Kedua mata Abimana menatap Alina dengan sendu dari kejauhan. Kamarnya yang kebetulan bersebrangan dengan kamar Alina, membuat Abimana tanpa sengaja melihat adik iparnya itu di sana.
Pintu kamar Alina masih terbuka, menampilkan sosok Alina yang masih berdiri mematung di sana dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Kepalanya sesekali menunduk, jari-jarinya sesekali mengusap sesuatu di pipinya. Abimana tahu apa yang diusap oleh Alina, pasti masih hal yang sama, yaitu air mata. "Kasihan sekali kamu, Al." Abimana berucap dengan lirih, merasa iba pada adik iparnya itu. Dia sudah bisa menebak bahwa malam ini, pasti Alina akan menangis lagi seorang diri di kamarnya dan terlihat sembab di pagi hari. Bukan hanya sekali, dua kali, Abimana melihat Alina seperti itu. Selama dua bulan ini, Abimana sering melihat adik iparnya bersedih dan murung. Sejak pernikahan kedua suaminya, wanita itu hampir tak pernah tersenyum. Belum lagi tekanan dari ibunya yang selalu merecoki rumah tangga Alina dan Reno. Abimana masih berdiri di depan pintu kamarnya, sementara Alina sudah menutup pintu kamarnya. Abimana menghela nafas berat, dia merasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghibur Alina. "Oh iya ... aku bisa melakukan sesuatu untuk Alina." Pria itu tiba-tiba saja terpikirkan sebuah cara untuk membuat Alina merasa lebih baik. Abimana menaruh tas kerjanya di dalam kamar, kemudian dia pergi keluar dari kamarnya dan berjalan menuju ke arah dapur. Entah, apa yang akan dilakukan oleh pria itu di sana. *** Tangan Alina menyentuh pelan, tempat disebelah ranjangnya yang kosong. Tempat yang selalu diisi oleh suaminya, kini sudah terasa dingin. Setiap malam, sejak pernikahan suaminya, dia hanya bisa memeluk guling yang menemaninya. "Lagi-lagi kamu meninggalkanku sendiri Mas. Kamu membiarkan ranjang ini dingin, tanpa ada kamu disampingku." Tidak seperti dugaan Abimana, kali ini Alina tidak menangis seperti sebelumnya. Apakah air matanya habis atau sudah mengering? Entah apa yang terjadi pada Alina. Mungkin juga ia lelah menangis. "Sebenarnya, aku ini masih istrimu kan, Mas?" tanya Alina dengan senyuman getir di bibirnya. Pertanyaan yang dia tanyakan pada dirinya sendiri. Dia merasa diabaikan sepenuhnya dan meragukan dirinya sebagai istri sah Reno. Sebab, pria itu lagi-lagi bersama dengan istri keduanya. Suara getaran terdengar dari ponsel yang berada di atas nakas, membuat Alina terpaksa harus menunda dulu lamunannya. Dia memeriksa ponsel tersebut dan melihat ada 3 baris pesan masuk di sana dari ibunya. "Ibu?" Kedua mata Alina memicing melihat isi pesan dari ibunya, hatinya terenyuh bertabur rindu. Sudah lama dia tidak bertemu dengan ibunya yang tinggal di kota Paris Van Java. [Assalamualaikum Neng, gimana kabar kamu? Baik-baik aja kan di sana? Ibu tiba-tiba kepikiran sama Neng, beberapa hari ini ibu suka mimpiin kamu. Oh ya, gimana kabar mantu ibu, kakak ipar kamu dan mertua kamu? Baik kan, Neng?] [Oh ya, ibunya Lily nanyain Lily juga nih. Kamu sama Lily kan? Lily baik-baik aja kan, Neng?] Hati Alina terenyuh, setelah melihat pesan yang dikirimkan oleh ibunya kepadanya, yang membahas tentang Lily juga. Rumah Lily dan Alina memang berdekatan, mereka berasal dari kota dan kampung yang sama. Ibu Lily dan ibu Alina juga berteman baik, itulah sebagian alasan mengapa Lily dan Alina juga bersahabat. Namun, persahabatan mereka terpaksa harus terputus sementara karena Lily tinggal di ibu kota, setelah perceraian ibu dan ayahnya. Lily memilih pergi bersama ayahnya yang merupakan orang berada, tidak seperti ibunya yang miskin dan tinggal di kampung. Tanpa diduga, takdir mempertemukan Alina dan Lily, dengan cara yang menyakitkan. Di mana Reno dan mertuanya, Weni, memilih Lily sebagai istri kedua Reno. Ternyata Lily juga adalah mantan pacar suaminya saat SMA dulu. Hubungan persahabatan diantara mereka yang pernah terjalin di masa lalu, kini merenggang, menjauh dan mereka seperti bermusuhan. "Ibu, seandainya Ibu tahu ... kalau Lily adalah adik maduku bu. Apa yang akan ibu katakan, nanti?" gumam Alina dengan perasaan yang sesak, mengingat dirinya yang dimadu oleh suaminya, bersama sahabatnya sendiri. Bahkan, ibunya belum tahu kalau Reno sudah menikah lagi, karena Alina sengaja menyembunyikannya dari sang ibu. Dia tidak mau ibunya sampai kepikiran, kalau sampai ibunya mengetahui semua ini. Alina membalas pesan dari ibunya seperti biasa, dia selalu mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Akan tetapi, dia putuskan untuk tidak membahas Lily dan mengalihkan pembicaraan ke arah lain. Mereka jadi membahas soal adik Alina yang akan lulus SMA. Asyik berbalas pesan dengan ibunya, Alina bisa melupakan sejenak kesedihannya yang ditinggal Reno untuk ke sekian kalinya. Tak berselang lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu di depan kamarnya. "Apa Mas Reno balik lagi?" Pikir Alina sambil tersenyum, dia meletakkan ponselnya ke atas ranjang. Kemudian dia berjalan menuju ke arah pintu kamarnya. Dengan semangat, Alina membuka pintu kamarnya, dia pikir Reno kembali untuk menemaninya malam ini. Namun, senyuman Alina sirna saat melihat siapa yang mengetuk pintu kamarnya itu. Hatinya kembali dihantam badai kekecewaan dan kesedihan. "Bodoh kamu Alina. Kenapa kamu masih berharap Mas Reno mau balik ke kamar dan nemenin kamu? Kalau udah sama Lily, dia pasti lupa sama kamu, bahkan nggak inget sama dunianya sendiri." Alina merutuki kebodohannya dalam hati, yang mengira Reno akan datang padanya. "Bang Abi?" Abimana tersenyum lembut pada Alina. "Al, kamu udah makan malam belum?" tanya pria itu. "Belum Bang. Emang kenapa?" Alina menjawab, sekaligus bertanya balik pada Abimana. "Kebetulan deh. Barusan aku masak kebanyakan, aku bingung mau ajak siapa buat makan. Ya udah, aku ajak kamu aja. Mubazir kan kalau makanannya nggak habis?" Abimana memperhatikan raut wajah Alina yang tidak terlihat baik-baik saja. Dia berharap, Alina mau menerima ajakannya. Tanpa diduga, wanita itu tersenyum dan mengangguk. "Ya udah, ayo Bang." Abimana dan Alina pun pergi ke dapur untuk makan bersama. Meskipun sekarang sudah lewat dari jam makan malam. Alina takjub melihat makanan yang dimasak Abimana, bahkan aromanya saja tercium menyengat. Sepertinya sangat enak. Benar saja, saat Alina mencoba nasi goreng buatan Abimana, rasanya memang seenak itu. "Aku tahu Bang Abi jago masak ... tapi aku nggak nyangka kalau masakan Bang Abi, seenak ini." Alina tak ragu memuji masakan kakak iparnya, karena memang masakannya enak. Hal itu membuat Abimana tersenyum senang mendengarnya. Mendapatkan pujian dari Alina adalah sesuatu yang membahagiakan. Apalagi melihat senyuman Alina yang sudah jarang dia lihat sejak Reno menduakannya. "Makasih Al, aku senang kalau kamu suka. Kalau kamu mau, Abang bisa buatin lagi." "Serius Bang? Haha, mau dong dibuatin." Sahut Alina sambil terkekeh. "Tapi ada syaratnya ...." "Syarat? Apa Bang?""Nanti kamu harus buatin aku pancake keju cokelat!"Alina menatap kakak iparnya dengan kedua alis yang terangkat dan kening yang berkerut. Ya, Alina bingung. Pasalnya ia tahu, bahwa kakak iparnya ini tidak terlalu menyukai makanan yang manis-manis."Lho? Kenapa ngeliatin Abang kayak gitu, Al? Ada yang salah ya?" tanya Abimana pada adik iparnya itu, lantaran ia dapat melihat kebingungan di raut wajah Alina."Aneh aja. Kenapa Abang minta dibuatin makanan yang manis-manis? Abang kan nggak suka yang manis-manis," tutur Alina sambil mengambil air minum yang ada di atas meja dapur.Kali ini giliran Abimana yang memuji Alina yang pandai membuat cake. "Kalau kamu yang buatnya, Abang pasti suka. Soalnya, cake buatan kamu kan enak.""Ya udah, nanti Alina buatin ya, Bang. Ngomong-ngomong makasih lho, nasi gorengnya. Pasti, yang nanti jadi istri Abang, akan merasa sangat beruntung.""Kenapa?" tanya Abimana sambil memperhatikan raut wajah Alina yang sudah tampak lebih baik dari sebelumnya. Jujur d
Jantung Reno seakan berhenti berdetak, saat ia menyadari apa yang baru saja ia lakukan pada istri pertamanya. Reno menampar Alina dengan keras, cukup keras sampai wanita itu terjatuh ke lantai. Tangannya gemetar, ia melihat tangan kanan yang baru saja menampar Alina. Tersirat rasa bersalah dimatanya dan rasa tidak percaya, kalau ia sanggup melukai wanita yang ia cintai. Wanita yang selalu memaafkan kesalahannya dan menerima pernikahan keduanya. Sedangkan di sisi lain, Lily yang berada di atas ranjang itu, diam-diam tersenyum tipis melihat apa yang baru saja terjadi. Meskipun, matanya menunjukkan keterkejutan. "Al, maafin Mas ya? Sini, Mas bantu." Reno mendekati Alina, mengulurkan tangannya untuk meraih tangan wanita itu dan membantu Alina berdiri. Namun, Alina langsung menepis tangan suaminya dan dia berdiri sendiri. "Al, bibir kamu berdarah. A-aku minta maaf," ucap Reno terbata, ia tak menyangka tamparannya cukup kuat sampai membuat sudut bibir Aluna berdarah dan pipinya memer
"Abang apaan sih? Alina ... nggak mungkin minggat!" sanggah Reno pada perkataan sang kakak yang sangat membuatnya tak nyaman. Wajah Reno sendiri, masih menunjukkan kegelisahan. Istri pertamanya belum pulang sampai selarut ini."Nggak mungkin sih dia nggak minggat, setelah kejadian tadi pagi." Abimana terus saja berbicara dan membuat Reno kesal."Bisa diem, nggak, Bang!" ujar Reno dengan suara yang agak meninggi."Abang cuma ngasih tahu aja, Ren. Lagian sih kamu, terlalu pilih kasih sama istri-istri kamu. Jadi kayak gini deh!"Reno mendelik tajam ke arah kakaknya, tanpa berkata sepatah katapun. Sedangkan Abimana, pria itu malah tersenyum dengan santainya. Menikmati tatapan mata adiknya yang tampak kesal."Alina selama ini memang banyak diem. Tapi inget loh Ren, marahnya orang diem itu serem," tutur Abimana lagi pada adiknya."Mungkin, kalau marah masih bisa diredakan. Tapi hati-hati kalau seseorang sudah kecewa. Orang kalau udah kecewa, itu sulit untuk kembali."Perkataan Abimana, memb
Beberapa menit sebelumnya, Reno mengunjungi butik Tira dan rumah Tira untuk mencari istrinya. Namun, ternyata, baik Tira maupun Alina tidak ada di sana. Padahal, ia hanya tahu kalau Alina dekat dengan Tira, ia tak tahu Alina berteman dengan siapa lagi di sini. Istrinya itu pendiam dan jarang bergaul, sirkel pertemanannya juga sedikit. Lily dan Tira adalah teman dekatnya, hanya itu yang Reno tahu."Kemana sih kamu Al? Ditelpon gak aktif juga," desis Reno sambil mengacak-acak rambutnya ke belakang dengan kasar. Ia mengkhawatirkan Alina, bagaimana kondisi wanita itu dan apa yang sedang ia lakukan.Reno juga bingung, ia harus menghubungi siapa lagi. Ia tak tahu, kalau Alina mungkin punya teman lain.Suara petir yang menggelegar, terdengar berkali-kali bergemuruh di langit yang berwarna kelam tanpa bintang itu. Menandakan bahwa sebentar lagi akan segera turun hujan. Reno melirik ke arah jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 10 malam. Ia semakin mengkhawatirkan Alina. Meskipun ia selal
[Ly, maaf. Mas nggak bisa pulang. Mas kejebak hujan sama Alina. Mas terpaksa menginap di hotel yang berada di dekat sini. Maaf ya kamu harus tidur sendiri. Tapi kalau kamu kesepian, kamu tidur aja sama mama ya, sayang]Itulah pesan yang dikirimkan oleh kepada istri keduanya. Hal yang membuat Lily sangat kecewa berat, karena ia tidak ditemani oleh Reno malam ini. Suaminya itu pasti akan menghabiskan waktu bersama dengan Alina di hotel. Mungkin mereka tidak hanya tidur bersama, tapi melakukan hal yang lebih dari itu. Membayangkannya saja, hati Lily terasa sakit."Enggak! Kamu nggak boleh sama Alina, mas. Kamu nggak bisa kayak gini!" teriak Lily marah, setelah ia melempar ponsel mahalnya ke tembok dan akhirnya ponsel itu hancur lebur berserakan ke lantai.Lily jatuh terduduk di lantai, tangannya bersandar di atas sudut ranjang. Wanita itu terlihat marah, ia meremas seprai di atas ranjang dengan erat. Menahan tangisnya sekuat mungkin."Sialan kamu Ali
Melihat raut wajah Reno yang panik, bercampur bingung dan takut, membuat Alina tidak butuh jawaban dari pria itu. Karena ia tahu jawabannya.Sontak saja Alina tertawa getir melihat raut wajah suaminya yang tampak kacau itu. "Hahaha."Reno menatap Alina heran, karena wanita itu malah tertawa. Di saat suasana diantara mereka sedang serius."Wajahnya santai aja kali, Mas. Tenang, Mas. Aku cuma bercanda. Ya kali ... Mas mau menceraikan istri tercinta, Mas, yang sedang hamil saat ini," cetus Alina sambil menepuk bahu suaminya. Kata-kata yang terlontar dari bibirnya, merupakan sindiran pedas."Mulai saat ini, kamu akan melihat Alina yang berbeda, Mas. Bukan Alina yang dulu patuh padamu." Kata Alina dalam hatinya. Ia sudah bertekad untuk mengubah sikapnya pada Reno dan semua orang, agar ia tidak ditindas lagi."Ini bukan saatnya bercanda, Al.""Oh ... jadi kamu pengennya aku serius? Saat aku menyuruh kamu menceraikan Lily?" tanya Alina lagi yang membuat Reno tersentak."Al, Mas itu—""Udah y
Hati Lily terasa sakit ketika ia melihat adegan ciuman antara suaminya dan istri sahnya, membuat jantung Lily seakan berhenti berdetak dan dadanya mendadak terasa sesak. Kedua matanya mengembun, wajahnya menunjukkan gurat kekesalan dan kecemburuan melihat itu semua."Aku pikir kamu sudah tidak punya perasaan apa-apa lagi sama istri sah kamu itu, mas. Tapi ternyata..." Lily membatin sambil memegang dadanya yang terasa sesak.Lily sakit, tidak terima dengan fakta kalau Reno juga mencintai istri pertamanya itu. Meskipun sudah ada dirinya di samping pria itu. Tapi ternyata tak cukup.Weni dan Abimana yang ada di sana, tak kalah terkejut melihat Reno mencium Alina. Ya, walaupun mereka tahu kalau Reno dan Alina adalah pasangan suami-istri. Tapi melihat seperti ini secara langsung, tentunya membuat mereka terkejut.Ada yang berdenyut di dalam hati Abimana saat melihat adegan sah suami-istri itu. Ia bahkan sampai memalingkan wajahnya ke samping. Sebab, ciuman yang dilakukan Reno pada Alina cu
"Reno, kenapa sih kamu nggak mau menceraikan dia? Apa sih kelebihan dia, sampai kamu masih mempertahankannya? Udah ada Lily, Ren. Lily yang berasal dari keluarga kaya, dia cantik, baik dan dia sedang mengandung anak kamu."Weni mencecar pernyataan putranya yang tidak akan menceraikan Alina. Menurutnya, Alina tidak pantas untuk dipertahankan lagi. Dia tidak memiliki kelebihan apa-apa, dibandingkan dengan Lily yang sudah lebih dari segalanya."Mama nggak habis pikir. Kenapa kamu masih mempertahankan dia? Sedangkan dia, bahkan nggak bisa ngasih keturunan buat kamu!" seru Weni sambil berdecak kesal dan sangat menyesalkan keputusan putranya untuk mempertahankan Alina."Ma ... Alina adalah wanita yang menemani aku dari nol. Mama ingat? Saat aku kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Alina yang membantu aku untuk bekerja di perusahaan dan dia selalu menemani aku, di saat aku susah. Bahkan dia juga selalu menjaga Mama, memberikan Mama apapun yang Mama inginkan, selama dia mampu memberikannya.