Beberapa menit sebelum Alina dan Reno sampai ke rumah tempat tinggal mereka. Alina terlihat gelisah di dalam mobil, ia terus meminta kepada suaminya untuk ngebut agar mereka cepat sampai ke rumah."Al, kenapa kamu panik kayak gitu? Kalau kita ngebut, yang ada kita bisa kecelakaan," tanya Reno yang terheran-heran melihat Alina panik."Gimana bisa aku tenang, Mas? Lily sama ibu ada di rumah. Belum lagi sama mama. Ibuku belum tahu kalau kamu menduakan aku dengan sahabatku sendiri. Lalu kamu bisa tebak, apa yang akan terjadi sama ibuku kalau dia tahu semua ini? Ibuku ada penyakit darah tinggi, Mas. Aku nggak mau ibuku kenapa-napa."Reno bungkam mendengar perkataan Alina, ia tahu kalau ibu mertuanya memang memiliki penyakit darah tinggi dan ia belum tahu apa-apa soal ini."Aku yakin, kalau Lily sama mama nggak akan ngomong macam-macam sama Ibu.""Itu menurut pendapat kamu. Kita nggak tahu apa yang akan mereka katakan sama ibu. Pokoknya kalau sampai Lily atau mama ngomong yang macam-macam s
"Aku nggak pernah nyuruh kamu buat berlutut, Mas." Alina menjawabnya sambil duduk di atas sofa, ia baru selesai berganti pakaian dengan pakaian tidur panjang."Jangan terus menguji kesabaran aku, Al. Karena sabar ini ada batasnya," ucap Reno seraya mendekati Alina. Kini pria itu berdiri di depan Alina yang sedang duduk."Sama seperti kamu, Mas. Sabarku juga ada batasnya dan sampai di sini ... batasnya!" ujar Alina dengan nada bicara yang tegas.Pria itu berdecak kesal, ia mengusap rambutnya ke belakang, lalu duduk di samping Alina. "Jadi kamu masih marah karena aku pukul kamu? Batas kesabaran kamu sampai di situ saja? Hanya karena itu, kamu marah? Padahal aku sudah minta maaf sama kamu," tutur Reno yang tetap dengan egonya, tak mau meminta maaf dengan benar atau menyesal. Ia pikir maaf saja cukup menyelesaikan semuanya."Kamu bilang hanya, Mas?" tanya Alina dengan senyuman getir penuh luka terbit dibibirnya. Sorot matanya menunjukkan keterkejutan dengan sikap suaminya."Ya ... bagi ka
Setelah berada di Yogyakarta selama kurang lebih satu minggu, akhirnya Abimana pulang ke Jakarta. Ia diantar oleh Galih ke Jakarta, Galih juga mengatakan kepada pemuda itu bahwa hasil tes DNA akan keluar kurang lebih 5 hari lagi. Sekalian, Galih juga masih ada bisnis di Jakarta dengan perusahaan tempat Abimana bekerja. "Apa pun hasil tes DNA nya, kamu tetap keponakan saya Abimana. Saya yakin itu," kata Galih pada Abimana. "Saya belum yakin, Pak." "Pokoknya, kalau kamu perlu bantuan. Kamu bisa hubungi saya, atau asisten saya. Jangan sungkan ya?" ucap Galih seraya menepuk bahu Abimana. Ia menatap pemuda itu dengan lembut. Walaupun hasil tes DNA belum keluar dan membuktikan bahwa Abimana adalah bagian dari keluarga Gunandya. "Iya Pak." "Saya jadi tidak sabar, menantikan kamu memanggil saya dengan sebutan Om," ucap Galih yang memang seyakin itu kalau Abimana adalah keturunan Gunandya. Abimana hanya tersenyum tipis saat mendengarnya, ia juga merasa tak yakin kalau ia keturunan G
Di saat semua orang panik dengan Yuni yang tiba-tiba jatuh pingsan. Tidak dengan Lily dan Weni yang terlihat biasa saja, mereka bahkan senang melihat Yuni seperti itu."Aku akan bantu ibu, Al!" seru Reno yang tidak menyerah untuk memberikan bantuan pada ibu mertuanya, meskipun Alina menolak bantuannya."Aku bilang jangan sentuh ibuku!" sentak Alina marah, kedua matanya berurai air mata. Hatinya sesak dan takut terjadi sesuatu pada ibunya."Jangan kamu bentak anak saya, Alina!"Weni balik membentak Alina dengan marah, karena tak terima dengan wanita itu yanh membentak Reno."Ma, jangan bentak istri aku!" tegur Reno pada mamanya yang membuat Weni kesal, karena Reno membela istri pertamanya.Tak mau mendengar keributan yang terjadi, Alina menerima bantuan dari Abimana yang akan menggendong ibunya. Alina sangat berterimakasih pada Abimana, karena pria itu mau membantunya."Kamu tenang aja, ibu Yuni pasti akan baik-baik aja," ucap Abimana lembut. Dalam keadaan genting seperti ini, pemuda i
"Tidak dok, ibu saya baik-baik saja. Ibu tidak mungkin ..."Alina menjeda kalimatnya di sana, air matanya luruh jatuh tanpa diminta saat mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh dokter. Ibunya sudah tiada, karena serangan jantung mendadak. Bagaimana mungkin? Alina tidak bisa mempercayainya begitu saja."Alina!" Abimana langsung menahan tubuh adik iparnya itu, saat wanita itu limbung."I-ibu ... Ibu nggak mungkin pergi ninggalin aku, Bang. Ini nggak benar," gumam Alina dengan tatapan mata yang kosong, tapi penuh luka.Rasa bersalah menghantam hati Reno dengan kuat, bahkan ia juga ikut menangis. Merasakan rasa sakit yang dirasakan Alina. Wajah Reno pucat pasi, matanya memperlihatkan luka.'Seharusnya aku tidak terbawa nafsu dan bercinta dengan Lily di rumah, di saat ada ibu. Sekarang aku akan kehilangan Alina, aku akan benar-benar kehilangan dia' kata Reno dalam hatinya. Ia sudah tahu konsekuensi dari semua ini, meninggalnya Yuni akan membuat perubahan untuk rumah tangganya dan Alina
Tidak seperti Reno yang menyadari kesalahannya, Lily tidak menyadari itu. Dia tetap merasa kalau kematian Yuni adalah takdir yang sudah digariskan Tuhan."Mas, gimana bisa meninggalnya bu Yuni jadi salah kita? Meninggalnya bu Yuni itu sudah takdir Tuhan."Dengan mudahnya Lily berkata seperti itu, tanpa merasa bersalah. Seseorang mati, karena mengetahui fakta besar tentang hubungan mereka dan melihat mereka bercinta di halaman belakang."Bisa-bisanya kamu, Ly. Aku nggak habis pikir sama kamu, kok bisa-bisa kamu bicara begitu, hah? Apa kamu nggak merasa bersalah? Bu Yuni meninggal gara-gara kita."Wanita yang ia pikir malaikat, lemah lembut dan baik hati, ternyata tidak berempati pada orang yang sudah meninggal."Alina sahabat kamu, bahkan ibu mengenal kamu dari kecil, Ly. Apa kamu nggak merasa simpati sama mereka?"Lily terdiam, ia tidak tahu harus bicara apa lagi untuk meyakinkan Reno kalau meninggalkan Yuni, bukan salah mereka berdua. Tapi di saat situasi seperti ini, melihat Reno ya
Angga begitu murka saat melihat kehadiran kakak ipar dan istri kedua itu berada di pemakaman ibunya. Dia mengusir mereka berdua di depan umum."Haram, makam ibu saya didatangi oleh kalian berdua! Pergi kalian!" teriak Angga marah, tak jauh dari tempat peristirahatan ibunya. Tepat dihadapan Lily dan Reno.Sedangkan Alina, ia berada di dalam pelukan Tira yang tengah berusaha untuk menenangkannya. Setelah mendengar kabar bahwa Yuni meninggal, Tira menutup tokonya pada hari ini dan langsung pergi ke Bandung untuk melayat."Kami kesini berniat baik untuk melayat tante Yuni, kenapa kamu malah bersikap tidak sopan seperti ini sama saya dan suami kakak kamu?" ketus Lily pada Angga dengan suara keras.Beberapa pelayat yang masih hadir di sana, mendengar keributan yang mencuri perhatian itu."Lily, diam," bisik Reno yang menegur istrinya untuk diam."Apa sih Mas? Jangan nyuruh aku diam, biarin aku bicara buat ngajarin anak kampung nggak sopan ini!" ujar Lily yang tidak terima dimarahi di depan
Cahaya mentari perlahan-lahan hadir melalui celah jendela kamar yang ditempati oleh Alina. Akhirnya, cahaya tersebut membuat kedua matanya terbuka. Alina berusaha untuk beranjak bangun, meskipun saat ini kepalanya terasa sangat berat. Tubuhnya lemas, bahkan untuk menggerakkan jarinya saja dia membutuhkan banyak tenaga dan upaya."Lo udah bangun, Al?"Alina melihat Tira berjalan menghampirinya. Wanita itu terlihat senang melihat Alina sudah bangun. "Gimana keadaan kamu? Udah mendingan?" tanya Tira sambil menyentuh kening Alina dengan tangannya. Memastikan apakah wanita itu masih demam atau tidak?"Syukurlah, udah nggak demam kayak semalam." Tira bernafas lega, sebab Alina sudah baik-baik saja dan tidak demam seperti semalam.Alina memegang keningnya yang sakit, matanya juga masih berkunang-kunang, kepalanya berdenyut sakit. "Angga, mana Ra?" Angga, adalah orang pertama yang ditanyakan Alina begitu dia sudah bangun."Angga lagi pergi sama Pak Abi. Mereka lagi cari sarapan, soalnya di ru