Kali ini Alina tidak mau mengalah, dia harus bisa membuat Reno bisa tinggal dengannya malam ini. Reno juga sudah berjanji padanya dan bukankah sudah seharusnya Reno menjaga janjinya pada Alina?
Selalu aja ada alasan, yang membuat Reno harus bersama Lily. Sampai-sampai Alina tidak punya waktu untuk bersama suaminya sendiri. Alina paham, kalau Lily juga istri suaminya, tapi wanita itu terlalu menguasai waktu Reno. Sehingga Alina tidak mendapatkan waktu bersama Reno. "Aku tidak mengizinkanmu pergi, Mas. Malam ini kamu harus bersamaku, itu janji kamu!" ujar Alina tegas. Dia menekankan pada Reno, tentang janji pria itu kepadanya. Melihat suaminya diam saja, Alina kembali berkata. "Kemarin-kemarin seharusnya waktu kamu bermalam denganku, Mas. Tapi lagi-lagi Lily sakit, Lily pengen ditemenin kamu, Lily ngidam lah. Kamu nggak jadi bermalam sama aku. Sekarang aku mau kamu di sini Mas, karena ini waktu aku sama kamu." Wanita itu mengutarakan keluhannya pada suaminya, dia hanya ingin keadilan yang dijanjikan Reno. Hanya itu. Reno bimbang, di satu sisi dia harus menepati janjinya pada Alina untuk bersikap adil dan ini memang giliran dia bersama istri pertamanya. Namun, di sisi lain, Lily yang sedang tidak enak badan, sedang menantinya di kamar. Reno tak bisa mengabaikannya juga, terlebih Lily sedang mengandung bayi mereka. "Aku mohon Mas, aku mohon jangan pergi." Alina berkata dalam hatinya, berharap suaminya tetap berada di sini menemaninya. Pria itu menarik nafas dalam-dalam, lantas dia mengenggam tangan istri pertamanya itu dengan lembut. "Al, Mas mohon pengertian kamu ya? Lily sedang sakit, dia juga sedang hamil dan tidak mungkin Mas meninggalkan dia dalam keadaan seperti ini. Mas mohon, kamu—" Alina segera melepaskan genggaman tangan Reno saat dia mengetahui apa yang akan dikatakan oleh suaminya. Matanya menunjukkan kekecewaan pada Reno yang bukan hanya satu kali. "Selalu saja begini Mas. Kamu janji sama aku untuk bersikap adil, tapi apa ini Mas? Selalu saja Lily yang kamu prioritaskan!" seru Alina emosi. Emosinya tak terbendung lagi, dia merasa sangat kecewa pada Reno yang selalu menyuruhnya untuk mengerti. "Sayang, please ... Mas kayak gini bukannya karena Mas nggak adil. Tolong ngertiin Mas, Lily butuh Mas. Dia sedang hamil dan butuh perhatian lebih ... dari Mas," ucap Reno lembut, berusaha menenangkan Alina. Berharap wanita itu mau mengerti dirinya. "Aku paham Lily sedang hamil. Tapi ... apa itu berarti aku harus diabaikan? Kalau Mas terus memperhatikan Lily, artinya Mas nggak adil." Pria itu kehilangan kata-kata, saat Alina meluapkan hal yang menyesakkan dadanya. Jika ada yang bertanya padanya, apakah ia sudah puas mengutarakan perasaannya? Maka jawabannya adalah tidak! Dia belum puas, karena apa yang dikatakannya hanya bisa mengurangi sedikit dari rasa sesak di dalam dadanya. "Al, Mas ingin—" "Mas Reno, nggak apa-apa. Aku bisa tidur di kamar sendiri." Lily tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang Reno dan menyela perkataan pria itu yang belum usai. "Aku nggak apa-apa kok. Aku udah baikan, Mas." Istri kedua Reno itu menunjukkan senyuman pada bibir pucatnya. Berusaha untuk terlihat baik-baik saja di depan Reno dan Alina. "Lily bohong Ren! Dari tadi Lily muntah-muntah terus!" Sambung Weni yang tiba-tiba sudah berada dibelakang Lily. Tatapan Weni terlihat sinis pada istri sah putranya itu dan dia memang selalu begini. Bukan hal yang baru bagi Alina. "Ma, Lily nggak apa-apa kok. Lily bisa sendiri," ucap Lily pada ibu mertuanya dengan lembut. "Lebih baik kamu temani Lily, dia lebih membutuhkan kamu dibandingkan istri pertama kamu yang manja ini!" seru Weni pada putranya. Alina mengerutkan keningnya, saat dia menggarisbawahi satu kata yang dilontarkan ibu mertuanya itu. Satu kata yang tidak menyenangkan. "Manja? Mama bilang aku manja?" "Ya, kamu manja. Udah tahu Lily lagi hamil dan butuh perhatian Reno, kamu malah merengek manja yang tidak penting sama suami kamu. Kamu ... harusnya pengertian dong sama suami kamu!" Seperti biasanya, kalau sedang berbicara, Weni tak mau kalah dari lawannya. Apalagi lawannya itu adalah Alina. "Alina cuma minta hak Alina, Ma. Karena Alina juga punya hak atas Mas Reno, bukan cuma Lily aja," tutur Alina kesal. "Hak apa yang dimiliki wanita mandul seperti kamu? Kasih anak saja kamu—" "Aduh ..." Disela-sela perdebatan Alina dan Weni, tiba-tiba saja Lily mengaduh kesakitan. Sehingga membuat Weni dan Reno panik, mereka melihat ke arah Lily yang sedang menegangi perutnya. "Kamu kenapa Sayang? Sakit lagi perutnya, ya?" tanya Reno sembari mengusap perut Lily dengan lembut. Melihat suaminya perhatian pada istri keduanya, membuat hati Alina merasakan cemburu. Meski pada dasarnya, Alina berusaha untuk ikhlas menerima pernikahan kedua suaminya ini dari awal. Namun, hati tidak bisa berbohong dan tidak bisa dibohongi. "Lily nggak apa-apa Mas. Lily mau istirahat aja di kamar. Mas di sini aja sama Alina," ucap Lily pada suaminya, lantas dia melirik ke arah Alina. "Al, maaf ya udah buat keributan? Malam ini Mas Reno tidur sana kamu kok. Aku nggak apa-apa sendiri." "Beneran nggak apa-apa? Kamu nggak akan merengek tengah malam, terus membuat Mas Reno pindah ke kamar kamu, kan?" ucap Alina sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Entah kenapa, Alina merasa Lily tidak tulus berkata seperti itu padanya. Lily langsung menggelengkan kepalanya. "Astaga Al! Aku nggak akan ngelakuin itu!" "Benarkah? Ya udah, Mas Reno malam ini sama aku. Karena memang giliran aku yang bersama Mas Reno, sekarang!" ucap Alina sambil menarik tangan suaminya dan menjauh dari Lily. Alina menggamit tangan suaminya dengan manja. Terlihat kedua mata Lily yang tidak suka melihat kedekatan Alina dan Reno. "Auw." Lagi-lagi Lily meringis kesakitan sambil memegang perutnya. Reno dan Weni tentu saja tidak bisa mengabaikannya. "Reno, mending kamu temani Lily. Takutnya terjadi sesuatu sama Lily dan calon anak kalian." Weni memberikan saran pada Reno dan putranya itu mengganggukan kepalanya. Sepertinya, Reno setuju dengan saran yang diberikan oleh ibunya itu. Seakan tahu apa yang akan dikatakan suaminya, Alina buru-buru berbicara untuk mendahului. "Mas, kamu udah janji sama aku buat—" Reno langsung menyela ucapan Alina sebelum wanita itu menyelesaikan perkataannya. "Alina, jangan egois! Lily lebih membutuhkan aku dibandingkan kamu. Malam ini kamu tidur sendiri, aku nggak bisa ninggalin Lily." Perkataan itu menghujam hati Alina dengan tajam, sehingga Alina tidak bisa berkata-kata lagi. Egois? Katanya dia egois, dia yang meminta haknya dibilang egois. Alina pun hanya bisa melihat suaminya pergi sambil memapah istri keduanya, tanpa bisa menghentikannya lagi. Mertuanya juga menyusul mereka pergi dari depan kamar Alina. "Selalu saja aku yang mengalah." Dari kejauhan, seorang pria melihat Alina dengan iba. Dia ingin menghibur wanita itu, tapi dia tidak dalam posisi yang bisa melakukannya.Kedua mata Abimana menatap Alina dengan sendu dari kejauhan. Kamarnya yang kebetulan bersebrangan dengan kamar Alina, membuat Abimana tanpa sengaja melihat adik iparnya itu di sana.Pintu kamar Alina masih terbuka, menampilkan sosok Alina yang masih berdiri mematung di sana dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Kepalanya sesekali menunduk, jari-jarinya sesekali mengusap sesuatu di pipinya. Abimana tahu apa yang diusap oleh Alina, pasti masih hal yang sama, yaitu air mata."Kasihan sekali kamu, Al." Abimana berucap dengan lirih, merasa iba pada adik iparnya itu.Dia sudah bisa menebak bahwa malam ini, pasti Alina akan menangis lagi seorang diri di kamarnya dan terlihat sembab di pagi hari. Bukan hanya sekali, dua kali, Abimana melihat Alina seperti itu. Selama dua bulan ini, Abimana sering melihat adik iparnya bersedih dan murung. Sejak pernikahan kedua suaminya, wanita itu hampir tak pernah tersenyum. Belum lagi tekanan dari ibunya yang selalu merecoki rumah tangga Alina dan Reno.A
"Nanti kamu harus buatin aku pancake keju cokelat!"Alina menatap kakak iparnya dengan kedua alis yang terangkat dan kening yang berkerut. Ya, Alina bingung. Pasalnya ia tahu, bahwa kakak iparnya ini tidak terlalu menyukai makanan yang manis-manis."Lho? Kenapa ngeliatin Abang kayak gitu, Al? Ada yang salah ya?" tanya Abimana pada adik iparnya itu, lantaran ia dapat melihat kebingungan di raut wajah Alina."Aneh aja. Kenapa Abang minta dibuatin makanan yang manis-manis? Abang kan nggak suka yang manis-manis," tutur Alina sambil mengambil air minum yang ada di atas meja dapur.Kali ini giliran Abimana yang memuji Alina yang pandai membuat cake. "Kalau kamu yang buatnya, Abang pasti suka. Soalnya, cake buatan kamu kan enak.""Ya udah, nanti Alina buatin ya, Bang. Ngomong-ngomong makasih lho, nasi gorengnya. Pasti, yang nanti jadi istri Abang, akan merasa sangat beruntung.""Kenapa?" tanya Abimana sambil memperhatikan raut wajah Alina yang sudah tampak lebih baik dari sebelumnya. Jujur d
Jantung Reno seakan berhenti berdetak, saat ia menyadari apa yang baru saja ia lakukan pada istri pertamanya. Reno menampar Alina dengan keras, cukup keras sampai wanita itu terjatuh ke lantai. Tangannya gemetar, ia melihat tangan kanan yang baru saja menampar Alina. Tersirat rasa bersalah dimatanya dan rasa tidak percaya, kalau ia sanggup melukai wanita yang ia cintai. Wanita yang selalu memaafkan kesalahannya dan menerima pernikahan keduanya. Sedangkan di sisi lain, Lily yang berada di atas ranjang itu, diam-diam tersenyum tipis melihat apa yang baru saja terjadi. Meskipun, matanya menunjukkan keterkejutan. "Al, maafin Mas ya? Sini, Mas bantu." Reno mendekati Alina, mengulurkan tangannya untuk meraih tangan wanita itu dan membantu Alina berdiri. Namun, Alina langsung menepis tangan suaminya dan dia berdiri sendiri. "Al, bibir kamu berdarah. A-aku minta maaf," ucap Reno terbata, ia tak menyangka tamparannya cukup kuat sampai membuat sudut bibir Aluna berdarah dan pipinya memer
"Abang apaan sih? Alina ... nggak mungkin minggat!" sanggah Reno pada perkataan sang kakak yang sangat membuatnya tak nyaman. Wajah Reno sendiri, masih menunjukkan kegelisahan. Istri pertamanya belum pulang sampai selarut ini. "Nggak mungkin sih dia nggak minggat, setelah kejadian tadi pagi." Abimana terus saja berbicara dan membuat Reno kesal. "Bisa diem, nggak, Bang!" ujar Reno dengan suara yang agak meninggi. "Abang cuma ngasih tahu aja, Ren. Lagian sih kamu, terlalu pilih kasih sama istri-istri kamu. Jadi kayak gini deh!" Reno mendelik tajam ke arah kakaknya, tanpa berkata sepatah katapun. Sedangkan Abimana, pria itu malah tersenyum dengan santainya. Menikmati tatapan mata adiknya yang tampak kesal. "Alina selama ini memang banyak diem. Tapi inget loh Ren, marahnya orang diem itu serem," tutur Abimana lagi pada adiknya. "Mungkin, kalau marah masih bisa diredakan. Tapi hati-hati kalau seseorang sudah kecewa. Orang kalau udah kecewa, itu sulit untuk kembali." Perkataan
Beberapa menit sebelumnya, Reno mengunjungi butik Tira dan rumah Tira untuk mencari istrinya. Namun, ternyata, baik Tira maupun Alina tidak ada di sana. Padahal, ia hanya tahu kalau Alina dekat dengan Tira, ia tak tahu Alina berteman dengan siapa lagi di sini. Istrinya itu pendiam dan jarang bergaul, sirkel pertemanannya juga sedikit. Lily dan Tira adalah teman dekatnya, hanya itu yang Reno tahu."Kemana sih kamu Al? Ditelpon gak aktif juga," desis Reno sambil mengacak-acak rambutnya ke belakang dengan kasar. Ia mengkhawatirkan Alina, bagaimana kondisi wanita itu dan apa yang sedang ia lakukan.Reno juga bingung, ia harus menghubungi siapa lagi. Ia tak tahu, kalau Alina mungkin punya teman lain.Suara petir yang menggelegar, terdengar berkali-kali bergemuruh di langit yang berwarna kelam tanpa bintang itu. Menandakan bahwa sebentar lagi akan segera turun hujan. Reno melirik ke arah jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 10 malam. Ia semakin mengkhawatirkan Alina. Meskipun ia selal
[Ly, maaf. Mas nggak bisa pulang. Mas kejebak hujan sama Alina. Mas terpaksa menginap di hotel yang berada di dekat sini. Maaf ya kamu harus tidur sendiri. Tapi kalau kamu kesepian, kamu tidur aja sama mama ya, sayang] Itulah pesan yang dikirimkan oleh kepada istri keduanya. Hal yang membuat Lily sangat kecewa berat, karena ia tidak ditemani oleh Reno malam ini. Suaminya itu pasti akan menghabiskan waktu bersama dengan Alina di hotel. Mungkin mereka tidak hanya tidur bersama, tapi melakukan hal yang lebih dari itu. Membayangkannya saja, hati Lily terasa sakit. "Enggak! Kamu nggak boleh sama Alina, mas. Kamu nggak bisa kayak gini!" teriak Lily marah, setelah ia melempar ponsel mahalnya ke tembok dan akhirnya ponsel itu hancur lebur berserakan ke lantai. Lily jatuh terduduk di lantai, tangannya bersandar di atas sudut ranjang. Wanita itu terlihat marah, ia meremas seprai di atas ranjang dengan erat. Menahan tangisnya sekuat mungkin. "Sialan kamu Alina! Pasti kamu manfaatin situas
Melihat raut wajah Reno yang panik, bercampur bingung dan takut, membuat Alina tidak butuh jawaban dari pria itu. Karena ia tahu jawabannya. Sontak saja Alina tertawa getir melihat raut wajah suaminya yang tampak kacau itu. "Hahaha." Reno menatap Alina heran, karena wanita itu malah tertawa. Di saat suasana diantara mereka sedang serius. "Wajahnya santai aja kali, Mas. Tenang, Mas. Aku cuma bercanda. Ya kali ... Mas mau menceraikan istri tercinta, Mas, yang sedang hamil saat ini," cetus Alina sambil menepuk bahu suaminya. Kata-kata yang terlontar dari bibirnya, merupakan sindiran pedas. "Mulai saat ini, kamu akan melihat Alina yang berbeda, Mas. Bukan Alina yang dulu patuh padamu." Kata Alina dalam hatinya. Ia sudah bertekad untuk mengubah sikapnya pada Reno dan semua orang, agar ia tidak ditindas lagi. "Ini bukan saatnya bercanda, Al." "Oh ... jadi kamu pengennya aku serius? Saat aku menyuruh kamu menceraikan Lily?" tanya Alina lagi yang membuat Reno tersentak. "Al, Mas
Hati Lily terasa sakit ketika ia melihat adegan ciuman antara suaminya dan istri sahnya, membuat jantung Lily seakan berhenti berdetak dan dadanya mendadak terasa sesak. Kedua matanya mengembun, wajahnya menunjukkan gurat kekesalan dan kecemburuan melihat itu semua."Aku pikir kamu sudah tidak punya perasaan apa-apa lagi sama istri sah kamu itu, mas. Tapi ternyata..." Lily membatin sambil memegang dadanya yang terasa sesak.Lily sakit, tidak terima dengan fakta kalau Reno juga mencintai istri pertamanya itu. Meskipun sudah ada dirinya di samping pria itu. Tapi ternyata tak cukup.Weni dan Abimana yang ada di sana, tak kalah terkejut melihat Reno mencium Alina. Ya, walaupun mereka tahu kalau Reno dan Alina adalah pasangan suami-istri. Tapi melihat seperti ini secara langsung, tentunya membuat mereka terkejut.Ada yang berdenyut di dalam hati Abimana saat melihat adegan sah suami-istri itu. Ia bahkan sampai memalingkan wajahnya ke samping. Sebab, ciuman yang dilakukan Reno pada Alina cu
Seakan tidak pernah puas dengan istrinya, Abimana kembali lanjutkan aktivitas suami istri itu pada pagi hari. Hingga mereka berdua baru bisa bersantai pada sore hari. Ketika perut keduanya sama-sama lapar dan ketika Alina ingin pergi jalan-jalan keluar. Dia bosan di dalam kamar, bisa-bisa suaminya terus melakukan ini seharian."Kamu mau jalan-jalan? Memang nggak capek heum?" ucap Abimana seraya mengelus dagu istrinya dengan lembut. Abimana tersenyum pada istrinya itu yang merengek ingin jalan-jalan."Gak. Aku lebih capek kalau terus-terusan berada di kamar ini. Kamu pasti bakal mesum terus sama aku, Mas." Alina mengucapkannya dengan blak-blakan. Kedua tangannya menyilang di dada dan matanya menunjukkan kekesalan."Baiklah. Kita akan keluar. Tapi gantilah dulu bajumu Sayang. Jangan sampai kamu memakai pakaian terbuka saat kita keluar nanti," ucap Abimana yang akhirnya menuruti rengekan istrinya.Seulas senyum manis nan indah, terlihat di bibir Alina dan membuat Abimana turut bahagia."T
Seketika tubuh Alina meremang, kala Abimana memeluknya dan bibir lelaki itu menyentuh tengkuknya dengan lembut, penuh perasaan. Gelayar aneh mulai muncul di dalam dirinya, seakan-akan meledak. Sentuhan Abimana membuat Alina geli, tapi juga merasa bahagia.Kini mereka adalah suami istri dan mereka sudah sah secara hukum negara maupun agama. Bukankah ini saatnya mereka untuk melakukan malam pertama?"Kamu wangi banget, Yang." Suara Abimana terdengar mendesah dan bibirnya masih terus mengecupi leher Alina.Wanita itu terkekeh mendengar perkataan Abimana yang terdengar seperti gombalan. "Mana ada wangi, Mas? Yang ada aku bau keringat, karena seharian di tempat acara resepsi pernikahan kita.""Keringatmu tetap wangi Sayang. Apa lagi saat kita melakukan kegiatan positif di atas ranjang itu yang membuat kita semakin berkeringat, pasti rasanya akan nikmat," ucap Abimana menggoda. Sontak saja Alina terkejut mendengar ucapan suaminya yang ternyata bisa vulgar seperti ini."Mas ..." desah Alina
Suasana di gedung hotel mewah itu menjadi saksi pernikahan Abimana dan Alina. Semuanya sudah disiapkan dengan sebaik-baiknya dan sesempurna mungkin. Pernikahan kedua Alina ini, jelas jauh lebih mewah dari pernikahan sebelumnya yang sederhana. Kalah jauh. Abimana lah yang menginginkan pernikahan ini menjadi pernikahan yang mewah. Ia ingin meratukan wanita yang ia cintai dengan gemerlap kemewahan dan kasih sayang. Apa yang ia lakukan ini menunjukkan betapa besarnya kasih sayang pria itu kepadanya. Semua wanita akan iri kepadanya hari ini, karena ia mendapatkan mempelai pria yang sangat mencintainya. Orang-orang juga akan banyak yang mendoakan agar keduanya bahagia. Sakinah, mawadah warahmah. Angga yang terharu dengan pernikahan kakaknya, tak bisa menahan tangis. Air matanya terus saja keluar, tak terkendali. Tira yang melihat itu pun mencoba membuat Angga berhenti menangis. "Masa kamu nangis sih? Ini hari bahagia kakak kamu loh. Ayo senyum ah! Jelek tahu!" tukas Tira gemas melihat
Rupanya, pria yang mengendarai mobil truk itu adalah Toni. Dengan sengaja Toni menabrak mobil yang membawa Reno dan Weni ke rumah sakit jiwa. Setelah menantikan momen di mana Reno keluar dari rumah sakit. Akhirnya waktu itu pun tiba, di mana ia akan membalaskan dendamnya pada Reno."Toni?""Jangan sentuh anak saya!" seru Weni sambil menahan rasa sakit ditubuhnya saat ia melihat sepasang mata Toni yang menatap penuh kebencian pada Reno."Diam! Ini bukan urusan lo. Ini urusan gue sama anak lo yang gila cewek dsn brengsek!" ujar Tono membentak Weni.Dengan kedua tangannya sendiri, ia menarik Reno yang terluka keluar dari mobil. Tanpa peduli tubuh Reno akan terluka oleh luka baru. Terlihat tangan Reno berdarah-darah karena kaca yang menancap di sana. Sedangkan Weni, ia hanya bisa melihat dari dalam mobil, karena ia terjebak badan mobil dan sulit untuk keluar."Reno! Reno!""Lepaskan anak saya! Jangan kamu sakiti anak saya," ujar Weni panik. Ia berusaha melepaskan dirinya dan segera meno
Rey dan ibunya terlihat senang saat mengetahui Tira sedang hamil. Sedangkan wanita itu seperti tenggelam sendiri dan merasa kalau semua ini adalah mimpi. Tira tidak percaya kalau ia bisa hamil secepat ini, padahal baru satu bulan ia dan Rey menikah."Sayang, ayo kita makan bareng sama kak Alina. Sekalian kasih tahu kabar baik ini sama dia. Dia pasti senang kalau tahu kamu sedang hamil," ucap Rey yang mengajak istrinya untuk makan bersama dengan Alina sekalian memberitahu kabar bahagia ini."Ayo. Kebetulan Angga juga ada di sini. Kita bisa kumpul barengan." Tira setuju dengan ajakan suaminya. Ia tersenyum dan tak sabar untuk memberitahu kabar baik ini pada sahabatnya.Tira mengusap perutnya yang masih datar dengan perasaan haru. "Nggak nyangka. Ternyata di dalam sini ada bayi aku sama Rey." Wanita itu seakan tidak percaya bahwa Allah telah memberikannya kepercayaan secepat ini untuk memiliki seorang momongan. Semua adalah kehendaknya dan pastinya Rey Tira sudah dipercaya oleh yang kuas
Diamnya Alina dan sikap abai wanita itu, membuat Abimana tidak tahan lagi. Abimana paham, mengapa wanita itu bersikap seperti ini kepadanya. Itu semua karena kebohongan yang ia lakukan. Tapi, daripada didiamkan seperti ini, di mana lebih suka kalau Alina marah-marah kepadanya. Mengutarakan semua rasa amarahnya. Sangat tidak nyaman baginya diabaikan.Abimana mengatakan kalau ia bersedia melakukan apa saja agar Alina mau memaafkannya dan mau bicara padanya. Alina pun berkata padanya. "Kalau begitu, larilah ke gunung Everest, lalu naiklah ke puncaknya. Maka, aku akan mempertimbangkan untuk memaafkan kamu Mas."Sontak saja Abimana terkekeh mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Alina padanya. Apa wanita itu bercanda menyuruhnya untuk berlari ke gunung Everest dan naik ke puncak gunungnya?"Kenapa malah ketawa? Kamu nggak mau aku maafin, Mas?" tanya Alina dengan wajah serius dan tatapan mata tajam pada Abimana. Tidak terlihat ada candaan di dalam raut wajahnya."Sayang. Kamu serius ny
"Dasar anak kurang ajar!"Ketika William hendak menampar Bella lagi, mamanya Bella dengan cepat menghentikan suaminya itu."Pa! Bisa kan nggak usah pakai kekerasan?" Tegur wanita paruh baya itu pada suaminya. Ia memohon pada Wiliam untuk tidak memukul Bella, menggunakan kekerasan. "Bisa kan bicara baik-baik, Pa?"William berusaha untuk meredakan emosinya yang saat ini menggebu-gebu berkat kelakuan anak semata wayangnya itu. "Kamu sudah berbuat apa pada Abimana dan tunangannya? Kamu menyinggung mereka lagi kan?" tanya William yang mencoba bicara baik-baik."Aku nggak ngelakuin apa-apa kok." Bella menyangkalnya."BOHONG!" sentak William yang seketika membuat Bella kaget. Jantungnya seakan berhenti berdetak, kala ia mendengar bentakan dari papanya."Pa ... udah.""Tolong Mama jangan ikut campur. Papa seperti ini demi mendidik anak kita. Dia sudah sangat keterlaluan, Ma." William meminta istrinya untuk diam saja.Ia pun merasakan kepada Bella bahwa perusahaan yang ia pimpin saat ini sedan
"Bang! Kak Alina kenapa?" Angga panik, begitu ia keluar dari restoran dan melihat calon kakak iparnya sedang menggendong kakaknya yang tidak sadarkan diri.Abimana menoleh ke belakang dan melihat ke arah Angga. "Kakak kamu pingsan. Abang akan bawa dia ke rumah sakit.""Ya udah ayo Bang. Aku ikut ya.""Kakak juga ikut Bi." Riana datang dan tiba-tiba saja ia mengatakan ingin ikut bersama dengan Abimana. Rianti dan Dinda berasa dibelakangnya."Nggak usah. Biar aku sama Angga aja."Abimana langsung membawa Alina ke dalam mobil. Angga juga ikut ke dalam mobilnya dan ia mengemudikan mobil Abimana. Pemuda itu terlihat mengkhawatirkan Alina, walaupun ia tidak mengatakan sepatah kata pun. Namun, dari sorot mata dan raut wajahnya sudah memperlihatkan semuanya. Bagaimana cara ia menatap kekasihnya dengan khawatir?"Bang, banyak yang ingin aku bicarakan sama Abang," kata Angga seraya melirik Abimana dari kaca depan mobil itu. Ia terlihat seperti menahan diri dari tadi."Abang akan jelasin semuany
Jawaban dari Alina, sontak saja membuat semua orang yang ada di sana menatap Alina dengan bingung. Terutama keluarga Abimana. Mereka yang baru mengetahui kalau Alina mandul dan wanita itu juga membenarkannya. "Alina, apa benar kamu mandul?" Pertanyaan Wirya kepada Alina, membuat suasana di ruangan itu mendadak dingin dan terasa tegang. Terlebih lagi, Alina menundukkan kepalanya dengan tidak percaya diri. Ia merasa takut dengan pandangan orang-orang saat ini terhadap dirinya. Namun, di sisi lainnya, Bella tersenyum melihat Alina terpojokkan setelah apa yang ia ungkapkan. Ia merasa menjadi pahlawan yang mengungkapkan fakta besar. "Iya Om, saya memang mandul." Wirya, Galih dan ketiga kakak Abimana tercengang mendengar jawaban Alina. Mereka tidak percaya kalau Alina akan mengakui itu. Sedangkan Alina, ia berpikir kalau keluarga Abimana mungkin akan membatalkan pernikahannya dan Abimana karena hal ini. "Kalau kalian mau membatalkan pernikahan karena saya mandul. Saya—" "Tidak