"Silahkan diminum tehnya, bu Yuni." Lily tersenyum, mempersilahkan Yuni, ibu dari Alina untuk meminum teh yang sudah ia siapkan. "Terimakasih ya, Lily." Yuni tersenyum dan mengucapkan apa yang seharusnya ia ucapkan. Sebenarnya, Yuni agak heran, mengapa Lily berada di rumah suami putrinya dan sepertinya ia tinggal di sini. 'Aku pengen tanya, kenapa Lily ada di sini. Tapi, enak nggak ya nanyanya?' kata Yuni dalam hatinya. 'Apa dia nginap disini? Kan nggak baik kalau seorang teman wanita menginap di rumah teman wanitanya yang sudah menikah' pikir Yuni dalam hati. "Lily, kamu lagi nginep di rumah Alina?" tanya seorang wanita yang duduk di samping Yuni. Mewakili pertanyaan Yuni. Wanita itu berusia lebih dari 40 tahunan itu tidak berhenti menatap Lily. Wajahnya mirip sekali dengan Lily, versi tua. Ya, wanita ini adalah ibu kandung Lily yang ada di kampung dan sengaja ikut dengan Yuni ke Jakarta, karena ingin menemui Lily di rumah papanya. Lily terlihat malas dan tidak senang deng
Beberapa menit sebelum Alina dan Reno sampai ke rumah tempat tinggal mereka. Alina terlihat gelisah di dalam mobil, ia terus meminta kepada suaminya untuk ngebut agar mereka cepat sampai ke rumah."Al, kenapa kamu panik kayak gitu? Kalau kita ngebut, yang ada kita bisa kecelakaan," tanya Reno yang terheran-heran melihat Alina panik."Gimana bisa aku tenang, Mas? Lily sama ibu ada di rumah. Belum lagi sama mama. Ibuku belum tahu kalau kamu menduakan aku dengan sahabatku sendiri. Lalu kamu bisa tebak, apa yang akan terjadi sama ibuku kalau dia tahu semua ini? Ibuku ada penyakit darah tinggi, Mas. Aku nggak mau ibuku kenapa-napa."Reno bungkam mendengar perkataan Alina, ia tahu kalau ibu mertuanya memang memiliki penyakit darah tinggi dan ia belum tahu apa-apa soal ini."Aku yakin, kalau Lily sama mama nggak akan ngomong macam-macam sama Ibu.""Itu menurut pendapat kamu. Kita nggak tahu apa yang akan mereka katakan sama ibu. Pokoknya kalau sampai Lily atau mama ngomong yang macam-macam s
"Aku nggak pernah nyuruh kamu buat berlutut, Mas." Alina menjawabnya sambil duduk di atas sofa, ia baru selesai berganti pakaian dengan pakaian tidur panjang."Jangan terus menguji kesabaran aku, Al. Karena sabar ini ada batasnya," ucap Reno seraya mendekati Alina. Kini pria itu berdiri di depan Alina yang sedang duduk."Sama seperti kamu, Mas. Sabarku juga ada batasnya dan sampai di sini ... batasnya!" ujar Alina dengan nada bicara yang tegas.Pria itu berdecak kesal, ia mengusap rambutnya ke belakang, lalu duduk di samping Alina. "Jadi kamu masih marah karena aku pukul kamu? Batas kesabaran kamu sampai di situ saja? Hanya karena itu, kamu marah? Padahal aku sudah minta maaf sama kamu," tutur Reno yang tetap dengan egonya, tak mau meminta maaf dengan benar atau menyesal. Ia pikir maaf saja cukup menyelesaikan semuanya."Kamu bilang hanya, Mas?" tanya Alina dengan senyuman getir penuh luka terbit dibibirnya. Sorot matanya menunjukkan keterkejutan dengan sikap suaminya."Ya ... bagi ka
Setelah berada di Yogyakarta selama kurang lebih satu minggu, akhirnya Abimana pulang ke Jakarta. Ia diantar oleh Galih ke Jakarta, Galih juga mengatakan kepada pemuda itu bahwa hasil tes DNA akan keluar kurang lebih 5 hari lagi. Sekalian, Galih juga masih ada bisnis di Jakarta dengan perusahaan tempat Abimana bekerja. "Apa pun hasil tes DNA nya, kamu tetap keponakan saya Abimana. Saya yakin itu," kata Galih pada Abimana. "Saya belum yakin, Pak." "Pokoknya, kalau kamu perlu bantuan. Kamu bisa hubungi saya, atau asisten saya. Jangan sungkan ya?" ucap Galih seraya menepuk bahu Abimana. Ia menatap pemuda itu dengan lembut. Walaupun hasil tes DNA belum keluar dan membuktikan bahwa Abimana adalah bagian dari keluarga Gunandya. "Iya Pak." "Saya jadi tidak sabar, menantikan kamu memanggil saya dengan sebutan Om," ucap Galih yang memang seyakin itu kalau Abimana adalah keturunan Gunandya. Abimana hanya tersenyum tipis saat mendengarnya, ia juga merasa tak yakin kalau ia keturunan G
Di saat semua orang panik dengan Yuni yang tiba-tiba jatuh pingsan. Tidak dengan Lily dan Weni yang terlihat biasa saja, mereka bahkan senang melihat Yuni seperti itu."Aku akan bantu ibu, Al!" seru Reno yang tidak menyerah untuk memberikan bantuan pada ibu mertuanya, meskipun Alina menolak bantuannya."Aku bilang jangan sentuh ibuku!" sentak Alina marah, kedua matanya berurai air mata. Hatinya sesak dan takut terjadi sesuatu pada ibunya."Jangan kamu bentak anak saya, Alina!"Weni balik membentak Alina dengan marah, karena tak terima dengan wanita itu yanh membentak Reno."Ma, jangan bentak istri aku!" tegur Reno pada mamanya yang membuat Weni kesal, karena Reno membela istri pertamanya.Tak mau mendengar keributan yang terjadi, Alina menerima bantuan dari Abimana yang akan menggendong ibunya. Alina sangat berterimakasih pada Abimana, karena pria itu mau membantunya."Kamu tenang aja, ibu Yuni pasti akan baik-baik aja," ucap Abimana lembut. Dalam keadaan genting seperti ini, pemuda i
"Tidak dok, ibu saya baik-baik saja. Ibu tidak mungkin ..."Alina menjeda kalimatnya di sana, air matanya luruh jatuh tanpa diminta saat mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh dokter. Ibunya sudah tiada, karena serangan jantung mendadak. Bagaimana mungkin? Alina tidak bisa mempercayainya begitu saja."Alina!" Abimana langsung menahan tubuh adik iparnya itu, saat wanita itu limbung."I-ibu ... Ibu nggak mungkin pergi ninggalin aku, Bang. Ini nggak benar," gumam Alina dengan tatapan mata yang kosong, tapi penuh luka.Rasa bersalah menghantam hati Reno dengan kuat, bahkan ia juga ikut menangis. Merasakan rasa sakit yang dirasakan Alina. Wajah Reno pucat pasi, matanya memperlihatkan luka.'Seharusnya aku tidak terbawa nafsu dan bercinta dengan Lily di rumah, di saat ada ibu. Sekarang aku akan kehilangan Alina, aku akan benar-benar kehilangan dia' kata Reno dalam hatinya. Ia sudah tahu konsekuensi dari semua ini, meninggalnya Yuni akan membuat perubahan untuk rumah tangganya dan Alina
Tidak seperti Reno yang menyadari kesalahannya, Lily tidak menyadari itu. Dia tetap merasa kalau kematian Yuni adalah takdir yang sudah digariskan Tuhan."Mas, gimana bisa meninggalnya bu Yuni jadi salah kita? Meninggalnya bu Yuni itu sudah takdir Tuhan."Dengan mudahnya Lily berkata seperti itu, tanpa merasa bersalah. Seseorang mati, karena mengetahui fakta besar tentang hubungan mereka dan melihat mereka bercinta di halaman belakang."Bisa-bisanya kamu, Ly. Aku nggak habis pikir sama kamu, kok bisa-bisa kamu bicara begitu, hah? Apa kamu nggak merasa bersalah? Bu Yuni meninggal gara-gara kita."Wanita yang ia pikir malaikat, lemah lembut dan baik hati, ternyata tidak berempati pada orang yang sudah meninggal."Alina sahabat kamu, bahkan ibu mengenal kamu dari kecil, Ly. Apa kamu nggak merasa simpati sama mereka?"Lily terdiam, ia tidak tahu harus bicara apa lagi untuk meyakinkan Reno kalau meninggalkan Yuni, bukan salah mereka berdua. Tapi di saat situasi seperti ini, melihat Reno ya
Angga begitu murka saat melihat kehadiran kakak ipar dan istri kedua itu berada di pemakaman ibunya. Dia mengusir mereka berdua di depan umum."Haram, makam ibu saya didatangi oleh kalian berdua! Pergi kalian!" teriak Angga marah, tak jauh dari tempat peristirahatan ibunya. Tepat dihadapan Lily dan Reno.Sedangkan Alina, ia berada di dalam pelukan Tira yang tengah berusaha untuk menenangkannya. Setelah mendengar kabar bahwa Yuni meninggal, Tira menutup tokonya pada hari ini dan langsung pergi ke Bandung untuk melayat."Kami kesini berniat baik untuk melayat tante Yuni, kenapa kamu malah bersikap tidak sopan seperti ini sama saya dan suami kakak kamu?" ketus Lily pada Angga dengan suara keras.Beberapa pelayat yang masih hadir di sana, mendengar keributan yang mencuri perhatian itu."Lily, diam," bisik Reno yang menegur istrinya untuk diam."Apa sih Mas? Jangan nyuruh aku diam, biarin aku bicara buat ngajarin anak kampung nggak sopan ini!" ujar Lily yang tidak terima dimarahi di depan
Suasana malam dan suasana taman yang mendukung acara dadakan Abimana untuk melamar Alina. Rasa tidak sabar ingin memiliki yang membuncah, membuat Abimana mengambil tindakan secepatnya untuk mengadakan lamaran dadakan ini.Dengan persiapan yang seadanya, Abimana membuat semuanya terasa sederhana, namun indah dipandang mata. Alina juga sangat menyukai suasana dan juga keindahan taman tersebut. Ia menyukai hal-hal yang sederhana, jadi apapun yang dilakukan oleh Abimana dan apapun yang direncanakan olehnya di sini, Alina akan selalu menyukainya.Setelah mengungkapkan isi hati dan keinginannya untuk menjadikan Alina istrinya, Abimana menunggu jawaban dari wanita itu sambil menatapnya dengan tatapan yang dalam."Aku tidak bisa menolak kamu, Mas." Alina akhirnya memberikan jawaban sambil tersenyum dan jawaban itu adalah jawaban yang diinginkan oleh Abimana selama ini."Ya, aku mau jadi istri kamu," sambungnya lagi yang seketika membuat Abimana tidak tahan lagi. Air mata bahagia perlahan-laha
Bugh!Tira berhasil menendang milik Rey yang masih terbungkus di dalam celananya. Rey meringis kesakitan dan dia membuka matanya perlahan-lahan."Aarggh ....""Udah sadar lo, bajingan!" sentak Tira seraya mendorong tubuh Rey dari atas tubuhnya. Selagi pemuda itu lengah dengan rasa sakitnya. Tira menatap nyalang pada Rey dan wajahnya memerah menunjukkan kemarahannya.Namun, Tira tidak menyadari saat ini bibirnya bengkak, di lehernya ada bekas merah dan pakaiannya sedikit berantakan."Keterlaluan lo!""A-apa yang gue lakuin?" gumam Rey sambil merasakan kepalanya yang berdenyut sakit, karena minuman haram yang ia tenggak.Tok, tok, tok!Terdengar suara ketukan kaca dari luar mobil itu dan mengagetkan Tira. Sedangkan Rey sedang sibuk memegani area selangkangannya yang sakit dan merasakan kepalanya yang berdenyut."Keluar kalian! Atau kami pecahkan kaca mobil ini dan lapor polisi!" seru seorang pria dari luar sana mengancam."Waduh! Emangnya kenapa harus lapor polisi segala? Gue kan nggak
Entah kesialan apa yang menimpa Tira, hingga ia harus bertemu dan menolong Rey yang hampir di keroyok di depan tempat hiburan malam. Pemuda itu terlihat mabuk, ya setengah sadarkan diri. Entah apa yang dilakukannya sehingga ia bermasalah dengan beberapa anak nakal di sana. Jika bukan karena Tira yang mengenal salah satu anak nakal itu dan mengenal petugas keamanan di sana, mungkin Rey sudah habis ditangan mereka."Hey! Bangun nggak lo dan bilang di mana alamat rumah lo. Atau gue lempar lo ke jembatan," ujar Tira pada pemuda yang saat ini berada di sampingnya dalam keadaan tak sadarkan diri."Sialan! Gua nyesel udah nolongin lo, tahu nggak?" gerutu Tira sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Ia bingung harus mengantarkan Rey kemana, karena tak tahu menahu tentang dirinya."Apa gua telpon Alina aja ya? Dia mungkin tahu dimana alamat si bocah tengil ini," pikir Tira. Ia menebak, Alina mungkin tahu di mana rumah Rey.Tira pun menepikan mobilnya di pinggir jalan, tak jauh dari sebuah jemba
Melihat istrinya akan mengamuk, Reno bergegas membujuk Lily dan membawanya pergi dari sana. Walaupun tidak mudah membujuknya, tapi Reno berhasil membawa Lily pergi.Di sepanjang perjalanan pulang, Reno terlihat tak begitu fokus pada Lily yang mengomel. Ucapan Lily masuk ke telinga kanannya, tapi keluar dari telinga kirinya.Reno malah memikirkan pertemuannya dengan Alina. Pesona mantan istrinya itu tidak bisa ia abaikan begitu saja. Bahkan sekarang ia merasa kalau Alina jauh lebih dari cantik dari Salsa dan Lily.Wajah Alina terbayang-bayang di benaknya, bahkan aroma tubuh wanita itu juga seolah masih terhirup oleh hidungnya. "Alina ... kenapa dia semakin cantik saja? Kenapa dulu dia tidak terlihat seperti itu?""Tapi ngomong-ngomong, kenapa dia ada disini dan berpakaian seperti itu? Apa dia bertemu dengan seseorang? Apa dia sudah punya kekasih baru?""Ah ... tidak mungkin. Aku yakin Alina masih belum bisa lupain aku. Mana mungkin dia berpaling dari aku semudah itu."Pria itu terus sa
"Mas Reno?"Alangkah terkejutnya Alina, melihat Reno baru saja keluar dari toilet pria yang bersebrangan dengan toilet wanita. Reno berjalan menghampirinya dan tersenyum ramah. Seolah mereka masih berhubungan baik. Padahal Alina sudah menekankan kepadanya sebelumnya, kalau Reno tidak boleh menyapa ataupun bersikap mengenalnya.Reno menatapnya dengan kagum, dari atas sampai ke bawah. Alina terlihat sangat cantik di matanya dan ia terpesona. Dari dulu, Reno juga tahu kalau Alina memang cantik. Tapi setelah bercerai, Alina makin cantik."Apa kabar Al? Kamu ngapain di sini?" tanya Reno dengan senyuman dibibirnya yang membuat Alina malas menanggapi.Alina berdecak, kemudian melangkah pergi mengabaikan Reno. Akan tetapi, Reno tidak membiarkan Alina pergi begitu saja dan menarik tangannya."Alina!"Tubuh wanita itu kehilangan keseimbangannya, kemudian tanpa sengaja jatuh ke dalam pelukan Reno. Saat Alina akan melepaskan diri dari Reno, pria itu malah dengan sengaja memeluk dirinya dan tidak
Benar dugaan Abimana, ini adalah green light dari keluarganya. Alina disambut baik oleh paman, ayah dan juga kakak pertamanya. Ya, wanita yang berada di sana adalah kakak pertama Abimana yang bernama Riana."Saya dan Galih sudah mencari kamu. Saat itu saya belum sempat mengucapkan terimakasih sama kamu, Nak Alina." Pria paruh baya itu tersenyum ramah dan bicara dengan hangat pada Alina. Walaupun wajahnya terlihat tegas dan galak, tapi sebenarnya Wirya memilki hati yang baik dan lembut."Saya ikhlas menolong Bapak. Saya senang bisa kembali bertemu' dengan bapak. Dan sepertinya bapak sudah baik-baik saja.""Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat. Saya sudah baik-baik saja," ucap Wirya dengan senyuman hangatnya pada Alina. Ia menunjukkan ketertarikannya pada wanita yang diperkenalkan sebagai kekasih putranya itu."Kamu nggak salah pilih calon istri, Bi. Alina sangat cantik dan baik. Dia juga yang sudah menolong Papa," kata Riana yang juga memuji Alina dan memberikan dukungan pada Abimana
Abimana datang menjemput Alina, tepat pukul 19.15. Laki-laki itu terlihat tampan dengan kemeja berwarna merah maroon yang ia kenakan dan celana jeans berwarna hitam. Entah kebetulan atau direncanakan, tapi warna pakaian Abimana sangat serasi dengan warna pakaian yang dikenakan Alina saat ini. Hingga mereka terlihat seperti couple."Ini tandanya udah jodoh sih. Baju aja warnanya samaan gini," goda Tira pada kedua orang itu.Alina dan Abimana saling melihat satu sama lain, memperhatikan warna pakaian mereka berdua. Kemudian Alina tersipu malu saat menyadari, warna pakaian mereka sama. Sedangkan Abimana, pemuda itu tersenyum lembut dan terlihat bahagia."Iya dong, kita memang jodoh. Cuma waktunya agak telat aja," sahut Abimana yang membuat pipi Alina semakin merona. Setiap kata-kata dari pemuda itu selalu berhasil membuat hati Alina berbunga-bunga."Ciye ciye ... huhuy. Cepetan halalin ya, biar lebih mantap," ucap Tira yang sekaligus mendoakannya kebahagiaan Alina dan Abimana."Aamiin.
Akhirnya waktu yang telah dijanjikan pun tiba, tapi Alina masih terlihat belum siap-siap. Bahkan ia terlihat bingung dan malah bengong di dalam kamarnya sambil melihat-lihat pakaian di dalam lemarinya berulang kali."Al! Ngapain bengong gitu?" Suara Tira dari ambang pintu itu mengagetkan Alina, sekaligus membawa Alina kembali ke dalam kesadarannya.Wanita itu menoleh ke arah Tira yang sedang berjalan menghampirinya. Tatapan Tira bertanya-tanya padanya. "Tira?""Hey, bukannya si bang Abi mau jemput lo jam 7? Ini udah mau jam 7 loh. Kenapa lo belum siap? Lo masih pake baju yang tadi?" kata Tira sambil melihat Alina dari atas sampai ke bawah. Sahabatnya itu masih memakai pakaian rumah seperti tadi."Hah? Udah mau jam tujuh?" Alina panik usai mendengar Tira memberitahunya kalau ini sudah mau jam 7 malam."Ya ampun ... dari tadi lo ngapain aja Al? Lo di kamar hampir 3 jam. Gue kira lo lagi siap-siap dandan cantik, mandi atau gimana. Eh tahunya lo malah bengong. Estoge, gue gak habis pikir
Reno berusaha untuk fokus pada pekerjaannya, walaupun saat ini ada Lily bersamanya. Ia berusaha untuk tetap tenang, supaya tidak menimbulkan kecurigaan Lily setelah pertengkaran mereka tadi pagi. Tidak ada obrolan yang hangat diantara mereka, yang ada saling curiga dan saling mengawasi."Sepertinya aku tidak bisa ketemu Salsa hari ini."Pria itu menghela napas gusar, ia melihat istrinya yang sedang duduk di sofa sambil memakan camilan. Tapi pikirannya mengarah pada Salsa.***Siang itu, Abimana pergi dari kantornya untuk makan siang bersama dengan Alina dan melihat kerja kelompok kekasihnya itu. Tepat saat Abimana pergi, pimpinan perusahaan dan Bella mencarinya. Akhirnya mereka pun tidak bertemu.Di sebuah rumah makan lesehan, Alina dan empat anggota kelompoknya akan makan siang sambil kerja kelompok di sana. Kebetulan, salah satu teman kelompok Alina adalah pemilik rumah makan lesehan itu. Suasana rumah makan itu terlihat asri, dengan udara yang sejuk dan pemandangan indah."Wow ...