Syukuran empat bulanan? Reno merasa kalau ide Alina sangat bagus, ia juga memuji pemikiran Alina yang peduli pada Lily dan calon anak mereka."Syukuran empat bulanan,Al?"Alina menganggukkan kepalanya. "Iya Mas. Sekarang kan kandungan Lily udah 4 bulan. Baiknya, kita ngadain syukuran di rumah buat dia.""Sayang ... niat kamu baik, ide kamu juga sangat bagus. Tapi gimana tanggapan orang-orang nanti tentang ini? Mereka akan beranggapan kalau Lily udah hamil empat bulan? Dan nggak banyak orang yang tahu, kalau Lily adalah istri kedua aku, Al."Wanita itu langsung berdecak, menahan kesalnya dalam hati. Niatnya untuk menjebak Reno, Lily dan Weni dalam acara empat bulanan, terpaksa harus gagal, sebab Reno tidak sebodoh itu. Ya, dia tidak cukup bodoh, bahkan mungkin dia sangat pintar, karena bisa berselingkuh dari Alina sebelum pria itu menikah dengan selingkuhannya."Iya juga ya. Tapi kasihan Lily loh, Mas. Kasihan bayinya juga, kalau nggak diadakan acara empat bulanan. Apa lagi Lily sedang
"Tadi pagi kamu udah ribut sama Lily. Aku mau kalian maaf-maafan," ucap Reno lembut pada Alina.Alina menghela napas panjang, ia sepertinya enggan meminta maaf. Tapi dia terpaksa melakukan itu, agar Reno tidak bicara macam-macam padanya lagi atau kepalanya akan kembali pusing."Li, aku minta maaf ya." Wanita itu meminta maaf, lalu ia menarik Lily ke dalam pelukannya. Seolah menunjukkan di depan Reno, kalau dia benar-benar tulus meminta maaf pada wanita itu."Jangan marah lagi ya, Li. Kalau lagi marah, jangan kemana-mana. Di rumah aja ... kasihan mama sama mas Reno. Kasihan bayi kamu juga. Kamu harus banyak istirahat," tutur Alina seraya mengelus punggung Lily.Lily tampak kesal mendengar ucapan Alina dan dia sudah menduga kalau Alina hanya pura-pura baik padanya."Nggak usah banyak bacot kamu, Na!" desis Lily pelan, di telinga Alina."Udah, kamu diem aja Li. Kamu mau mas Reno marah sama kita, gara-gara kita berantem?" tanya Alina yang memang ada benarnya juga."Ini semua gara-gara kam
Pesan dari Abimana yang mengabarkannya, jika pria itu sudah sampai di Banjarmasin. Alina tersenyum melihat pesan dari kakak iparnya yang selalu perhatian padanya itu. Mungkin, perhatiannya, melebihi perhatian suaminya sendiri.[Waalaikumsalam, Bang. Alhamdulillah kalau Abang udah sampe. Alina seneng dengernya, Bang. Abang istirahat ya ...]Satu pesan balasan, Alina kirimkan pada Abimana. Pria itu langsung senyum-senyum sendiri, dengan perasaan yang berdebar, setiap kali ia berinteraksi dengan Alina. Rasa rindu dalam hatinya, semakin mencuat, meskipun belum genap satu hari, ia meninggalian ibu kota dan tidak bertemu dengan adik iparnya itu.Dengan semangat, Abimana membalas pesannya lagi.[Kamu juga tidur ya. Jaga kesehatan, Al. Jangan banyak pikiran. Kalau ada apa-apa, hubungi Abang :)]Alina membalasnya lagi dengan emoji senyum, yang mana emoji itu bisa membuat jantung Abimana tidak aman. Lelaki itu memegang dadanya, tingkahnya seperti abg yang baru saja jatuh cinta."Alina ... belum
Abimana masih tidak menyangka, kalau semalam ia akan bermimpi seperti itu dengan Alina di dalamnya. Mereka menjadi suami-istri dan bercinta penuh gairah. Ini sangat gila dan ia tidak pernah membayangkan sebelumnya. Sebab, mencintai wanita yang merupakan adik iparnya sendiri juga, merupakan sebuah kemustahilan yang besar. Wanita yang tidak mungkin bisa ia miliki."Pak Abimana?"Seorang pria yang saat ini duduk berhadapan dengan Abimana, memanggilnya. Tapi Abimana masih tenggelam dalam pikirannya sendiri."Pak Abimana?" Pria itu memanggilnya sekali lagi dan barulah Abimana menyahut."A-ah iya Pak Galih?" sahut Abimana yang baru fokus sekarang. Dia melihat ke arah rekan bisnisnya di sana."Bapak kenapa? Apa Bapak tidak enak badan? Dari tadi saya perhatikan Bapak melamun terus dan wajah Bapak juga pucat," tutur pria bernama Galih itu dengan khawatir."Tidak, saya tidak apa-apa, Pak. Maaf barusan saya tidak fokus," kata Abimana dengan sopan, mau minta maaf kepada rekan bisnisnya itu."Haha
Malam itu, Lily sudah berdandan sangat cantik, karena Reno akan membawanya ke pesta. Alina melihat istri kedua suaminya itu sedang bercermin sambil memakai anting di telinganya."Ngapain kamu disitu? Kamu kan nggak diajak sama mas Reno," ketus Lily sambil tersenyum dan berusaha mengejek Alina yang tidak akan pergi ke pesta."Siapa juga yang mau ikut ke pesta? Lagian aku malas kemana-mana."Alina berjalan mendekati Lily dan ini mereka saling berhadapan. Lily menatap Alina dengan tatapan mengejek dan merendahkan. Alina juga melakukan hal yang sama, ia menatap Lily dengan tajam. Ia tidak pernah menduga bahwa sahabatnya adalah maut dalam pernikahannya. Andai saja, dulu Alina tidak pernah memperkenalkan Lily pada Reno, pasti semua ini tidak akan terjadi. Namun, takdir yang sudah terjadi, tidak bisa diubah. Beda halnya dengan nasib."Aku cuma mau ingetin sama kamu. Jangan sampai buat mas Reno malu di pesta," cetus Alina mengingatkan."Aku? Buat malu? Kalau mas Reno ajak kamu ke pesta, baru
"Lily Sayang, apa kamu benar-benar akan pergi ke pesta itu? Reno kan sudah melarang kamu untuk pergi." Weni terlihat gelisah, saat menantu kesayangannya benar-benar akan pergi ke pesta itu, meskipun sudah dilarang oleh putranya. Weni tahu, Reno pasti memiliki alasan yang kuat, mengapa ia tidak jadi mengajak Lily. "Aku akan tetap pergi, Ma. Aku juga istrinya mas Reno dan aku berhak untuk ikut ke pesta itu." Weni menghela napas dan tak tahu harus bagaimana lagi membujuk Lily. Wanita itu tetap nekat ingin pergi ke pesta. "Pokoknya Mama tenang aja ... aku nggak bakal berbuat macam-macam kok. Malah aku akan buat bangga, mas Reno." Lily tersenyum pada ibu mertuanya, lalu ia pun menyalami tangan Weni dengan sopan. "Lily berangkat dulu ya, Ma!" "Ya udah, kamu hati-hati ya Sayang. Hati-hati cucu mama yang ada di dalam sana," ucap Weni lembut pada Lily. Lily benar-benar pergi meninggalkan rumah itu dengan naik taksi, Weni memastikannya sendiri naik taksi itu. Weni harap, agar Lily
Melihat istri keduanya datang ke pesta, membuat Reno ketar-ketir. Pasalnya, ia takut kalau Lily berbuat yang macam-macam. Semoga saja, pikirannya tidak benar. Jangan sampai Lily berbicara atau berbuat sesuatu yang bisa memicu pertikaian.Di sisi lain, Alina masih asik bermain dengan anak bosnya Reno yang tidak mau lepas dari gendongannya. Alina terlihat menyukai anak laki-laki berusia 1 tahun itu."Bagaimana ini, Bu Alina? Anak saya tidak mau turun dari gendongan Bu Alina," ucap wanita berusia 40 tahunan yang merupakan istri dari bosnya Reno itu.Alina tersenyum dan dia sama sekali tidak keberatan menggendong anak laki-laki itu. "Tidak apa-apa, Bu. Saya senang kok, gendong anak Ibu.""Aduh ... jadi ngerepotin deh.""Nggak apa-apa, Bu.""Ta .. Ta taya..." anak laki-laki itu berbicara dengan pelafalan yang belum jelas sambil menujuk ke arah tempat stand makanan di sana."Mau kemana Sayang? Ke sana?" tanya Alina dengan lembut kepada anak laki-laki itu.Anak itu pun menjawab. "Ca-na.""Ke
Hadiwijaya terlihat menahan kesalnya pada Alina, di depan banyak orang, ia harus menjaga imagenya. Terlebih lagi, image Lily sebagai putrinya. Jangan sampai orang-orang tahu, kalau Lily adalah istri kedua Reno, manager keuangan di perusahaan yang bisa terbilang perusahaan kecil. Sebenarnya Hadiwijaya malu memiliki menantu seperti Reno dan sempat menolak pernikahan Lily dan Reno. Akan tetapi, Lily sudah hamil duluan dan mau tak mau, Hadiwijaya menerima Reno sebagai menantunya. Sebab, pria itu adalah pria yang Lily inginkan, meski statusnya suami orang, suami sahabatnya sendiri. "Ngomong-ngomong, siapa yang bu Alina maksud sebagai pencuri? Kok dari tadi ngomongin terus pencuri ya?" tanya teman Reno yang sedari tadi terlihat bingung. Alina tersenyum, seraya menatap teman Reno itu. Lalu ia pun berkata, "Ada kacang lupa kulitnya, sama serigala berbulu domba." Lily dan Reno sama-sama tercekat mendengar perkataan Alina yang tepat menyindir hati mereka. Kelakuan mereka berdua dan Alina s