Johan, pengacara yang khusus menangani masalah perceraian itu, ternyata mengenal Abimana. Mereka berdua adalah teman semasa SMA dan mereka masih sesekali bertemu di sela-sela kesibukan dalam pekerjaan mereka. Johan yang tahu siapa Alina, langsung menceritakan kepada Abimana tentang Alina yang mantap ingin bercerai dari Reno, suaminya. Abimana terkejut mendengar kabar kurang menyenangkan itu, karena sebenarnya Abimana ingin pernikahan Alina dan Reno tetap berlanjut. Ia tahu bahwa Alina sangat mencintai Reno. Tapi di sisi lain, ia juga merasa kasihan pada Alina yang diduakan oleh Reno. "Kamu yakin Han, kalau Alina bener-bener ingin bercerai?" tanya Abimana dari seberang sana. "Iya Bi, tapi aku menyuruhnya untuk mengumpulkan bukti-bukti dan alasan kuat untuk mempercepat perceraian mereka. Sebelum itu, aku minta sama adik ipar kamu, agar melakukan mediasi terlebih dahulu dengan adik kamu." Johan menjelaskan segalanya pada teman baiknya tentang Alina. "Bagus Han, makasih udah ngasih
Weni dan Lily sampai menganga, karena mereka tidak menyangka jika Alina akan berbicara seperti itu. Alina yang pendiam dan selama ini selalu bersikap lembut, kini berani membalas ucapan orang yang menindasnya."Woah! Ngomong apa kamu barusan?" Weni menatap sinis pada Alina."Saya bilang, baju-baju ini memang tidak cocok untuk wanita yang berpendidikan, cantik, kaya dan sukanya maling suami orang. Baju disini terlalu mahal untuk wanita seperti itu," sindir Alina sambil tersenyum dengan santai dan menatap Lily penuh penekanan. Seolah kata itu memang ditujukan untuk Lily."Kurang ajar kamu! Beraninya kamu menghina menantu saya!" teriak Weni yang sontak saja membuat para karyawan dan beberapa pengunjung mendengar keributan itu. Serta memperhatikan mereka bertiga."Saya juga menantu Mama, tapi kenapa hanya dia yang disebut menantu?" Alina meninggikan suaranya, bahkan kedua matanya berkaca-kaca.Orang-orang di sana semakin penasaran melihat ke arah Alina, Weni dan Lily."Saya istri sah mas
"Cerai? Aku pasti akan melakukannya, nanti. Sebelum aku membalas perlakuan kalian padaku ... aku tidak akan kemana-mana," gumam Alina pelan dengan mata yang penuh tekad. Sebelum ia bercerai dari Reno, ada sebuah misi yang harus ia tuntaskan. Perasaan yang selama ini ada di hatinya dan harus ia luapkan. Sedangkan Tira, ia menatap temannya dengan penuh pertanyaan, karena ia tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran Alina. Tapi yang jelas, Alina akan menunda perceraiannya terlebih dahulu. *** Perasaan Lily dan Weni masih saja buruk, bahkan setelah mereka berbelanja dan makan-makan di restoran mahal. Ketika mereka teringat dengan apa yang dilakukan Alina kepada mereka di toko pakaian Tira tadi. Sesampainya di rumah, Weni langsung menggerutu sambil mengata ngatai menantu pertamanya itu. Pembawa sial, si mandul, tidak tahu diri dan hal-hal yang biasa ia ucapkan pada Alina. Sementara Lily, ia hanya diam dan iya-iya saja mendengar perkataan ibu mertuanya. "Si mandul itu bener-bener ya
Lily memulai kembali aktingnya, ia menangis di depan semua orang agar ia tidak perlu meminta maaf pada Alina. "Mas, aku nggak salah. Aku nggak bisa minta maaf sama Alina," ucap Lily memelas."Disini jelas-jelas kamu bersalah, Li." Reno berbicara dengan lembut pada istri keduanya. Tidak sampai membentak, seperti caranya menegur Alina. Sungguh, sikapnya sangat berbeda.Alina mengepalkan tangan, menahan rasa emosi di dalam dirinya, karena melihat sikap Reno pada Lily yang selalu lembut, meskipun Lily berbuat kesalahan. Sangat berbeda sekali, dengan cara Reno bersikap kepadanya. Bahkan tak jarang, Reno membentak Alina atas kesalahan kecil yang ia lakukan."Minta maaf sama kakak madumu, ya Li? Mas mau lihat kedua istri Mas, pada akur."Alis Alina terangkat ke atas, mulutnya refleks menganga dan ia langsung menutup mulut dengan satu tangan sambil menahan rasa mual yang datang, ketika Reno mengatakan hal yang menurutnya sangat menjijikan."Huwek! Akur katanya? Sama maduku? Amit-amit." Kata A
Berat bagi Abimana untuk meninggalkan rumah ini, padahal yang sebenarnya, ia sangat berat meninggalkan Alina bersama Reno, Lily dan Weni di sana. Ia takut kalau Alina akan disakiti oleh mereka bertiga. Meskipun ia tahu dari Johan, kalau Alina menunda proses perceraiannya."Abang pergi ya, Al. Kalau ada apa-apa, kamu bisa telpon Abang. Kamu menganggap sebagai Abang kamu sendiri?" ucap Abimana dengan senyum yang dipaksakan. Lidahnya sulit mengucapkan ini, tapi ia ingin membuat Alina tidak menyadari perasaannya yang terpendam.Wanita berambut panjang itu tersenyum manis, lalu ia berkata pada Abimana. "Iya Bang! Alina kan nggak punya Abang, jadi tentu saja, Bang Abi itu Abang aku."Melihat senyuman Alina, Abimana menyimpan senyuman manis itu di dalam ingatannya. Semoga saja, perasaannya akan menghilang setelah ia pergi jauh dari sini."Reno!" ujar Abimana memanggilku adiknya yang baru saja keluar dari rumah bersama dengan Lily dan Weni."Iya Bang? Mau berangkat sekarang?" kata Reno pada k
Sulit bagi Reno untuk membagi keadilan pada kedua istrinya dan ibunya. Dia ingin mempertahankan Alina dan dia harus bersikap tegas pada ibunya yang selalu memulai pertengkaran lebih dulu.Perdebatan pagi itu pun dimenangkan oleh Alina dengan permintaan maaf dari Weni dan Lily. Setelahnya, Alina dan Reno berangkat bekerja bersama. Reno akan mengantar Alina ke toko pakaian dan setelahnya, Reno akan pergi ke kantornya."Sayang.""Iya Mas? Ada apa?""Rok kamu apa nggak kependekan?" tanya Reno seraya melihat ke arah Alina yang memakai rok di atas lutut sedikit."Ini kan pakaian kerja aku, Mas. Aku biasa pakai ini dan dalamnya pakai stoking juga," jelas Alina pada suaminya itu. Baginya, penampilannya ini tidak ada yang salah.Reno tidak terima dengan penjelasan dari Alina, bahkan ia menunjukkan secara terang-terangan perasaan tidak nyamannya, saat melihat istrinya berpakaian dan berdandan seperti itu."Yang lain juga berpakaian seperti ini, Mas.""Untuk hari ini, kamu boleh pakai pakaian da
Tanpa sepengetahuan Reno, Lily selalu diam-diam bertemu dengan seorang pria. Pria itu terlihat sangat mencintainya dan rela melakukan apapun untuknya, meskipun cintanya tidak mendapatkan balasan apa-apa. Selain tubuh Lily, tapi tidak dengan hatinya. Sebab, hati Lily hanya untuk Reno."Kamu mau aku bunuh dia?" tanya pria itu kepada Lily. Wanita itu langsung menjawabnya dengan anggukan kepala."Iya, aku mau kamu bunuh dia. Aku benci sama dia, Ton!"Niat Lily sudah kuat dan tekadnya sudah bulat, ia ingin menghabisi Alina. Wanita yang selama ini menghalangi jalannya untuk bersama dengan Reno."Bukannya aku tidak bisa membunuhnya. Hanya saja, aku merasa kita tidak perlu sampai membunuh Alina," kata pria itu pada Lily."Kenapa? Dia udah nyakitin hati aku, dia nindas aku. Kenapa kita nggak bisa bunuh dia? Jangan bilang ... kamu takut ya?" tanya Lily sambil menatap pria itu dengan tajam."Kenapa harus takut sama cewek lemah kayak dia? Aku tuh cuma nggak mau, kamu ngambil keputusan gegabah. Ka
Syukuran empat bulanan? Reno merasa kalau ide Alina sangat bagus, ia juga memuji pemikiran Alina yang peduli pada Lily dan calon anak mereka."Syukuran empat bulanan,Al?"Alina menganggukkan kepalanya. "Iya Mas. Sekarang kan kandungan Lily udah 4 bulan. Baiknya, kita ngadain syukuran di rumah buat dia.""Sayang ... niat kamu baik, ide kamu juga sangat bagus. Tapi gimana tanggapan orang-orang nanti tentang ini? Mereka akan beranggapan kalau Lily udah hamil empat bulan? Dan nggak banyak orang yang tahu, kalau Lily adalah istri kedua aku, Al."Wanita itu langsung berdecak, menahan kesalnya dalam hati. Niatnya untuk menjebak Reno, Lily dan Weni dalam acara empat bulanan, terpaksa harus gagal, sebab Reno tidak sebodoh itu. Ya, dia tidak cukup bodoh, bahkan mungkin dia sangat pintar, karena bisa berselingkuh dari Alina sebelum pria itu menikah dengan selingkuhannya."Iya juga ya. Tapi kasihan Lily loh, Mas. Kasihan bayinya juga, kalau nggak diadakan acara empat bulanan. Apa lagi Lily sedang
Alina dibawa ke rumah sakit setelah dirasa air ketubannya sudah pecah, dibantu oleh orang-orang yang ada di butik. Mereka naik ambulance agar lebih cepat sampai dan bisa menghindari kemacetan. Alina ditemani oleh Tira, sementara bayinya dititipkan pada ibu mertuanya lebih dulu. Disaat-saat seperti ini, Tira harus ada bersama dengan Alina. Bahkan saat Tira melahirkan putranya yang bernama Aksa, Alina ada di sana bersamanya."Bu, apa sudah dihubungi suaminya?" tanya seorang perawat pada Tira."Iya, ini mau saya telpon, Sus." Tira mengambil ponselnya yang ada di dalam tas. Dia bergegas menghubungi Abimana untuk memberitahukan kondisi istrinya.3 kali ditelpon, tapi Abimana tidak kunjung mengangkat telponnya. "Aduh, si pak Abi gimana sih? Biasanya juga gercep angkat telpon. Kok ini mendadak lemot."Hingga akhirnya dia menelpon suaminya, karena dia baru ingat kalau suaminya mungkin saat ini sedang bersama dengan Abimana untuk membahas masalah pekerjaan."Halo Mas Rey!""Ada apa yang?" tan
Apa yang sudah diputuskan Abimana harus terlaksana, apalagi jika itu mengenai istrinya. Siang itu, Abimana sudah berada di depan butik untuk menjemput istrinya. Meski istrinya sudah mengatakan padanya, kalau dia tidak mau pergi ke dokter."Mas, aku kan udah bilang sama Mas. Aku nggak mau periksa ke dokter. Ini cuma asam lambung doang," ucap Alina kesal.Abimana menggeleng-gelengkan kepalanya, wajahnya terlihat datar dan tatapan matanya menunjukkan kalau dia tidak menerima penolakan."Pokoknya kalau aku bilang pergi ke dokter, harus ke dokter.""Aku kan nggak kenapa-napa Mas.""Pokonya ke rumah sakit!" ujar Abimana tegas.Bibir Alina mencebik saat mendengar keras kepala suaminya. Abimana memang sulit diubah pikiran dan tekadnya. Jangan lupa, bahwa pria itu adalah pejuang yang keras kepala. Dia keras kepala dan bersikeras mendapatkan Alina. Dari awal sampai akhir, dia terus berusaha sampai dia bisa mendapatkannya. Inilah dia dan keras kepalanya yang tak bisa diganggu gugat.Dengan terpa
"Mas berangkat duluan ya Sayang." Pria itu memberikan kecupan mesra di kening istrinya seraya berpamitan."Kita barengan aja Mas. Aku juga kan mau ke butik," kata Alina sambil menyimpan gelas air minum yang sudah kosong ke atas meja. Dia juga sudah bersiap-siap untuk pergi ke butik.Abimana malah kembali membuatnya duduk di atas kursi. Padahal Alina sudah berdiri dan siap-siap pergi ke butik. "Kamu berangkatnya agak siangan aja Sayang. Semalam kan kita habis anu, kamu pasti masih capek."Lagi-lagi Abimana mengingatkan mereka akan malam panas mereka semalam. Meski sudah berkali-kali melakukannya dan membahas ini, Alina tetap merasa malu. "Mas...""Kenapa sih? Orang cuma ada kita berdua aja di sini. Kamu masih malu?" goda Abimana seraya memegang dagu sang istri.Matanya menatap istrinya dengan penuh cinta seperti biasa. Dia tidak pernah bosan melihat istrinya setiap hari dan hampir setiap detik, cintanya bertambah terus menerus seakan tak akan pernah habis dan selalu diisi ulang.Inikah
Rey melihat istrinya sedang jongkok sambil memegangi perutnya. Tak hanya itu, kedua mata istrinya berurai oleh cairan bening yang hangat. Suara tangisannya terdengar menyakitkan, sampai ke ulu hati Rey."Sayang? Kamu kenapa di sini?" tanya Rey yang tak kunjung membuat sang istri berhenti menangis dan mau melihat ke arahnya. Tira malah semakin menyembunyikan dirinya dari Rey."Maafin aku ya, Sayang." Pria yang akan segera jadi ayah itu, ikut berjongkok bersama istrinya dan disamping istrinya. Dengan tulus dia meminta maaf, tapi Tira sepertinya tidak mempercayai permintaan maafnya dan malah berkata lain-lain."Ngapain kamu ke sini? Pasti kamu mau marahin aku lagi kan? Sana pergi! Jangan ganggu aku sama bayiku," ujar Tira mengusir suaminya pergi dari sana dengan wajah bad mood."Eh? Kok gitu sih? Bayi kita ya, bukan bayi kamu aja. Orang aku kok yang nanam benihnya," celetuk Rey yang sontak saja mendapatkan pelototan maut dari istrinya. "Kenapa? Aku bicara benar kan? Benihnya dari aku loh
Ketika ibu dan ayah mertuanya menanyakan keadaannya, Tira hanya bisa menangis sambil mengatakan maaf. Mereka jadi kebingungan melihat Tira seperti ini. Hingga akhirnya Rey yang masih setengah sadar, tiba di dapur dan melihat asap mengepul di sana."Ada apa sih? Siapa orang yang masak malam-malam dan bikin dapur kebakar kayak gini?" tanya Rey pada semua orang yang sudah ada di sana.Papa Rey terlihat kesal dengan perkataan putranya. Dia terlihat santai, padahal istrinya bisa saja terluka saat berada di dapur. "Rey! Kamu ini gimana sih? Kenapa kamu biarkan istri kamu ke dapur sendiri hah?""Hah? Istriku ke dapur sendirian?" kata Rey dengan polosnya."Iya, sepertinya dia lagi masak nasi goreng tapi gosong nasinya. Kenapa sih kamu nggak perhatian sama istri kamu?" ucap mamanya kali ini dengan galak."Ma, tolong jangan marah-marah sama Mas Rey. Aku sendiri yang mau ke dapur, ini bukan salah dia." Tira membela suaminya, karena memang dia sendiri yang ingin pergi ke dapur dan membuat makanan
Ketika Alina dan Abimana sedang menikmati masa bulan madu mereka yang indah. Rey dan Tira sedang menikmati masa sebelum mereka menjadi orang tua. Kandungan Tira sudah menginjak bulan ketiga ,dia sudah tidak mengalami mual-mual lagi seperti sebelumnya. Tapi sekarang sikapnya sangat membuat Rey kebingungan. Setiap hari Rey dibuat sibuk dan Tira tidak bisa melihat suaminya diam."Rey, bangun. Rey." Tira menggoyang-goyangkan tubuh suaminya dengan kedua tangannya.Dia mencoba membangunkan suaminya itu. Namun, Rey masih tertidur lelap dan belum ada tanda-tanda mau bangun. Tira semakin jengkel dan akhirnya dia pun mengambil peluit yang ada di dalam lemari nakas. Kemudian dia meniup peluit itu tak jauh dari telinga Rey.Prit... Prit...Suara peluit itu terdengar kencang dan kontan saja membuat kedua mata Rey terbuka lebar. Pemuda itu benar-benar terbangun. "Astaghfirullah! Sayang!" pekik Rey kaget, seraya mengorek-ngorek telinganya yang terasa sakit setelah apa yang dilakukan istrinya barusan
Seakan tidak pernah puas dengan istrinya, Abimana kembali lanjutkan aktivitas suami istri itu pada pagi hari. Hingga mereka berdua baru bisa bersantai pada sore hari. Ketika perut keduanya sama-sama lapar dan ketika Alina ingin pergi jalan-jalan keluar. Dia bosan di dalam kamar, bisa-bisa suaminya terus melakukan ini seharian."Kamu mau jalan-jalan? Memang nggak capek heum?" ucap Abimana seraya mengelus dagu istrinya dengan lembut. Abimana tersenyum pada istrinya itu yang merengek ingin jalan-jalan."Gak. Aku lebih capek kalau terus-terusan berada di kamar ini. Kamu pasti bakal mesum terus sama aku, Mas." Alina mengucapkannya dengan blak-blakan. Kedua tangannya menyilang di dada dan matanya menunjukkan kekesalan."Baiklah. Kita akan keluar. Tapi gantilah dulu bajumu Sayang. Jangan sampai kamu memakai pakaian terbuka saat kita keluar nanti," ucap Abimana yang akhirnya menuruti rengekan istrinya.Seulas senyum manis nan indah, terlihat di bibir Alina dan membuat Abimana turut bahagia."T
Seketika tubuh Alina meremang, kala Abimana memeluknya dan bibir lelaki itu menyentuh tengkuknya dengan lembut, penuh perasaan. Gelayar aneh mulai muncul di dalam dirinya, seakan-akan meledak. Sentuhan Abimana membuat Alina geli, tapi juga merasa bahagia.Kini mereka adalah suami istri dan mereka sudah sah secara hukum negara maupun agama. Bukankah ini saatnya mereka untuk melakukan malam pertama?"Kamu wangi banget, Yang." Suara Abimana terdengar mendesah dan bibirnya masih terus mengecupi leher Alina.Wanita itu terkekeh mendengar perkataan Abimana yang terdengar seperti gombalan. "Mana ada wangi, Mas? Yang ada aku bau keringat, karena seharian di tempat acara resepsi pernikahan kita.""Keringatmu tetap wangi Sayang. Apa lagi saat kita melakukan kegiatan positif di atas ranjang itu yang membuat kita semakin berkeringat, pasti rasanya akan nikmat," ucap Abimana menggoda. Sontak saja Alina terkejut mendengar ucapan suaminya yang ternyata bisa vulgar seperti ini."Mas ..." desah Alina
Suasana di gedung hotel mewah itu menjadi saksi pernikahan Abimana dan Alina. Semuanya sudah disiapkan dengan sebaik-baiknya dan sesempurna mungkin. Pernikahan kedua Alina ini, jelas jauh lebih mewah dari pernikahan sebelumnya yang sederhana. Kalah jauh. Abimana lah yang menginginkan pernikahan ini menjadi pernikahan yang mewah. Ia ingin meratukan wanita yang ia cintai dengan gemerlap kemewahan dan kasih sayang. Apa yang ia lakukan ini menunjukkan betapa besarnya kasih sayang pria itu kepadanya. Semua wanita akan iri kepadanya hari ini, karena ia mendapatkan mempelai pria yang sangat mencintainya. Orang-orang juga akan banyak yang mendoakan agar keduanya bahagia. Sakinah, mawadah warahmah. Angga yang terharu dengan pernikahan kakaknya, tak bisa menahan tangis. Air matanya terus saja keluar, tak terkendali. Tira yang melihat itu pun mencoba membuat Angga berhenti menangis. "Masa kamu nangis sih? Ini hari bahagia kakak kamu loh. Ayo senyum ah! Jelek tahu!" tukas Tira gemas melihat