Angga begitu murka saat melihat kehadiran kakak ipar dan istri kedua itu berada di pemakaman ibunya. Dia mengusir mereka berdua di depan umum."Haram, makam ibu saya didatangi oleh kalian berdua! Pergi kalian!" teriak Angga marah, tak jauh dari tempat peristirahatan ibunya. Tepat dihadapan Lily dan Reno.Sedangkan Alina, ia berada di dalam pelukan Tira yang tengah berusaha untuk menenangkannya. Setelah mendengar kabar bahwa Yuni meninggal, Tira menutup tokonya pada hari ini dan langsung pergi ke Bandung untuk melayat."Kami kesini berniat baik untuk melayat tante Yuni, kenapa kamu malah bersikap tidak sopan seperti ini sama saya dan suami kakak kamu?" ketus Lily pada Angga dengan suara keras.Beberapa pelayat yang masih hadir di sana, mendengar keributan yang mencuri perhatian itu."Lily, diam," bisik Reno yang menegur istrinya untuk diam."Apa sih Mas? Jangan nyuruh aku diam, biarin aku bicara buat ngajarin anak kampung nggak sopan ini!" ujar Lily yang tidak terima dimarahi di depan
Cahaya mentari perlahan-lahan hadir melalui celah jendela kamar yang ditempati oleh Alina. Akhirnya, cahaya tersebut membuat kedua matanya terbuka. Alina berusaha untuk beranjak bangun, meskipun saat ini kepalanya terasa sangat berat. Tubuhnya lemas, bahkan untuk menggerakkan jarinya saja dia membutuhkan banyak tenaga dan upaya."Lo udah bangun, Al?"Alina melihat Tira berjalan menghampirinya. Wanita itu terlihat senang melihat Alina sudah bangun. "Gimana keadaan kamu? Udah mendingan?" tanya Tira sambil menyentuh kening Alina dengan tangannya. Memastikan apakah wanita itu masih demam atau tidak?"Syukurlah, udah nggak demam kayak semalam." Tira bernafas lega, sebab Alina sudah baik-baik saja dan tidak demam seperti semalam.Alina memegang keningnya yang sakit, matanya juga masih berkunang-kunang, kepalanya berdenyut sakit. "Angga, mana Ra?" Angga, adalah orang pertama yang ditanyakan Alina begitu dia sudah bangun."Angga lagi pergi sama Pak Abi. Mereka lagi cari sarapan, soalnya di ru
Abimana dan Angga terkejut, ketika Tira mengatakan kalau Alina sendiri yang ingin berbicara dengan Reno. Wanita itu juga minta untuk ditinggalkan berdua dengan suaminya. Tira juga tidak mau Alina berbicara dengan Reno, tapi apa haknya melarang Alina bicara dengan suaminya sendiri."Aku bakal susul kakak ke dalam!"Tangan Abimana langsung menahan tubuh Angga di sana. Ia menggelengkan kepalanya. "Jangan. Biarkan saja kakak kamu bicara sama Reno." Pria itu mencegah Angga untuk masuk ke dalam kamar."Tapi kak Abi ... gimana kalau kakak luluh lagi sama mas Reno?"Kedua mata Angga menyiratkan kekhawatiran, ia takut kalau sifat kakaknya yang lembut dan hatinya yang mudah lemah, membuat Alina menerima dan memaafkan Reno kembali."Kamu khawatir karena sifat kakak kamu yang lembut kan? Tapi kamu tenang saja, sifat kakak kamu itu lembut dan hatinya mudah luluh, dia tidak bodoh."Abimana mengatakannya dengan percaya diri, ia yakin bahwa kelembutan Alina tidak akan mempengaruhi keputusannya. Ia me
Belum sehari setelah perceraiannya dan Alina, Reno sudah mabuk-mabukan. Padahal ibu dan istrinya sedang merayakan perceraian Reno dan Alina dengan makan tumpeng bersama. Tapi apa yang Reno lakukan? Pria itu malah pulang dalam keadaan mabuk?Lily membantu Reno untuk bangun, tubuh suaminya itu sempoyongan dan bau alkohol yang menyengat."Mas, kamu kenapa mabuk kayak gini?" tanya Lily seraya meletakkan tangan Reno dipundaknya. Ia agak kesulitan untuk memapah Reno dan akhirnya Weni turut membantu menantunya untuk memapah Reno.Mereka membawa Reno ke atas sofa yang terdekat di sana, karena tubuh Reno cukup berat."Reno, kenapa kamu mabuk-mabukan kayak gini hah? Apa kamu nggak mikir kalau istri kamu lagi hamil besar?" tanya Weni kepada putranya dengan nada kesal. Bisa-bisanya Reno mabuk-mabukan di saat istrinya sedang hamil besar, ya kandungan Lily sudah berusia 6 bulan dan perutnya sudah buncit.Akan tetapi, Reno yang ditanya seperti itu malah diam saja. Kedua matanya teler, menandakan bah
Abimana yang sedang berada di apartemennya, terlihat sedih setelah ia membaca pesan yang dikirimkan oleh Tira tentang Alina yang menangis."Alina nangis?" gumam Abimana sambil mendudukkan tubuhnya di atas sofa empuk di kamarnya.Sekarang Abimana sudah tinggal di apartemen yang diberikan oleh ayah kandungnya. Keluarga Abimana juga memberikan uang sebanyak 5 milyar kepada Weni, sebagai ucapan terima kasih karena Weni sudah merawat Abimana dari kecil. Kini Abimana sudah menyandang nama Gunandya di belakang namanya. Seorang konglomerat berdarah biru dan berasal dari Yogyakarta. Lantas bagaimana pewaris Gunandya satu-satunya bisa berkeliaran diluar? Itu karena Abimana pernah diculik oleh seorang pembantu yang menyimpan dendam terhadap keluarga Gunandya dan dengan tega membuang Abimana ke sungai.Saat itulah, mendiang suami Weni tanpa sengaja menemukannya dan membawa Abimana pulang ke rumah. Ia mengurus Abimana dengan penuh kasih sayang, berbeda dengan Weni yang membesarkan Abimana cukup ke
Lily, wanita yang saat itu kebetulan sedang belanja ke supermarket yang sama dengan Alina, tanpa sengaja melihat adegan tidak terduga di sana. Di mana Alina sedang dipeluk oleh Abimana, mantan kakak iparnya sendiri.Seketika ia langsung melontarkan kata-kata yang pedas dan tidak menyenangkan didengar."Jangan-jangan, kalian memang ada hubungan ya? Sebelum kamu bercerai sama mas Reno," tuduh Lily seraya melihat Alina dengan sinis.Alina buru-buru menjauhkan tubuhnya dari Abimana, sebelum banyak yang akan salah paham saat melihatnya dan Abimana seperti ini."Maaf, tapi aku nggak seperti kamu yang ngerebut suami sahabat baik kamu sendiri. Coba bilang? Siapa yang murahan?" sindir Alina pada Lily dengan sarkas.Lily berdecih. "Cih! Siapa yang nganggap kamu sahabat aku? Aku nggak pernah menganggap begitu. Jadi ... aku bukan merebut suami sahabat aku, tapi merebut kembali apa yang seharusnya jadi milik aku. Mas Reno, cinta pertama aku dan dia lebih mencintai aku. Paham?"Perkataan Lily ini m
Alangkah terkejutnya Reno setelah ia mendengar perkataan ibunya yang sudah memberikan Alina minuman pencegah kehamilan. Telinga Reno tidak ingin percaya dengan apa yang baru saja ia dengar, tapi pendengarannya tidak salah dan masih normal. Obat herbal yang selalu diberikan kepada Alina setiap pagi, yang dianggapnya sebagai penyubur kandungan, ternyata adalah obat untuk mencegah kehamilan dan ibunya tega melakukan semua ini."Ma, jawab Reno! Apa Mama sengaja memberikan obat itu sama Alina agar Alina tidak bisa hamil anak Reno?" tanya Reno dengan tatapan tajam dan menusuk pada ibu kandungnya itu.Weni tampak gelagapan, ia sudah berada di ujung tanduk, karena tanpa sengaja ia membongkar kesalahannya sendiri. "Ren-Reno, ini nggak seperti apa yang—""Jawab aja, iya atau tidak. Aku cuma mau jawaban itu, Ma ... dan aku harap mama mau jujur!" bentak Reno tepat di depan wajah ibunya.Tidak punya pilihan lain lagi, akhirnya Weni memberikan jawaban kepada Reno. "Iya, Mama memang ngasih obat menc
"Reno? Ada apa? Kenapa kamu marah-marah kayak gitu,hah?" tanya Weni seraya menatap ke arah Reno yang baru saja berteriak dan memecahkan meja di rumahnya. "Aku dipecat Ma, bosku udah tahu kalau aku punya dua istri dan baru bercerai dengan istri pertamaku," ucap Reno sambil mengusap rambutnya dengan kasar. Ia benar-benar tidak terima dipecat seperti ini. Karir yang ia bangun dari nol, sekarang sudah hancur. Padahal ia berjuang susah payah untuk sampai ke posisi nyaman sampai berada di atas. "Apa? Kamu dipecat? Apa si wanita kampung itu yang kasih tahu bos kamu, kalau kalian sudah bercerai dan kamu punya dua istri sebelumnya?" Lagi-lagi Weni menuduh Alina yang membeberkan status Reno yang memiliki dua istri sebelumnya. Reno mendelik sinis pada ibunya. "Mama jangan nuduh Alina sembarangan. Dia bukan wanita seperti itu, meski kami udah bercerai. Tapi dia tidak akan menjelek-jelekkan aku! Dia menghargaiku, Ma!" Weni berdecak, ketika mendengar putranya yang membela Alina dan Reno ma
"Tira ... kamu kenapa hey?"Alina bertanya seraya berjalan mendekati sahabatnya itu. Ini pertama kalinya ia melihat Tira menangis. Alina yakin, kalau ada sesuatu yang berat terjadi pada Tira, sampai-sampai wanita ini mengeluarkan air matanya."Gue nggak apa-apa, Al."Tira mengusap pipinya dan sudut matanya yang basah. Sudah jelas kalau jawaban yang diberikannya adalah dusta."Jangan bohong Ra. Aku tahu kamu saat ini sedang tidak baik-baik saja. Ayo bilang sama aku, ada apa?" ucap Alina yang menuntut penjelasan dari Tira. Ia yakin kalau Tira tidak baik-baik saja.Tangan Alina mengusap bahu Tira yang bergetar, wanita yang selalu terlihat kuat itu tampak rapuh saat ini. Sebisa mungkin, Alina ingin menjadi sandaran untuknya."Tira, ada apa? Ayo cerita sama aku. Kamu ada masalah apa?" tanya Alina yang terlihat begitu mengkhawatirkan Tira."Al ... besok gua nikah." Tira berucap dengan lirih, matanya juga penuh kesungguhan. Namun, Alina malah mengerutkan keningnya seolah tak percaya dengan a
Suasana malam dan suasana taman yang mendukung acara dadakan Abimana untuk melamar Alina. Rasa tidak sabar ingin memiliki yang membuncah, membuat Abimana mengambil tindakan secepatnya untuk mengadakan lamaran dadakan ini.Dengan persiapan yang seadanya, Abimana membuat semuanya terasa sederhana, namun indah dipandang mata. Alina juga sangat menyukai suasana dan juga keindahan taman tersebut. Ia menyukai hal-hal yang sederhana, jadi apapun yang dilakukan oleh Abimana dan apapun yang direncanakan olehnya di sini, Alina akan selalu menyukainya.Setelah mengungkapkan isi hati dan keinginannya untuk menjadikan Alina istrinya, Abimana menunggu jawaban dari wanita itu sambil menatapnya dengan tatapan yang dalam."Aku tidak bisa menolak kamu, Mas." Alina akhirnya memberikan jawaban sambil tersenyum dan jawaban itu adalah jawaban yang diinginkan oleh Abimana selama ini."Ya, aku mau jadi istri kamu," sambungnya lagi yang seketika membuat Abimana tidak tahan lagi. Air mata bahagia perlahan-laha
Bugh!Tira berhasil menendang milik Rey yang masih terbungkus di dalam celananya. Rey meringis kesakitan dan dia membuka matanya perlahan-lahan."Aarggh ....""Udah sadar lo, bajingan!" sentak Tira seraya mendorong tubuh Rey dari atas tubuhnya. Selagi pemuda itu lengah dengan rasa sakitnya. Tira menatap nyalang pada Rey dan wajahnya memerah menunjukkan kemarahannya.Namun, Tira tidak menyadari saat ini bibirnya bengkak, di lehernya ada bekas merah dan pakaiannya sedikit berantakan."Keterlaluan lo!""A-apa yang gue lakuin?" gumam Rey sambil merasakan kepalanya yang berdenyut sakit, karena minuman haram yang ia tenggak.Tok, tok, tok!Terdengar suara ketukan kaca dari luar mobil itu dan mengagetkan Tira. Sedangkan Rey sedang sibuk memegani area selangkangannya yang sakit dan merasakan kepalanya yang berdenyut."Keluar kalian! Atau kami pecahkan kaca mobil ini dan lapor polisi!" seru seorang pria dari luar sana mengancam."Waduh! Emangnya kenapa harus lapor polisi segala? Gue kan nggak
Entah kesialan apa yang menimpa Tira, hingga ia harus bertemu dan menolong Rey yang hampir di keroyok di depan tempat hiburan malam. Pemuda itu terlihat mabuk, ya setengah sadarkan diri. Entah apa yang dilakukannya sehingga ia bermasalah dengan beberapa anak nakal di sana. Jika bukan karena Tira yang mengenal salah satu anak nakal itu dan mengenal petugas keamanan di sana, mungkin Rey sudah habis ditangan mereka."Hey! Bangun nggak lo dan bilang di mana alamat rumah lo. Atau gue lempar lo ke jembatan," ujar Tira pada pemuda yang saat ini berada di sampingnya dalam keadaan tak sadarkan diri."Sialan! Gua nyesel udah nolongin lo, tahu nggak?" gerutu Tira sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Ia bingung harus mengantarkan Rey kemana, karena tak tahu menahu tentang dirinya."Apa gua telpon Alina aja ya? Dia mungkin tahu dimana alamat si bocah tengil ini," pikir Tira. Ia menebak, Alina mungkin tahu di mana rumah Rey.Tira pun menepikan mobilnya di pinggir jalan, tak jauh dari sebuah jemba
Melihat istrinya akan mengamuk, Reno bergegas membujuk Lily dan membawanya pergi dari sana. Walaupun tidak mudah membujuknya, tapi Reno berhasil membawa Lily pergi.Di sepanjang perjalanan pulang, Reno terlihat tak begitu fokus pada Lily yang mengomel. Ucapan Lily masuk ke telinga kanannya, tapi keluar dari telinga kirinya.Reno malah memikirkan pertemuannya dengan Alina. Pesona mantan istrinya itu tidak bisa ia abaikan begitu saja. Bahkan sekarang ia merasa kalau Alina jauh lebih dari cantik dari Salsa dan Lily.Wajah Alina terbayang-bayang di benaknya, bahkan aroma tubuh wanita itu juga seolah masih terhirup oleh hidungnya. "Alina ... kenapa dia semakin cantik saja? Kenapa dulu dia tidak terlihat seperti itu?""Tapi ngomong-ngomong, kenapa dia ada disini dan berpakaian seperti itu? Apa dia bertemu dengan seseorang? Apa dia sudah punya kekasih baru?""Ah ... tidak mungkin. Aku yakin Alina masih belum bisa lupain aku. Mana mungkin dia berpaling dari aku semudah itu."Pria itu terus sa
"Mas Reno?"Alangkah terkejutnya Alina, melihat Reno baru saja keluar dari toilet pria yang bersebrangan dengan toilet wanita. Reno berjalan menghampirinya dan tersenyum ramah. Seolah mereka masih berhubungan baik. Padahal Alina sudah menekankan kepadanya sebelumnya, kalau Reno tidak boleh menyapa ataupun bersikap mengenalnya.Reno menatapnya dengan kagum, dari atas sampai ke bawah. Alina terlihat sangat cantik di matanya dan ia terpesona. Dari dulu, Reno juga tahu kalau Alina memang cantik. Tapi setelah bercerai, Alina makin cantik."Apa kabar Al? Kamu ngapain di sini?" tanya Reno dengan senyuman dibibirnya yang membuat Alina malas menanggapi.Alina berdecak, kemudian melangkah pergi mengabaikan Reno. Akan tetapi, Reno tidak membiarkan Alina pergi begitu saja dan menarik tangannya."Alina!"Tubuh wanita itu kehilangan keseimbangannya, kemudian tanpa sengaja jatuh ke dalam pelukan Reno. Saat Alina akan melepaskan diri dari Reno, pria itu malah dengan sengaja memeluk dirinya dan tidak
Benar dugaan Abimana, ini adalah green light dari keluarganya. Alina disambut baik oleh paman, ayah dan juga kakak pertamanya. Ya, wanita yang berada di sana adalah kakak pertama Abimana yang bernama Riana."Saya dan Galih sudah mencari kamu. Saat itu saya belum sempat mengucapkan terimakasih sama kamu, Nak Alina." Pria paruh baya itu tersenyum ramah dan bicara dengan hangat pada Alina. Walaupun wajahnya terlihat tegas dan galak, tapi sebenarnya Wirya memilki hati yang baik dan lembut."Saya ikhlas menolong Bapak. Saya senang bisa kembali bertemu' dengan bapak. Dan sepertinya bapak sudah baik-baik saja.""Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat. Saya sudah baik-baik saja," ucap Wirya dengan senyuman hangatnya pada Alina. Ia menunjukkan ketertarikannya pada wanita yang diperkenalkan sebagai kekasih putranya itu."Kamu nggak salah pilih calon istri, Bi. Alina sangat cantik dan baik. Dia juga yang sudah menolong Papa," kata Riana yang juga memuji Alina dan memberikan dukungan pada Abimana
Abimana datang menjemput Alina, tepat pukul 19.15. Laki-laki itu terlihat tampan dengan kemeja berwarna merah maroon yang ia kenakan dan celana jeans berwarna hitam. Entah kebetulan atau direncanakan, tapi warna pakaian Abimana sangat serasi dengan warna pakaian yang dikenakan Alina saat ini. Hingga mereka terlihat seperti couple."Ini tandanya udah jodoh sih. Baju aja warnanya samaan gini," goda Tira pada kedua orang itu.Alina dan Abimana saling melihat satu sama lain, memperhatikan warna pakaian mereka berdua. Kemudian Alina tersipu malu saat menyadari, warna pakaian mereka sama. Sedangkan Abimana, pemuda itu tersenyum lembut dan terlihat bahagia."Iya dong, kita memang jodoh. Cuma waktunya agak telat aja," sahut Abimana yang membuat pipi Alina semakin merona. Setiap kata-kata dari pemuda itu selalu berhasil membuat hati Alina berbunga-bunga."Ciye ciye ... huhuy. Cepetan halalin ya, biar lebih mantap," ucap Tira yang sekaligus mendoakannya kebahagiaan Alina dan Abimana."Aamiin.
Akhirnya waktu yang telah dijanjikan pun tiba, tapi Alina masih terlihat belum siap-siap. Bahkan ia terlihat bingung dan malah bengong di dalam kamarnya sambil melihat-lihat pakaian di dalam lemarinya berulang kali."Al! Ngapain bengong gitu?" Suara Tira dari ambang pintu itu mengagetkan Alina, sekaligus membawa Alina kembali ke dalam kesadarannya.Wanita itu menoleh ke arah Tira yang sedang berjalan menghampirinya. Tatapan Tira bertanya-tanya padanya. "Tira?""Hey, bukannya si bang Abi mau jemput lo jam 7? Ini udah mau jam 7 loh. Kenapa lo belum siap? Lo masih pake baju yang tadi?" kata Tira sambil melihat Alina dari atas sampai ke bawah. Sahabatnya itu masih memakai pakaian rumah seperti tadi."Hah? Udah mau jam tujuh?" Alina panik usai mendengar Tira memberitahunya kalau ini sudah mau jam 7 malam."Ya ampun ... dari tadi lo ngapain aja Al? Lo di kamar hampir 3 jam. Gue kira lo lagi siap-siap dandan cantik, mandi atau gimana. Eh tahunya lo malah bengong. Estoge, gue gak habis pikir