Reno melihat tangannya yang baru saja menampar Alina, tidak, bukan menampar. Lebih tepatnya memukul wajah Alina. Setelah Alina menyebut Lily dengan sebutan pelacur."A-Alina, a-aku." Reno tergagap saat menyadari sikapnya yang salah terhadap Alina. "Ini juga karena kamu, kenapa kamu pake menghina Lily segala?" ucap Reno yang tidak mau disalahkan sepenuhnya.Alina belum angkat bicara, ia masih berusaha untuk menguatkan dirinya agar tidak menangis di depan Reno setelah kejadian barusan. Meskipun dadanya terasa panas, bergemuruh emosi, rasa sakit dan amarah bercampur menjadi satu.Wanita itu pun mengangkat kepalanya dan Reno bisa melihat pipi Alina yang memerah, bersamaan dengan darah disudut bibirnya."Al, bibir kamu ... pipi kamu ..." Tangan Reno hendak menyentuh wajah Alina, tapi dengan cepat Alina menghindar dari suaminya."Kenapa harus aku selalu yang disalahkan, Mas? Apa aku salah, karena sudah mengatakan fakta tentang istri kedua kamu? Kalau dia memang pelacur!" sentak Alina dengan
Reno terdiam setelah mendengar kata-kata Alina tentang talak, bahkan wanita itu berani menantangnya. Di dalam matanya yang terlihat memerah, tersirat kesungguhan dan tekad kuat untuk berpisah dengan Reno. Jantung Reno seakan berhenti berdetak sesaat, ketika Alina menyebut soal perceraian. Hatinya tidak bisa menerima itu. "Kenapa kamu diam, Mas? Bukankah lebih baik kalau kamu menjatuhkan talak kepadaku? Jadi kamu bisa bersama dengan pelacur kamu itu, tanpa gangguan dariku." Padahal sangat mudah bagi Reno untuk menceraikan Alina, jika ia mau, ia bisa saja menceraikan Alina sebelum pria itu menikahi Lily. Tapi Reno tidak melakukan itu dan tetap mempertahankan istri pertamanya. Dengan segala kekurangan yang dimiliki oleh Alina di matanya, kebencian ibunya terhadap Alina, tetap tidak bisa membuat Reno menceraikan istri pertamanya ini. Tangan Reno kembali melayang, rahangnya mengeras saat mendengar kata-kata Alina yang sudah lancang kepadanya dan menghina Lily. Namun, tangannya tertaha
Melihat apa yang terjadi diantara Reno dan Alina di Jakarta, membuat Abimana ingin segera kembali ke Jakarta. Ia ingin melihat dan menemani Alina disaat-saat tersulitnya. Apa lagi Reno sudah berani bermain kasar pada istrinya dan ia merasa harus memberikan pria itu pelajaran."Aku harus mengabari Pak Presdir, kalau aku harus kembali ke Jakarta."Demi Alina, ia memasrahkan kesempatan naik jabatannya dengan perjalanan bisnis ini, kepada orang lain. Jabatan bisa didapat lagi nanti, kesempatan juga masih bisa didapat di lain waktu, tapi menemani Alina, tidak bisa ia lewatkan.Abimana tahu, sikapnya ini salah sebagai seorang kakak ipar, apa lagi perasaan cintanya pada wanita itu. Tapi ia tidak bisa membiarkan Alina disakiti oleh adiknya dengan begitu kejam. Setidaknya ia harus ada disisinya, atau mungkin ia akan mengambil langkah nekad untuk wanita itu.***Johan dan istrinya pulang lebih dulu dari pesta, rupanya mereka yang mengajak Alina pulang bersama dan mengantarkannya ke rumah Tira.
Niat hati ingin menghabiskan malam berdua yang indah bersama Reno, tapi Lily malah harus disibukan dengan suaminya yang mabuk. Alasan Reno mabuk, adalah karena memikirkan istri pertamanya. Hati Lily sakit, melihat Reno sampai seperti ini demi Alina."Bahkan setelah kamu memiliki cinta pertamamu, kamu masih memikirkan istri pertama kamu itu, Mas? Apa kurangku sama kamu, Mas?" gumam Lily sambil menahan air matanya dan melihat ke arah Reno."Al ... maafin, Mas. Maafin Mas udah nyakitin kamu, maaf ..." lirih Reno dalam kondisi yang setengah tidak sadar dan Lily mendengarnya dengan jelas.Suaminya itu merasa bersalah karena sudah menyakiti istri pertamanya. Bahkan Reno sampai melampiaskan rasa bersalahnya itu dengan mabuk-mabukan. Bukankah sikap Reno ini menunjukkan, bahwa pria itu masih memiliki perasaan terhadap Alina.Mengetahui fakta tersebut, Lily tidak dapat menerimanya. Dia ingin, hanya ia saja wanita satu-satunya yang dicintai dan diratukan oleh Reno. Tujuannya menggoda Reno, adala
Wanita itu benar-benar bingung, melihat Reno dan Johan berada di tempat yang sama bersamaan. Bagaimana kalau Reno curiga dengan kedatangan Johan dan mengetahui rencananya untuk menggugat cerai lebih dulu?"Al, itu suami mokondo lo ada di sini. Mau diusir apa gimana?" tanya Tira dengan semangat, kalau-kalau dia disuruh untuk mengusir Reno. Ia siap 100 persen, mengusirnya.Alina menggelengkan kepalanya. "Nggak usah, biar aku hadapi mas Reno sama pak Johan.""Yakin lo nggak apa-apa? Lo kan paling susah bohong?" celetuk Tira yang tak yakin, kalau Alina bisa berakting di depan mereka."Aku bisa, aku udah belajar dari Lily selama ini. Kamu jangan khawatir."Tira tertawa mendengar perkataan Alina yang seperti lelucon, karena wanita itu malah membawa-bawa nama Lily. "Haha, lo bisa aja Al. Tapi bener sih, lo bisa belajar banyak dari dia, soal bohong sama akting," cetus Tira sembari terkekeh.Dengan hati yang sebenarnya belum siap, Alina keluar dari ruangan Tira, ia berjalan menghampiri suami d
Galih merasa sangat yakin, kalau Abimana sangat mirip dengan seseorang yang ia kenal. Terutama melihat dari wajahnya, seperti melihat kakaknya waktu masih muda."Apa maksud Bapak? Saya mirip dengan kakaknya, Bapak?" tanya Abimana setelah mendengar ucapan Galih tentang kemiripan wajahnya dan wajah kakaknya Galih.Galih mengangguk dengan yakin, tanpa melepaskan atensinya dari Abimana. "Iya, kamu mirip dengan kakak saya. Saya juga yakin, kalau kemiripan kalian bukanlah suatu kebetulan," ucap Galih sambil mengambil sesuatu dari saku jasnya. Pemilik perusahaan ternama dan konglomerat nomor 2 di Indonesia itu, mengeluarkan ponselnya.Lantas ia menunjukkan foto kakaknya di dalam sana pada Abimana. "Ini ... foto kakaknya, Pak Galih?" tanya Abimana dengan kedua bola matanya yang tampak bingung. Pria yang ada di dalam foto tersebut, sangat mirip dengannya. Seperti pinang dibelah dua."Iya, ini adalah kakak saya. Apa kamu mengenal beliau? Dia adalah Wirya Gunandya, pasti namanya sudah tidak asin
"Silahkan diminum tehnya, bu Yuni." Lily tersenyum, mempersilahkan Yuni, ibu dari Alina untuk meminum teh yang sudah ia siapkan. "Terimakasih ya, Lily." Yuni tersenyum dan mengucapkan apa yang seharusnya ia ucapkan. Sebenarnya, Yuni agak heran, mengapa Lily berada di rumah suami putrinya dan sepertinya ia tinggal di sini. 'Aku pengen tanya, kenapa Lily ada di sini. Tapi, enak nggak ya nanyanya?' kata Yuni dalam hatinya. 'Apa dia nginap disini? Kan nggak baik kalau seorang teman wanita menginap di rumah teman wanitanya yang sudah menikah' pikir Yuni dalam hati. "Lily, kamu lagi nginep di rumah Alina?" tanya seorang wanita yang duduk di samping Yuni. Mewakili pertanyaan Yuni. Wanita itu berusia lebih dari 40 tahunan itu tidak berhenti menatap Lily. Wajahnya mirip sekali dengan Lily, versi tua. Ya, wanita ini adalah ibu kandung Lily yang ada di kampung dan sengaja ikut dengan Yuni ke Jakarta, karena ingin menemui Lily di rumah papanya. Lily terlihat malas dan tidak senang deng
Beberapa menit sebelum Alina dan Reno sampai ke rumah tempat tinggal mereka. Alina terlihat gelisah di dalam mobil, ia terus meminta kepada suaminya untuk ngebut agar mereka cepat sampai ke rumah."Al, kenapa kamu panik kayak gitu? Kalau kita ngebut, yang ada kita bisa kecelakaan," tanya Reno yang terheran-heran melihat Alina panik."Gimana bisa aku tenang, Mas? Lily sama ibu ada di rumah. Belum lagi sama mama. Ibuku belum tahu kalau kamu menduakan aku dengan sahabatku sendiri. Lalu kamu bisa tebak, apa yang akan terjadi sama ibuku kalau dia tahu semua ini? Ibuku ada penyakit darah tinggi, Mas. Aku nggak mau ibuku kenapa-napa."Reno bungkam mendengar perkataan Alina, ia tahu kalau ibu mertuanya memang memiliki penyakit darah tinggi dan ia belum tahu apa-apa soal ini."Aku yakin, kalau Lily sama mama nggak akan ngomong macam-macam sama Ibu.""Itu menurut pendapat kamu. Kita nggak tahu apa yang akan mereka katakan sama ibu. Pokoknya kalau sampai Lily atau mama ngomong yang macam-macam s