Kali ini Alina tidak mau mengalah, dia harus bisa membuat Reno bisa tinggal dengannya malam ini. Reno juga sudah berjanji padanya dan bukankah sudah seharusnya Reno menjaga janjinya pada Alina?
Selalu aja ada alasan, yang membuat Reno harus bersama Lily. Sampai-sampai Alina tidak punya waktu untuk bersama suaminya sendiri. Alina paham, kalau Lily juga istri suaminya, tapi wanita itu terlalu menguasai waktu Reno. Sehingga Alina tidak mendapatkan waktu bersama Reno. "Aku tidak mengizinkanmu pergi, Mas. Malam ini kamu harus bersamaku, itu janji kamu!" ujar Alina tegas. Dia menekankan pada Reno, tentang janji pria itu kepadanya. Melihat suaminya diam saja, Alina kembali berkata. "Kemarin-kemarin seharusnya waktu kamu bermalam denganku, Mas. Tapi lagi-lagi Lily sakit, Lily pengen ditemenin kamu, Lily ngidam lah. Kamu nggak jadi bermalam sama aku. Sekarang aku mau kamu di sini Mas, karena ini waktu aku sama kamu." Wanita itu mengutarakan keluhannya pada suaminya, dia hanya ingin keadilan yang dijanjikan Reno. Hanya itu. Reno bimbang, di satu sisi dia harus menepati janjinya pada Alina untuk bersikap adil dan ini memang giliran dia bersama istri pertamanya. Namun, di sisi lain, Lily yang sedang tidak enak badan, sedang menantinya di kamar. Reno tak bisa mengabaikannya juga, terlebih Lily sedang mengandung bayi mereka. "Aku mohon Mas, aku mohon jangan pergi." Alina berkata dalam hatinya, berharap suaminya tetap berada di sini menemaninya. Pria itu menarik nafas dalam-dalam, lantas dia mengenggam tangan istri pertamanya itu dengan lembut. "Al, Mas mohon pengertian kamu ya? Lily sedang sakit, dia juga sedang hamil dan tidak mungkin Mas meninggalkan dia dalam keadaan seperti ini. Mas mohon, kamu—" Alina segera melepaskan genggaman tangan Reno saat dia mengetahui apa yang akan dikatakan oleh suaminya. Matanya menunjukkan kekecewaan pada Reno yang bukan hanya satu kali. "Selalu saja begini Mas. Kamu janji sama aku untuk bersikap adil, tapi apa ini Mas? Selalu saja Lily yang kamu prioritaskan!" seru Alina emosi. Emosinya tak terbendung lagi, dia merasa sangat kecewa pada Reno yang selalu menyuruhnya untuk mengerti. "Sayang, please ... Mas kayak gini bukannya karena Mas nggak adil. Tolong ngertiin Mas, Lily butuh Mas. Dia sedang hamil dan butuh perhatian lebih ... dari Mas," ucap Reno lembut, berusaha menenangkan Alina. Berharap wanita itu mau mengerti dirinya. "Aku paham Lily sedang hamil. Tapi ... apa itu berarti aku harus diabaikan? Kalau Mas terus memperhatikan Lily, artinya Mas nggak adil." Pria itu kehilangan kata-kata, saat Alina meluapkan hal yang menyesakkan dadanya. Jika ada yang bertanya padanya, apakah ia sudah puas mengutarakan perasaannya? Maka jawabannya adalah tidak! Dia belum puas, karena apa yang dikatakannya hanya bisa mengurangi sedikit dari rasa sesak di dalam dadanya. "Al, Mas ingin—" "Mas Reno, nggak apa-apa. Aku bisa tidur di kamar sendiri." Lily tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang Reno dan menyela perkataan pria itu yang belum usai. "Aku nggak apa-apa kok. Aku udah baikan, Mas." Istri kedua Reno itu menunjukkan senyuman pada bibir pucatnya. Berusaha untuk terlihat baik-baik saja di depan Reno dan Alina. "Lily bohong Ren! Dari tadi Lily muntah-muntah terus!" Sambung Weni yang tiba-tiba sudah berada dibelakang Lily. Tatapan Weni terlihat sinis pada istri sah putranya itu dan dia memang selalu begini. Bukan hal yang baru bagi Alina. "Ma, Lily nggak apa-apa kok. Lily bisa sendiri," ucap Lily pada ibu mertuanya dengan lembut. "Lebih baik kamu temani Lily, dia lebih membutuhkan kamu dibandingkan istri pertama kamu yang manja ini!" seru Weni pada putranya. Alina mengerutkan keningnya, saat dia menggarisbawahi satu kata yang dilontarkan ibu mertuanya itu. Satu kata yang tidak menyenangkan. "Manja? Mama bilang aku manja?" "Ya, kamu manja. Udah tahu Lily lagi hamil dan butuh perhatian Reno, kamu malah merengek manja yang tidak penting sama suami kamu. Kamu ... harusnya pengertian dong sama suami kamu!" Seperti biasanya, kalau sedang berbicara, Weni tak mau kalah dari lawannya. Apalagi lawannya itu adalah Alina. "Alina cuma minta hak Alina, Ma. Karena Alina juga punya hak atas Mas Reno, bukan cuma Lily aja," tutur Alina kesal. "Hak apa yang dimiliki wanita mandul seperti kamu? Kasih anak saja kamu—" "Aduh ..." Disela-sela perdebatan Alina dan Weni, tiba-tiba saja Lily mengaduh kesakitan. Sehingga membuat Weni dan Reno panik, mereka melihat ke arah Lily yang sedang menegangi perutnya. "Kamu kenapa Sayang? Sakit lagi perutnya, ya?" tanya Reno sembari mengusap perut Lily dengan lembut. Melihat suaminya perhatian pada istri keduanya, membuat hati Alina merasakan cemburu. Meski pada dasarnya, Alina berusaha untuk ikhlas menerima pernikahan kedua suaminya ini dari awal. Namun, hati tidak bisa berbohong dan tidak bisa dibohongi. "Lily nggak apa-apa Mas. Lily mau istirahat aja di kamar. Mas di sini aja sama Alina," ucap Lily pada suaminya, lantas dia melirik ke arah Alina. "Al, maaf ya udah buat keributan? Malam ini Mas Reno tidur sana kamu kok. Aku nggak apa-apa sendiri." "Beneran nggak apa-apa? Kamu nggak akan merengek tengah malam, terus membuat Mas Reno pindah ke kamar kamu, kan?" ucap Alina sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Entah kenapa, Alina merasa Lily tidak tulus berkata seperti itu padanya. Lily langsung menggelengkan kepalanya. "Astaga Al! Aku nggak akan ngelakuin itu!" "Benarkah? Ya udah, Mas Reno malam ini sama aku. Karena memang giliran aku yang bersama Mas Reno, sekarang!" ucap Alina sambil menarik tangan suaminya dan menjauh dari Lily. Alina menggamit tangan suaminya dengan manja. Terlihat kedua mata Lily yang tidak suka melihat kedekatan Alina dan Reno. "Auw." Lagi-lagi Lily meringis kesakitan sambil memegang perutnya. Reno dan Weni tentu saja tidak bisa mengabaikannya. "Reno, mending kamu temani Lily. Takutnya terjadi sesuatu sama Lily dan calon anak kalian." Weni memberikan saran pada Reno dan putranya itu mengganggukan kepalanya. Sepertinya, Reno setuju dengan saran yang diberikan oleh ibunya itu. Seakan tahu apa yang akan dikatakan suaminya, Alina buru-buru berbicara untuk mendahului. "Mas, kamu udah janji sama aku buat—" Reno langsung menyela ucapan Alina sebelum wanita itu menyelesaikan perkataannya. "Alina, jangan egois! Lily lebih membutuhkan aku dibandingkan kamu. Malam ini kamu tidur sendiri, aku nggak bisa ninggalin Lily." Perkataan itu menghujam hati Alina dengan tajam, sehingga Alina tidak bisa berkata-kata lagi. Egois? Katanya dia egois, dia yang meminta haknya dibilang egois. Alina pun hanya bisa melihat suaminya pergi sambil memapah istri keduanya, tanpa bisa menghentikannya lagi. Mertuanya juga menyusul mereka pergi dari depan kamar Alina. "Selalu saja aku yang mengalah." Dari kejauhan, seorang pria melihat Alina dengan iba. Dia ingin menghibur wanita itu, tapi dia tidak dalam posisi yang bisa melakukannya.Kedua mata Abimana menatap Alina dengan sendu dari kejauhan. Kamarnya yang kebetulan bersebrangan dengan kamar Alina, membuat Abimana tanpa sengaja melihat adik iparnya itu di sana.Pintu kamar Alina masih terbuka, menampilkan sosok Alina yang masih berdiri mematung di sana dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Kepalanya sesekali menunduk, jari-jarinya sesekali mengusap sesuatu di pipinya. Abimana tahu apa yang diusap oleh Alina, pasti masih hal yang sama, yaitu air mata."Kasihan sekali kamu, Al." Abimana berucap dengan lirih, merasa iba pada adik iparnya itu.Dia sudah bisa menebak bahwa malam ini, pasti Alina akan menangis lagi seorang diri di kamarnya dan terlihat sembab di pagi hari. Bukan hanya sekali, dua kali, Abimana melihat Alina seperti itu. Selama dua bulan ini, Abimana sering melihat adik iparnya bersedih dan murung. Sejak pernikahan kedua suaminya, wanita itu hampir tak pernah tersenyum. Belum lagi tekanan dari ibunya yang selalu merecoki rumah tangga Alina dan Reno.A
"Uhhh ... " "Aarggh ... " Kedua mata Alina yang semula terpejam, langsung terbuka perlahan, begitu dia mendengar suara-suara aneh dari luar kamarnya. Wanita itu benar-benar terbangun, bertepatan dengan kerongkongannya yang kering dan perlu di basahi. Alina melangkah keluar dari kamarnya, sambil membawa botol minuman kosong, lalu dia berjalan menuju ke arah dapur. Semakin dia melangkah mendekati dapur, suara-suara aneh itu semakin terdengar keras. Namun, suara itu terdengar tidak asing di telinganya. Dia familiar dengan suara tersebut. Alangkah terkejutnya Alina, saat dia melihat dua insan manusia yang tengah memadu kasih, di atas meja dapur dengan sangat intim. Sontak saja, Alina menghentikan langkah dan memalingkan wajahnya, guna menghindari pemandangan tersebut. Niatnya, mengambil air pun menjadi urung. Dia kembali melangkahkan kakinya, menuju ke arah kamar dengan perasaan yang berkecamuk. Hatinya bak dihantam godam berat, sampai dadanya terasa sesak. Sebelum masuk ke dala
Perkataan Alina itu, sukses membuat suami dan madunya bungkam untuk sesaat. Raut wajah mereka semakin terlihat merasa bersalah. Lily menghampiri kakak madu sekaligus sahabatnya itu dengan wajah melas. Dia mengenggam tangan Alina, matanya berkaca-kaca. "Alina, maafin aku. Ini semua salah aku ... kamu jangan salahkan Mas Reno. Seharusnya aku dan Mas Reno bisa menahan diri dan tidak melakukannya di sana. Tapi kamu tenang aja, mulai malam ini dan seterusnya, Mas Reno akan tidur sama kamu!" Kata-kata yang dilontarkan oleh Lily, seperti sebuah pemberitahuan pada Alina jika mereka semakin mesra dan intim. Setelah 2 bulan ini terus mendiamkan mereka bersikap sesukanya, kini wanita berambut panjang itu pun akhirnya bereaksi. "Aku tahu kok, kalau hubungan kamu sama Mas Reno sangat mesra dan semakin lengket. Udah, nggak usah diperjelas lagi. Aku udah lihat dengan JELAS." Alina tersenyum tipis, dengan atensi tajam tertuju pada madunya itu. Raut wajah Lily langsung berubah, seolah dia ditin
Semua orang terkejut, begitu mereka melihat Lily jatuh tak sadarkan diri. Perdebatan Reno dan Alina, terpaksa harus berhenti karena Lily yang pingsan. Reno dan Weni panik melihatnya, mereka bergerak lebih dulu menghampiri Lily yang sudah tergeletak di atas lantai. Sedangkan Alina dan Abimana, masih berdiri di tempat mereka sambil melihat ke arah Lily."Lily! Sayang! Kamu kenapa?" Reno menepuk-nepuk pelan pipi Lily dan matanya memancarkan kekhawatiran pada istri keduanya itu."Lily ... kamu kenapa, Nak?"Tidak hanya Reno, Weni juga panik, karena sangat mengkhawatirkan menantunya. Padahal masih ada menantunya yang lain, yang harus dia perhatikan juga.Hati Alina hancur, saat dia melihat suaminya sangat mengkhawatirkan istri keduanya. Rasa cemburu itu semakin menggebu, sampai air matanya berdesakan ingin segera keluar dari tempatnya. Namun, sebisa mungkin Alina menahannya agar tidak terlihat menyedihkan di sana."Reno, cepat kamu bawa istri kamu ke rumah sakit!" Titah Weni pada putra ked
Tubuh Alina membeku, jantungnya seakan berhenti berdetak saat itu juga, manakala dia mendengar kabar tentang kehamilan madunya. Seharusnya ini adalah kabar baik yang bisa membuatnya bahagia, karena suaminya akan memiliki keturunan setelah 5 tahun menunggu. Akan tetapi, hati Alina tidak merasa bahagia dengan kabar ini.Perkataan ibu mertuanya, bagaikan hujan petir yang datang di siang bolong. Mampu meluluhlantakkan perasaannya."Iya, Lily sedang hamil anak Reno. Tadi dokter memeriksanya di rumah sakit dan ternyata dia hamil. Terbukti kan, sekarang? Kalau kamu itu memang mandul?" Sarkas Weni kepada menantu pertamanya itu dan tanpa mempedulikan perasaan Alina sama sekali.Wajah pucat Alina, kedua mata wanita itu yang tampak mengembun, sama sekali tidak membuat Weni bersimpati kepadanya. Dia malah terlihat senang menyudutkan Alina tentang kemandulan."Ma, udah cukup." Reno meminta ibunya untuk tidak bicara lagi, karena sebenarnya hati Reno juga sakit mendengar Alina dihina dan disudutkan
Alih-alih membujuk suaminya agar tidak marah, Alina malah mengucapkan kata-kata yang membuat suaminya semakin marah. Ya, Reno marah, saat mendengar Alina malah mengusirnya. Seharusnya, hari ini menjadi hari yang bahagia untuk Reno dan Alina, karena kehamilan Lily. Akan tetapi, sikap Alina malah mengacaukan segalanya. Reno pun mulai membenarkan apa yang dikatakan oleh ibunya, bahwa sebenarnya Alina memang tidak senang dia bahagia. "Keluar Mas, aku lelah. Aku mau istirahat." Alina mengusir suaminya untuk kedua kalinya, sambil memalingkan wajah dari pria itu. Dia tidak mau kamu sampai Reno melihatnya menangis. Tapi, jika pria itu cukup peka akan perasaannya, mungkin Reno akan bertanya bagaimana perasaan istri pertamanya saat ini. "Keterlaluan kamu Alina! Apa kamu benar-benar nggak suka lihat aku sama Lily bahagia? Bisa-bisanya kamu sikap kayak gini, saat tahu Lily hamil?" Reno mencecar istrinya sambil marah-marah. Dia kecewa karena Alina tidak menunjukkan kebahagiaan atas kabar ini. "