ujar Alina tegas. Dia menekankan pada Reno, tentang janji pria itu kepadanya.Melihat suaminya diam saja, Alina kembali berkata. "Kemarin-kemarin seharusnya waktu kamu bermalam denganku, Mas. Tapi lagi-lagi Lily sakit, Lily pengen ditemenin kamu, Lily ngidam lah. Kamu nggak jadi bermalam sama aku. Sekarang aku mau kamu di sini Mas, karena ini waktu aku sama kamu."Wanita itu mengutarakan keluhannya pada suaminya, dia hanya ingin keadilan ya
Kedua mata Abimana menatap Alina dengan sendu dari kejauhan. Kamarnya yang kebetulan bersebrangan dengan kamar Alina, membuat Abimana tanpa sengaja melihat adik iparnya itu di sana.Pintu kamar Alina masih terbuka, menampilkan sosok Alina yang masih berdiri mematung di sana dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Kepalanya sesekali menunduk, jari-jarinya sesekali mengusap sesuatu di pipinya. Abimana tahu apa yang diusap oleh Alina, pasti masih hal yang sama, yaitu air mata."Kasihan sekali kamu, Al." Abimana berucap dengan lirih, merasa iba pada adik iparnya itu.Dia sudah bisa menebak bahwa malam ini, pasti Alina akan menangis lagi seorang diri di kamarnya dan terlihat sembab di pagi hari. Bukan hanya sekali, dua kali, Abimana melihat Alina seperti itu. Selama dua bulan ini, Abimana sering melihat adik iparnya bersedih dan murung. Sejak pernikahan kedua suaminya, wanita itu hampir tak pernah tersenyum. Belum lagi tekanan dari ibunya yang selalu merecoki rumah tangga Alina dan Reno.A
"Nanti kamu harus buatin aku pancake keju cokelat!"Alina menatap kakak iparnya dengan kedua alis yang terangkat dan kening yang berkerut. Ya, Alina bingung. Pasalnya ia tahu, bahwa kakak iparnya ini tidak terlalu menyukai makanan yang manis-manis."Lho? Kenapa ngeliatin Abang kayak gitu, Al? Ada yang salah ya?" tanya Abimana pada adik iparnya itu, lantaran ia dapat melihat kebingungan di raut wajah Alina."Aneh aja. Kenapa Abang minta dibuatin makanan yang manis-manis? Abang kan nggak suka yang manis-manis," tutur Alina sambil mengambil air minum yang ada di atas meja dapur.Kali ini giliran Abimana yang memuji Alina yang pandai membuat cake. "Kalau kamu yang buatnya, Abang pasti suka. Soalnya, cake buatan kamu kan enak.""Ya udah, nanti Alina buatin ya, Bang. Ngomong-ngomong makasih lho, nasi gorengnya. Pasti, yang nanti jadi istri Abang, akan merasa sangat beruntung.""Kenapa?" tanya Abimana sambil memperhatikan raut wajah Alina yang sudah tampak lebih baik dari sebelumnya. Jujur d
Jantung Reno seakan berhenti berdetak, saat ia menyadari apa yang baru saja ia lakukan pada istri pertamanya. Reno menampar Alina dengan keras, cukup keras sampai wanita itu terjatuh ke lantai. Tangannya gemetar, ia melihat tangan kanan yang baru saja menampar Alina. Tersirat rasa bersalah dimatanya dan rasa tidak percaya, kalau ia sanggup melukai wanita yang ia cintai. Wanita yang selalu memaafkan kesalahannya dan menerima pernikahan keduanya. Sedangkan di sisi lain, Lily yang berada di atas ranjang itu, diam-diam tersenyum tipis melihat apa yang baru saja terjadi. Meskipun, matanya menunjukkan keterkejutan. "Al, maafin Mas ya? Sini, Mas bantu." Reno mendekati Alina, mengulurkan tangannya untuk meraih tangan wanita itu dan membantu Alina berdiri. Namun, Alina langsung menepis tangan suaminya dan dia berdiri sendiri. "Al, bibir kamu berdarah. A-aku minta maaf," ucap Reno terbata, ia tak menyangka tamparannya cukup kuat sampai membuat sudut bibir Aluna berdarah dan pipinya memer
"Abang apaan sih? Alina ... nggak mungkin minggat!" sanggah Reno pada perkataan sang kakak yang sangat membuatnya tak nyaman. Wajah Reno sendiri, masih menunjukkan kegelisahan. Istri pertamanya belum pulang sampai selarut ini."Nggak mungkin sih dia nggak minggat, setelah kejadian tadi pagi." Abimana terus saja berbicara dan membuat Reno kesal."Bisa diem, nggak, Bang!" ujar Reno dengan suara yang agak meninggi."Abang cuma ngasih tahu aja, Ren. Lagian sih kamu, terlalu pilih kasih sama istri-istri kamu. Jadi kayak gini deh!"Reno mendelik tajam ke arah kakaknya, tanpa berkata sepatah katapun. Sedangkan Abimana, pria itu malah tersenyum dengan santainya. Menikmati tatapan mata adiknya yang tampak kesal."Alina selama ini memang banyak diem. Tapi inget loh Ren, marahnya orang diem itu serem," tutur Abimana lagi pada adiknya."Mungkin, kalau marah masih bisa diredakan. Tapi hati-hati kalau seseorang sudah kecewa. Orang kalau udah kecewa, itu sulit untuk kembali."Perkataan Abimana, memb
Beberapa menit sebelumnya, Reno mengunjungi butik Tira dan rumah Tira untuk mencari istrinya. Namun, ternyata, baik Tira maupun Alina tidak ada di sana. Padahal, ia hanya tahu kalau Alina dekat dengan Tira, ia tak tahu Alina berteman dengan siapa lagi di sini. Istrinya itu pendiam dan jarang bergaul, sirkel pertemanannya juga sedikit. Lily dan Tira adalah teman dekatnya, hanya itu yang Reno tahu."Kemana sih kamu Al? Ditelpon gak aktif juga," desis Reno sambil mengacak-acak rambutnya ke belakang dengan kasar. Ia mengkhawatirkan Alina, bagaimana kondisi wanita itu dan apa yang sedang ia lakukan.Reno juga bingung, ia harus menghubungi siapa lagi. Ia tak tahu, kalau Alina mungkin punya teman lain.Suara petir yang menggelegar, terdengar berkali-kali bergemuruh di langit yang berwarna kelam tanpa bintang itu. Menandakan bahwa sebentar lagi akan segera turun hujan. Reno melirik ke arah jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 10 malam. Ia semakin mengkhawatirkan Alina. Meskipun ia selal